Laman

Kamis, 28 April 2016

Sejarah Persija Jakarta [8]: Bataksch Voetbal Club di Jakarta (1924); Parada Harahap Bersama M. Husni Tamrin Menyatukan Semua Organisasi di Jakarta

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Klub VIOS (Voorwaarts Is Ons Streven) adalah klub sepakbola yang terbilang paling kuat di Jakarta. Tim Jakarta (VIOS plus) pada kejuaraan antara kota di Semarang, 1914 adalah pemenang dan menjadi juara se-Jawa yang pertama. Pada tahun 1915 kejuaraan akan dilaksanakan di Batavia. Jelang kejuaraan itu, sepakbola Jakarta terus berkembang, kompetisi tiga divisi berjalan normal. Beberpa klub baru muncul, tetapi klub lama juga ada yang bubar. Persiapan pembentukan tim ke kejuaraan antara kota sudah dimulai. Kompetisi berikutnya dimulai lagi, tetap dengan tiga divisi: Divisi-1: VIOS, Oliveo, Hercules, BVC; Divisi-2: Hercules II, SVBB, BVC II, VIOS II; Divisi-3{ CRC, SVBB II, VIOS III, Oliveo III (Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1915). Tampak ada perubahanm pada Divisi-3 dimana club baru muncul (CRC). Pada akhir tahun ini, BVC merayakan ulang tahun ke-12, dimana klub ini didirikan pada 1903 (Bataviaasch nieuwsblad, 27-12-1915).

Pada tahun dimana Jakarta menjadi tuan rumah kejuaraan sepakbola antarkota di Jawa (1915), seorang pemuda berumur 15 tahun dari Padang Sidempuan merantau ke Deli. Namanya Parada Harahap, hanya tamat sekolah dasar. Dia melamar diperkebunan asing dan diangkat menjadi krani (asisten manajer). Setelah bekerja dua tahun, Parada Harahap menyadari ada yang tidak beres dengan para koeli. Parada Harahap mulai gerah dengan perilaku para planter yang melakukan penyiksaan terhadap koeli (penerapan poenalie sanctie). Sambil tetap bekerja, Parada Harahap mulai belajar bahasa Belanda (dan membaca koran Sumatra Post) dan belajar bagaimana menulis.(dari surat kabar Pewarta Deli). Pada tahun 1917, Parada Harahap mulai menulis berita-berita kekejaman dan ketidakadilan dari perkebunan dan mengirimkannya ke surat kabar Benih Mardika di Medan. Akhirnya, tulisan-tulisan yang dikirim Parada Harahap ditulis ulang oleh editor dan sejumlah artikel dalam beberapa edisi. Berita itu dianggap biasa saja di Medan, karena sudah lama didengar sebagai kabar burung bahwa kejadian yang mirip banyak terjadi di berbagai kebun (onderneming). Akan tetapi, surat kabar Soera Djawa yang terbit di Jawa meresponnya dengan cepat dan meramu kembali artikel-artikel pasokan dari Parada Harahap tersebut. Lalu heboh di Jawa. Penyelidikan di Medan mengetahui bahwa pemasok berita adalah Parada Harahap, lalu Parada Harahp dipecat. Pada tahun 1918 Parada Harahap berangkat ke Medan dan meminta bekerja sebagai wartawan tetapi malahan yang ditawarkan manajemen Benih Mardika adalah untuk posisi editor. Parada Harahap mengambil peluang itu. Namun baru sembilan bulan bekerja sebagai editor, korannya dibreidel. Parada Harahap menganggur. Pada tahun 1919 Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempuan dan mendirikan surat kabar dengan nama yang vulgar: Sinar Merdeka (koran yang menggunakan kata ‘merdeka’ hanya ada di Padang Sidempuan; di Medan masih disamarkan dengan ‘mardika). Selama dua tahun di kota kelahirannya itu, belasan kali dimejahijaukan karena delik pers dan beberapa kali masuk bui (penjara dimana kelak Adam Malik juga menjadi penghuninya).  

Pada kompetisi tahun 1916 WJVB melakukan rapat umum dan pemilihan pengurus baru. Satu keputusan dalam rapat itu klub militer Sparta ikut lagi kompetisi dan ditempatkan di Divisi-2. Klub-klub yang berkompetisi adalah sebagai berikut: Divisi-1: Oliveio, Hercules, VIOS dan BVC; Divisi-2: VIOS II, Oliveo II, Hercules II, Sparta, SVBB, CRC; Divisi-3: CRC II, Oliveo III, VIOS III, Hercules III dan SVBB II (Bataviaasch nieuwsblad, 08-04-1916). Pada kompetisi 1917, tidak ada yang mengalami perubahan, tetap tiga divisi. Yang terjadi adalah suatu demonstrasi yang dilakukan oleh kalangan pers terhadap sepakbola. Para wartawan tidak hadir di lapangan karena di dalam kompetisi terdapat ketidak beresan. Media sudah menulis kritik tetapi tidak ditanggapi, ketidakhadiran pers di lapangan adalah suatu demonstrasi (Bataviaasch nieuwsblad, 12-03-1917). Tim yang dibentuk WJVB ke Semarang sudah terbentuk (Bataviaasch nieuwsblad, 17-04-1917). Dilakukan rapat umum biasa WJVB. Satu kuputusan yang penting adalah untuk membentuk tim independen tetapi masih dibawah naungan dewan yang salah satu tugasnya adalah untuk merevisi berbagai peraturan yang ada (Bataviaasch nieuwsblad, 21-05-1917).
Lapangan Aloon-Aloon disulap jadi stadion di Bandung, 1918
Kejuaraan antar kota se-Jawa berikutnya diselenggarakan di Surabaya (1916) lalu di Semarang lagi (1917). Pada tahun 1918 tempat penyelenggaraan di Bandung. Pusat pertandingan di Bandung ditempatkan di lapangan Aloon-Aloon. Dalam pagelaran sepakbola tertinggi di Jawa ini, panitia menyulap lapangan alun-alun bagaikan stadion: lapangan dipagar dengan bilik dan tiket masuk  berbayar. Meski begitu penonton tetap ramai. Inilah kali pertama perhelatan kejuaraan antar kota dikutip harga tiket masuk. Bobotoh seakan dibatasi untuk menonton dengan penerapan komersialisasi sepakbola.
Kompetisi akhir tahun 1917 dan awal tahun 1918 juga tidak terjadi perubahan, kecuali masuknya HVV dan VVVA di Divisi-3 dan Juliana dan UDI di Divisi-2 serta SVVB sudah naik ke Divisi-1. Hal yang perlu dicatat bahwa editorial Bataviaasch nieuwsblad mengomentari keberadaan divisi-3 yang tidak efektif dimana beberapa pertandingan tidak berjalan normal dari Sembilan serikat yang berada di bawah WJVB. Akibatnya pertandingan dua liga dalam setahun (masing-masing lima bulan) tidak selesai pada waktunya. Juga mengomentari kurangnya lahan yang tersedia untuk lapangan sepakbola, taman Deca yang masih baru belum memungkinkan (Bataviaasch nieuwsblad, 10-06-1918). Memang sulit mengelola kompetisi dengan situasi dan kondisi yang banyak kendalanya.


Pada saat Parada Harahap merantau ke Deli (1915), di tahun yang sama, seorang anak Padang Sidempuan berangkat dari Buitenzorg (Bogor) untuk studi kedokteran hewan ke Belanda (di Utrecht). Namanya Sorip Tagor. Tahun sebelumnya (1914) Sutan Casajangan, pendiri Indisch Vereeniging pulang ke tanah air dan mengajar di Buitenzorg. Sorip Tagor dan Sutan Casajangan seakan tukar tempat. Sorip Tagor Harahap adalah asisten dosen sejak 1913 di Inlandschen Veeartsen School (sekolah kedokteran hewan bagi pribumi) yang setingkat dengan STOVIA. Sorip Tagor Harahap (kakek Inez dan Risty Tagor) melanjutkan studi untuk mendapatkan sarjana penuh bidang kedokteran hewan (setara Eropa). Baru setahun kuliah, Sorip Tagor terbuka matanya, melihat banyak yang tidak seharusnya. Indisch Vereeniging (yang menjadi organisasi nasional) sepeninggal Sutan Casajangan semakin kendor berjuang, sementara Boedi Oetomo semakin asik dengan caranya sendiri (mementingkan diri sendiri dengan sokongan pemerintah). Jong Java dibentuk di berbagai kota di Jawa (tengah dan timur). Indisch Vereeniging pecah kongsi. Sorip Tagor lalu mempelopori dibentuknya Sumatranen Bond (sebagai respon terhadap Jong Java). Pada tanggal 1 Januari 1917, Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Batavia memberi dukungan, lalu didirikan Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Sumatra. Sumatra Bond yang disebut Jong Sumatra didirikan pada tanggal 8 Desember 1917. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918). Sejak itu bermunculan organisasi-organisasi pemuda: Jong Celebes, Kaum Betawi, Pasundan, Jong Ambon, Minahasa dan lainnya. Pemerintah colonial mulai tersenyum, karena seperti itu yang diinginkannya (politik devide et impera). Sorip Tagor mungkin sangat marah, karena Medan Perdamaian (yang didirikan Dja Endar Moeda) dan Indisch Vereeniging (yang didirikan Sutan Casajangan) terus digembosi sampai tidak berdaya.

Di lapangan sepakbola juga setali tiga uang. Politik rasial oleh Belanda terus dikembangkan oleh orang-orang Belanda (pemerintah atau swasta). Sepakbola pribumi di Medan dilarang bermain di lapangan tengah kota (dipinggirkan), lapangan Kongsplein di Batavia hanya untuk orang ETI, penonton sepakbola di Bandung (bobotoh) dihalangi dengan penerapan harga tiket masuk dan pajak. Akibatnya bond pribumi dibentuk di Batavia (di kota kota lain belum berani).Baru beberapa tahun kemudian menyusul di Medan.


Kompetisi sepakbola di Jakarta pada awal tahun 1919 dimulai lagi. Kini kompetisi diperluas menjadi empat divisi (Bataviaasch nieuwsblad, 11-02-1919). Inilah kompetisi di Jakarta dengan level (divisi) terbanyak selama ini, dan merupakan terbanyak di Nederlandsch Indie. Kompetisi berikutnya, tetap empat divisi. Klub Mars ikut lagi ditempatkan di Divisi-1. Klub baru Excelsior ditempatkan di tiga divisi terbawah (ikut tiga divisi), Pada kompetisi ini Deca Park sudah digunakan (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-11-1919). Dengan demikian, jumlah lapangan bertambah menjadi: Koningsplein (kini lapangan Monas), Planten en Deterren (kebun binatang Cikini), Waterlooplein, VIOS Terrein atau VIOS-veld di Mesteer Cornelis (kini Jatinegara) dan Deca Park (sekitar istana), Laan Raden Saleh). Manggaray.

Perserikatan sepakbola pribumi ini sudah dibentuk beberapa tahun yang lalu. Hingga kini masih eksis, namun terus terpinggirkan dari pers Eropa/Belanda, karena memang perserikatan WJVB juga memiliki jumlah klub yang banyak dan bahkan kini sudah empat divisi. Akibatnya, perkembangan sepakbola ETI di Jakarta juga menyebabkan kabar berita sepakbola pribumi tenggelam. Boleh jadi pemberitaan sepakbola pribumi terdapat dalam media-media pribumi, karena media pribumi (surat kabar dan majalah) juga terus berkembang.

Kini (1922) Parada Harahap sudah berada di Batavia. Pemilik dan editor surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan mungkin kesepian sendirian di kampongnya. Teman-teman sebayanya sudah banyak di Batavia dan Buitenzorg plus adik-adik sebanyanya yang kuliah di STOVIA, Rechtschool, Kweekschool, Veterineire School, Landbouw School. Ibukota Residentie Tapanoeli di Sibolga terlalu kecil buat kapasitas dirinya yang terbilang revolusioner. Parada Harahap di Sibolga telah beberapa tahun aktif di organisasi pergerakan pemuda, Tapanoeli Bond (bagian dari Sumatranen Bond). Parada Harahap sudah banyak mendapat asistensi dari seniornya Dr. Abdul Karim Harahap (yang dulu sekelas dengan Dr. Tjipto, sama-sama lulus 1902). Batavia butuh tokoh revolusioner untuk mengubah keadaan, Dengan bismillah, Parada Harahap, dari Tanah Batak hijrah ke Batavia.

Sementara itu, di Medan (anak Jakarta kelahiran Padang Sidempuan: maksudnya dulu pernah kuliah di STOVIA), Radjamin Nasution sudah berada di Medan (seorang dokter pribumi yang berkarir di pabean atau bea dan cukai). Setelah berpindah-pindah tempat mulai dari Batavia, Pangkalan Boen (1913), Perbaungan (1914), Cilacap (1916), Semarang (Januari 1917) dan kembali ke Batavia (Desember, 1917: pada saat Sumatra Bond dibentuk di Jakarta), Medan, Surabaya, Sampit (awal 1921), kembali lagi ke Surabaya, enam bulan kemudian dipindahkan ke Belawan, awal 1922 di Muara Sabak, Djambi dan kembali lagi ke Medan. Ini seakan Radjamin Nasution tukar tempat dengan Parada Harahap.

Di Batavia, sebagai new comer, Parada Harahap memulai karir dari bawah, menjadi wartawan, meski sudah menjadi editor di Medan (1918) dan di Padang Sidempuan (sejak 1919). Tentu bukan itu tujuan sesungguhnya, Parada Harahap ingin lebih dari sekadar wartawan biasa. Parada Harahap menemui Sutan Casajangan yang menjadi Direktur Normaal School di Mesteer Cornelis. Mungkin Sutan Casajangan meminta Parada Harahap untuk berdiskusi dengan Dr. Abdul Rivai (yang sudah kembali ke tanah air dari Belanda).

Sebagaimana diketahui, Dr. Abdul Rivai dari Bintang Hindia yang mensponsori diselenggarakan sepakbola pribumi di Jakarta ketika sepakbola pribumi mulai dipinggirkan ketika sepakbola Eropa/Belanda tengah berkembang pesat.

Tahun 1923, surat kabar Bintang Hindia terbit di Jakarta (mengambil nama majalah Bintang Hindia yang terbit di Belanda dimana Dr. Abdul Rivai dan Sutan Casajangan pernah menjadi editor): Pemimpin perusahaan adalah Dr. Abdul Rivai; Editor adalah Parada Harahap. Dua insan pers yang kenyang pengalaman. Surat kabar Bintang Hindia langsung meroket, tiras dari bulan ke bulan naik terus bahkan dalam tempo singkat telah menggeser positioning surat kabar Pembrita Betawi (investasi Eropa/Belanda). Parada Harahap bersama adiknya Harun Harahap mendirikan kantor berita Alpena (kantor berita pribumi pertama) dan merekrut WR Supratman dari Bandung untuk menjadi wartawan dan kemudian menjadi editor. Selama permulaan kehadiran WR Supratman di Jakarta tinggal di rumah Parada Harahap. Kini surat kabar yang memberitakan perkembangan sepakbola pribumi sudah ada. Kebetulan sang editor adalah ‘gibol’ dari Padang Sidempuan, Parada Harahap.

Radjamin Nasution, Ketua Deli Voetbal Bond Medan, 1923
Sementara itu di Medan, organisasi sepakbola pribumi didirikan oleh Radjamin Nasution. Radjamin Nasution adalah salah satu pemain STOVIA VC ketika melakukan lawatan ke Medan pada tahu 1909. STOVIA melakukan lawatan ke Medan atas undangan Tapanoeli Voetbal Club ketika STOVIA VC keluar dari kompetisi sepakbola Jakarta.

Koran De Sumatra Post terbitan 13-02-1923 memberitakan Radjamin membentuk Asosiasi Sepakbola Deli (Deli Voetbal Bond). Pada saat itu sepakbola Medan memang sejak dari awal telah terjadi pembauran antara Eropa/Belanda, Tionghoa dan pribumi (berbeda dengan di Batavia tidak pernah terjadi, karenanya lebih awal mendirikan perserikatan klub-klub pribumi). Situasi dan kondisi di Medan mulai meruncing. Situasi politik berimbas di sepakbola Medan. Ini bermula dari.

Parada Harahap yang masih berumur 26 tahun, di Batavia bergabung dengan organisasi pemuda Bataksch Bond. Parada Harahap lalu mempelopori didirikannya klub sepakbola Bataksch Voetbal Club dan bergabung dengan kompetisi sepakbola pribumi di Batavia. Parada Harahap adalah pemain yang merangkap sebagai ketua.

Bataksch Bond didirikan pada tahun 1919. Ketika itu Parada Harahap sedang pulang kampong (dari Medan) dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka. Pendiri Bataksch Bond adalah Abdoel Rasjid. Selama kuliah di STOVIA, Abdul Rasjid melihat adanya sedikit distorsi di Sumatra Bond. Lalu Abdoel Rasjid mempelopori didirikannya Bataksch Bond (mirip ide Sorip Tagor), tetapi Abdoel Rasjid tetap berafiliasi dengan Sumatra Bond (mungkin untuk menghormati seniornya Sorip Tagor). Alasan lain didirikannya Bataksch Bond oleh Rasjid agar lebih optimal mengakomodir anak-anak Batak lainnya karena ditengarai ada sedikit resistensi dari beberapa anggota Sumatra Bond (Islam) terhadap anak-anak Batak lainnya (yang beragama Kristen).

Portofolio Parada Harahap naik terus. Tiras korannya meningkat pesat. Kantor berita Alpena yang didirikannya juga sudah mulai mendatangkan hasil. Parada Harahap tidak hanya ketua Bataksch Bond dan Pembina Bataksch Voetbal Club tetapi juga pengurus inti dari Sumatranen Bond. Oleh karenanya, pergaulannya menjadi sangat luas. Parada Harahap mulai terlibat dalam politik nasional.  

Bataviaasch nieuwsblad, 13-01-1925 (De Indische Associatie Vereeniging): ‘Kemarin malam di Oost-Java Restaurant een diadakan pertemuan yang mengumpulkan asosiasi-asosiasi di Nederlandsch Indie. Di dalam pertemuan ini dibicarakan AD/ART program dan struktur kepengerusan. Program meliputi kegiatan politik yang sehat, pengembangan pendidikan, pelatihan kejuruan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar. Disamping itu untuk mempromosikan tingkat kesehatan, kesejahteraan, hubungan keuangan Negara dengan daerah dan lainnya. Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo, secretaris Tb van Nitterlk, penningmeester, Mobamad Djamil, commissarissen: Parada Harahap, Raden Goenawan, Oey Kim Koel, JK Panggabean, Pb. J.Krancber en A. Cbatib’.

Gerakan politik nasional ini mendapat serangan dari editor Surabaija Handelsblad (pimpinan K. Wijbrand). Parada Harahap merespon provokasi dari Surabaya tersebut dan menulis tanggapan di Java Bode yang terbit di Semarang (surat kabar berbahasa Belanda, milik temannya dari Tionghoa) (lihat De Indische courant, 17-09-1925). Untuk memperkuat wartawan pribumi Parada Harahap mempelopori didirikannya organisasi wartawan pribumi. De Sumatra post, 29-09-1925 melaporkan: ‘Atas penangkapan editor Warna Warta bernama Keng Po, di Batavia, didirikan Asosiasi wartawan pribumi. Pertemuan diadakan di gedung kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di Weltevreden.

Kini di Batavia, tidak hanya organisasi sepakbola pribumi yang ada, tetapi juga sudah terbentuk organisasi para wartawan. Besar kemungkinan yang mempelopori persatuan wartawan ini adalah Parada Harahap mengingat tahun 1918 Parada Harahap juga mempelopori didirikannya sarikat wartawan di Medan. Ini berarti: sarikat sepakbola pribumi lebih dulu didirikan di Batavia daripada di Medan (1923 oleh Radjamin Nasution), sementara sarikat wartawan lebih dulu didirikan di Medan daripada di Batavia.

Sebagai pendiri klub sepakbola Bataksch Voetbal Club, Parada Harahap tidak bermain untuk pertandingan karena kalah kualitas dibanding yang lebih muda-muda. Akan tetapi dalam latihan, Parada Harahap selalu ikut bermain.

De Sumatra post, 29-09-1925: ‘Bataksche Voetbal Club di Batavia dalam pertandingan hari Sabtu di lapangan Decapark dalam perebutan piala (beker) bertanding melawan tim lainnya, yang dipimpin oleh Parada Harahap, seorang wartawan terkenal dari Batak’.

Parada Harahap adalah pribadi yang lengkap: masih muda, pemberani (tidak ada takutnya terhadap pemerintah dan pers Belanda), tentu saja cerdas. Namun demikian, pers Belanda tetap mengakui keunggulan Parada Harahap untuk urusan pers. De Indische courant, 23-12-1925 ) melaporkan Parada Harahap dianggap sebagai Wartawan Terbaik dari Europeescbe Pers.  Parada Harahap sebagai pengurus Sumatranen Bond dan juga wartawan berinisiatif melakukan perjalanan jurnalistik ke seluruh Sumatra. Laporannya ini ditulisnya sebagai buku dengan judul ‘Dari Pantai ke Pantai’ (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-07-1926). Parada Harahap juga menerbitkan surat kabar baru namanya ‘Bintang Timur” (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-08-1926). Dengan demikian secara bilangan, Parada Harahap sudah memiliki tiga media: surat kabar Bintang Hindia, kantor berita Alpena dan Koran Bintang Timur.
  
Parada Harahap tidak memiliki ‘hutang’ terhadap Belanda. Parada Harahap sangat antusias terhadap persatuan dan kesatuan. Musuhnya hanya satu: Imperialis (Belanda) dan kapitalis (Eropa/Belnada).

De Sumatra post, 24-02-1919: ‘Parada Harahap dari Benih Mardeka berpendapat perlunya kerjasama yang lebih antara kelompok penduduk pribumi di Pantai Timur Sumatera. Persaingan antara Mandhelinger dan Minangkabauer harus dihilangkan, orang harus merasa dirinya pribumi, rasa memiliki, satu untuk semua dan semua untuk satu, dan bukan seperti yang terjadi sekarang, semua untuk saya. Penulis berharap akan membawa hal besar ini ke pertemuan SI, untuk ditemukan perdamaian antara kelompok etnis pribumi yang berbeda’.

De Sumatra post, 03-03-1919: ‘Untuk mencapai penciptaan serikat buruh Sumatraanschen kemarin pagi mengadakan pertemuan di bioscop Oranje. Perserta yang hadir sangat tinggi: sekitar 400 orang. Pembicara dalam pertemuan itu adalah Mangoenatmodjo, Parada Harahap, presiden dari estate-kierkenbond, M. Soendoro, editor De Crani, Hie Foek Tjoy, mantan editor Andalas’.

De Sumatra post, 04-04-1919 (Een jounalistén bond): ‘Asosiasi wartawan Inlandsch Chinesche didirikan. Pengurus dewan sebagai berikut: Presiden, Mohamad Joenoes; Sekretaris, Parada Harahap. Komisaris, satu diantaranya Mohamad Joenoes di Siantar. Sarikat telah memiliki tidak kurang dari 40 anggota. Asosiasi ini bukan untuk wartawan Belanda, untuk tujuan bersama, melainkan tujuan sendiri dan bisa meluas ke rekan-rekan mereka sesama oriental’.

Dengan portofolio yang terus meningkat mulai memikirkan persatuan dan kesatuan bangsa yang selama ini terkotak-kotak (hasil perbuatan pemerintah Belanda). Untuk tujuan visi dan misi perstuan dan kesatuan itu. tugas pertamanya (ke dalam) sebagai pengurus Sumatranen Bond adalah adalah merevitalisasi organisasi (lihat De Indische courant, 10-02-1927) dan tugas berikutnya (ke luar) adalah mempelopori didirikannya Himpunan organisasi-organisasi. Lantas Parada Harahap mengajak M. Husni Thamrin (dari Kaoem Betawi).


Mengapa nama M. Husni Thamrin yang ditokohkan Parada Harahap untuk menyatukan organisasi-organisasi di Batavia? Mudah menebaknya. Pada waktu itu (1927) hanya ada dua macan dari anggota Volksraad (kini DPR) di Pedjambon (kini di Senayan), yakni Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Sumatra Timur) dan M. Husni Thamrin (dari dapil Batavia). M. Husni Thamrin adalah macan dari Kemajoran dan Mangaradja Soangkoepon adalah macan dari Padang Sidempuan. Dari dapil Noord Sumatra (Tapanoeli en Atjeh), Dr. Alimoesa Harahap agak kalem (kurang galak) lebih stylist. Mangardja Soangkoepon adalah alumni Belanda (berangkat dari Medan ke Belanda, 1910) yang juga abang dari Dr. Abdul Rasjid Siregar (alumni STOVIA pendiri Bataksch Bond), Dr. Alimoesa Harahap, kelahiran Padang Sidempuan adalah pemain sepakbola Siantar Voetbal Bond yang setelah lulus sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg (1912) ditempatkan di Pematang Siantar  yang merupakan adik kelas Sorip Tagor (pendiri Sumatranen Bond di Belanda). Kelak, Alimoesa Harahap adalah mentor Adam Malik di Pematang Siantar. Dalam hal tokoh tadi, tampaknya Parada Harahap mendapat nasehat dari Mr. Mangaradja Soangkoepon dan Dr. Alimoesa Harahap. Pada periode berikutnya di Volksraad Dr. Alimoesa Harahap digantikan oleh Dr. Rasjid Siregar dan Mr. Mangaradja Soangkoepon tetap terpilih. Pada puncak politik Parada Harahap nanti (1930an) dikawal dua macan gardan dua (abang-adik) dari Padang Sidempuan. Juga masih ada satu lagi yang mengawal: Sutan Casajangan yang kini menjadi Direktur Normaal School di Mesteer Cornelis (pendiri perhimpunan pelajar Indonesia di Belanda 1908). Tentu saja masih ada Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia yang baru pulang dari Belanda meraih gelar doktor (PhD) dan Mr. Radja Enda Boemi, PhD yang tahun 1925 meraih gelar doktor di Leiden. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi kini (sejak 1927) menjadi ketua pengadilan di Buitenzorg (pada tahun 1932, dari tujuh orang pertama yang memiliki gelar doktor, tiga diantaranya dari Padang Sidempuan, termasuk Dr (dokter). Ida Loemongga Nasution, PhD, perempuan pertama Indonesia bergelar PhD)
 
Lalu dibentuklah supra organisasi yang disebut Inheemsche Vereenigingen (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1927). Parada Harahap yang menjadi pendiri dan pengurus Inheemsche Vereenigingen lalu disorot kembali oleh pers Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-11-1927).

Parada Harahap tidak mau berpolemik di media lagi seperti tahun 1925, ketika dirinya berseteru dengan Karel Wijbrand.  Meski Paeada Harahap disorot pers Belanda atas pendirian Inheemsche Vereenigingen, tidak mau menanggapi, Parada Harahap tampaknya lebih arif dan bijaksana, karena polemik hanya memperkeruh keadaan, Parada Harahap punya agenda sendiri (persatuan dan kesatuan). Parada Harahap ingin konsentrasi urusan ‘dalam negeri’ daripada urusan ‘luar negeri’. Parada Harahap kini adalah pengurus Inheemsche Vereenigingen atau PPPKI (Permofakatan Persatoen Perhimpunan Kemasyarakat Indonesia).

Pada bulan Agustus 1928 dilakukan kongres PPPKI di Gang Kenari (kini Jalan Kenari). Yang hadir dalam pembentukan itu adalah pimpinan dari Boedi Oetomo, Jong Ambon, Pasundan, Kaum Betawi, Sumatra Bond, perwakilan Sulawesi Utara dan sebagainya. Parada Harahap sendiri waktu itu masih berumur 30 tahun (terbilang masih muda). Dalam kongres yang diadakan di kantor PPPKI di Gang Kenari tersebut, Parada Harahap menjadi ketua perwakilan Sumatra (lihat De Indische courant, 01-09-1928). Kongres ini selain membicarakan organisasi dan hubungan antar organisasi juga membicarakan tentang diadakannya Kongres Pemuda pada bulan Oktober. Pelindung panitia Kongres Pemuda adalah PPPKI. Panitia sudah dibentuk sebagai ketua adalah Soegondo dan bendahara adalah Amir Sjarifoedin (keduanya adalah anak Medan, sama-sama kelahiran Medan).

Amir Sjarifoedin adalah mahasiswa Rechtschool di Batavia, sedangkan Soegondo adalah mahasiswa STOVIA. Amir Sjarifoedin menempuh pendidikan SMA di negeri Belanda. Setelah tamat melanjutkan pendidikan tinggi (1926). Namun baru naik tingkat dua (1927), Amir Sjarifoedin pulang kampong, karena ayahnya Djamin Harahap gelar Baginda Soripada, seorang jaksa di Sibolga ditahan Belanda karena dituduh penyebab beberapa tahanan di Sibolga melarikan diri (setelah disidang di Padang, tidak terbukti dan dibebaskan, malahan kemudian jabatannya ditingkatkan). Akan tetapi Amir Sjarifoedin sudah di tanah air (dan enggan kembali ke Belanda) dan masuk Rechtschool di Batavia.

Untuk mensosialisasikan dan agar PPPKI lebih tersosialisasi, Parada Harahap memperluas cakupan bisnis medianya. Sebagaimana diberitakan De Indische courant, 13-09-1928, Parada Harahap telah membentuk Bintang Timoer edisi daerah di Semarang untuk Jawa Tengah dan di Surabaya untuk Jawa Timur.

Kini, surat kabar Bintang Timoer telah berkembang jauh. Tidak hanya tiras yang meningkat, tetapi cakupannnya juga meluas. Surat kabar Bintang Timoer yang selama ini sirkulasinya di West Java (Batavia, Buitenzorg, Karawang, Tjiandjoer, Bandoeng dan Banten) dengan adanya edisi Midden Java dan Oost Java, maka Bintang Timoer adalah satu-satunya koran yang berada pada papan atas (jauh mengalahkan koran-koran Belanda macam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie dan Bataviaasch nieuwsblad di Batavia, De Preanger-bode di Bandung, Java Bode di Semarang, Soerabaja Handelsblad di Surabaya dan Sumatra Post di Medan). Surat kabar Bintang Timoer, tidak hanya menyuarakan sepakbola pribumi, pergerakan pemuda, dinamika organisasi-organisasi, tetapi juga menjadi motor dalam perlawanan terhadap imperialism (surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan telah menjelma di Batavia sebagai Bintang Timoer).
 
Bersambung:





*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar