Laman

Senin, 02 Mei 2016

Sejarah Persija Jakarta [14]: Sepakbola Pasca Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia; Radjamin Nasution Masih Bermain Sepakbola, Soekarno Berseteru Mochtar Lubis, Parada Harahap Abstain

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Persija Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Anak-anak Padang Sidempuan telah memainkan peran yang penting dalam sejarah sepakbola di Jakarta dan sejarah Persija Jakarta. Tentu saja anak-anak Padang Sidempuan juga telah berperan penting di Medan dan Surabaya. Tiga kota ini menjadi barometer sepakbola sejak mulai dikenalnya sepakbola di Indonesia hingga ini hari. Di ketiga kota ini, sepakbola telah memberi warna dalam perjalanan anak-anak bangsa Indonesia mulai dari memunculkan gagasan, persiapan, perebutan dan fase mengisinya. Dua tokoh penting sepakbola dalam hal ini adalah Radjamin Nasution dan Parada Harahap. Kerja keras keduanya dan patriotisme yang ditunjukkan (dengan segala hormat) belum ada yang mengalahkannya hingga ini hari. Keduanya bekerja di lapangan sepakbola tanpa pamrih.

Tokoh sepakbola: Parada (Jakarta), Radjamin (Surabaya), Abdul Hakim (Medan)
Sepakbola bukanlah alat perjuangan. Sepakbola adalah suatu bidang (sektor) yang mana diatasnya berbagai aktivitas perjuangan untuk memerdekakan penduduk dilakukan. Sepakbola adalah kegiatan permaian yang juga memberi hiburan, tetapi dinatara para pelaku sepakbola ternyata memiliki paham yang berbeda dan tujuan yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itulah yang menyebabkan spirit sepakbola tercemari. Kebetulan dalam hal ini, orang-orang Eropa/Belanda yang menghalangi dan bahkan mengintimidasi kehadiran sepakbola yang dimainkan oleh penduduk pribumi. Di sisi lain, diantara para pemain pribumi itu menyadari hakikat yang sebenarnya lalu melakukan perjuangan untuk melawan atau merebut dengan berbagai situasi dan kondisi dengan cara tertentu. Karenanya, sepakbola juga merupakan lapangan untuk melawan dan merebut yang dicita-citakan: kemerdekaan, keadilan, persatuan dan kesatuan.

Pasca kedaulatan Republik Indonesia (setelah Desember 1949), sepakbola Indonesia mulai bergairah kembali, dilakukan pengaturan dan berbagai kompetisi mulai berjalan (pada basis perserikatan). PSSI yang katanya dibentuk tanggal 19 April 1930 di Jogjakarta, pada tahun 1950 dikonsolidasikan kembali. Tiba saatnya semua orang berbicara sesukanya tentang sepakbola. Sepakbola Indonesia kemudian dilanjutkan, melanjutkan fondasi sepakbola yang sudah mulai terbentuk tahun 1907 ketika STOVIA Voetbal Club berkunjung ke Medan untuk melakukan pertandingan persahabatan dengan Tapanoeli Voetbal Club.

Radjamin Nasution Masih Bermain Sepakbola pada Usia Tua

Pada masa transisi ini, sisa-sisa kehidupan sepakbola Indonesia di masa sebelumnya (era Belanda, pendudukan Jepang dan masa agresi militer Belanda) masih terlihat. Para pendahulu (pionir), seperti Radjamin Nasution dan Parada Harahap mulai pension dan istirahat. Perjuangan sudah selesai, kemerdekaan sudah direbut dan pengakuan kedaulatan RI sudah ditegakkan. Tinggal bagaimana untuk melanjutkannya. Di Surabaya, pembinaan sepakbola diteruskan anak Radjamin Nasution yakni Letkol Dr. Irsan Radjamin Nasution.

Letkol Irsan Radjamin Nasution adalah pahlawan perang Surabaya (bersama ayahnya: Radjamin Nasution, sebagai walikota). Letkol Irsan Radjamin Nasution kemudian menjadi Kepala Staf bidang Kesehatan di Kodam Brawijaya. Masih dalam perang Surabaya ada juga Letkol MO Parlindungan, insiyur kimia ahli bom, alumni sekolah teknik Belanda/Swiss/Jerman yang kemudian ditarik ke Mabes TNI dan tahun 1952 ditugaskan menjadi Kepala Perusahaan Mesiu dan Senjata di Bandung (kini menjadi PINDAD Bandung). AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindungan adalah penulis buku kontroversial: Tuanku Rao. Di Bandung tentu saja ada Kolonel Abdul Haris Nasution yang kemudian menjadi Komandan Kodam Siliwangi (kini digelari Jenderal Besar). Di Yogyakarta ada Kolonel Zulkifli Lubis, alumni AMS Yogyakarta, yang diangkat menjadi Kepala Intelijen RI yang pertama. Di Lampung ada Letkol Gele Harun, anak Dr. Harun Harun Al Rasjid Nasution (alumni Docter Djawa School) yang juga saudara Dr. Ida Loemongga, PhD (Doktor perempuan Indonesia pertama). Mr. Gele Harun, alumni Universiteit Leiden menjadi Residen pertama Lampung. Di Pekanbaru masih ada yakni Letkol Kaharuddin Nasution (kelak menjadi Gubernur Sumatra Utara). Last but not least: Kapten Marah Halim Harahap di Medan (yang tahun 1967 ketika berpangkat kolonel  menjadi Gubernur Sumatra Utara, pencetus Turnamen Sepakbola Marah Halim Cup). Lantas siapa yang berada di Padang Sidempuan ketika agresi militer Belanda yang kedua? Dia adalah Letkol Ibrahim Adji yang dibantu Mayor Maraden Panggabean. Ibrahim Adji adalah eks komandan militer dalam pertempuran di Depok (masih berpangkat kapten).

Demikian juga di berbagai kota, sepakbola dimulai lagi seperti di Medan, Bandung, Jakarta dan Surabaya. Tunggu deskripsi lebih lanjut

Selama pendudukan Jepang klub Sahata Medan tidak terdengar kabar beritanya. Baru setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia kabar berita Sahata muncul kembali pada tahun 1950 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 16-08-1950). Klub Sahata Medan adalah klub sepakbola pribumi di Medan yang berjuang dengan caranya sendiri. Tokoh-tokoh di belakang klub ini mulai dari Abdul Hakim Harahap, Dr. Gindo Siregar dan Mr. GB Josua (setelah pasca kedaulatan RI masih di bawah pimpinan GB Josua). Salah satu pemain klub ini yang terkenal adalah Kamariddin Panggabean. Sedangkan di Jakarta adalah Bataksch Voetbal Vereeninging dengan tokoh-tokoh utama Parada Harahap dan JK Panggabean.

Kompetisi perserikatan (bond) di masing-masing kota dilanjutkan ke level yang lebih tinggi: Kejuaraan antar perserikatan di Jakarta. Pada tahun-tahun awal Tim Perserikatan Medan tidak ikut serta (Tim Perserikatan Makassar atau PSM sudah berpartisipasi). Ketidakhadiran Tim Medan boleh jadi masih kelelahan dalam berperang dan harus mengurus rumahtangga masing-masing dulu, karena sudah lama meninggalkan si Butet. Sebagaimana diketahui, perang selama agresi militer Belanda, Kota Padang Sidempuan adalah perang yang terlama, baru dihentikan pasca konferensi KMB di Den Haag, jelang tanggal pengakuan kedaulatan RI, Desember 1949).  

Dr. Radjamin Nasution masih bermain sepakbola di usia tua
De vrije pers: ochtendbulletin, 24-04-1952: ‘Surabjase Kantoor Voetbalbond (Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya) menyelenggarakan pertandingan sepakbola antara Tim PAL dan Tim Polisi. Juga antara Tim Kesehatan dan Tim Borsumij. Tim Kesehatan yang juga termasuk Dr. Radjamin (Nasution) berhasil mengalahkan lawan dengan skor 3-2. Pertandingan berjalan sangat bagus dan sporty. Ketika Radjamin ditanyakan, jawabnya: ‘permainan sepakbola masih baik, belum lupa jauh’.

De vrije pers: ochtendbulletin, 25-08-1952: ‘SKVB atau Persatuan Sepakbola Indonesia Surabaya melakukan acara pertandingan sepakbola untuk merayakan ulang tahun ke-25 yang sangat meriah. Para pengurus selama ini masih bermain sekali dua kali seminggu bermain sepakbola untuk mengatasi kelelahan di belakang meja. Sudah selama seperempat abad sukacita diberikan hiburan di lapangan sepakbola. Untuk penyelenggaran ini disponsori Maclaijn Watson en Factory. Setelah pertandingan, malamnya dilakukan resepsi, pidato dengan disuguhi tarian dan musik. Ketua SKVB, Dr. Irsan Radjamin (Nasution) menceritakan tentang sejarah SKVB dan sekaligus memberikan hadiah kepada pemenang turnamen ulang tahun. Disebutkannya SKVB ini pada dasarnya komplementer antar Vereeniging. The SKVB sendiri didirikan pada tanggal 30 Juni 1927, tetapi dengan berbagai keadaan bond (perserikatan spakbola) ini selama 26 tahun saling diperebutkan. Organisasi ini diklaim Moerdijat dengan menyebut sebagai PSSI, The Boen Hwan menyebut sebagai Persibaya en Tionghoa, Mr Bos menyebut sebagai Aniem. Sebelum Perang Dunia II ada 12 vereeniging sepakbola yang menjadi anggota SKVB. Setelah perang, SKVB dibangun kembali yang saat itu beranggotaka 24 serikat yang berafiliasi dengan total  36 tim. Pcrsibaja dan SKVB bersama merupakan organisasi sepakbola terbesar di Indonesia.

Klub Setia Persija Jakarta sangat setia sebelum Ganyang Malaysia

Klub Setia (kemudian SV Setia) adalah klub orang-orang Malaya, pendukung utama terbentuknya VIJ dan Persija. Kita bisa bayangkan bagaimana orang-orang Nusantara (Sumatra, Malaya, Jawa dan lainnya) begitu harmoni di Jakarta. Tunggu deskripsi lebih lanjut

De nieuwsgier, 08-07-1953: ‘Kemarin pagi, Presiden Soekarno, menerima 25 anggota Asosiasi Sepakbola Melayu (Malays Pootball Association) dan beberapa anggota dewan SV Setia di Istana Merdeka. Para pengunjung mengenakan kostum nasional. Pemimpin kelompok dan Presiden MFA, SA Dawood menyerahkan sarung bersulam benang emas dari jenis yang dipakai di Malaka sebagai kenang-kenangan kepada Presiden dan Mrs. Sukarno. Dalam pidatonya kepada para tamu, kepala negara pertama mengucapkan terima kasih untuk hadiah dan berkata lebih lanjut, untuk menyambut kunjungan ini, sebagian sehubungan dengan hubungan yang ada antara bangsa Indonesia dan Malaka. Setelah bagian resmi dari penerima, presiden masih bersama selama setengah jam dengan tamunya. Presiden Sukarno menerima Tim MFA, mungkin juga karena fakta bahwa kunjungan MFA ini dibuat ke Indonesia untuk merayakan ulang tahun ke-25 SV Setia, yang hingga kini masih eksis dalam olahraga, tapi juga telah melakukan banyak kegiatan sosial. Seperempat abad yang lalu Setia didirikan oleh para pekerja di layanan hewan di Gunung Sahari di ibukota. Beberapa intelektual kunci yang berada di sekitar layanan bergabung ke asosiasi ini. Mereka memimpin dan membawa anggota, selain relaksasi melalui olahraga, juga membaca dan menulis. Untuk orang-orang yang bekerja dalam semangat ini dan berpartisipasi dengan Setia termasuk kepala inspeksi untuk tanah dan lalu lintas air Wahab, komandan batalion Kala Hitam Captain Soenarjo, Kepala percetakan pemerintah PA, van Queljoe, Mr Baraja Basjrah, Alimuddin dan Sujojso. Pada tahun 1930 Setia ikutsertakan miliknya untuk pembentukan Voetbalbond Indonesia Jacatra. Sementara asosiasi telah tumbuh secara substansial dan berlatih bersama sepakbola, juga basket, catur, angkat besi, bulu tangkis. Selain itu juga membawahi divisi kegiatan wanita dan pramuka. Selama pendudukan Jepang Setia harus bergabung membentuk organisasi Tai Ikukai oleh Jepang, dan Setia kemudian dilikuidasi. Setelah didirikannya Pcrsidja, asosiasi ini juga menyertakan klub sepakbolanya’.

Pangkal perkara, munculnya keretakan hubungan Malaya dan Indonesia adalah ketika T. Abdul Rachman (Perdana Menteri Malaya) membuat merdeka Malaya (kemudian menjadi Malaysia) pada tanggal 31 Agustus 1957. Tunggu deskripsi lebih lanjut

Soekarno Berseteru Mochtar Lubis, Parada Harahap Abstain

Pada masa kepemimpinan Adam Malik di kantor berita Antara, Mochtar Loebis masuk sebagai wartawan Antara. Namun tidak lama kemudian, posisi Adam Malik digantikan oleh Mochtar Lubis karena kesibukan Adam Malik sendiri dalam urusan republik. Pada saat Belanda datang kembali (agresi Militer), situasi menjadi berubah. Kantor berita Antara lalu ditutup oleh penguasa. Namun tidak lama kemudian kantor berita Antara diizinkan kembali beroperasi, Mochtar Lubis kiembali menjadi kepala editor.

Mochtar Lubis bersama wartawan yang lainnya mendirikan organisasi wartawan Indonesia yang disebut Persatuan Wartawan Indonesia. Dalam kepengurusan organisasi wartawa yang baru ini (setelah kemerdekaan) Mochtar Lubis duduk sebagai komisaris (bersama Rosihan Anwar). Sebagai ketua, diangkat wartawan senior, Adinegoro (lihat di atas: Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 03-08-1949). Sementara itu, Mochtar Lubis dan Adam Malik meresmikan kembali pembukaan kantor berita Antara.

Mochtar Lubis, Sakti Alamsyah dan Adam Malik adalah estafet insan pers dari Padang Sidempoean (pasca Dja Endar Moeda, Parada Harahap dan Abdullah Lubis). Generasi berikutnya adalah AM Hoetasoehoet, seorang eks tentara pelajar di Padang Sidempuan pada masa agresi militer Belanda (pendiri IISIP Lenteng Agung). Pada pasca kedaulatan RI (1950-1966) sejumlah tokoh lainnya asal Padang Sidempuan di Jakarta yang juga telah memainkan peran penting, antara lain Jenderal Abdul Haris Nasution, Kolonel Zulkifli Lubis, Arifin Harahap. Pada tahun 1967 tokoh yang masih ada Kolonel Marah Halim Harahap, Adam Malik, Mochtar Lubis dan Hariman Siregar.

Mochtar Lubis kini tidak hanya di kantor berita Antara tetapi juga telah menjadi editor di koran Indonesia Raya yang terbit di Jakarta. Mochtar Lubis menjadi wartawan terbaik versi Persatuan Wartawan Indonesia, sementara di era Belanda, wartawan asal Padang Sidempoean yang lain yang tergolong terbaik menurut pers asing (Eropa/Belanda) adalah Parada Harahap. Keduanya adalah editor handal di jamannya yang telah meneruskan sang pionir dalam bidang keeditorialan di Indonesia: Dja Endar Moeda (1897). Dari rangkaian sejarah penilaian jurnalistik pribumi mungkin semua ‘hadiah’ dimenangkan oleh anak-anak Padang Sidempoean. Ini bukan mengada ada, bukti-bukti sudah disajikan dan dapat dikonfirmasi ke sumber yang masih bisa dilacak dengan terang benderang di era teknologi informasi masa kini.

De Sumatra post, 30-11-1907: ‘Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan diangkat menjadi PNS penulis di kantor Residen di Medan, CPNS penulis di kantor Controleur di Selat Pandjang (yang mana sebelumnya adalah kepala komisi) bernama Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan’. De Sumatra post, 16-02-1915: ‘van Soengei Penoeh [Korintji] met een…door den inlandschen klerk van den controleur, Radja Pandapotan..’. Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1937: ‘Marah Hoesin gelar Radja Pandapotan menjadi kepala distrik (districthoofd) di Kerintji, Sumatra’s Westkust’.  

Tokoh penting di belakang itu adalah Parada Harahap. Parada Harahap (lahir di Padang Sidempuan 1899) adalah mentor dari Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsjah (di bidang jurnalistik). Jangan lupa: Parada Harahap juga adalah mentor dari Soekarno, M. Hatta dan Amir Sjarifoedin (di bidang politik). Minus Amir Sjarifoedin (meninggal 1948), keributan mulai terjadi antara Soekarno dan Mochtar Lubis. Keributan kemudian merembet kepada dua tokoh asal Padang Sidempuan: Mayjen Abdul Haris Nasution dan Kolonel Zulkifli Lubis. Tunggu deskripsi lebih lanjut.

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar pulang dari Belanda, 1956
Pangkal perkara adalah Presiden Soekarno coba mengekang pers. Lalu, Mochtar Lubis memimpin demonstrasi untuk Kebebasan Pers (1953). Saat itu, Mochtar Lubis dan Indonesia Raya bagai dua sisi koin: Mochtar Lubis adalah Indonesia Raya dan Indonesia Raya adalah Mochtar Lubis. Perseteruan Soekarno dan Mochtar Lubis semakin memuncak manakala Mochtar Lubis mengungkap skandal korupsi lalu diinterogasi militer (08-1956). Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Adam Malik dan Suwardi Tasrif  berangkat ke Belanda dalam pertemuan pers bilateral, tetapi militer memerintahkan pulang (09-1956). Mochtar Lubis dituntut. SPS dan PWI bereaksi membentuk komite aksi (10-1956). Mochtar Lubis didampingi pengacara mantan menteri kehakiman dari kabinet Mr. Burhanuddin Harahap (11-1956).

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1956: ‘Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel anda akan menyiratkan permusuhan? Mochtar Lubis menjawab: Tidak. Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution, adalah teman lama yang baik, kata Mochtar Lubis. Ketika ditanya oleh hakim apakah artikel di Indonesia Raya menuduh Perdana Menteri Ali melakukan kekotoran nama patriot Indonesia dan Indonesia Raya menuduh pemerintah melakukan konspirasi politik? Mochtar menjawab: Tidak ada maksud permusuhan, negatif dan artikel ini mengatakan bahwa koreksi pada pemerintah. Ketika ditanya oleh jaksa apa yang dimaksud dengan konspirasi politik, jawab terdakwa, bahwa istilah konspirasi politik untuk Perdana Menteri Ali adalah istilah yang terlalu sopan, karena pada kenyataannya, Perdana Menteri Ali membela Roeslen Abdulgani, yang bersama dengan Lic Hok Thay terlibat melakukan korupsi dalam sebuah kasus’

Dalam kasus Soekarno vs Mochtar Lubis, Parada Harahap sudah mulai menua Parada Harahap abstein, tidak intervensi dan tidak melakukan apa, mungkin karena keduanya adalah adik-adiknya yang pernah dibimbingnya. Inilah kearifan Parada Harahap, musuhnya hanya satu: Belanda. Demikianlah fakta yang sebenarnya. Segala sesuatunya tidak datang ujuk-ujuk (secara random), boleh jadi by design (secara systematic) oleh sang kreator: Parada Harahap. Selanjutnya estafet diserahkan kepada sang creator baru: Adam Malik.

Suksesi tiga The Founding Father RI: Soekarno, Hatta dan Amir
Akhirnya Soekarno tumbang setelah era politik Ganyang Malaysia dan Peristiwa G 30 S PKI. Menariknya, dalam peralihan dari orde lama (Soekarno) ke orde baru (Soeharto) ada tiga tokoh penting yang menjadi arisitek Orde Baru, yakni: Soeharto, Sultan Hamengkoeboewono IX, dan Adam Malik (Batubara). Trio baru ini seakan mengingatkan masa peralihan dari era kolonial ke era kemerdakaan yang mana tiga tokoh penting yang disebut The Three Founding Father: Soekarno, M. Hatta dan Amir Sjarifoedin (Harahap). Amir dan Adam, dua tokoh asal Padang Sidempoean dalam dua era yang berbeda dalam menyusun arsitektur NKRI.

Diantara kreator ada korektor: Di Era Belanda satu korektor penting adalah Dja Endar Moeda. Setelah itu muncul kreator: Parada Harahap dengan korektor Mochtar Lubis. Generasi selanjutnya, kreator Adam Malik dengan korekter Hariman Siregar (yang kini juga tetap membina sepakbola di Jakarta). Mereka semua satu garis continuum from Padang Sidempuan. Apakah Hariman Siregar ingin mengoreksi era Jokowi? Pikir-pikir dulu: ada dua tokoh penting disitu: Darmin Nasution dan Rizal Ramli. Darmin Nasution (dongan sahuta) from Padang Sidempuan, dan Rizal Ramli (teman seperjuangan) di era Malari, 1974 (Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI, Rizal Ramli, Ketua Dewan Mahasiswa ITB).

PSMS Medan, Persija Jakarta dan Marah Halim Cup

Tim Perserikatan Medan (PSMS) belum sempat mengikuti Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Perserikatan, karena disibukkan oleh persiapan dan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang ketiga di Medan tahun 1953. Gubernur Sumatra Utara, Abdul Hakim yang menjadi ketua panitia PON III menganggap tidak layak Stadion Kebun Bunga sebagai pusat kegiatan PON. Lalu menginstruksikan semua stakeholder di Medan untuk membangun stadion baru yang letaknya di Jalan Sisingamangaradja yang kemudian disebut Stadion Teladan. Abdul Hakim bernegosiasi ke pusat untuk anggaran karena daerah siap membantu. Abdul Hakim meminta bantuan pengusaha TD Pardede, sumbangan PTP, berbagai perusahaan di Medan dan juga para bankir untuk menyisihkan sebagian keuntungan sebagai CSR. Para bankir terkenal waktu itu di Medan adalah Muslim Harahap dan James Harahap. Kedua orang ini adalah alumni Batavia (Middlebare Handelschool), seangkatan dengan Kalisati Siregar (ayah dari Hariman Siregar). Kalisati Siregar berkarir di birokrasi bidang perdagangan (mulai dari Padang Sidempuan, Medan, Palembang dan Jakarta), sedangkan Muslim Harahap menjadi Direktur Bank Dagang Nasional di Medan dan James Harahap menjadi direktur Bank BNI juga di Medan (sebelumnya di Sibolga). James Harahap, kelahiran Padang Sidempuan lebih dikenal sebagai ayah dari Rinto Harahap dan Erwin Harahap (The Mercy’s).

Abdul Hakim, bukanlah orang baru dalam dunia sepakbola. Abdul Hakim kelahiran Sarolangun, Djambi. Di Batavia, masuk sekolah Bea dan Cukai lalu mengikuti karir dari Radjamin Nasution. Setelah Radjamin Nasution pindah dari Medan (dan kemudian menetap di Surabaya), Abdul Hakim yang menduduki posisi kepala Bea dan Cukai di Medan, 1927. Pada tahun 1929 Abdul Hakim terpilih menjadi anggota dewan kota (gementeeraad) Medan. Abdul Hakim selain anggota dewan adalah aktif sebagai guru privat bahasa Inggris dan bahasa Perancis (yang super langka kala itu). Hobi lainnya adalah sepakbola menjadi Ketua Sahata Voetbal Club yang berkompetisi di Medan. Pada tahun 1937 setelah dua periode menjadi dewan kota, dipindahkan ke Batavia di Departemen Keuangan (Dept. van Financien). Ketua Sahata Voetbal Club diestafetkan kepada Gading Batubara atau GB Josua (Direktur Josua Institut, alumni sekolah guru di Belanda). Beberapa kali pindah sebelum ke Makassar, seperti Jawa Barat dan Kalimantan Barat untuk kepala perwakilan ekonomi Departemen Ekonomi. Ketika menjadi kepala ekonomi wilayah Indonesia Timur di Makassar, invasi Jepang masuk. Abdul Hakim harus pulang kampong, karena ayahnya Mangaradja Gading meninggal dunia di Padang Sidempuan. Abdul Hakim tidak kembali ke Makassar, tetapi dicari militer Jepang ke Padang Sidempuan dan memintanya untuk menyiapkan dewan Tapanoeli. Kalisati Siregar  (ayah Hariman Siregar) yang pulang kampong dari Batavia pada saat invasi Jepang juga diminta untuk menjadi kepala perdagangan di Padang Sidempuan. Abdul Hakim lalu menjadi Wakil Residen Tapanoeli. Ketika agresi militer Belanda memasuki Tapanuli, Abdul Hakim Harahap menjadi Residen Tapanuli dan berjuang dari satu tempat ke tempat lain di Tapanuli (juga dilakukan Kalisati Siregar dari satu tempat ke tempat lain di afdeeling Padang Sidempuan). Pada saat digelar KMB di Den Haag, Abdul Hakim yang menjadi ekonom di era Belanda menjadi penasehat ekonomi M. Hatta yang memimpin delegasi Indonesia ke Belanda. Kemampuan tiga bahasa asing dari Abdul Hakim juga dibutuhkan di dalam konferensi yang dihadiri oleh sejumlah negara asing. Setelah pengakuan kedaulatan RI, Abdul Hakim kembali ke pos lama di Departemen Keuangan di Jakarta. Akan tetapi tidak lama, karena Abdul Hakim diangkat menjadi Gubernur Sumatra Utara (25 Januari 1951). Abdul Hakim kelak diangkat menjadi Menteri Negara.

Pada tahun 1954 (setelah selesai PON III), PSMS Medan benar-benar melakukan persiapan baru bisa ikut Kejurnas Sepakbola Perserikatan di Jakarta. Tim Ayam Kinantan (julukan ini pertama digunakan oleh Sahata Voetbal Club) dipimpin langsung sebagai manajer tim oleh Ketua Umum PSMS, Drs. Muslim Harahap (Direktur Bank Dagang Nasional Medan). Klub PSMS yang mewakili klub-klub pribumi sejak era Belanda terbilang terkuat di Indonesia sejak era Belanda datang ke Jakarta dengan sangat sombong: Veni Vidi Vici. Ini terjadi tahun 1954 (pageran sebelumnya masih penjajakan dan hasilnya belum maksimal. Kapalnya belum merapat di Tandjong Priok, ayam-ayamnya sudah berkokok sejak dari Teluk Jakarta. Parada Harahap terganggu juga dengan ayam-ayam kinantan yang berisik ini. Mungkin Parada Harahap mengomel: Ini bukan Medan, Bung! Ini Batavia, eh (sambil meralat: Ini Jakarta, Bung! Pulang Kau). Akhirnya PSMS Medan maju ke final. Ketemu Persija Jakarta. Nah lho.  

Final Kejurnas sepakbola: PSMS Medan vs Persija Jakarta (1954)
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-01-1955: ‘Dalam pertandingan final Kerjurnas Sepakbola Indonesia yang digelar kemarin melawan (Persija) Jakarta, Tim (PSMS) Medan meninggalkan lapangan. PSMS (Medan) menggelar konferensi pers. Manajer Tim PSMS, Muslim Harahap, menuding keberpihakan wasit, van Yperen (mungkin orang Belanda), dan berpendapat bahwa timnya banyak dirugikan. Pertama, pemain depan PSMS, Jusuf Siregar 'dilibas' tetapi masih berhasil menciptakan gol. Tetapi wasit Yperen menganulir dan menunjuk titik putih karena protes Djamiat, pemain dari tim Djakartaanse. (tidak hanya itu) Sekali lagi Jusuf Siregar ‘diambil’ kembali oleh Tamaela. Bahkan pelanggaran terhadap Jusuf ini tidak dicatat dan tidak diganjar. Kemudian, pemain populer Medanse, pemain sayap, A. Kadir (18 tahun) diganjal keras oleh Tamaela. Lalu Muslim (Harahap) sebagai manajer tim. bangkit dan meminta keberanian wasit. Karena tidak ada solusi, dan atmosfer sudah begitu tajam lalu PSMS minta mengundurkan di kepada panitia lomba. Persidja ingin meneruskan pertandingan dan melakukan permintaan kepada panitia untuk mengganti wasit. Namun permintaan ini sayangnya ditolak oleh PSMS karena sudah kelewat jengkel. PSMS memutuskan pertandingan dan PSMS tidak akan mengakui kekalahan melawan Jakarta dan tidak menandatangani kekalahan ini, kata Muslim Harahap. Untuk pertandingan ulang (revans) yang ditawarkan oleh Jakarta Muslim menyatakan PSMS selalu bersedia tetapi bagaimanapun, bahwa permainan harus dipimpin oleh seorang wasit yang berimbang. (Muslim mengatakan) antara Persidja dan PSMS tidak ada perselisihan, ia menambahkan untuk itu. Kami harus menarik diri dalam hal ini, mosi tidak percaya telah diajukan terhadap PSSI agar dilakukan revisi dari manajemen pusat. Pelatih teknik Tim Nasional dan ketua komite seleksi, Tony Pogaknick mengomentari bahwa Tim PSMS selama berada di Jakarta sepakat bahwa kualitas sepakbola Medan lebih baik, tetapi kekalahan mereka ini tidak disengaja’.

Sepakbola Medan yang selalu bermain cantik sejak era Belanda, sebagaimana juga dipertunjukkan PSMS Medan dalam Kerjunas yang diikutinya kali pertama ini, tidak berlaku di Jakarta. Mungkin benar apa yang dibilang Parada Harahap: Pulang Kau! Sejak itu, gaya permainan PSMS berubah dari permainan cantik menjadi permainan keras yang disebut ‘rap-rap’.

Surat kabar Java Bode yang baru kit abaca di atas, telah diakuisisi (dibeli) oleh Parada Harahap sejak 1952 (karena adanya kebijakan pemerintah RI untuk melakukan nasionalisasi). Java Bode adalah koran berbahasa Belanda (investasi asing) yang awalnya terbit di Semarang dan sudah berumur hampir satu abad. Surat kabar ini terbilang netral di era Belanda. Ketika Parada Harahap berpolemik dengan pers Eropa/Belanda di tahun 1925 terutama terhadap Karel Wijbrand dari Soerabaija Handelsbald, ke surat kabar inilah tulisan-tulisan Parada Harahap dikirimkan (agar para pembaca Belanda mengetahuinya). Parada Harahap ‘bertempur’ dengan pers Eropa/Belanda sendirian.

Pada tahun 1957 PSMS datang kembali ke Jakarta. Tahun 1955 dan 1956 Kejurnas tidak diadakan karena kesibukan negeri Pemilihan Umum, dimana Partai Masyumi pemenang dan Mr. Boerhanuddin Harahap menjadi Perdana Menteri. PSMS kembali masuk ke final. Lagi-lagi kalah oleh PSM Ujung Pandang. Permasalahannya sama dengan final 1954. Sejak itu PSMS tidak pernah kembali ke final. Baru pada tahun 1967, PSMS datang dengan sombong. Sebab PSMS kini didukung habis oleh Gubernur Sumatra Utara yang baru, Kolonel Marah Halim Harahap. Di partai final, PSMS mengalahkan Persebaya Surabaya. PSMS kali pertama menjadi juara. Pada tahun 1969 PSMS datang lagi. Tahun 1968 kerjurnas ditiadakan. PSMS kembali mengalahkan Persebaya di final.

Tahun 1972 turnamen Marah Halim Cup mulai digelar di Medan. PSMS menjadi juara perdana. Pada tahun 1973 kembali PSMS menjadi juara. Tahun 1974 hanya runner-up (yang menjadi juara Tim Jepang). Sejak saat inilah saya mengikuti sepakbola Indonesia hingga ini hari. Usul diadakannya Marah Halim Cup datang dari tiga tokoh sepakbola Medan: TD Pardede, Muslim Harahap dan Kamaruddin Panggabean. TD Pardede adalah pengusaha sukses dan pernah menjadi bendahara PSMS (ketika ketua umum PSMS dijabat oleh Muslim Harahap). Kamaruddin Panggabean adalah salah satu pemain legendaries klub Sahata, pimpinan GB Josua yang kerap mengalahkan klub-klub ETI di Medan di era Belanda.

Pada tahun 1975 PSMS kembali datang ke Jakarta. Di final bertemu Persija Jakarta: Tidak ada yang juara, keduanya juara bersama. Tahun 1979 kembali PSMS bertemu Persija, kali ini kalah dari Persija. Apakah PSMS melakukan protes? Tidak, pertandingan berjalan lancar.  Pada tahun 1983 PSMS kembali ke Jakarta, bertemu Persib Bandung di final dan mampu mengalahkannnya. Pada kejurnas berikutnya, PSMS bertemu lagi Persib Bandung di final.

Gaya permainan PSMS Medan yang keras (sebenarnya bukan kasar) masih terlihat ketika saya menonton partai final Kerjurnas 1983 di Senayan antara PSMS Medan Persib Bandung. PSMS mampu mengalahkan Persib Bandung: Lagu A sing-sing So berkumandang setelah kemenangan yang dramatis tersebut. Saya dan dua teman datang dari Bogor dengan membawa spanduk dan mengikat di badan bis bagian belakang. Selama perjalanan di Jagorawi bis kami ditimpukin oleh Suporter Persib yang menganggap seakan seisi bis adalah supporter PSMS Medan. Saat itulah saya terakhir menjadi suporter PSMS Medan dan kemudian menjadi suporter Persib Bandung (karena sudah memiliki KTP West Java) lalu tahun 1993 menjadi supporter Persija (Liga Indonesia Perdana) karena sejak 1991 beralih menjadi KTP DKI Jakarta. Pada tahun 1999 KTP saya berganti menjadi KTP Depok dan lalu pension menjadi suporter sepakbola, karena ingin mempelajari ekonomi, industry dan bisnis sepakbola di Indonesia.

Kini, di Persija Jakarta, sisa-sisa Padang Sidempuan masih ada toh. Hariman Siregar, kelahiran Padang Sidempuan adalah Pembina Persija Jakarta Selatan, sedangkan di Persija Jakarta Pusat ada Asher Siregar. Mereka adalah generasi penerus dari pemain sepakbola dari Padang Sidempuan, Parada Harahap dan Radjamin Nasution, dua tokoh penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan tidak hanya dari lapangan sepakbola tetapi di berbagai bidang.

Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota
Mungkin pembaca bertanya-tanya dimana itu Padang Sidempuan. Pada masa ini daerah ini adalah bagian Negara Republik Indonesia yang lokasinya terpencil di pantai barat Sumatra yang kini lebih dikenal sebagai Tapanuli (bagian) Selatan yang disingkat Tabagsel. Penduduknya hanya .juta (lebih banyak yang berada di luar daerah Tabagsel). Daerah ini sekarang terbilang masuk kategori daerah tertinggal (karenanya pada masa ini kurang popular dan tidak muncul ke permukaan). Daerah ini mulai dijajah Belanda pada tahun 1841. Pada tahun 1850 pendidikan modern (aksara latin diperkenalkan untuk menggantikan pendidikan yang menggunakan aksara Batak). Seperti kita ketahui, 1854 sudah ada dua siswa yang diterima di Docter Djawa School di Batavia (orang pertama luar Jawa) dan tahun 1857 sudah ada satu siswa yang melanjutkan studi di Negeri Belanda (orang pertama Indonesia).


Sejarah Jakarta (2): Kapan Nama Batavia Muncul; Kapal Kargo Pertama Dilaporkan dari Batavia Tahun 1627


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar