Laman

Rabu, 15 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (2): Padang, Ibukota 'Pantai Barat Sumatra'; AV. Michiels, A. van der Hart dan AP. Godon

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Kota Padang adalah ibukota Provinsi Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust). Kota Padang baru dikenal sebagai sebuah pos perdagangan di era VOC (1660) dan baru tumbuh dan berkembang pada Pemerintah Hindia Belanda (pasca Traktat London, 1824). Lalu pertumbuhan dan perkembangannya semakin cepat pada saat Pantai Barat Sumatra ditetapkan sebagai Provinsi dengan menaikkan status Residen yang berkedudukan di Kota Padang menjadi Gubernur.

Monumen AV Michiels di Kota Padang (foto 1910)
Kota Padang awalnya dijadikan sebagai ibukota Residentie Sumatra’s Westkust yang meliputi Bengkulu dan Padangsche (Bovenlanden dan Benelanden). Ketika wilayahnya diperluas ke utara (hingga ke Singkel) statusnya dinaikkan menjadi Province yang terdiri dari empat residentie: Padangsche Benelanden, Padangsch Bovenlanden, Bencoelen dan Tapanoeli. Namun dalam perkembangannya, Bengkulu dipisahkan dari Sumatra’s Westkust dan kemudian Residentie Tapanoeli. Pada tahun 1905 Provice Sumatra’s Wetskust hanya tinggal Padangsche Benelanden dan Padangsch Bovenlanden (yang menjadi wilayah Provinsi Sumatra Barat yang sekarang).

Perubahan administrasi pemerintahan di Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra) terjadi secara gradual sesuai dengan perkembangan geopolitik dan penetapan suatu wilayah sebagai region ekonomi kolonial. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut berdampak langsung pada pasang surut pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang sebagai pusat pengembangsan sosial, ekonomi dan budaya yang utama di Pantai Barat Sumatra. Sementara itu, perubahan yang terjadi di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Ooskust) juga memberi kejutan terhadap dinamika perkembangan Kota Padang. Semakin intensnya industry perkebunan kolonial di Sumatra Timur,  kota Padang secara perlahan perkembangannya melambat dan kemudian tertinggal jauh dari Kota Medan, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kolonial yang baru. Dalam hubungan ini, sebagaimana agen-agen pembangunan dari Tapanoeli, agen-agen pembangunan kota Padang juga melakukan eksodus ke Kota Medan. Aset-aset pengusaha, baik orang-orang Eropa, Tionghoa atau pribumi juga turut direlokasi dari Kota Padang ke Kota Medan.

Tiga tokoh utama yang berpengaruh dalam awal pemerintahan di Province Sumatra’s Westkust yang secara langsung telah memberi pengaruh besar pada awal pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang adalah Gubernur pertama Province Sumatra’s Westkust, Andreas Victor Michiels, Resident Pertama Tapanoeli, Alexander van der Hart dan Asisten Residen Afdeeling Mandailing dan Angkola, Alexander Philippus Godon.

Geopolitik di Pantai Barat Sumatra

Kesulitan Belanda (VOC) untuk melakukan ekspansi ke pulau Sumatra adalah karena faktor Atjeh. Dalam buku ‘De nieuwe reisiger; of Beschryving van de oude en nieuwe waerelt’ (1766) disebutkan sebagian besar pulau Sumatra di bawah kekuasaan Kerajaan Aceh (De Koning van Achem), Kota-kota terkemuka yang berada dibawah pengaruhnya adalah Hooftstad, Pedir, Pacem, Dely, Daya, Labou (Meulaboh), Cirkel (Singkel), Barros, Batahan, Paffaman (Air Bangis?), Ticou, Priaman en Padang, Begitu besar kekuasaan kerajaan Atjeh ini sehingga rajanya disebut Koning der Koningen (King of Kings).

Dari deretan nama-nama tersebut pada masa ini kota-kota besar di Sumatra terdapat di Aceh (Hooftstad, Pedir, Pacem, Daya, Labou dan Cirkel), di Tapanoeli (Barros, Batahan), Sumatra Barat (Paffaman, Ticou, Priaman en Padang) dan Sumatra Timur (Dely).

Dalam buku ‘Hollands rijkdom, behelzende den oorsprong van den koophandel, en van de magt van dezen staat’ (1780), Belanda tidak mudah untuk melakukan kerjasama perdagangan dengan Atjeh. Namun demikian Belanda masih bisa membangun maskapai di tempat yang terbatas di pantai timur Sumatra seperti di Siak dan Palembang. Sejauh ini (tahun terbit buku) maskapai (maschappij) yang masih mampu bertahan di pantai barat Sumatra adalah yang berada di Padang yang meliputi pulau-pulau Chinko dan Banes. Komoditi perdagangan terbesar Belanda (VOC) yang berbasis di Padang tersebut adalah benjouin (kemenyan), emas dan campher.

Kemenyan dan kamper adalah produk alami yang bersumber di Angkola dengan pelabuhan tradisional Baros via Loemoet. Emas adalah produk alami di Mandailing yang diperdagangankan di Batahan dan produk alami di Pasaman yang diperdagangkan di pelabuhan Pasaman (Air Bangis?).

Mengapa pelabuhan Padang masih bisa dipertahankan di pantai barat Sumatra dapat dipahami karena secara geopolitik dalam hubungannya dengan perdagangan Belanda pada waktu itu posisi strategis kota Padang lebih aman jika dibandingkan kota-kota lain yang letaknya di arah utara. Kota Padang secara spasial menjadi relatif lebih jauh dari Atjeh tetapi menjadi relatif lebih dekat dengan Batavia. Padahal secara ekonomi, posisi pelabuhan Padang tidak terlalu potensial.
  
Ibukota Pantai Barat Sumatra

Pantai barat Sumatra di bawah pengaruh Eropa tampaknya telah silih berganti sejak 1644: Belanda, Inggris dan Perancis. Posisi pelabuhan Padang lambat laun menjadi tidak tergantikan. Ketika Padang berada dibawah kekuasaan Belanda, Inggris memperkuat kekuasaannya di Bengkulu dan Tapanoeli (Telok Tapanoeli). Sementara kekuatan Perancis secara bertahap diperlonggar dan akhirnya lebih memperkuat di Indo China. Belanda dan Inggris terus saling mengancam hingga pada akhirnya terjadi Traktat London pada tahun 1824.

Keberadaan kota Padang di era VOC, bahkan sejak 1644, hingga 1824 tetaplah sebagai post perdagangan. Suatu tempat dimana dibangun gudang-gudang pengumpulan komoditi untuk diteruskan ke Eropa. Tempat ini hanya dilengkapi dengan benteng (semacam brikade) dan garnisun di bawah komandan militer. Area yang berada di muara sungai Batang Arau lebih mirip sebagai suatu benteng dari pada sebuah kota. Pemerintahan juga tidak eksis, bahkan pemerintahan militer sekalipun. Fungsi militer lebih pada upaya uantuk menjaga keamanan gudang dan tidak melakukan upaya memperluas teritori (pertahanan territorial). Oleh karenanya area post perdagangan tersebut tidak bisa dikatakan representai sebuah kota (seperti halnya Batavia, Semarang dan Soerabaja).      

Post perdagangan (pelabuhan) Padang sesungguhnya baru muncul sebagai kota segera setelah perjanjian Traktat London (1824). Hal ini terkait dengan ibukota pantai barat Sumatra yang dipilih adalah Padang (bukan Bengkulu, yang baru ditinggalkan Inggris). Pilihan Padang sebagai ibukota, secara historis merupakan koloni pertama Belanda di pantai barat Sumatra (1644) dan secara spatial (ekonomi dan social) Padang berada di pangkal jalur ekonomi tersibuk yang selama ini berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Kerajaan Atjeh (mulai dari Pulau Chinko hingga Singel).

Bentuk pemerintah yang dibentuk masih sangat sederhana dan dilakukan secara bertahap dan dimulai dari Padang. Residen pertama Sumatra’s Wetskust adalah Luitenant Kolonel AT Raаff. Pada tahun 1829 (lihat Almanak 1829) struktur pemerintahan di Pantai barat Sumatra sudah semakin lengkap. Residen kedua Sumatra’s Westkust (Pantai Barat Sumatra) adalah W. Mac Gilavrij. Residen dibantu dua asisten residen: Asisten Residen yang merangkap sekretatis dan Asisten Residen Zuidelij Afdeeling yang berkedudukan di Padang. Selain itu beberapa pejabat ditempatkan di Padang. Salah satu pejabat khusus adalah pakhuismeester (yang berfungsi di bidang perdagangan). Untuk menjaga keamanan territorial yang baru Civiel en Militair Komanndant ditempat di Padangsche Bovenlanden (Padang Pandjang?), di Pariaman, di Agam dan di Air Bangies. Di Pulau Chinco sendiri hanya menempatkan seorang posthouder (petugas perdagangan). Untuk wilayah Bengkulu diangkat seorang Asisten Residen. Dalam struktur pemerintahan yang baru ini tampak pemimpin lokal diangkat dan disertakan di Bengukulu yakni Radja Daim Mabelah (hoofd regent di Bengkulu), Pangeran Linggang (regent Soengia Lammoe) dan Pangeran Radja Chalippa (regent Soengia Itam).

Regent dalam hal ini semacam Bupati di Jawa. Pada tahun 1829 di Preanger para bupati dimasukkan dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda yakni Bupati Bandoeng, Bupati Soekapoera (Garoet), Bupati Sumedang dan Bupati Tjiandjoer. Bupati Bandoeng adalah hoofd regent.

Pada tahun 1830, selain di Bengkulu, juga diangkat dan disertakan regent, yakni  Toeankoe Soetan Mansoer Alam Shah di Padang (hoofd regent), Soetan Alam Bagagar Shah (regent van Pagar Roejoeng). Ini mengindikasikan bahwa di wilayah masing-masing terdapat regent yakni Padangsche Benelanden dan Padangsch Bovenlandan. Dua regent inilah yang di satu sisi akan memerintah bagi penduduk pribumi dan di sisi lain untuk melayani pemerintah (dalam hal ini Residen).

Pada tahun 1830 ini juga wilayah pemerintahan diperluas ke utara yakni dengan menempatkan masing-masing seorang posthouder di Natal, di Tapanoeli (Sibolga) dan di Poelo Batoe serta seorang  Civiel Commandant di Aijer Bangies

Dengan terbentuknya pemerintah Hindia Belanda di Pantai Barat Sumatra yang beribukota di Padang, maka kota Padang lambat laun tumbuh dan berkembang menjadi suatu kota. Benar-benar kota. Kota tumbuh dan berkembang dari origin, suatu area pos perdagangan di sisi barat muara sungai Batang Arau yang selama ini bertumpu pada loge (gudang) dan perumahan-perumahan.

Pada saat mulai terbentuknya kota Padang (eks post perdagangan) di seluruh area Kota Padang yang sekarang tidak terdapat sebuah kampong, kecuali perkampungan migran orang-orang Nias yang kini berada di belakang loge. Hal ini karena lanskapnya penuh rawa-rawa dan kurang kondusif bagi penduduk terdekat untuk membangun lahan pertanian. Hal serupa ini ditemukan ketika pemerintah Hindia Belanda memulai membentuk pemerintahan di Regentshap Bandoeng dengan ibukota Bandoeng (baru) pada tahun 1829. Meski Padang dan Bandoeng bersamaan, namun ibukota Bandoeng benar-benar dimulai dari nol, sementara Padang sudah menjadi basis perdagangan sejak 1644.

Di kota Padang dengan sendirinya akan bertambah para pejabat pemerintahan baik orang-orang Eropa/Belanda maupun pribumi. Penambahan pejabat ini ke depan akan semakin membengkak. Pada tahun 1831 terjadi perubahan radikal dimana status Residen yang dalam beberapa tahun terakhir ini dipegang orang sipil diganti dengan seorang militer. Nama jabatan Residen berubah menjadi Residen en Militair Kommandant. Residen Militer yang ditunjuk adalah Luitenent Kolonel Mr CPJ Elout. Jabatan ini seakan kembali ke awal ketika pertama kali residen Sumatra’s Wetskust diangkkat pada tahun 1824 yakni Luitenant Kolonel  AT Raаff.

Perubahan ini dimaksudkan untuk merespon dengan semakin meningkatkanya ekskalasi politik di pedalaman di Padangsche Bovenlanden yakni manuver yang dilancarkan oleh kaum Padri. Boleh jadi manuver kaum Padri ini muncul sebagai respon keterlibatan pihak kerajaan (Pagaroejoeng) menjadi bagian dari pemerintahan (colonial) Hindia Belanda. Perubahan struktur pemerintahan yang kini bersifat militer juga terlihat dengan adanya penempatan seorang Civiel Kommandant di utara kota Padang yakni di Pariaman dan di selatan kota Padang seorang post houder di Poelo Chinko dan pengangkatan seorang regent di Indrapoera (Soetan Achmad Shah).

Pada tahun 1832 perubahan terus terjadi. Nama jabatan Residen dari Residen en Militair Kommandant menjadi Komamandant der Troepen en Resident dan pengangkatan seorang ajudant dengan pengkat Letnan. Demikian juga di Pariaman dari Civiel Kommandant menjadi Civiel en Militair Kommandant. Perubahan yang radikal juga terjadi yakni mengganti jabatan hoofd regent (Toeankoe Soetan Mansoer Alam Shah) menjadi jabatan Toeankoe Panglima (Mara Indra) ditambah dengan jabatan Toeankoe Bandahara (Soetan Iskandar).

Javasche courant, 18-04-1833: Kabar terakhir yang diterima dari Padang, 8 Maret situasi cukup menguntungkan dan kepercayaan antara masyarakat dan Pemerintah semakin kuat, khususnya bukti yang diterima dari Lima Poeloeh Kotta, Lintou, Boa, Tujuh Kotta dan Doeapoeloeh Kotta. Sementara itu di Priamansche dan daratan rendah di divisi sebelah utara Bonjolsche (Rao?) situasi juga sangat memuaskan. Sedangkan di bagian dari Bonjol, dimana kematian Toeankoe Moeda, pemerintahan mengalami ketakutan yang besar, ada sedikit kemungkinan permusuhan baru. Untuk itu, Kolonel Elout dari Tikoe akan memperkuat pertahanan di Fort van der Capellen (kini Batu Sangkar?). Overste Elout adalah otoritas sipil baru sejak kembali dari Jawa di pedalaman (Padangsche Bovenlanden?)'.

Di wilayah utara bahkan terjadi reposisi: di Natal yang sebelumnya hanya menempatkan seorang post houder kini ditempati oleh seorang Civiel en Militair Kommandant berpangkat 1ste Luitenant dan di Air Bangies sendiri dari Civeel Kommandant diubah menjadi Civiel en Militair Kommandant.

Perubahan struktur pemerintahan yang condong pemerintahan militer ini boleh jadi merupakan langkah tindakan pengamanan yang lebih optimal untuk merespon pergerakan (manuver) kaoem Padri atau boleh jadi merupakan suatu prakondisi untuk memulai kembali perang terbuka dengan kaoem Padri. Perubahan tidak berhenti di situ, pada tahun 1836 wilayah-wilayah yang terpisah-pisah di utara (noordelijke afdeeling) disatukan menjadi satu sistem pemerintahan dengan menempatkan seorang Asisten Residen di Natal (JA Moser).

Pada tahun-tahun ini situasi dan kondisi di Pantai Barat Sumatra diduga dalam situasi ketegangan yang mengakibatkan perekonomian lumpuh. Untuk memenuhi kebutuhan beras di wilayah-wilayah pemerintahan baru itu, terutama untuk mendukung ketersediaan pangan bagi pemerintah sipil dan militer didatangkan pasokan beras dari Jawa. Daerah Padangsche Benelanden di Padang sebanyak 425.000 pound. Priaman 45.000, Tikoe 80.000, Aijer Bangies 20.000, Natal 70.000, Tappanolie, 20.000, Bencoelen, 170.000. Untuk Padangtche Bovenlanden di Bondjo1 sebanyak 2.500,000, Kotta Nopan di Mandailing dan Rao sebanyak 300.000 pound. Wilayah-wilayah tersebut dibagi ke dalam empat spot: 1. Bencoelen, 2. Padangsch Benelanden, 3. Padangsche Bovenlanden, 4. Mandailing dan Rau (lihat Javasche courant, 22-10-1836). Volume yang tinggi di Bondjol yang mencapai 2.5 juta pound menggambarkan di daerah itu tengah terkonsentrasi kekuatan Pemerintah Hindia Belanda yang dapat dikaitkan dengan situasi dan kondisi sebelum terjadinya Perang Bondjol.

Pada tahun berikutnya, 1837, status Resident Sumatra’s Westkust ditingkatkan menjadi Province. Sehubungan dengan itu wilayah pemerintah semakin diperluas ke utara dengan menempatkan pejabat civiel en militair di Mandailing dan di Rao. Ini berarti Residen sebelumnya yang berpangkat Luitenant Kolonel (Elout) digantikan oleh seorang gubernur dengan pangkat Kolonel yakni AV Michiels. Dalam struktur pemerintahan ini sesungguhnya mengindikasikan bahwa targetnya adalah wilayah Bondjol (pusat kekuatan kaoem Padri).

Sebelumnya Luitenant Kolonel AV Michiels tahun 1833 telah berpengalaman dalam ekspedisi di Djambi. Atas prestasinya di Djambi pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel. Dengan semakin meningkatnya eskalasi politik di Padangsche Bovenlanden maka portofolio tertinggi dan yang sesuai dengan kebutuhan komandan militer di Sumatra, pilihannya hanya satu yakni Kolonel AV Michiels.

Benar bahwa pada tahun 1837 telah terjadi pengepungan terhadap kekuatan bersenjata kaoem Padri di Bondjol. Toeankoe Imam Bondjol ditangkap dan diasingkan. Sementara itu pemimpin kaoem Padri yang lain Toeankoe Tambusai menghindar dan menjauh ke Angkola (dan Padang Lawas), namun di Angkola para pengikut Toeankoe Tambusai ini melakukan terror terhadap penduduk.

Setelah Bondjol dapat ditaklukkan, Pemerintah Hindia Belanda dengan para pemimpin lokal mulai melakukan konsolidasi dan membuat kesepakatan-kesepakatan yang ditindaklanjuti dengan  dimulainya program pengembangan ekonomi kolonial di Padangsche Bovenlandan.

Pada tahun 1838 Pemerintah Hindia Belanda terus merangksek lebih ke utara lagi untuk membebaskan Angkola dari terror yang dilakukan oleh pengikut Toeankoe Tambusai. Dalam pembebasan Angkola ini, militer Belanda dibantu oleh para hulubalang Mandailing dibawah pimpinan Radja Gadoembang. Lalu kemudian, kekuatan Toeankoe Tambusai yang telah bergeser ke Daloe-Daloe dianggap tetap menjadi ancaman kehadiran Belanda dan ketenangan penduduk Mandailing dan Angkola (termasuk Padang Lawas). Pada tahun ini juga terjadi konsolidasi kekuatan untuk melumpuhkan Toeankoe Tambusai di Daloe-Daloe.

Secara keseluruhan penduduk Sumatra’s Westkust adalah bagian dari penduduk Sumatra. Jumlah penduduk Sumatra pada awal pembentukan provinsi Sumatra’s Westkust diperkirakan sebanyak 4.550.000 jiwa yang terdiri dari Atjeh 600.000, Batak (antara Atjeh dan Rao) 1.200.000, Melayu, antara Baros dan Indrapoera di Pantai Barat Sumatra dan antara Siak dan Palembang di Pantai Timur Sumatra, 2.000.000; Redjang dan Passawah di Kerajaan Palembang dan antara Bengkulu dan Cawor sebanyak 600.000 serta Lampoeng sebanyak 150.000 {lihat Tijdschrift voor Neerland`s Indië jrg 2, 1839 (1e deel) [volgno 2]}. Di Pantai Barat Sumatra sendiri populasi tersebar antara lain di Baros sebanyak 3.000 jiwa termasuk 200 Atjeh; Sorkam (1.000 jiwa), Sibolga sebanyak 300 jiwa Batak; Toeka 3.000 Batak; Siboeloean 1.000 Batak, Kalangan 300 Melayu, Singkoewang 3.000 jiwa Mandailing, Angkola dan Melayu, Batoemondong 2.000 Mandailing; Taboejoen 2.000 jiwa sebagian besar Angkola, Koenkoen 500 jiwa; Natal 3.000 jiwa; Linggabajoe 3.000 Mandailing; Batahan 2.500 Mandailing, Ajer Bangies 3.000 jiwa; Siekalang 3.000 jiwa; Pasaman 200 jiwa; Kinali 3.000 jiwa; Mandailing dengan populasi besar sebanyak 40.000 jiwa yang terbagi ke dalam 38 kampung besar; Loeboe 10.000 jiwa termasuk Batak; Angkola 10 kampung besar dengan populasi 10.000 jiwa; Padang Lawas delapan kampong besar dengan penduduk 8.000 jiwa; Rao memiliki 20 kampung besar dengan populasi 25.000 jiwa; Tapboese yang menjadi otritas Toeakoe Tambuse tidak ada data populasi; Bondjol yang kemudian berada di bawah otritas Padri dengan dipimpin empat iman yang pada tahun 1832 mengakui Belanda tetapi tahun 1833 memberontak yang berpopulasi 8.000 jiwa; Tikoe 4.000 jiwa; Danau (Maninjau?) sebanyak 10.000 jiwa; Doeabelas Kota 8.000 jiwa; Lima Kota 4.000 jiwa; Siekara (Singkarak?) sebanyak 1.000 jiwa; Priaman 2.000 jiwa; Toejoeh Kota 7.000 jiwa; Oelakan 1.500 jiwa; Loeboe Aloeng 2.000 jiwa; Padang sebanyak 1.400 jiwa (yang meliputi Nanggalo, Nan Doepoeloeh, Limau Manis, Loeboe Kilangan, Boengoes, Tjiendakie, Telok Kakang); Pauw sebanyak 4.000 jiwa; Kota Tangah, termasuk Gassang 3.000 jiwa; Troessan 4.000 jiwa; Baijang 2.500 jiwa; Salida 2.000 jiwa dan Indrapoera 2.500 jiw; Loehak Tanah Datar 80.000 jiwa; Agam sebanyak 80.000 jiwa; Sembilan Kota 20.000 jiwa; Lima Poeloeh Kota sebanyak 50.000 jiwa; Alaban 10.000; Lintau 4.000 jiwa; Tandjong Alam 15.000; Doeapoeloeh Kota sebanyak 100.000 jiwa; Batipoe 12.000; Doeabelas Kota 12.000; Toejoeh Laras 6.000; Moco-moco sebanyak 9.000; Soengie Lammau 12.000; Soengi Jetam 4.000 jiwa; Silebar 6.000; Saloema 7.000; Manna 13.000; Cawor 5.000; Croe 10.000; Ampat Lawang 11.000; Redjang 10.000; Poeloe Nias sebanyak 200.000 dan Poeloe Batoe 30.000.

Peta militer (pengepungan T. Tamboesei), 1838
Dalam penyerangan untuk melumpuhkan kekuatan Toeankoe Tambusai di Daloe-Daloe dilakukan pengepungan setengah lingkaran. Benteng yang sudah didirikan di Rao dan Panjaboengan (Mandailing) menjadi bagian kekuatan dari selatan. Pasukan dari Benteng Panjaboengan (juga disebut benteng Elout) merangsek dari Panjaboengan dan Siaboe menuju Padang Lawas ditambah satu kekuatan yang didatangkan dari Sibolga mengikuti rute Pijorkoling lalu ke Pertibie. Dengan kekuatan gabungan tersebut penyerangan dimulai. Perang ini disebut Perang Pertibie. Kekuatan Toeankoe Tambusai dapat dilumpuhkan. Dengan demikian, Mandailing dan Angkola menjadi aman dan bebas dari terror.

Algemeen Handelsblad, 07-09-1838: oleh suku-suku yang berbeda di selatan dan tenggara Bataklanden dilaporkan pemerintah telah memulai negosiasi untuk penyerahan yang akan datang. Setelah mengambil alih Fort Pertibie telah benar-benar Padang Lawas dan Kotta Pinang dikuasai. Setelah dari Ankola dan Kotta Nopan di Mandheling untuk Pertibie tentara kami melakukan pengepungan setengah lingkaran terhadap kafir, tanah dan kepala asli Tamboesy menjadi terkepung, dengan demikian tujuan menjadi mencapai untuk membebaskan Ankola dan Sipirok di utara Negara Batta. Setelah itu, baru mereka harus menghela napas setelah begitu lama direcokin oleh Tamboesy. Kampong Daloedaloe terletak liama hari di tenggara dari Pertibie masih kuat dikelilingi oleh pengikut yang bersenjata. Namun Tamboesy sendiri harus telah keluar dari Padang Lawas dan kini di lanskap lain, seperti ia sudah akan memiliki isyarat penampungan dan kesiapan disana’.

Setelah Daloe-Daloe dapat ditaklukkan, pada tahun 1839 Pemerintah Hindia Belanda dengan para pemimpin lokal di Mandailing dan Angkola mulai melakukan konsolidasi dan membuat kesepakatan-kesepakatan (MoU) yang ditindaklajuti dengan dimulainya program pengembangan ekonomi kolonial di Mandailing dan Angkola. Untuk mengakomodasi kesepakatan-kesepakatan tersebut juga mulai dibentuk pemerintahan sipil.

Pembentukan pemerintahan di Mandailing dan Angkola dengan sendirinya mengubah struktur pemerintahan yang lama di Sumatra’s Westkust. Dalam hal ini pada tahun 1840 afdeeling-fadeeling yang berada di utara (Noordelijke Afdeeling) direstrukturisasi dengan meniadakan Asisten Residen di Natal dan membentuk satu residentie yang baru yakni Residentie Air Bangies dengan ibukota di Air Bangies (menggantikan Natal).

Resident yang berkedudukan di Air Bangies dibantu oleh dua orang Asisten Residen di afdeeling Mandailing en Angkola yang beribukota di Panjaboengan dan di afdeelin Rao yang berkedudukan di Rao. Di Natal sendiri, yang sebelumnya asisten berkedudukan hanya menempatkan seorang controleur. Pada fase ini wilayah pemerintah diperluas lagi ke utara dengan menempatkan seorang pejabat sipil di Baros. Sementara di Tapanoeli tetap menempatkan seorang posthouder.

Dengan demikian Province Sumatra’s Westkust tetap terdiri dari tiga residentie. Hanya saja dalam hal ini Residentie Bencoelen dipisahkan (pada nantitinya menjadi bagian dari Zuid Sumatra) dan sebagai gantinya adalah Residentie Air Bangies.  Tiga residentie yang berada di dalam satu province Sumatra’s Westkust adalah Residentie Padangsche Benelanden (di Padang). Residentie Padangsche Bovenlanden (di Fort de Kock) dan Residentie Air Bangier di Air Bangies.

Setelah dimulainya program pengembangan ekonomi colonial di Padangsche (Benelanden dan Bovenlanden) dan Mandailing en Angkola, fungsi pemerintahan di Padang makin mekar dan pejabat-pejabat baru terus didatangkan dari Batavia ke Padang. Hal ini juga terjadi di Fort de Kock, Air Bangies dan Panjaboengan.

Pada tahun 1841 di Province Sumatra’s Westkust dua institusi baru dibentuk untuk mendampingi institusi pemerintahan yang selama ini (Governoer, Resident, Asisten Residen dan Controleur).  Meski ada tiga residentie tetapi jumlah Residen hanya ada dua yakni di Residentie Padangsche Bovenlanden dan di Residentie Air Bangier. Di Residentie Padangsche Benelanden yang juga berkedudukan di Padang hanya setingkat asisten residen namun dibantu oleh seorang pemimpin lokal yang disebut hoofd regent (yang dipegang oleh Soetan Iskandar). Institusi baru tersebut adalah Raad van Justitie dan Wees en Boedelkamer.

Pada tahun 1842 dibentuk lagi satu residentie, yakni Residentie Bataklanden yang terdiri dari dua afdeeling: Tapanoeli dan Pertibie. Meski sebuah residentie tetapi secara definitive belum ada Resident, tetapi dirangkap oleh Residen Air Bangies. Di Tapanoeli ditempatkan seorang asisten residen yang berkedudukan di Sibolga yang dibantu dua controleur yakni di Baros dan di Singkel. Sementara di Nias yang berkedudukan di Goenoeng Sitoli ditempatkan seorang posthouder. Sedangkan di afdeeling Pertibie ditempatkan seorang pejabat dengan wilayah kerja Padang Lawas, Tamboesai, Panel dan Bila yang mana di di Bila ditempatkan seorang Controleur. Bersamaan dengan pembentukan residentie Bataklanden ini, di afdeeling Mandailing en Angkola diangkat dua controleur yakni di Angkola dan di Pakantan.

Pada tahun 1844 nama Residentie Bataklanden diubah menjadi nama baru, menjadi Residentie Tapanoeli. Sementara afdeeling Pertibie dilikuidasi. Hal ini boleh jadi wilayah Padang Lawas belum aman sepenuhnya, namun diduga karena alasan potensi ekonomi yang tidak kondusif, sementara belum seaman di Mandailing dan Angkola yang secara ekonomi sangat potensial. Nama Bataklanden tampaknya akan dipersiapkan sebagai nama afdeeling baru yakni yang meliputi Silindoeng en Toba.

Pada tahun 1845 terjadi lagi restrukturisasi pemerintahan di Province Sumatra’s Westkust. Afdeeling Mandailing en Angkola dipisahkan dari Residentie Air Bangis dan kemudian dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Sedangkan afdeeling Rao dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden. Akibatnya Residentie Air Bangies dilikuidasi dan dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden dengan hanya menempatkan asisten residen di Air Bangies.

Setelah Residentie Tapenoeli diperkuat dengan masuknya afdeeling Mandailing en Ankola, maka status asisten residen ditingkatkan menjadi Residen yang berkedudukan di Sibolga. Residen yang diangkat adalah Alexander van der Harta, sedangkan asisten residen sebelumnya (Galle) diposisikan sebagai sekretaris Resident. Di afdeeling Mandailing en Ankola sendiri tetap dijabat oleh seorang asisten Residen (tetap dijabat TJ Willer).

Jabatan Gubernur sendiri pada tahun 1845 masih tetap dijabat oleh AV Michiels. Ini berarti AV Michiels yang merupakan gubernur pertama Province Sumatra’s Westkust yang dimulai sejak 1837 telah menjabat selama delapan tahun. Sementara Residen Padangsch Bovenlanden, Steinmeez yang berkedudukan di Fort de Kock tetap dibantu oleh dua asisten residen (di afdeeling Tanah Datar dan di afdeeling Agam) ditambah satu asisten residen baru di afdeeling Lima Poeloeh Kota.

Yang menarik adalah Residen pertama Tapanoeli, yang baru difungsikan pada tahun 1845, pejabat yang diangkat tersebut adalah Alexander van der Hart, seorang mantan ‘anak kesayangan’ Kolonel AV Michiel dalam Perang Bondjol tahun 1837. Saat itu pangkat van der Hart masih Kapten. Alexander van der Hart adalah seorang pahlawan Belanda, seorang pemberani yang berhasil naik dan memasuki bagian dalam Benteng Bonjol yang menyebabkan pasukan inti Toeankoe Imam Bonjol dapat ditaklukkan. Kini, Alexander van der Hart yang telah mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor. Ketika Residentie Tapanoeli membutuhkan seorang Residen maka pilihan AV Mischiels jatuh pada mantan anak buah kesayangan ini. Namun demikian, tidak hanya semata karena itu, tetapi karena pada tahun 1845 terjadi beberapa pemberontakan di Tapanoeli seperti di Loemoet dan juga pengikut Toeankoe Tambusai melancarkan kembali terror di Padang Lawas (juga bersamaan dengan pemberontakan di Batipoe di Padangsche Bovenlanden), AV Michiels membutuhkan tentara yang tangguh untuk memimpin wilayah baru. Tentara yang memiliki portofolio tertinggi boleh jadi Alexander van der Hart (yang lagi ‘nganggur’ di Batavia). Ini seakan kisah AV Michiels sendiri berulang, ketika Province Sumatra’s Westkust membutuhkan seorang Gubernur (1837), pilihannya hanya satu, yang memiliki portofolio tinggi yakni Luitenan Kolonel AV Michiels yang sebelumnya sukses memimpin ekspedisi militer di Djambi.   

Pada tahun 1846 hanya sedikit perubahan arsitektur pemerintahan di Sumatra’s Westkust. Afdeeling Natal yang sebelumnya masih berada di Residentie Air Bangies, dan karena dilikuidasi, lalu afdeeling Air Bangies dan afdeeling Natal dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden, kemudian Natal dipisahkan dan dimasukkan ke Residentie Tapanoeli. Pada tahun 1846 ini pangkat militer Residen Alexander van der Hart dinaikkan setingkat menjadi Luitenan Kolonel (sehubungan dengan dirinya memimpin ekspedisi ke Nias). Sementara pangkat militer AV Michiels yang juga telah dinaikkan sebagai Majoor Generaal kini nyaris disusul oleh anak buah kesayangannya yakni Alexander van der Hart yang sudah berpangkat Luitenan Kolonel. Oleh karena itu, di Provinsi Sumatra’s Westkust ‘ayah-anak’ inilah yang memiliki pangkat militer tertinggi di dalam pemerintahan.

AV Michiels (lukisan 1850)
Andreas Victor Michiels berakhir pengabdiannya di Sumatra’s Westkust pada tahun 1848. Generaal Majoor Michiels di tahun 1849 dipindahkan ke Java untuk memimpin ekspedisi ketiga terhadap Bali. Sementara pada tahun 1848, Luitenant Kolonel A. van der Hart, dengan keputusan Gubernur Jenderal, ditugaskan menjadi Residen untuk sementara waktu di Padangsche Bovenlanden, dan juga bertanggung jawab atas komando militer di afdeeling itu. Ini seakan van der Hart kembali ke tempat dimana dulunya berhasil menaklukkan Bondjol.

Saat kepergian AV Mischiels, Luitenant Kolonel van der Hart untuk sementara dipersepsikan sebagai orang yang memiliki otoritas sipil dan militer di Sumatra’s Westkust. Tugas penting van der Hart selama menjadi otoritas itu adalah untuk meredakan kerusuhan kecil di Priaman karena otoritas setempat mengenakan pajak hampir setahun. A. van der Hart melakukan tindakan segera dan tepat. Akhirnya dapat dieselesaikan oleh van der Hart. Masih pada tahun yang sama, 1848 Alexander van der Hart merekomendasikan bawahan kesayangannya, AP Godon yang menjabat Controleur di Singkel untuk diangkat menjadi Asisten Residen di afdeeling Mandailing dan Angkola padahal pangkat AP Godon masih controleur kelas-3.

AP Godon belum lama bertugas sebagai controleur di Singkel sudah dimutasi oleh Alexander van der Hart ke afdeeling Mandailing en Angkola, tidak sebagai controleur tetapi memegang jabatan Asisten Residen. AP Godon sebelum menjadi controleur di Singkel adalah controleur yang cukup sukses di Bondjol (dari tahun 1845 hingga 1848).

Boleh jadi, Alexander van der Hart berpendapat jika seorang yang baru pertama kali diangkat sebagai controleur terutama di daerah yang pernah menjadi pusat pergolakan (di Bonjol) dan bertahan cukup lama maka controleur tersebut sudah tentu sangat berhasil yang mampu mengambil hati penduduk dengan baik. Ini berbeda dengan asisten residen Mandailing en Angkola sebelum kedatangan AP Godon yang sering gonta-ganti karena tingkat penerimaan penduduk yang rendah alias ada penolakan.

Nederlandsche staatscourant, 01-10-1847: ‘dalam bagian North-Eastern Sub Kerajaan Sumatra’s Westkust di afdeeling Mandheling en Ankola, pada bulan Mei tahun ini terjadi satu gangguan yang meletus, didorong oleh mengamankan Rangar Laoet, dan mulai dengan kehancuran beberapa jembatan, termasuk jembatan baru Batang Taro, merampok dan melakukan pembakaran sejumlah bangunan dan pembunuhan terhadap sersan Luksemburg. Dengan langkah-langkah otoritas sipil dan militer yang dimiliki dapat dilakukan perdamaian dan mereka segera dipulihkan. Rangar Laoet dan beberapa pemimpin lainnya telah datang ke dalam penyerahan. Pada kesempatan itu, Jang di Pertoean dari Mandheling terbukti penting dengan menyediakan layanan pasukan tambahan, bahkan lebih dari yang diperlukan atau diperlukan. Sebuah penyelidikan penyebab apa yang terjadi adalah tidak diketahui jelas. Namun beberapa rumor telah dikaitkan dengan keinginan dalam penyebaran vaksinasi anak-anak atas perintah pemerintah, yang mana vaksinasi ini akan meninggalkan tanda abadi di lengannya. Bersamaan gerakan gelisahnya ini juga terdeteksi di Padang Lawas, timur dari Mandheling sebuah lanskap wilayah Belanda berada. Antara gerakan-gerakan di wilayah ini dengan pemberontakan di Mandheling tampaknya telah ada’

Alexander van der Hart melihat AP Godon adalah solusi untuk memecahkan permasalahan di Mandailing en Angkola. Sebab di tahun 1843, Gubernur AV Michiels sempat kewalahan menghadapi pemberontakan yang dilakukan penduduk Mandailing en Ankola akibat adanya koffie-kultuur stelsel. Baru-baru ini juga terjadi pemberontakan di Angkola. Jangan sampai terjadi kerusuhan yang lebih luas lagi di Mandailing en Ankola demikian pesan dari Batavia yang diterima AP Godon ketika memulai tugas di Mandailing en Ankola.

Nederlandsche staatscourant, 28-07-1848: ‘di Sumatra’s Westkust, Asisten-Residen Mandheling en Ankola, Controleur kelas-1, A.P. Godon, yang diminta melibatkan kepada siapa, Radja, persepsi yang sudah ditetapkan’.

Michiels plein (Peta Kota Padang 1879)
Ini seakan, AV Michiel sebagai gubernur usai lalu posisinya dalam militer digantikan Alexander van der Hart dan semangat membangun pertanian van der Hart lalu digantikan oleh AP Godon. Namun kenyataannya  AP Godon berhasil sebagai asisten residen Mandailing dan Angkola bahkan selama Sembilan tahun (1848-1857). A. van der Hart juga sangat berhasil, setelah dari Padangsch Bovenlanden tahun 1853 diangkat menjadi Guberbnur Sulawesi (dan telah mampu mencapai yang pernah diraih seniornya AV Michiels). Untuk sekadar diketahui: tiga orang ini, AV Michiels, van der Hart dan AP Godon adalah orang-orang yang humanis. Michiels dan Hart jago dalam perang tetapi sangat humanis dalam membangun pertanian. Di atas prestasi kedua orang ini, mereka sama-sama mati konyol di luar medan pertempuran (malah di rumah sendiri) oleh orang sipil. AV Michiels di Bali mati terbunuh (1849), A. van der Hart juga mati terbunuh di Sulawesi (1855). Boleh jadi ini suatu konspirasi yang dengan sengaja pihak tertentu (militer atau sipil) ingin melenyapkan dua manusia langka pada era tersebut.

Monumen AV Michiels (foto 1890)
Sejak 1846 struktur pemerintahan di Province Sumatra’s Westkust yang beribukota Padang tidak berubah lagi untuk hingga waktu yang lama. Tiga tokoh utama yang terbilang paling sukses untuk menjalankan pemerintahan di Sumatra’s Westkust sejak pembentukan provinsi, tahun 1837 adalah Andreas Victor Michiels (Gubernur), Alexander van der Hart (Residen) dan Alexander Philippus Godon (Asisten Residen). Mereka bertiga boleh dikatakan telah memberi kontribusi yang besar dalam pertumbuhan dan perkembangan awal perekonomian di Provinsi Pantai Barat Sumatra pada awal kehadiran Belanda di Sumatra termasuk di Kota Padang.


Bersambung:
Sejarah Kota Padang (3): Kota Padang, Kota Tiga Lurah, Kota Melting Pot; Berkembang Pesat Selama Periode ‘Booming’ Kopi


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama dalam artikel ini adalah Almanak dari tahun 1818 hingga 1871. Untuk informasi di luar Almanak, sumber utama adalah surat kabar namun tidak saya sebutkan lagi di artikel ini karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar