Laman

Senin, 05 Desember 2016

Sejarah Jakarta (5): Simpang Siur Tragedi Pembantaian Tionghoa di Batavia, 1740; Ini Faktanya!



Tragedi Cina Batavia 1740 adalah sebuah peristiwa memilikukan yang pernah diceritakan. Puncak tragedi terjadi pada tanggal 11 Oktober 1740. Namun anehnya, adanya pembantaian Cina (Chinezenmoord) di Batavia tidak pernah sebelumnya diberitakan. Terminologi Chinezenmoord bahkan tidak pernah ditemukan sesudahnya. Baru pada tahun 1972 terminologi Chinezenmoord muncul (NRC Handelsblad, 29-09-1972). Lantas sesungguhnya apa yang terjadi pada tahun 1740 terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Apakah ceritanya lebih menyeramkan daripada kenyataannya atau sebaliknya kenyataannya lebih mengerikan dibanding ceritanya. Semua itu bersifat misteri hingga tahun 1972.

Oprechte Haerlemsche courant, 18-07-1741
Artikel ini berhasil menelusuri semua koran-koran yang terbit di Belanda pada tahun 1740 dan 1741. Surat kabar yang pernah melaporkan adalah koran Oprechte Haerlemsche courant edisi 15-07-1741 dan edisi 18-07-1741. Dua edisi ini cukup lengkap menggambarkan situasi dan kondisi yang ada tentang orang-orang Tionghoa di Batavia.

Chinezenmoord Terkuak 1972

NRC Handelsblad edisi 29-09-1972 secara terbuka melaporkan Tragedi Cina di Batavia tahun 1740 dengan judul: ‘Lijken gevonden van massamoord op Chinezen in Nederlands-IndiĆ« in 1740 (Mayat ditemukan dalam pembunuhan massal Tionghoa di Hindia Belanda pada tahun 1740). Berita itu pada intinya melaporkan ketika adanya pembangunan sebuah pusat perbelanjaan baru di Jakarta telah menemukan kerangka ratusan Cina yang dieksekusi paling mungkin tahun 1740 atau hanya dibunuh oleh tentara Belanda. Orang Cina diborgol pada saat kematian mereka. Kerangka ditemukan di sebuah lubang yang dalamnya lima meter. Pembangunan pusat perbelanjaan untuk sementara dihentikan untuk memberikan kesempatan untuk dilakukan penyelidikan.

Tragedi Cina Batavia sebagai Chinezenmoord telah terkubur selama 232 tahun. Mengapa berita besar serupa ini tidak terlaporkan di dalam surat kabar sebagai Chinezenmoord? Apakah terminologi Chinezenmoord belum ada? Atau justru ada tetapi dalam terminologi yang lain. Mari kita lacak!

Bermula 1722

Sejak Kota Batavia dibentuk tahun 1621 dan setelah satu abad kemudian, Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon merasa perlu mendatangkan imigran dari Tiongkok. Namun kehadiran imigran Cina di Batavia tidak terlalu berhasil mendongkrak volume bisnis VOC di Batavia. Ketika aliran imigran ini makin deras masuk, Gubernur Jenderal membatasi dan menghambat masuknya imigran baru. Namun, itu tidak mudah. Lalu muncul keputusan pada tahun 1732 untuk mengembalikan dan ‘mendeportasi’ atau mengusirnya ke tengah lautan.

Imigran yang tidak mengindahkan larangan lalu ditangkap, diborgol dan akan dikirim ke Afrika Selatan. Sebagian dari mereka yang tidak berhasil ditangkap dan masih ‘berkeliaran’ di pinggir kota membuat pejabat VOC menjadi kewalahan. Lalu pada tanggal 25 Juli 1740 Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier memutuskan agar semua Cina yang berkeliaran tanpa surat izin (semacam KTP sekarang) ditangkap dan diborgol untuk ditahan. Tindakan yang sangat represif ini menimbulkan kebencian di kalangan Tionghoa. Puncak kebencian ini menyebabkan timbulnya pemberontakan secara resmi melawan Belanda pada tanggal 8 dan 9 Oktober di Batavia. Beberapa penyerangan yang dilakukan Tionghoa dapat ditahan dan berhasil dipukul mundur, Namun untungnya bagi Belanda, orang-orang Tionghoa yang berada di dalam kota (yang memiliki Izin atau semacam KTP) tetap tenang. Namun demikian posisi Belanda di Batavia pada waktu itu dalam situasi mengerikan.

Lantas kemudian Gubernur Jenderal mengusulkan ‘membersihkan kota dari orang-orang Cina’, namun usul itu tidak bisa diterima oleh Dewan Hindia Timur. Dalam kenyataannnya, Dewan menemukan telah terjadi pemeriksaan pada semua rumah Cina dan bagi yang melawan dan berbahaya diambil tindakan lebih lanjut. Ketika putusan pemeriksaan telah dimulai, kurang dari satu jam setelah putusan diteapkan tetapi dalam prakteknya yang terjadi adalah pembantaian yang sangat berdarah, dimana lebih dari 10.000 orang Cina, pria, wanita dan anak-anak dibunuh dan rumah-rumah mereka dijarah dan dibakar pada tanggal  9 dan 10 Oktober tanpa adanya langkah-langkah yang diambil oleh Gubernur Jenderal untuk menghalanginya.

Peristiwa inilah yang disebut Chinezenmoord oleh NRC Handelsblad edisi 29-09-1972 pada tahun 1740. Sejak berita inilah Chinezenmoord di Batavia sebagai isu pokok yang terus bergulir kemudian baik di dalam surat kabar maupun artikel-artikel di dalam jurnal dan buku-buku yang terbit kemudian.

Lantas mengapa Tragedi Cina di Batavia 1740 tidak pernah ada yang melaporkan sebelumnya. Pertama, surat kabar yang ada pada masa itu besar kemungkinan dimiliki oleh para pedagang VOC. Pembataian ini boleh jadi dianggap bukan kemenangan tetapi malah genosida yang harus didiamkan atau disembunyikan. Kedua, pada masa itu, belum ada hubungan internasional dan di Batavia sepenuhnya didominasi oleh orang-orang Belanda dan segilir orang Eropa lainnya yang tidak memiliki pengaruh untuk melaporkannnya.

Setelah kejadian tragedi Batavia Oktober 1750 tidak satu pun surat kabar di Belanda yang melaporkan kejadian. Koran-koran tersebut seperti Leydse courant (Leyden), Oprechte Haarlemsche courant (Haarlem), Amsterdamse courant (Amsterdam). Semua koran ini sepenuhnya melaporkan berita kapal, pelayaran keberangkatan dan kedatangan orang Eropa dari dan ke berbagai tempat. Bahkan Leydse courant pada bulan Maret 1741 melaporkan kapal Belanda telah tiba dua kali di China. Berita kapal ke China itu seakan menafikan peristiwa yang belum lama berlalu. Mungkin ada pelaut atau orang Tionghoa yang pulang ke Tiongkok lalu melaporkan peristiwa yang terjadi, tetapi apa daya, Tiongkok saat itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Eropa. Oleh karena itu tidak ada reaksi dari Tiongkok. Semuanya berjalan apa adanya, demikian juga orang-orang Tionghoa di Nusantara terus melakukan kehidupannya.

Ketiga, pelayaran ke Eropa, dimana surat-surat kabar yang ada terbit, membutuhkan waktu yang lama yang dapat memakan waktu berbulan-bulan dari Batavia ke Belanda. Keempat, belum ada museum yang menyimpan arsip dan penelitian di perguruan tinggi belum berkembang. Kelima. Boleh jadi masa itu belum ada HAM, pembunuhan baik sedikit maupun massal dianggap sesuatu yang lazim?.

Ketika pers Belanda di Hindia Belanda mulai berkembang di pertengahan abad ke-19, tragedi ini telah berlalu seabad lamanya. Semua insan pers yang hidup dalam awal era demokrasi pers adalah generasi yang lain yang tidak terhubung dengan peristiwa. Informasi masa lalu tidak/belum menjadi bagian dari investigasi jurnalistik. Generasi ini juga menambah gelap adanya peristiwa yang pernah terjadi pada tahun 1740. Oleh karena itu, baru setelah penggalian dalam pembangnan pusat perbelanjaan di Jakarta 1972 kasus masa lampau ini terungkap ke permukaan. Investigasi pers lalu dimulai terhadap kasus ini.

Berita Surat Kabar Pertama

Berita pertama tentang peristiwa orang-orang Tionghoa di Batavia dilaporkan surat kabar di Belanda. Tunggu deskripsi lengkapnya.

Oprechte Haerlemsche courant, 15-07-1741: '.....'

Oprechte Haerlemsche courant, 18-07-1741: '.....'

Dari Bidara Cina Hingga Pondok Cina

Sebelum VOC mendatangkan kuli Cina untuk dipekerjakan di Batavia sebagai kuli maupun buruh pabrik-pabrik gula, para imigran dari Tiongkok sudah lama adanya, bahkan sebelum VOC didirikan di Batavia, 1619. Orang-orang Tiongkok ini datang sebagai pedagang atau yang melakukan migrasi ke berbagai tempat di Nusantara.

Satu bukti terawal adanya komunitas Tionghoa di Batavia dicatat dalam Dagh-Register tanggal 1 Maret 1701 ketika seorang Tionghoa baru pulang dari Padang Sidempuan setelah sepuluh tahun berdagang di Angkola. Ia telah menikah dengan gadis Angkola dan mempunyai seorang putri berumur lima tahun ketika dia bersama istrinya tiba di Batavia tang 27 Februari 1701. Di Batavia orang Tionghoa ini bergabung kembali dengan bangsanya dan memulai hidup baru sebagai petani. Boleh jadi wanita asal Angkola yang menjadi istrinya ini sangat piawai bertani (suatu kegiatan yang tidak lazim bagi orang-orang Tionghoa di Nusantara kala itu.

Setelah kejadian pembantaian Cina di Batavia, orang-orang Tionghoa yang ada di Nusantara semakin sedikit, dari yang sedikit itu mereka terpencar-pencar di berbagai tempat dalam koloni-koloni kecil di sepanjang pantai utara Jawa, pantai-pantai Sumatra, semenanjung Malaka dan pantai-pantai Kalimantan.


Koloni Cina di Batavia sebelum peristiwa adalah koloni terbesar di Nusantara. Jumlahnya tentu sangat banyak, sebagaimana dilaporkan kemudian yang terbunuh sekitar 10.000 adalah angka yang sangat banyak. Akan tetapi setelahnya koloni Cina hanya berjumlah kecil dan tidak memiliki pengaruh.

Dari koloni-koloni kecil dan cukup tersebar di luar Batavia, orang-orang Tionghoa melanjutkan kehidupannya. Boleh jadi mereka ini telah memainkan peran sebagai pedagang keliling yang pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun tentunya ada yang menetap dan membuka kampung dan kampung-kampung Cina bahkan sudah ada sejak lama, seperti Pondok Cina dan Bidara Cina.

Ekspedisi tahun 1703 ke Pakuan (Bogor) yang dipimpin oleh Abraham Jan van Riebeeck melalui rute: Benteng (Kastil Batavia) - Tjililitan - Tandjong (Barat) - Seringsing (Serengseng) – Pondok Tjina - Depok – Pondok Terong - Bodjong Manggis (dekat Bojonggede) - Kedoenghalang - Paroengangsana (Tanah Baru). Dari nama-nama tempat ini kampung Pondok Cina diduga adalah koloni Tionghoa di pedalaman di sekitar daerah aliran sungai Ciliwung. Informasi ini mengindikasikan bahwa Pondok Tjina sudah ada sebelum orang Eropa/Belanda memasuki wilayah hulu Tjiliwong. Setelah ekspedisi Riebeeck (orang Eropa/Belanda pertama) baru menyusul para planter, seperti Cornelis Chastelein di Depok.

Imigran dari Tiongkok terus berlangsung, tetapi upaya VOC dengan sengaja untuk mendatangkannya langsung dari Tiongkok tidak pernah terjadi lagi. Kuli imigran Cina setelah 1740 telah menjadi momok. Kuli-kuli pribumi dari berbagai tempat di Hindia Timur menjadi alternatif. Mereka ini banyak yang bestatus budak. Boleh jadi Cornelis Chastelein temasuk yang memanfaatkan tenaga kerja pribumi ini. Strategi ini tampaknya ditempuh untuk mengimbangi orang-orang Tionghoa yang sudah ada seperti di Pondok Tjina.

Semakin maraknya tenaga kerja yang didatangkan dari pribumi di hulu Tjiliwong seiring dengan perkembangan Landhuis. Beberapa landhuis yang sudah muncul antara lain Tjiliboct, Pondok Terong, Sawangan, Tjineli dan Koupan (lihat Vlissingsche courant, 12-03-1835).

Landhuis Pondok Terong kemudian bergeser namanya menjadi Landhuis Tjitajam. Ini dapat dijelaskan bahwa Pondok Terong dekat dengan sungai Tjiliwong sedangkan Tjitajam agak ke dalam menjauhi Tjiliwong di hulu Sungai Pesanggrahan. Landhuis Pondok Terong menjadi landhuis Tjitajam. Nama area Tjitajam inilah yang terus eksis hingga ini hari.

Bidara Tjina diduga muncul lebih awal jika dibandingkan dengan Pondok Tjina. Garis perdagangan orang-orang Cina dari Batavia hingga ke Bidara Cina dan kemudian ke Pondok Cina. Tiga pusat perdaganagn orang-orang Cina ini menggunakan moda transportasi air dimana pelabuhan terdekat Bidara Tjina berada di Tjililitan. Ini berarti rute perdagangan orang-orang Tjina digubungkan oleh tiga pelabuhan: Batavia, Tjililitan dan Pondok Tjina. Batavia adalah pusat sedangkan Bidara Tjina dan Pondok Tjina sebagai basis perdagangan orang-orang Tjina di tengah di Bidara Tjina, di hulu Pondok Tjina dan di hilir Batavia sendiri.

Sejak era Pemerintah Hindia Belanda, Bidara Tjina menjadi pusat perdagangan yang ramai, Karena itu besar kemungkinan alasan pemrintah menetapkan Bidara Tjina sebagai pos pertama jalan pos trans Jawa yang dirintis dari Anjer ke Panaroekan ruas jalan pos Batavia-Buitenzorg. Lantas apa kaitannya Cina di Tangerang dengan nama Benteng. Boleh jadi mereka yang berada di Tangerang awalnya seperti Bidara Tjina dan lambat laun komunitas orang-orang Cina semakin banyak dan padat yang diduga merupakan eksodus dari Batavia (pasca pembantaian) 1740. Boleh jadi orang-orang Cina di Tangerang yang menamakan dirinya sebagai Cina Benteng merupakan komunitas yang eksodus tersebut.

Dari Batavia Hingga Canton

Keberadaan orang-orang China di Sunda Kelapa boleh kadi sudah sejak lama, jauh sebelum Belanda membuat koloni di muara sungai Ciliwung yang disebut Batavia. Dari laporan de Houtman yang datang tahun 1895 bertemua dua kapal Cina yang berisi penuh rempah-rempah di perairan muara suingai Ciliwung (lihat ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent, ..., 1598). Jumlah orang-orang Cina di Sunda Kelapa/Batavia terus meningkat. Menurut Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1842, jumlah orang-orang Cina di Batavia tahun 1620 sekitar 400-500 keluarga. Juga disebutkan pada tahun 1622 kapal jung Cina di Batavia melakukan bongkar muat seperti cula badak, berlian dan kamper Sumatra (Tapanoeli). Majalah ini juga menyebutkan Coen mulai memberlakukan larangan terhadap kapal-kapal Cina.

Pada dasarnya hak-hak tradisional orang-orang Cina di Sunda Kelapa/Batavia dirampas oleh Belanda. Kekuatan militer Belanda telah mengakuisisi semua pusat-pusat ekonomi yang di perankan oleh pedagang-pedagang Cina. Kekuatan Cina di tempat asal sangat lemah dan bukan tandingan lagi bagi kekuatan Cina terhadap kekuatan Eropa (dalam hal ini Belanda). Sejak Coen, pedagang Cina yang berada di Batavia dibawah kekuasaan Belanda/VOC.

Pedagang-pedagang Cina juga dilaporkan dalam hal ini di Batavia tidak hanya mengumpulkan komoditi seperti rempah-rempah tetapi juga ‘membeli’ budak-budak dari berbagai tempat yang dibawa ke Batavia baik untuk keperluan sendiri maupun ‘dijual’ kepada Belanda/VOC. Eksistensi orang-orang Cina mulai diakui oleh VOC ketika Gubernur Jenderal Carventier (1625), Untuk memudahkan proses justitite diangkat kepala Cina (Hoofd der Chineezen). Dengan demikian, di Sunda Kelapa/Batavia dua bangsa timur-barat, China dan Belanda sudah rebutan pengaruh sejak awal perkembangan Batavia (1619).

Pengaruh Belanda tidak hanya di Jawa dan pulau-pulau lainnya tetapi juga sudah sampai di Jepang. Kemudian menyusul Inggris, setelah sukses di India membuka pos pedagangan di Canton (China) tahun 1792.

Rangkaian Pemberontakan Orang-Orang Cina

Pemberontakan orang-orang Cina di Batavia telah lama berlalu (pada tahun 1740). Rekonsiliasi tampaknya telah dilakukan oleh orang-orang Eropa/Belanda dengan orang-orang Cina. Hal ini karena orang-orang Eropa/Belanda tidak bisa bekerja sendiri, peran orang-orang Cina sangat diperlukan yang dapat melakukan perdagangan ke tempat-tempat dimana pribumi secara ekonomi sangat potensial. Meski pemberontakan sudah redup (era VOC) namun perlawanan (perang) orang-orang pribumi terhadap Belanda (era Pemerintah Hindia Belanda) terdapat dimana-mana seiring dengan meningkatnya kekuasaan Belanda. Di daerah-daerah taklukan orang-orang Belanda mulai melakukan kolonialisme.

Satu yang tak terduga oleh Belanda (pemerintah Belanda) ketika sistem tanam paksa diperkenalkan dan sudah berjalan di Jawa, Padangsc dan Afdeeling Mandailing dan Angkola terjadi peristiwa yang mirip dengan pemberontakan orang-orang Cina di Batavia tahun 1740. Orang-orang Manbdailing dan Angkola mulai tidak tahan terhadap koffie-stelsel dan di beberapa tempat terjadi pemberontakan. Namun peristiwanya tidak sampai seperti pembantaian Cina di Batavia, tetapi menangkap para pentolan-pentolannya dan menjebloskan ke penjara di benteng Elout di Panjaboengan. Namun represif militer Belanda tidak membuat mereda namun membuat orang-orang Mandailing dan Angkola yang tidak senang dan tidak mau kerjasama melakukan eksodus ke berbagai tempat terutama ke pantai timur Sumatra dan Semenanjung Malaya (sejak itu muncul komunitas-komunitas Mandailing dan Angkola di Selangor dan Negeri Sembilan (hingga masa ini).

Peristiwa pemberontakan orang-orang Mandailing dan Angkola ini puncaknya terjadi pada tahun 1842-1843 (satu abad setelah pemberontakan Cina di Batavia). Pemberontakan ini ‘direkam’ dengan baik oleh Edward Douwes Dekker yang saat itu menjadi controleur untuk pertama kali di afdeeling Natal. Edward juga tidak tahan terhadap laporan penduduk dan kemudian mangadvokasi penduduk. Ulah Edward ini mendapat kecaman dari koleganya sesama controleur di Pakantan dan Angkola yang akhirnya Edwar dipecat dari jabatannya dan diombang-ambing selama setahun di Padang tanpa diperbolehkan bertemu istrinya yang tinggal di Batavia. Dari kasus inilah Edward Douwes Dekker mulai intens menulis apalagi Edward menambah pengalaman baru di Banten dan salah satu bukunya yang terkenal Multatuli/Max Havelaar [kelak nama buku ini menjadi nama jalan di Medan (juga terdapat di Rangkasbitung). Pada saat penggantian nama-nama jalan di Indonesia tahun 1950, jalan Max Havelaar di Medan tetap dipertahankan tetapi dengan menggeser namanya menjadi jalan Multatuli].

Pemberontakan kembali muncul di Deli. Pemberontakan ini mendahului terjadinya Perang Sunggal. Pemberontakan ini bukan oleh penduduk Melayu tetapi oleh orang-orang yang bekerja sebagai kuli Cina perkebunan-perkebunan. Pemberontakan ini terjadi tahun 1870 karena para kuli Cina tidak tahan dengan tindakan kerjam dari para planter. Terjadilah pemberontakan di perkebunan di Perjoet yang menewaskan pemilik kebun dan pegawai-pegawainya. Untuk meredam jangan sampai terjadi efek domino, militer segera menanganinya. Jumlah kuli Cina di Deli tahun 1870an sudah berkisar 7.000-8.000 orang. Para planter juga sangat tergantung dengan kuli Cina karena itu harus diamankan, bukan dibantai seperti yang terjadi di Batavia 1740. Untuk itu beberapa tokoh Tionghoa diangkat sebagai pimpinan komunitas Cina dengan pangkat Kapten (Tjong Jong Hian) dan letnan (Tjong A Fie).

Batavia dan Medan merupakan dua kota di Indonesia pada masa kini yang memiliki populasi etnik Tionghoa yang cukup banyak. Di dua kota itulah di masa doeloe pernah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Cina terhadap orang Belanda (VOC dan Pemerintah Hindia Belanda).

Last but not least. Pemberontakan orang-orang Cina sudah tidak pernah lagi, orang-orang Cina sudah lebih koperatif dengan orang-orang Belanda. Hubungan manis antara orang-orang Belanda dan orang-orang Tionghoa sudah jauh lebih mesra. Pribumi mungkin sangat iri melihat orang-orang Cina diperlakukan begitu baik dibandingkan dengan orang-orang pribumi. Namun demikian, tidak semua orang-orang Cina mendapatkan kebaikan dari Belanda dan bahkan diantaranya selama proses kebangkitan bangsa dan masa pergerakan politik untuk mencapai kemerdekaan tidak sedikit orang-orang Tionghoa yang turut berjuang untuk melawan Belanda.
  
Namun tak diduga di Tangerang, tempat dimana komunitas orang-orang Tionghoa sudah banyak sejak 1740 mendapat suatu hantaman besar dari kalangan pribumi setempat. Peristiwa ini dikenal sebagai Pembantaian Cina di Tangerang yang terjadi pada tahun 1946.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar