Laman

Senin, 25 April 2016

Sejarah Persija Jakarta [6]: STOVIA Voetbal Club Berkunjung ke Medan (1909); Tapanoeli Voetbal Club Sebagai Tuan Rumah

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Sepakbola Jakarta sudah jauh berkembang. Jumlah klub semakin banyak. Frekuensi pertandingan semakin tinggi. Berbagai kompetisi dalam bentuk turnamen sudah terselenggara dengan baik. Perhatian publik juga semakin meningkat apalagi pemberitaan sepakbola oleh media semakin intens. Namun perkembangan yang ada semakin mengutub, perhatian media menjadi terfokus hanya pada sepakbola ETI (Eropa/Belanda). Akibatnya, informasi sepakbola pribumi kurang terungkap dan semakin tenggelam. Apalagi sejak tahun 1906 sudah muncul intrik-intrik dari para ‘gibol’ Belanda di Jakarta agar lapangan Koningsplein dibatasi hanya untuk sepakbola ETI saja (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-03-1906). Sementara itu, hanya klub STOVIA yang ‘berbau’ pribumi yang mendapat porsi pemberitaan di media. Klub-klub macam Petjenongan Voetbal Club, Gang Tiemboel VC, Kampung Manggis VC, Kwitang VC dan lainnya tidak diketahui rimbanya lagi.

Kompetisi sepakbola di Medan 1907 dan 1908
Sepakbola Jakarta meski sudah jauh berkembang, tetapi pengelolaannya masih bersifat spontan. Belum ada komisi tetap yang mengaturnya. Pengaruh klub dan keberadaan sponsor yang menjadi penentu. Forum lintas klub belum terwujud. Intrik-intrik antar klub muncul, seakan klub mana yang menjadi juara kompetisi dapat diatur. Pada akhir tahun 1906 perserikatan klub-klub di Jakarta dibentuk yang diberi nama Bataviaschen Voetbal Bond. Kemudian di Medan pada tanggal 16-07-1907 disepakati bahwa semua klub yang berkompetisi digabung menjadi satu nama: Deli Voetbal Bond (Perserikatan Sepakbola Deli). Badan-badan inilah yang mengelola sepakbola.

Jakarta adalah kota besar. Kota yang memiliki populasi ETI terbanyak di Hindia Belanda. Karenanya, ‘gibol’ terbanyak juga lebih banyak di Jakarta dan akibatnya jumlah klub ETI juga lebih banyak. Sebaliknya, di Jakarta klub pribumi terbilang sedikit yang muncul ke permukaan. Perbedaan jumah klub pribumi antara Jakarta dan Medan menjadi besar. Di Jakarta dari segi jumlah, klub-klub ETI jauh lebih banyak sehingga sepakbola Jakarta seakan tampak sebagai ruang sepakbola Eropa. Sebaliknya, di Medan, jumlah klub pribumi lebih banyak dan lebih berwarna. Namun demikian, pemain-pemain sepakbola dari ETI di Medan secara permainan masih tampak lebih berkualitas.

Docter Djawa Club melakukan pramusim ke Medan

Docter Djawa Club atau Stovia Club, Batavia, 25-01-1907
Klub Docter Djawa di dalam sepakbola Jakarta terbilang klub lama, bahkan sudah ikut dalam kompetisi yang perdana yang digelar tahun 1904. Dalam memasuki kompetisi sepakbola Jakarta 1907 (yang terbagi dalam dua divisi), Docter Djawa Club menempatkan diri di divisi dua (sesuai kesepakatan: belum ada aturan promosi dan degradasi). Di Medan, klub Medan Tapanoeli yang didirikan tahun 1907 bersama klub Voortwart (orang-orang ETI) menggagas diadakannya kompetisi dan dibentuknya perserikatan (bond), tetapi dalam kompetisi, Medan Tapanoeli lebih memilih berada di divisi dua (lihat tabel: Docter Djawa Club atau STOVIA Club, Batavia, 25-01-1907).

Klub-klub di Jakarta yang ikut berkompetisi hampir semuanya klub ETI, kecuali STOVIA yang para pemainnya adalah orang-orang pribumi. Sebaliknya di Medan, hanya satu klub yang berlabel ETI yakni Voortwarts. Klub-klub di Medan juga lebih beragam: Eropa/Belanda, Tionghoa dan pribumi yang meliputi Jawa, Melayu dan Batak (Angkola dan Mandailing). Meski demikian, bukan berarti tidak ada klub pribumi di Jakarta, jumlahnya mungkin banyak, tetapi tidak ada yang bersedia ikut kompetisi. Sebaliknya, di Medan, bukan berarti hanya klub Voortwarts yang ada, tetapi klub ETI yang lain sebenarnya masih eksis seperti Medan Sport Club dan Langkat Sport Club (klub orang-orang Inggris). Sedangkan di Bandung, selain klub ETI juga terdapat klub Choneese Sporting Club dan klub OSVIA (yang mirip dengan klub STOVIA).

Ketika jeda kompetisi sepakbola (kegiatan pramusim) tahun 1909, klub-klub di Jakarta melakukan tur. Adayang melakukan tur ke Semarang dan bahkan Surabaya, tetapi umumnya klub-klub Jakarta lebih memilih klub-klub Bandung untuk alasan tertentu: lebih dekat, akses cepat dan sekaligus wisata (membawa anggota keluarga) dan juga karena sudah sejak lama hubungan antara klub Bandung dan klub Jakarta terjalin dalam pertandingan persahabatan. Klub Docter Djawa School (STOVIA) yang sudah tidak ikut kompetisi sebenarnya bisa dengan mudah melakukan tur pramusim ke Bandung karena di sepakbola Bandung ada OSVIA. Namun, tak terduga, Docter Djawa Club justru melakukan tur ke tempat jauh di Medan. Hal ini belum pernah dilakukan oleh klub-klub ETI Jakarta. Inilah yang terjadi pada bulan April 1909: Docter Djawa Club melawat ke Medan. Klub tujuannya di Medan hanya satu, yakni: Medan Tapanoeli Club.

De Sumatra post, 17-04-1909: ‘Sore ini dilakukan pertandingan antara Tapanoeli vs Docter Djawa Club  di Esplanade. De Sumatra post, 19-04-1909 melaporkan hasil pertandingan Tapanoeli vs Docter Djawa Club  dengan skor 1-3. Pada babak pertama Docter Djawa Club yang berkostum blau-witten (biru-putih) menang dua gol. Setelah istirahat, Tapanoeli yang berkostum merah-hijau pada permulaan pertandingan berhasil memperkecil skor. Docter Djawa Club akhirnya memenangkan pertandingan setelah menambah satu gol lagi’.

Docter Djawa Club yang melawat ke Medan menjadi heboh di Jakarta, Medan, Bandung dan Semarang. Sebab inilah lawatan klub sepakbola yang pernah ada. Berita-berita di surat kabar mendapat pujian. Lawatan Docter Djawa Club ke Medan telah menandai sepakbola Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) menjadi terhubung antara Jawa dan Sumatra. Para gibol utamanya orang-orang Belanda di Jakarta sedikit tersenyum. Karena selama ini pers Inggris di Penang dan Singapore kerap meledek sepakbola Nederlandsche Indie yang hanya mengetahui kekuatannya sendiri (terbatas di Jawa). Klub-klub Penang dan Singapore sejak 1890an sudah sering melawat ke Medan, demikian sebaliknya Tim Deli (gabungan dari Medan Sportclub dan Langkat Sportclub) beberapa kali melawat ke Penang dan Singapore. Dengan melawatnya Docter Djawa Club ke Medan di satu sisi sedikit melipur lara bagi para ‘gibol’ di Jakarta, sementara di sisi lain sedikit bertanya-tanya: Mengapa harus Docter Djawa Club yang melakukan itu? Dan mengapa bukan klub-klub ETI?.

Sentimen-sentimen antara ‘gibol’ Belanda dan ‘gibol’ Inggris kerap muncul. Perseteruan Medan Sportclub (Belanda) dan Langkat Sportclub (Inggris) adalah perseteruan abadi di Deli. Setiap kedua klub ini melakukan pertandingan selalu ramai, karena kedua tim selalu bersemangat, seru dan keras (mungkin karena mengusung nama bangsa).  Pernah satu periode, Langkat Sportclub tidak pernah terkalahkan oleh klub manapun di Medan selama tiga tahun. Ketika Langkat Sportclub akhirnya berhasil dikalahkan oleh Medan Sportclub, pers Inggris di Penang mencibir. Sebagaimana diketahui memang sepakbola Inggris sudah lebih maju di Eropa dibanding sepakbola Belanda. Namun karena ada perseteruan Inggris dan Belanda (sejak traktat London, 1824), hawa politik antar dua bangsa juga berhembus di lapangan sepakbola di Medan. Klub-klub Belanda di Medan diapit oleh dua kekuatan klub Inggris, yakni dari Penang dan dari Langkat. Orang-orang Inggris sangat bernafsu bermain sepakbola dengan orang-orang Belanda, Ini juga pernah terjadi di Jakarta (lihat artikel ketiga serial ini). Tim Inggris sebagaimana diberitakan Bataviaasch nieuwsblad, 04-06-1904 mengundang BVC Jakarta untuk bertanding di Koningsplein. Tim Inggris ini adalah kru kapal perang Inggris, Vestal yang sedang bersandar di pelabuhan Tandjong Priok. Kedatangan kapal perang Inggris ke Tandjoeng Priok meski bukan dalam situasi perang, tetapi para kru kapal perang yang turun ke darat bermain sepakbola di depan Istana Gubernur Jenderal di Batavia dapat diartikan sebagai bentuk invasi Inggris dalam perang sepakbola terhadap sepakbola Belanda.

Lawatan Docter Djawa Club ke Medan bukan tanpa rencana, tetapi boleh jadi suatu desain besar yang mengedapankan satu misi: persahabatan sesama anak bangsa. Lantas mengapa Tapanoeli Voetbal Club yang dituju di Medan? Klub Docter Djawa yang pemainnya 100 persen pribumi, kalau dilihat dari nama, mengapa klub Tapanoeli yang dijadikan sebagai partner. Klub Tapanoeli juga tampaknya sangat senang menerima tamu dari jauh dan bertindak sebagai tuan rumah yang baik. Lantas mengapa klub Docter Djawa tidak memilih klub lainnya seperti Teman Sefakat, Toengkoe, Maimoen, Sarikat atau klub yang sama-sama menggunakan nama Djawa seperti klub Java VC atau Djawi Peranakan. Tidak semudah itu, tapi ini jawabannya:

Docter Djawa School adalah sekolah dokter pribumi yang didirikan 1851 di Batavia. Pada tahun 1854, Si Asta dan Si Angan dari Afdeeling Mandheling en Ankola (selanjutnya disebut afdeeling Padang Sidempuan) diterima sebagai siswa di Docter Djawa School. Dua anak ini ternyata adalah siswa pertama yang diterima dari luar Jawa. Karena prestasi kedua siswa ini (kemampuan kognitif yang tinggi dan kemampuan bahasa Belanda yang memadai), pimpinan Docter Djawa School (yang rata-rata pertahun mendidik 8-10 siswa) meminta siswa yang berasal dari afd. Mandheling en Ankola untuk didatangkan kembali. Pada tahun 1856 dua siswa dari afd. Mandheling en Ankola yang bernama Si Toga gelar Dja Dori dan Si Napang gelar Dja Bodi diterima dan telah mengikuti pendidikan (lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad: algemeen advertentie-blad, 02-04-1857). Demikian seterusnya secara reguler anak-anak afd. Mandheling en Ankola mengikuti pendidikan di Docter Djawa School ini hingga 1902. Dr. Asta Nasution ditempatkan di afd. Mandheling en Ankola. Alumni terakhir dari Docter Djawa School asal Padang Sidempuan adalah Mohamad Daoelaj, lulus 1906. Docter Djawa School sejak 1902 berubah nama menjadi STOVIA.

Dua anak Padang Sidempuan sekelas Dr. Tjipto di STOVIA
Antara 1900-1907 terdapat tidak kurang dari tujuh anak-anak Padang Sidempuan yang kuliah di Docter Djawa School (STOVIA). Mereka itu adalah Haroen Al Rasjid dan Muhamad Hamzah. Keduanya lulus di tahun yang sama tahun 1903. Dr. Haroen Al Rasjid ditempatkan di kota Padang lalu dipindahkan ke Sibolga dan setelah usai berdinas menetap di Lampung. Dr. Muhamad Hamzah (Harahap) setelah usai berdinas di Telok Betong pindah ke Pematang Siantar. Dr. Muhamd Hamzah (sepupu Soetan Casajangan) adalah pemain Siantar Voetbal Club. Selain itu, dua anak afd. Padang Sidempoean (diubah dari nama afd. Mandheling en Ankola 1905) yang bernama Abdul Hakim (Harahap) dan Abdul Karim (Harahap) sama-sama lulus Dokter Djawa School pada bulan November 1905. Setelah berdinas, Dr. Abdul Hakim ditempatkan di Bindjei. Alumni Docter Djawa School yang terakhir, Mohamad Daoelaj lulus 1906 dan pada tahun 1909 ditempatkan di Medan. Lalu ada dua mahasiswa STOVIA, salah satunya Radjamin Nasution (angkatan pertama STOVIA tahun 1902) yang saat itu menjadi pemain inti Dr. Djawa VC datang ke Medan tahun 1909. Radjamin sendiri sudah kuliah memasuki tahun ke tujuh. Radjamin adalah salah satu pemain Dr. Djawa VC yang ikut melawat ke Medan. Radjamin lulus STOVIA tahun 1912 (Dr. Radjamin Nasution kelak adalah pendiri asosiasi sepakbola pribumi di Medan yang diberi nama Deli Voetbal Bond (lihat De Sumatra Post terbitan 13-02-1923).

Besar dugaan koneksi inilah yang digunakan Docter Djawa Club. Sebab sejak dari doeloe nama anak-anak afd. Mandheling en Ankola (kini afd. Padang Sidempuan) sudah dikenal baik oleh anak-anak Docter Djawa School/STOVIA, apalagi di dalam Docter Djawa Club terdapat anak Tapanoeli, Radjamin Nasution. Jangan lupa, bahwa Harun Al Rasjid Nasution adalah menantu Dja Endar Moeda (Haroen menikah di Padang tahun 1903). Seperti diketahui Dja Endar Moeda, alumni Kweekschool Padang Sidempuan memiliki percetakan dan surat kabar di Medan. Tapanoeli Voetbal Club dan klub sebelumnya Zetterletter VC salah satu pendirinya adalah Dja Endar Moeda.

Tidak diketahui siapa yang berinisiatif dalam hal ini apakah Tapanoeli VC atau Docter Djawa VC. Yang jelas menurut surat kabar, selama di Medan Docter Djawa VC, kebutuhan pemondokan dan akomodasi lainnya ditanggung oleh Tapanoeli VC (tidak disebutkan apa termasuk ongkos perjalanan pp). Koneksi lainnya juga dapat dikaitkan dengan Dr. Abdul Rivai (editor Bintang Hindia di Belanda) yang mensponsori diadakannya pertandingan sepakbola pribumi di Jakarta (lihat artikel kelima serial ini). Dr. Abdul Rivai dan Dja Endar Moeda sudah saling kenal, ketika mereka berdua diundang Dr. AA Fokker melawat ke Belanda tahun 1904. Juga dapat dikaitkan bahwa baru-baru ini (1908) Soetan Casajangan, alumni Kweekschool Padang Sidempuan mendirikan perhimpunan pelajar (Indisch Vereeniging) di Belanda. Tentu saja masih bisa dikaitkan dengan posisi Mangaradja Salamboewe, editor surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Timor di Medan yang terkenal militan. Mangaradja Salamboewe sang editor pemberani adalah anak Dr. Asta Nasution, dokter pertama yang berasal dari luar Jawa.

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Oleh karenanya Docter Djawa Club akan nyaman selama di Medan. Tapanoeli Voetbal Club adalah klub sepakbola anak-anak Padang Sidempuan di Medan. Karena itu, lawatan Docter Djawa Club (dari STOVIA) lebih kental sifat politisnya daripada sekadar kunjungan muhibah biasa. Seperti diketahui, Dja Endar Moeda belum lama ini (1907) dihukum cambuk di kota Padang karena delik pers dan diusir pemerintah setempat dari Padang dan bisnisnya diserahkan kepada adiknya, Dja Endar Bongsoe (alumni Kweekschool Padang Sidempuan). Dja Endar Moeda hanya berpindah-pindah antara Sibolga, Kota Radja (kini Banda Aceh) dan Medan untuk memantau bisnis media dan percetakannya. Di Kota Radja, Dja Endar Moeda selain berbisnis media juga memberikan bantuan hukum kepada penduduk secara sukarela. Inilah kebangkitan bangsa ‘ala’ anak-anak Padang Sidempuan di banyak tempat dan semua bidang termasuk sektor sepakbola. Tidak ada tokoh utama, tetapi semua adalah figur, sehingga sulit menentukan tokoh mana yang harus diutamakan.

Para pemain klub Docter Djawa selama di Medan tidak kemana-mana. Kunjungan yang cukup lama di Medan malah lebih banyak berdiam diri di kota. Pada waktu itu, Brastagi belum ada, ke danau Toba juga belum ada akses jalan, tentu saja belum ada mobil meski sudah ada spoor ke Pematang Siantar, tetapi dari Pematang Siantar ke danau Toba hanya bisa dilalui oleh pedati. Lagi pula, di sekitar danau Toba masih belum kondusif setelah dua tahun sebelumnya (1907) terjadi perang puncak antara militer Belanda dengan (pengikut) Sisingamangaraja XII.

Orang Padang Sidempuan ke Medan kala itu belum bisa melakukan perjalanan darat karena belum ada jalan. Orang Padang Sidempuan ke Medan melalui jalur laut, dari Sibolga via Kota Radja dan dari Sibolga ke Batavia lebih dahulu baru ke Medan. Jalur via Batavia juga sangat diminati karena bisa singgah ke semenanjung Malaya lebih dahulu sebelum ke Medan. Sebagaimana diketahui, sudah hampir satu abad penduduk Mandheling en Ankola banyak yang tinggal di Selangor (kini Ibukota Kualalumpur). Mereka itu umumnya eksodus pada masa padri (1820an) dan koffiestelsel di Mandheling en Ankola (1840an).

Para pemain klub Docter Djawa di Medan mungkin lebih konsentrasi dalam kaitannya dengan hubungan berbangsa. Putra-putra asal Jawa dan asal Sunda akan menyempatkan diri mengunjungi kerabat atau yang sekampung di pulau Jawa yang kini banyak bermukim di Medan. Itu lebih menarik daripada memikirkan wistata ke Brastagi dan danau Toba yang memang belum dikenal sebagai tempat wisata. Hubungan berbangsa ini terkesan dari seorang pembaca menulis di Sumatra Post, 03-11-1909 bahwa kapten tim Docter Djawa Club adalah Radjamin (bisa dipastikan itu Radjamin Nasution), sedangkan kapten dari klub Tapanoeli VC dari namanya bisa terkesan seorang anak peranakan Jawa di Medan. Jika kesimpulan ini benar, maka pertandingan antara Docter Djawa Club vs Tapanoeli VC benar-benar pertandingan persahabatan, dan oleh karena yang memimpin tim dari ibukota ini di lapangan adalah anak Batak, maka tim Docter Djawa menjadi tidak sungkan dan tetap mengusung sportivitas jiwa sepakbola. Seperti diketahui Docter Djawa Club berhasil mengalahkan Tapanoeli VC di kandangnya. Penjelasan ini menambah pemahaman kita pada masa kini bahwa anak-anak STOVIA telah memainkan peran dalam awal kebangkitan bangsa tidak hanya di Jakarta tetapi juga di Medan. Yang masih menjadi pertanyaan: mengapa Docter Djawa Club mengundurkan diri dari kompetisi pada paruh kompetisi di bulan April 1907, lalu tiba-tiba melakukan kunjungan sepakbola ke Medan pada tahun 1909 ini.



Dugaannya begini: Pada tahun 1908 di satu sisi didirikan Boedi Oetomo (yang didukung oleh pemerintah), lalu melakukan kongres di Solo. Sementara di tahun sebelumnya (1907), Dja Endar Moeda dikenai delik pers (kasusnya sederhana: melaporkan pejabat di Kayutanam yang menyiksa penduduk) tetapi atas laparan itu Dja Endar Moeda dikenai pasal delik pers dan harus menerima hukum cambuk dan diusir dari Padang. Kita tahu bahwa Dja Endar Moeda adalah penasehat Medan Perdamaian, organisasi nasional yang didirikannya tahun 1900 (dan tahun 1902 memberikan banyuan pembangunan sekolah di Semarang). Sementara Boedi Oetomo yang dilakoni koneksi STOVIA (alumni Docter Djawa School dan mahasiswa STOVIA) lebih focus di Jawa (bersifat kedaerahan). Situasi dan kondisi ini dilihat Soetan Casajangan di Belanda. Pada bulan Oktober dengan jumlah mahasiswa baru 20an orang Sutan Casajangan mendirikan perhimpunan pelajar (Indisch Vereeniging) di Leiden (tentu bersifat nasional). Dinamika di dalam tubuh mahasiswa itu sejak 1907 yang boleh jadi menyebabkan Docter Djawa Club mengundurkan diri dari kompetisi. Nah, pada tahun 1909 (setelah eksis Indisch Vereeniging dan Boedi Oetomo) Docter Djawa Club ‘nongol’ lagi, lalu melawat ke Medan. Mereka yang ke Medan ini adalah faksi nasional, dimana di dalamnya terdapat Radjamin Nasution. Sedangkan Soetomo (pentolan Boedi Oetomo) yang faksi daerah, boleh jadi tidak salah-salah amat, karena waktu itu di pedalaman Jawa berkecamuk wabah penyakit dan tingkat literasi penduduk rendah, tetapi sedikit keliru menafsirkan dan mengabaikan trans nasional. Situasi ini dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda, lalu Boedi Oetomo disokong. Tentang Medan Perdamaian, malah lebih ekspan, dari tempat kelahiran di Padang, sudah ada di Sibolga, Medan (bahkan Pematang Siantar), Palembang dan Batavia. Pimpinan Medan Perdamaian ini di Jakarta dimotori pemilik skolah industry di Kayutanam. Tapi pada waktunya nanti akan dikorekasi sendiri oleh Soetomo. Radjamin Nasution sudah lama mengenal Soetomo di STOVIA (kelak Radjamin Nasution menjadi anggota dewan kota dan kemduian menjadi walikota Kota Surabaya, kota tempat kelahiran Dr. Soetomo) .



Untuk sekedar proyeksi, sebelum topik kita kembali ke Batavia di pulau Jawa terdapat dua kejadian awal di Medan pada tahun 1910: Pertama, surat kabar Pewarta Deli di Medan didirikan oleh anak-anak Padang Sidempuan untuk menggeser koran Pertja Timor. Surat kabar Pertja Timor (investasi Belanda) mulai kendor dalam mengangkat kaum pribumi setelah beberapa waktu lalu Mangaradja Salamboewe, editor pemberani dikabarkan telah meninggal dunia. Jiwa nasional Pertja Timor lenyap. Kelak Pewarta Deli akan memainkan juga peran dalam dunia sepakbola pribumi di Medan. Kedua, Abdul Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon berangkat studi ke Belanda. Anak kelahiran Padang Sidempuan ini sepulang dari Belanda akan memulai karir di Pematang Siantar, kemudian menjadi anggota dewan kota di Tandjong Balei. Lalu pada tahun 1924 menjadi anggota  dewan pusat (Volksraad) di Pendjambon (kini di Senayan) mewakili dapil Sumatra Timur selama empat periode. Abdoel Firman Siregar sangat concern tentang sepakbola dan bersama M. Husni Thamrin di Pedjambon menggebrak dewan (yang mayoritas orang-orang Belanda). Mangaradja Soangkoepon digelari Macan Pedjambon (maksudnya paling vocal). Macan di Kemayoran sesungguhnya tidak pernah ada dikabarkan, tetapi di kampong Abdul Firman di Sipirok sangat banyak macan.
 
***
Pers Belanda tampaknya tidak memahami mengapa Docter Djawa Club melakukan tur (jeda kompetisi) pramusim ke Medan (dan bukannya ke OSVIA). Pers Belanda melihatnya hanya sebagai kunjungan biasa. Kunjungan itu hanya dirasakan sebagai pelipur lara, ketika tidak satupun klub-klub (Belanda) di Jawa khususnya di Jakarta yang berani melakukan tur pramusim jarak jauh (long distance). Karena memang mahal toh! Apalagi buat mahasiswa-mahasiswa yang tengah studi di STOVIA.

Kelak kita lihat, bagaimana Dr. Radjamin Nasution, pembina sepakbola Surabaya dan Walikota pribumi pertama Kota Surabaya begitu heroiknya mengorganisir rakyat Surabaya untuk membantu laskar dan tentara republik untuk mengusir Belanda dalam perang Surabaya. Adik kelas Radjamin Nasution di STOVIA, selama masa agresi militer Belanda, Dr. Gindo Siregar menjadi Gubernur Militer di Noord Sumatra (Residentie Sumatra’s Oostkust dan Residentie Tapanoeli) dan Dr. Djabangoen Harahap yang sudah lama berkarir di Medan maju ke depan sebagai ketua Front Nasional Medan (di Surabaya ketua front nasional adalah Doel Arnowo yang kelak menempati posisi walikota Surabaya yang ditinggalkan Radjamin Nasution).

Pada tahun 1942 Dr. Radjamin Nasution diangkat militer Jepang menjadi walikota Soerabaija untuk menggantikan walikota orang Belanda dan ditunjuk lagi ketika era Republik. Dr. Radjamin Nasution adalah pribumi pertama yang menjadi Walikota Surabaya. Sebelumnya, Radjamin Nasution adalah anggota dewan kota (gementeeraad) di Surabaija sejak 1933.

Juga, dalam hal serupa, di waktu yang sama, anak Dr. Haroen Al Rasjid (cucu Dja Endar Moeda) bernama Gele Haroen, Resident pertama Lampung bergerilya untuk melawan militer Belanda di Lampung. Untuk sekadar diketahui, putri dari Dr. Haroen Al Rasjid (cucu Dja Endar Moeda) bernama Ida Loemongga adalah dokter pertama Indonesia yang bergelar Doktor (PhD). Lulus dari Universiteit Leiden tahun 1932. Dr. Ida Loemongga Nasution termasuk dalam tujuh orang Indonesia pertama yang meraih PhD. Dari tujuh orang Indonesia pertama, empat diantaranya berasal dari afd. Padang Sidempuan.

Dr. Radjamin Nasution, dari delapan anaknya tiga lulusan STOVIA. Satu berpangkat Letkol. kepala medis dalam perang Surabaya dan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia serta satu lagi berdinas di Tarempa, Kepulauan Riaouw (orang pertama yang mengirim berita adanya serangan pertama dalam invasi Jepang dari Batam dan telegramnya dimuat di surat kabar di Surabaya).

Bersambung:
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar