Laman

Kamis, 05 Maret 2015

Sejarah Universitas Indonesia (1): Usianya Setua Sekolah Guru dan Embrionya adalah Kweekshool (1851)

*Semua artikel Sejarah Universitas Indonesia dalam blog ini Klik Disini


Universitas Indonesia yang kini berada di Kota Depok sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang. Sebelum pindah ke Depok, konsentrasi kampus-kampus Universitas Indonesia berada di Salemba, Jakarta. Nama Universitas Indonesia sendiri diperkenalkan pada tahun 1940 dengan nama Universiteit van Indonesie untuk memberi nama dan menyatukan semua lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang tersebar di berbagai tempat menjadi satu universitas dan membentuk fakultas-fakultas. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi itu diantranya STOVIA, sekolah kedokteran yang sebelumnya bernama ‘Dokter Djawa School’.

***
Bagaimana sejarah universitas terbentuk? Mari kita lacak. Ini bermula dari suatu Keputusan Kerajaaan Belanda pada tahun 1848 yang intinya bahwa di setiap keresidenan (residentie) atau kabupaten (afdeeling) dalam suatu provinsi (province) atau perdagangan atau tempat lain yang dianggap perlu harus diselenggarakan pendidikan dasar (sekolah dasar negeri). Pemerintah Hindia Belanda menindaklanjuti keputusan tersebut dengan menyelenggarakan kursus singkat yang diberi nama normaal cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru yang akan ditempatkan di sejumlah sekolah dasar negeri yang akan didirikan. Dalam perkembangannya, kebutuhan guru dirasakan semakin meningkat lalu Gubernur Jenderal mengeluarkan Surat Keputusan (Staatsbald) pada tahun 1851 yang intinya untuk membuka dan mendirikan ‘sekolah pembibitan guru’ (kweekschool). Pada tahun 1852 sekolah guru bantu (kweekschool) pertama dibuka di Surakarta.

Sementara itu, pemerintah juga menganggap perlu mendirikan sekolah pembibitan dokter yang disebut kweekschool van inlandsche geneeskundigen. Kweekschool bidang kesehatan ini lalu diselenggarakan pada Januari 1851 dengan kapasitas siswa delapan hingga sepuluh siswa. Pendidikan di sekolah kedokteran yang direncanakan masa studi dua tahun ini (asisten dokter lulusan Belanda) yang kemudian disebut ‘Dokter Djawa School’ siswa-siswanya berasal dari sekolah-sekolah dasar negeri yang sudah ada. Pada tahun 1856 pemerintah akhirnya secara resmi memutuskan menerima siswa-siswa yang berasal dari luar Djawa. Keputusan ini dibuat karena kenyataannya sejak 1854 sudah ada dua orang anak Batak dari Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli yang mengikuti sekolah kedokteran ini dan dianggap telah berhasil.

Perubahan keputusan pemerintah ini berubah cepat karena anak-anak luar Djawa juga mampu mengikuti kurikulum yang diberikan di  kweekschool van inlandsche geneeskundigen. Anehnya lagi di Afdeeling Mandheling en Ankola belum satupun sekolah dasar yang didirikan. Hal ini karena afdeeling Mandheling en Ankola masih muda dan baru dibentuk tahun 1841. Militer Belanda masuk ke afdeeling ini tahun 1833 via Natal dalam rangka menggempur Bonjol dari sisi utara. Setelah Perang Bonjol selesai 1837 pemerintah Hindia Belanda membentuk afdeeling Mandheling en Ankola dengan ibukota Panjaboengan. Dua siswa dan yang menjadi alumni ‘Dokter Djawa School’ yang berasal dari Tapanuli merupakan siswa pertama dari luar Djawa yang diterima di ‘Dokter Djawa School’. Dua anak ini ternyata kemudian diketahui hanya mengikuti sekolah swadaya yang dibangun penduduk, Sekolah ini didirikan sebagai inisiatif asisten residen Mandheling en Ankola, A.P. Godon.

Satu anak didik sekolah bentukan AP. Godon bernama Si Sati (adik kelas Si Asta dan Si Angan) memiliki kemampuan linguistic yang baik. Setelah lulus Si Sati kemudian mengggantikan peran guru yang ada untuk mengajar adik-adik kelasnya. Mr. Godon juga merekrut Si Sati menjadi penulis di kantor Asisten Residen. Ketika, A.P. Godon akan cuti dua tahun ke negeri Belanda, Si Sati mengusulkan dirinya untuk sekolah guru (kweekschool) ke negeri Belanda. Permintaan ini diteruskan Godon ke Menteri Pendidikan di Batavia. Di parlemen, dalam rapat kerja sang menteri yang didampingi Godon ditolak anggota dewan, tetapi sang menteri meyakinkan anggota dewan bahwa Si Sati telah menjadi guru sukarela di kampungnya, memiliki kecakapan bahasa Belanda, telah membantu tugas-tugas pemerintah, di afdeeling Mandheling en Ankola belum satupun guru pemerintah…dan Afdeeling Mandheling en Ankola sudah mulai surplus kopi. Akhirnya dengan suara aklamasi anggota dewan menyetujui dan dikabulkan untuk dibiayai pemerintah hingga tuntas studinya di negeri Belanda. Si Sati bersama keluarga Godon berangkat dari Batavia ke Negeri Belanda 1857. Singkat cerita, tahun 1861 studi Si Sati Nasoetion gelar Soetan Iskandar yang kemudian mengubah namanya Willem Iskander (nama radja Belanda) selesai dan mendapat akte guru penuh dan kembali ke kampungnya dan berinisiatif mendirikan kweekschool di Afdeeling Mandheling en Ankola, Residentie Tapanoeli (1862). Kwekschool ini tiga tahun kemudian diakuisisi pemerintah. Willem Iskander adalah pribumi pertama yang sekolah ke Negeri Belanda.

***
Sekolah guru (kweekschool) terus berkembang dan jumlahnya semakin banyak serta lokasinya di berbagai tempat. Setelah Surakarta menyusul didirikan di Bandung, lalu kemudian di Bukittinggi serta di Tanobato, Mandheling en Ankola. Secara khusus, sosok Willem Iskander di Kweekschool Tanobato sebagai alumni Eropa mampu memadukan konsep pendidikan Eropa dengan pelajaran muatan local dengan pemahaman tiga bahasa sekaligus: bahasa Batak, bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Poeze et al (2008) menyatakan bahwa Kweekschool Tanobato kala itu adalah satu-satunya sekolah guru yang berjalan dengan baik di Hindia Belanda. Untuk meningkatkan mutu guru di Hindia Belanda, pemerintah meminta Willem Iskander untuk membawa sejumlah guru bantu dari berbagai daerah untuk studi ke negeri Belanda. Willem Iskander sebagai mentor guru-guru muda juga di negeri Belanda diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan akte kepala sekolah (hulpacte) yang nantinya akan diproyeksikan menjadi kepala sekolah di kweekschool Padang Sidempoean (ibukota Mandheling en Ankola) yang akan dibuka tahun 1879 sebagai pengganti Kweekschool Tanobato. Willem Iskander dan anak-anak asuhnya berangkat dari Batavia 1875. Sekali lagi: Willem Iskander adalah pribumi pertama yang berangkat kuliah ke Negeri Belanda.

'Dokter Djawa School', Batavia, 1902
Sementara itu sekolah dokter (kweekschool) yang hanya satu-satunya di Batavia, juga terus mengalami peningkatan kualitas. Porsi dari luar Djawa juga semakin besar dan asalnya semakin bervariasi. Oleh karena sekolah dokter ini berada di Djawa kemudian kweekschool van inlandsche geneeskundigen berubah nama menjadi ‘Dokter Djawa School’. Pada tahun 1864 pendidikan di sekolah dokter ini diperpanjang yang lamanya menjadi tiga tahun. Kemudian pada tahun 1875, lama pendidikan menjadi tujuh tahun yang mana dua tahun pertama sebagai masa persiapan (tingkat persiapan) dan lima tahun pendidikan kedokteran dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Pada tahun 1881 tingkat persiapan menjadi tiga tahun. Selanjutnya pada tahun 1890 siswa yang diterima di ‘Dokter Djawa School’ harus lulus sekolah dasar Eropa (ELS). Pada tahun 1902 satu-satunya sekolah dokter ini dilakukan revitalisasi, kini giliran masa pendidikan dokter yang ditambah dari lima tahun menjadi enam tahun. Total waktu yang dibutuhkan oleh seorang siswa untuk menyelesaikan studinya menjadi sembilan tahun dan nama ‘Dokter Djawa School’ juga berubah menjadi School tot Opleiding van Inlandshe Artsen yang disingkat STOVIA. Gelar yang diberikan kepada lulusan berganti dari gelar ‘Dokter Djawa’ menjadi gelar ‘Inlandshe Artsen’ yang dapat diterjemahkan sebagai Dokter Boemipoetra’ atau disingkat cukup dengan ‘Dokter’.

***
Satu-satunya perguruan tinggi di Hindia Belanda hingga tahun 1902 hanyalah STOVIA. Sekolah kedokteran ini bermula dari suatu pelatihan yang dimaksudkan untuk melatih sejumlah pribumi untuk membantu dokter-dokter Belanda dalam penanganan epidemik. Pelatihan yang dimulai tahun 1851 disebut kweekschool van inlandsche geneeskundigen. Tempat pelatihan berada di rumah sakit militer di Weltevreden. Dalam perjalanannnya, sekolah pelatihan ini berubah nama menjadi ‘Dokter Djawa School’. Setelah 50 tahun pada tahun 1902 ‘Dokter Djawa School’ kemudian berubah nama menjadi STOVIA. Pada artikel selanjutnya dapat kita ikuti perjalanan sekolah kedokteran Indonesia ini berubah menjadi Faculteit Geneeskunde, Universiteit van Indonesie (1940).

(bersambung)

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe

2 komentar:

  1. Menarik, baru tahu saya orang Indonesia yang belajar di Belanda Si Sati

    BalasHapus
  2. menarik sekali. terimakasih untuk informasi yg dibagi nya pak!

    BalasHapus