Laman

Sabtu, 25 Februari 2017

Sejarah Bandung (30): Nama-Nama Jalan di Bandoeng Tempo Doeloe; Jalan Braga Paling Terkenal; Jalan Lain Juga Perlu Dikenal

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Hampir semua nama jalan pada era Belanda di Bandung yang berbau Belanda telah diganti, kecuali beberapa yang masih terus eksis. Demikian juga nama Tionghoa telah digeser. Yang ada sekarang umumnya nama-nama pahlawan. Nama-nama seperti pulau, nama daerah, nama gunung sebagian besar masih tetap dipertahan.

Winkel straat di Bandoeng (foto 1900)
Di Bandung hanya beberapa berbau Tionghoa dan itu telah diganti. Di medan nama-nama Tionghoa sangat banyak dan semuanya telah diganti bahkan nama Sun Jat Sen. Di Bandung masih dipertahankan nama-nama berbau Eropa/Belanda, seperti jalan Braga dan jalan Pasteur. Di Medan, semua nama berbau Eropa/Belanda diganti. Kekecualian untuk jalan Max Havelaar diubah dengan nama jalan Multatuli. Pasteur memiliki ikatan emosional dengan Bandung, demikian juga Multatuli memiliki ikatan emosional dengan Medan.

Nama Jalan Pertama

Nama jalan pertama di Bandung adalah Groote post weg (jalan besar) yang merupakan jalan pertama yang ada di Bandung. Jalan ini sudah ada sejak era Daendels. Groote post weg (mulai dari Tjimahi hingga Odjoengbrung) telah dibagi ke dalam beberapa ruas jalan dengan nama yang baru seperti jalan Asia Afrika.

Groote post weg (foto 1890)
Ruas jalan Groote post weg ini terbagi dalam beberapa ruas: Andir, Tjitepoes, Pasar, Katja Katja Wetan, Kosambi, Naar Sumedang, Concordia, Naar Tjimahi. Jalan Groote weg begitu panjang dalam konteks masa lalu, tetapi kini jalan sepanjang itu dapat dianggap biasa-biasa saja. Pada masa lalu Groote weg hanya satu ruas saja. Sedangkan ruas-ruas lainnya disebut Groote post weg Andir, Groote post weg Tjitepoes dan sebagainya..

Nama jalan kedua yang ada di Bandung adalah Asisten Resident weg. Nama jalan itu menuju rumah Asisten Resident pada tahun 1846. Rumah Asisten Residen itu berada di Pieters Park (kini Taman Balai Kota). Namun pada tahun 1890-an namanya lebih dikenal sebagai Braga weg. Nama Braga tetap dipertahankan hingga ini hari sebagai jalan Braga.

Winkel straat (foto 1880)
Nama jalan yang ketiga di Bandung adalah Winkel straat. Sejak 1890an namanya berganti dengan Pasar Baroe weg.  Awal adanya jalan ini adalah jalan akses menuju rumah Residen yang baru dibangun (kini rumah Gubernur Jabar). Residen menempati rumah tersebut tahun 1870. Disebut Winkel straat karena di ruas jalan ini dekat jalan pos trans-Java (Groote weg) muncul toko-toko Tionghoa. Lalu nama Winkel straat pernah diganti menjadi Resident weg, tetapi dengan dibangunnya pasar baru (menggantikan pasar lama di ABC weg) sebagian namanya diubah menjadi Pasar Baroe weg. Winkel straat (foto)1880

Jalan ABC Bandung
Nama jalan yang terbilang awal adalah Bantjeui weg dan ABC weg. Bantjeui weg adalah jalan dari kantor pos di Groote weg menuju penjara Bantjeui. Area ini disebut ‘bantjeui’ karena di masa lampau antara ‘kantor post’ dengan penjara terdapat tempat peristirahatan kuda-kuda pos. Penjara dan pos dibangun tahun 1846. Sementara ABC weg adalah jalan yang menghubungkan ujung Bantjeui weg dengan Winkel straat. Disebut ABC weg karena terdapat toko Tionghoa yang terkenal waktu itu, yakni: Toko ABC.

Itulah ruas-ruas jalan yang muncul pada permulaan perkembangan Kota Bandung, yakni: ‘jalan negara’ Groote weg (beberapa ruas) dan ‘jalan kabupaten’ Winkel/Pasar Baroe weg, Asisten Residen/Braga weg dan Bantjeui weg. Peran keempat jalan tersebut masih penting hingga ini hari. Dari empat jalan ini, jalan-jalan baru bertambah tidak hanya di utara Groote weg tetapi juga selatan Groote weg.

Nama Jalan di Kota Bandung

Groote post weg (foto) 1910
Jumlah nama jalan resmi di Bandung pada tahun 1926 sedikitnya 306 buah (lihat Peta Kota 1926). Disebut resmi karena nama jalan sebagaimana juga di kota-kota lain proses penamaan dan proses perubahannya melalui keputusan Burgemeester, setelah melalui pembahasan di dewan kota (gemeeteraad). Dengan kata lain penabalan nama jalan di dalam kota cukup ketat dan harus dibuat dalam surat keputusan wali kota.

Nama-nama jalan di Kota Bandung (sebagaimana di kota lain) didasarkan pada criteria tertentu yang terbagi ke dalam beberapa kategori: nama situs (seperti Bantjeui), nama pahlawan (de Houtman), tokoh yang umumnya terkait kerajaan Belanda, tokoh nasional (seperti Idenburg) dan tokoh lokal (nama mantan wali kota), nama geografis (pulau, daerah, gunung, sungai dan lainnya), tokoh Tionghoa, nama yang dihubungkan dengan kraton (kerajaan) dan lainnya.

Di Medan juga terdapat cukup banyak nama-nama tempat manca negara seperti Hong Kong, Macao, Manila. Nama-nama tokoh internasional seperti Sun Jat Sen, Nehru dan Jose Rizal. Nama pemimpin local seperti nama-nama Sultan dan bahkan nama swasta seperti Hattenbach. Munculnya nama-nama tersebut tidak hanya karena bersifat alamiah (karena memang wajar dan pantas) tetapi juga bersifat politis (diusulkan oleh pihak yang memiliki kekuatan, seperti kraton/istana atau pengusaha besar).  

Perubahan Nama Jalan (Era Belanda)

Masjid Bandoeng (foto)1890
Nama-nama jalan di Bandung di era Belanda yang pernah mengalami perubahan adalah Winkel straat menjadi Pasar Baroe straat. Braga weg sebelumnya adalah Asisten Resident weg.

Nama yang juga diubah adalah Moskee weg menjadi Dalem Kaoem weg. Perubahan nama moskee (masjid) menjadi ‘dalem kaoem’ tidak begitu jelas. Namun yang jelas pada periode kebangkitan bangsa (1900-1928) nama Moskee weg ini sangat terkenal. Popularitasnya bahkan mampu menyanigi Braga weg. Perubahan nama dari moskee ke dalam kaoem diduga karena di sekitar jalan Moskee weg kerap terjadi rapat-rapat besar yang menggunakan Gedong Soedara, milik paguyuban Soedara (sarekat pedagang pribumi yang berafiliasi dengan Sarekat Dagang Islam). Dalam perkembangannya, struktur pengurus Paguyuban Soedara mengalami perubahan yang dulunya adalah didominasi oleh tokoh-tokoh Islam yang pulang dari Mekkah menjadi tokoh-tokoh moderat (kombinasi kalangan istana dan kaoem terpelajar).

Masjid Bandoeng adalah salah satu situs penting di Bandung. Masjid ini dibangun pada tahun 1876 (setelah Perang Atjeh). Dana pembangunan masjid Bandoeng ini juga termasuk bagian dari pengumpulan dana nasional untuk rehabilitasa Masjid Raja Atjeh (setelah luluh lantak pada Perang Atjeh). Masjid ini dirancang oleh Ir. G. van Nes sekaligus yang mengawasi proses pembangunannya. Arsitek Nes juga adalah arsitek yang sebelumnya telah merancang teater Braga (yang nama Braga menjadi Braga weg). Masjid Bandoeng lalu kemudian diserahkan kepada pengurus yang dipimpin Pangheloe Bandoeng.

Gedung teater Braga (yang dimiliki oleh orang-orang Italia) awalnya hanya menyewa tanah yang dimiliki oleh Letnan Cina yang lokasinya persis berada disamping gedung Societeit Concordia (kini menjadi Gedung Merdeka). Letnan Cina ini adalah orang kaya di Bandoeng yang memliki kekayaan di atas orang-orang Eropa, kebajikannya terkenal karena membangun Klenteng Bandoeng dengan biaya sendiri.

Groote weg di depan Hotel Homann (foto) 1895
Di Medan, tokoh Tionghoa terkenal adalah dua bersaudara Tjong Jong Hian adan Tjong A Fie. Letnan Cina Bandoeng tipikal tokoh Kapten Tjong A Fie (pemimpin Tionghoa. kaya, memiliki jaringan bisnis luas dan pergaulatan dengan orang-orang Eropa dan orang-orang istana dan juga ‘dermawan’. Para komandan-komandan di Medan dan Bandung inilah yang member pengaruh besar dalam berbagai kebijakan pembangunan dan juga tentang penabalan nama-nama terkait Tiongkok/Tionghoa. Di Bandung nama-nama jalan terkait Tionghoa antara lain: Chinese voor straat, Chinese Kerk straat, Coen straat, Joe Liong straat dan Jaap Loen straat (Jaap Loen plein).   

Dengan demikian nama-nama jalan di Bandoeng di era Belanda tampak berwarna warni: Eropa, Tionghoa dan pribumi (kraton). Satu hal yang agak unik (tidak begitu jelas sabab musabanya) adalah kehadiran nama Multatuli weg di Bandung dan Max Havelaar di Medan. Nama Max Havelaar diambil dari nama buku karangan Edward Douwes Dekker (mantan controleur Natal, Tapanoeli yang kontoversial, pejabat pemerintah Belanda tetapi mengadvokasi penduduk Mandailing en Angkola). Pada era kemerdekaan nama Multatuli weg tetap dipertahankan di Bandoeng, sedangkan nama Max Havelaar weg di Medan digeser menjadi Jalan Multatuli.

Perubahan Nama Jalan (era Kemerdekaan)

Nama-nama jalan di Bandung pada era Republik Indonesia sebagian besar diubah setelah pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Perubahan nama jalan ini sesuai dengan petunjuk pemerintah pusat, efektif baru berlangsung pada tahun 1950. Groote weg menjadi Jl. Raya Barat, Jalan Raya dan Jl. Raya Timur. Dalam perkembangannya Jl. Raya Timur menjadi Jl. Asia Afrika.

Bragaweg tetap dipertahankan. Nama Braga adalah suatu sarikat seni yang digagas oleh seorang Italia yang mengadakan pertunjukan seni, drama, music, pantomim. Oleh karena nama tempat hiburan ini makin popular, lambat laun nama jalan tempat dimana teater ini berada menjadi Bragaweg (sebelumnya bernama Asisten Resident weg). Nama jalan lain yang tetap dipertahankan adalah Boscha dan Pasteur.

Nama-nama tokoh Belanda semuanya diubah. Tokoh lokal yakni walikota Bandung pertama ditabalkan namanya sebagai Burgemeester Coops menjadi Jl. Padjadjaran, Burgemeester Kuhr weg menjadi Jl. Purnawarman.

Sejumlah tokoh nasional seperti Idenburg weg (Jl. Sukabumi), Daendels weg (Jl. Jakarta), Heutz weg (Jl. Serang), De Stuers weg, Both weg (Jl. Teratai), Rochussen weg (Jl. Kacapiring). Ruyterlaan (Jl. Martadinata). Jika mundur ke belakang ada nama-nama tokoh penting lainnya, seperti Riebbeek weg (menjadi Jl. Pacar), Houtman (Jl. Tjioedjoeng) dan Tasman weg (Jl. Cilaki). Hollandia straat (nama kapal ekspedisi Cornelis de Houtman).

Juga ada nama-nama terkait kerajaan, seperti Nassau, Juliana weg, Emma weg, Wilhelmina boulevard (Jl. Diponegoro)

Nama-nama daerah sebagian besar dipertahankan. Namun ada yang diganti: Madura weg menjadi Jl. Angkuning, sebaliknya Soenda straatc menjadi  Jl. Sumbawa. Lalu Oosteinde weg menjadi Jl.  Sunda. Sementara nama-nama yang terkait dengan kraton: Pangeran Sumedang weg menjadi Jl. Pasar Baru, Regent weg menjadi Jl. Kabupaten (kini Dewi Sartika), Soenia Radja (Sunia Raja)

Nama gunung: Papandaya (tetap), Slachthuis weg (Jl. Arjuna).

Nama lainnya seperti Multatuli, Merdika lio weg (Jl. Pajajaran), Bantjeui weg (tetap), Boengsoe (Bungsu) dan Tamblong (Tamblong)

Nama situs seperti Resident weg (kini Jl. Gubernur), Kerk weg (Jl. Gereja). Pada peta 1910 disebut Moskee weg namun dalam peta-peta selanjutnya disebut Dalem Kaoem weg. Situs lainnya adalah HBS, School weg (Jl. Merdeka), Loge weg (Wastu Kencana), Hoogeschool, Oudehospitaal weg (Jl, Lengkong) dan Societeit straat (Jl. Patra Komala).

Nama-nama jalan lainnya yang tetap dipakai antara lain: ABC, Naripan dan sebagainya.

Apakah Nama Jalan Bisa Diubah?

Nama jalan haruslah dipandang sebagai wujud dari karakter kota. Nama jalan di kota seharusnya nama jalan mewakili nama yang ditabalkan. Nama yang ditabalkan pada jalan haruslah proporsional dalam arti nama tersebut dapat ditelusuri mengapa nama jalan tersebut diberi nama. Nama-nama jalan di kota sesungguhnya dapat dipandang sebagai ‘buku sejarah’ dalam bentuk ‘peta jalan’. Taman Sejarah yang kini dipopulerkan Pemerintah Kota Bandung harus diperluas maknanya ke ‘peta nama jalan’. Itu baru sempurna. Dengan demikian, ketika anak-cucu bertanya suatu waktu apa artinya nama jalan yang dilaluinya harus dapat menjelaskan dengan sendirinya. Ini berarti, ‘peta nama jalan’ akan lebih abadi dan dengan sendirinya akan memperkuat eksistensi Taman Sejarah di Kota Bandung.
Jika Taman Sejarah yang kita jadikan sebagai patokan untuk masa datang, maka nama-nama jalan di Bandoeng dapat saja dievaluasi kembali, dikoreksi dan diberi nama baru. Perubahan nama boleh-boleh saja  demi untuk membangun sejarah itu sendiri. Jangan sungkan untuk mengubah nama jalan jika nama jalan yang ada sekarang tidak proporsional. Misalnya, Jalan Merdeka sangat proporsional untuk saling menggantikan antara Jalan Merdeka dengan Jalan Jenderal Sudirman. Di Padang Sidempuan, malah sebaliknya, Jalan Jenderal Sudirman saling menggantikan dengan Jalan Merdeka (aneh bukan?). Juga nama jalan Dalem Kaoem dikembalikan menjadi Jalan Masjid. Dan tentu saja akan banyak nama yang dapat diubah jika dikaji lebih komprehensif. Jangan asal menganti tetapi malah menimbulkan kontroversi. Jalan Merdeka (utara, timur, barat dan selatan) di Jakarta adalah contoh yang baik hal yang bersifat kontroversi (pro-kontra) ketika namanya ingin diubah.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sember-sumber tempo doeloe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar