Laman

Senin, 02 Mei 2016

Sejarah Persija Jakarta [10]: Radjamin Nasution ‘Bentrok’ Lawan Tim Sepakbola Belanda di Surabaya; Parada Harahap, The King of Java Press Memimpin Orang Indonesia Pertama ke Jepang (1933)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Radjamin Nasution, seorang ‘gibol’ sudah menjadi tokoh penting di Surabaya. Tokoh penting di Batavia, yang juga ‘gibol’ adalah Parada Harahap. Salah satu ‘gibol’ yang menjadi tokoh penting adalah Abdullah Lubis di Medan. Poros Medan, Batavia dan Surabaya adalah poros sepakbola Indonesia pada masa itu. Di tiga ‘kota perjuangan’ untuk merebut kemerdekaan itu sudah terdapat tiga anak Padang Sidempuan yang memiliki sifat revolusioner yang masing-masing telah memiliki portofolio yang cukup baik.

Pada tahun 1932. Tiga tokoh mahasiswa yang digadang-gadang oleh Parada Harahap masih berada di kampus masing-masing: Soekarno di Bandung, Amir Sjarifoedin di Batavia dan M. Hatta di Belanda. Kebetulan ketiganya tidak terlalu suka sepakbola, kesukaan mereka bertiga lebih pada seni. Sedangkan tiga ‘gibol’ di tiga kota itu tetap bermain sepakbola. Abdullah Lubis, pemiliki koran Pewarta Deli  adalah anggota dewan kota (gementeeraad) Kota Medan, Radjamin Nasution, seorang dokter dan pembina sarikat buruh pelabuhan  juga menjadi anggota gementeeraad di Kota Surabaya. Keduanya adalah macan di dewan kota masing-masing. Parada Harahap sendiri adalah sekretaris PPPKI (ketuanya M. Husni Thamrin, anggota dewan pusat, Volksraad), seorang pemilik tujuh surat kabar di Batavia.

Radjamin Nasution dan SVB (De I.c, 12-05-1932
Di Surabaya, tengah berlangsung pertandingan sepakbola dalam libur paskah. Pertandingan ini bermuatan politik kerjasama yang diselenggarakan secara segitiga: NIVB (Nederlandsch-Indischen Voetbal Bond / Belanda), Tionghoa dan SVB (Soerabaiaschen Voetbal Bond / pribumi). De Indische courant, 12-05-1932 melaporkan bahwa pertandingan sempat bentrok antara tim Belanda dan tim pribumi karena kecurangan. Koran Sin Tit Po dan Pewarta mengomentari bahwa pertandingan berikutnya tidak perlu dilanjutkan karena tidak adil. Bahkan editor Sin Tit Po mendatangi tim Tionghoa meminta untuk tidak melangsungkan pertandingan antara Tionghoa vs SVB karena rawan kerusuhan. Para pemain yang tergabung dalam tim pribumi (SVB) antara lain Askaboel, Soebroto, Soewono, Ngion, Soemarto dan Radjamin (Nasution) dari dewan kota. Akibat adanya kerusuhan sebelumnya, program tim Tionghoa vs tim angkatan laut (yang terdiri dari) orang-orang Indonesia terpaksa dibatalkan.

Kapal ‘Panama Maru’ bersandar di Surabaya. Parada Harahap disambut oleh Radjamin Nasution. Parada Harahap cukup lama di Surabaya, seminggu lamanya, tetapi tidak diketahui apa yang dibicarakannya Parada Harahap dan Radjamin Nasution dan apa aktivitas kedua tokoh ini selama di Surabaya dengan tokoh-tokoh di Surabaya. Rombongan Parada Harahap dkk berangkat dari Tandjong Priok, Batavia dengan kapal ‘Nagoya Maru’ dan tiba di Kobe tanggal 4 Desember 1933. Pulang kembali ke tanah air, tiba di Tandjong Perak, Soerabaija hari Sabtu pagi, 13 Januari 1934.

Di Surabaya, tentu saja Parada Harahap berkesempatan bertemu dengan kawan-kawan yang lain asal Padang Sidempuan. Radjamin Nasution besar kemungkinan mempertemukan Parada Harahap dengan Dr. Soetomo. Tentu saja para pemuda juga terlibat dalam berbagai aktivitas di Surabaya. Muhamad Hatta yang juga ikut rombongan dari Jepang, Soekarno yang tengah berlibur di kampong halamannya di Surabaya dan sudah barang tentu Amir Sjarifoedin datang dari Batavia naik kereta untuk menyambut uda (paman) Parada Harahap yang pulang dari Jepang.

Amir Sjarifoedin datang dengan rombongan yang di dalamnya termasuk istri dan anak Parada Harahap, adik-adik Parada Harahap yakni: Harun Harahap (pengusaha) dan Panangian Harahap (penilik sekolah di Bandung), Tentu saja adik Amir Sjarifoedin bernama Arifin Harahap yang tengah kuliah di Technisch School di Bandung ikut karena tengah libur kuliah (kelak menjadi Menteri Industri). Ini juga adalah kesempatan anak-anak Parada Harahap dan Radjamin  Nasution saling bersua kembali (kelak Sahrrareza br. Nasution 1956 dan Aida Dalkit br. Harahap 1957 lulus dari Rechschool di Jakarta, tempat sekolahnya Amir Sjarifoedin). 

Mengapa begitu lama singgah di Surabaya? Jawabnya begini: Parada Harahap dan kawan-kawan yang baru pulang dari Jepang perlu waktu untuk menerjemahkan situasi dan kondisi terkini sebelum memasuki Batavia. Boleh jadi karena, keinginan Radjamin Nasution yang sudah lama tidak bersua dengan Parada Harahap. Tentu saja, karena alasan karena Surabaya adalah pangkalan kapal-kapal Jepang di Indonesia. Jika sewaktu-waktu sambil menunggu waktu terjadi pengejaran dan penangkapan terhadap rombongan akan mudah segera berlindung ke dalam kapal-kapal Jepang yang banyak bersadar di pelabuhan Surabaya. Pelabuhan ini sangat aman bagi rombongan: Radjamin Nasution adalah mantan kepala bea dan cukai Surabaya, mantan penasehat organisasi buruh di pelabuhan Surabaya.    

Setelah kepulangan Parada Harahap dan kawan-kawan dari Jepang, suhu politik makin memanas di semua sektor, termasuk di lapangan sepakbola seperti di Surabaya. Radjamin Nasution, mantan pemain sepakbola STOVIA (1907), meski tidak muda lagi, dalam pertandingan sepakbola di Surabaya masih bisa menggiring bola. Radjamin Nasution pesebakbola sejati: bermain selama kuliah, pendiri perserikatan sepakbola pribumi di Medan dan kini di Surabaya, selain anggota dewan kota juga masih terlibat dalam membina sepakbola pribumi. Sepakbola, mahasiswa, politik tidak terpisahkan saat itu.

Tunggu deskripsi lebih lanjut

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar