Laman

Kamis, 30 Maret 2017

Sejarah Kota Padang (6): Surat Kabar Sumatra Courant di Padang; Orang Mandailing dan Angkola Ikut Berlangganan

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Jacobus Anthonie Meessen pada tahun 1867 dan 1870 telah memberi kontribusi besar untuk pengetahuan tentang Kota Padang melalui kegiatan fotografi. Kegiatan serupa juga telah dilakukan perusahaan Woodbury en Page (Walter B. Woodbury dan James Page).

Edisi terakhir Sumatra Courant (1900)
Tentang Kota Padang sebelumnya hanya bersumber dari surat kabar-surat kabar yang terbit di Belanda, seperti di Amsterdam, Haarlem, Rotterdam dan Leyden. Namun intensitas berita tentang Kota Padang hanya terbatas dan muncul tidak menentu. Surat kabar-surat kabar yang terbit di Hindia Belanda semakin intens mengenai situasi dan kondisi local termasuk di Kota Padang. Surat kabar di Hindia Belanda tersebut antara lain Het Bataviaasch Advertentieblad dan De Java Bode di Batavia; De Locomotief di Semarang dan Het Soerabaijasch Handelsblad di Surabaya.

Kota Padang terus tumbuh dan berkembang karena komoditi primadona, kopi yang mengalir deras dari Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Pada tahun-tahun ini volume perdagangan kopi di Kota Padang terus meningkat dari tahun ke tahun dengan harga yang terus meningkat di pasar dunia (Eropa dan Amerika Utara). Saat pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang inilah muncul surat kabar bernama Sumatra Courant di Kota Padang.

Surat Kabar Sebelum Sumatra Courant

Surat kabar pertama muncul di era VOC bernama Bataviasch Nouvelles yang terbit pada tahun 1744. Surat kabar ini sempat pasang surut. Setelah Pemerintah Hindia Belanda menggantikan VOC. Pada tahun 1810 terbit surat kabar pemerintah bernama Bataviasche Kolobiale Courant. Surat kabar ini tidak lama karena Belanda digantikan oleh Inggris. Pemerintah di bawah Raffles menerbitkan surat kabar berbahasa Inggris bernama The Java Gouvernment Gazette tahun 1811. Setelah Belanda kembali pada tahun 1816, surat kabar berbahasa Inggris itu digantikan Bataviasche Courant. Surat kabar berbahasa Belanda baru muncul kemudian pada tahun 1845 surat kabar De Javasche Courant.

Dalam surat kabar De Javasche Courant edisi pertama. 1 Januari 1845 terdapat puisi Edward Douwes Dekker, mantan Controleur di afdeeling Natal (1842-1843). Edward dipecat karena mengadvokasi penduduk Mandailing dan Angkola yang berkeluh kesah dan melakukan pemberontakan saat penerapan koffiestelsel. Edward ditelantarkan di Kota Padang hampir setahun dan tidak diizinkan ketemu istrinya yang berada di Batavia. Dalam masa sulit inilah diduga Edward menulis puisi dan mengirimkannnya ke  surat kabar De Javasche Courant. Beberapa tahun kemudian, nama Eduard Doewes Dekker karena dianggap tuduhan palsu kepadanya lalu direhabilitasi. Eduard Doewes Dekker tidak melakukan pelanggaran administrasi (penyelewengan) dan kemanusian tetapi justru menyuarakan perlindungan kemanusiaan. Setelah direhabilitasi Eduard Doewes Dekker dipekerjakan kembali di tempat lain. Seusai menjadi pejabat di Banten, Edward Dooewes Dekker menerbitkan buku berjudul Max Habelaar alias Multatuli. Karya legendaris Edward ini seakan menggambarkan apa yang pernah dialami oleh penduduk Mandailing en Ankola dan Banten.  

Pada tahun 1851 di Batavia untuk pertama kali surat kabar diterbitkan sebagai harian. Surat kabar tersebut adalah Het Bataviaasch Advertentieblad. Lalu kemudian tahun 1852 terbit harian De Java Bode. Pada tahun yang sama di Semarang terbit surat kabar De Locomotief. Kemudian tahun 1853 di Surabaya terbit harian Het Soerabaijasch Handelsblad.

Sumatra Courant Terbit di Padang

Surat kabar lalu dirintis di Kota Padang. Surat kabar tersebut diberi nama Sumatra Courant yang diasuh oleh Louis Numa Hipolite Arthur Chatelin pada 1859. Surat kabar Sumatra Courant pada awal tahun-tahun penerbitannya, lebih banyak meliput peristiwa-peristiwa di Padang yang dikombinasikan dengan kutipan dari berita-berita dari surat kabar yang terbit di Belanda dan di Jawa. Berita perdagangan di Sumatra’s Westkust mendapat porsi yang besar yang di dalamnya bertebaran iklan. Berita-berita perdagangan sebelumnya dilaporkan oleh surat kabar di Belanda dan surat kabar di Jawa.

Nieuw Amsterdamsch handels-en effectenblad, 01-12-1857: ‘Hasil pengepulan kopi di Padang,  yang ditutup pada 30 September, terdapat sebanyak 5.172 picols dari Mandhaling  dengan harga van ƒ36 tot f 36 15/120; 1.143 picols dari Ankola dengan harga van f 36 5/120  tot f  36 10/120’.

Pada tahun 1862 surat kabar Sumatra Courant yang oplahnya sudah sampai ke Tapanoeli (Mandailing en Ankola), tidak hanya memberitakan berita ekonomi tetapi juga melaporkan berita besar tentang tokoh pendidik pribumi, Willem Iskander yang telah mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Tanobato, afdeling Mandailing en Ankola.

Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 14-06-1862: ‘diadakan outsourcing untuk evakuasi koffij ke Padang dari tempat-tempat sebagai berikut (antara lain): dari Ankola en Si Pirok melalui Djaga-Djaga (dekat Loemoet) ke Padang dengan biaya sebesar ƒ 4.40 per picols. (Pemberi kerja: Li Thong).

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 26-12-1862: ‘Empat tahun lalu oleh asisten residen Godon sekembalinya ke Belanda, salah satu dari Sumatera, Mandhelinger, Soetan Iskander, juga dibawa. Hal ini di Belanda dilatih dan baru saja kembali sebagai orang bijak dan beradab di negaranya. Guru sekolah, sebuah bukti baru dari pengembangan orang asli bahkan dari daerah paling beradab. Iskander sekarang berdiri sebagai kepala sekolah biasa di Mandheling  dan dewan akan berada di sana agar mampu, sebab pendidikan di atas cara dimaksud yang tentunya adalah mengharapkan hasil yang terbaik’.

Nieuwe Rotterdamsche courant, 27-07-1861.
Berita tentang Willem Iskander ini juga dilansir oleh Bataviaasch handelsblad edisi 27-12-1862 dan Java-bode: nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie edisi 27-12-1862. Wilem Iskander adalah lulusan sekolah guru di Haarlem Belanda, orang pribumi yang studi ke Negeri Belanda. Keberangkatan Willem Iskander ke Belanda dilaporkan Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad edisi 04-09-1857. Setelah berhasil mendapatkan beslit guru, Willem Iskander pulang ke tanah air di Batavia. Berita kepulangan Willem Iskander dilaporkan Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad edisi 27-07-1861. Willem Iskander kembali ke kampong halaman di Mandailing dilaporkan Bataviaasch handelsblad, 24-12-1861.

Sekolah guru (kweekschool) Tanoebato, afdeeling Mandailing en Angkola Province Sumatra’s Westkust sesungguhnya tidak diinginkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun semangat Willem Iskander yang ingin sekolah guru ke Belanda telah mengubah keadaan yang tidak diinginkan. Sebab sekolah guru di Sumatra’s Westkust sudah didirikan pada tahun 1856 di Fort de Kock. Pendirian sekolah guru di Fort de Kock dimaksudkan berada di tengah agar lulusannya disebar di Residentie Padangsch Bovenlanden sendiri dan juga ke Residentie Padangsche Benelanden termasuk Kota Padang serta ke Residentie Tapanoeli. Sekolah guru yang didirikan Willem Iskander yang awalnya tidak diinginkan, kemudian pemerintah mengakuinya (karena system yang dibangun Willem Iskander sangat baik dan pada tahun 1865 pemerintah mengakuisisi sekolah tersebut dan dijadikan sebagai kweekschool negeri (seperti tuga sekolah guru negeri yang ada di di Fort de Kock, Soerakarta dan Probolinggo), Pengakuan dan akuisisi ini dilakukan tidak lama setelah Inspektur Jenderal Pendidikan Pribumi berkunjung ke Kweekschool Tanobato sebagaimana dilaporkan Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskandern didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’. 

Surat kabar Sumatra Courant juga melansir berita kedatangan Inspektur Jenderal Pendidikan Pribumi, JA van der Chijs ke Tapanoeli, Berita ini juga dilansir semua surat kabar di Negeri Belanda dan di Jawa,  seperti di Amsterdam dan Haarlem, Algemeen Handelsblad dan Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie di Batavia dan De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad di Semarang,

Seketika berubah semuanya, pandangan orang luar terhadap Tanah Batak, paling tidak di afdeeling Mandailing dan Angkola berubah 360 derajat yang mana 180 derajat kesan primitif menghilang dan 180 derajat tidak diduga telah memiliki sistem pendidikan yang terbaik di Hindia Belanda. Inilah sumbangan fantastis Willem Iskander di Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing dan Angkola. ‘Iskander Effect’ tidak hanya telah mengalami difusi jauh hingga ke pelosok-pelosok terpencil di Tapanoeli, juga mengguncang wilayah-wilayah di Jawa. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang mengutip dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) pantai barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’. Rupanya tulisan (laporan) Chijs itu telah menggelinding kemana-mana bahkan di pusat kekuasaan kolonial di Jawa. Afdeeling Mandailing en Angkola telah menjadi ‘kiblat’ perubahan, perubahan yang sangat fundamental di Hindia Belanda. Laporan Chijs juga mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama sekolah guru. Sebaliknya sukses besar di Tanobato. Laporan Chijs menggarisbawahi siswa-siswa Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus. Menurut Chijs di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Malayu, di negara non-Melayu dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandailing/Angkola’.

Diantara berita-berita pendidikan yang menghebohkan itu, surat kabar Sumatra Courant terus melaporkan berita-berita ekonomi seperti intensifikasi dan perluasan kopi di Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli. Berita-berita yang memenuhi lembar surat kabar Sumatra Courant juga secara berkala (setiap tiga bulan) melaporkan berita lelang kopi di Kota Padang. Yang juga kerap diberitakan adalah berita pengangkatan, mutasi pejabat pemerintah dan pension atau pejabat yang cuti ke Eropa, termasuk berita-berita militer. Tentu saja tiap hari ditemukan berita-berita kapal (keberangkatan dan kedatangan di berbagai tempat di Hindia Belanda). Sebagai penutup ongkos cetak dan sirkusi, ratusan iklan tiap hari dan slotnya dari waktu ke waktu terus meningkat. Iklan tersebut umumnya menawarkan produk-produk konsumen (consumer’s good). Dalam saat-saat tertentu juga muncul berita bencana, berita curah hujan dan berita-berita penyakit yang banyak diderita penduduk.

Di dalam surat kabar Sumatra Courant juga muncul berita-berita di tempat lain, seperti dinamikan yang terjadi di Pantai Timur Sumatra termasuk di Deli (yang mulai heboh dengan ekonomi tembakau). Tidak ketinggalan juga meliputi perkembangan yang terjadi di Zuid Sumatra. Tentu saja dalam waktu-waktu tertentu berita tentang di Atjeh terutama terkait dengan pergerakan militer. Last but not least, berita-berita misionaris di Bataklanden. Semua itu memperkaya news di dalam surat kabar Sumatra Courant. Surat kabar ini lambat laun, sesuai namanya telah menjadi sumber berita utama di rumah sendiri di Sumatra. Surat kabar Sumatra Courant yang banyak melansir berita-berita yang bersumber dari surat kabar di Jawa, kini, mereka juga banyak mengutip atau melansir berita yang ada di Sumatra Courant.

Surat kabar Sumatra Courant, satu-satunya surat kabar di Sumatra makin hari makin gemuk. Tirasnya tidak hanya di Sumatra’s Westkust (Padangsche dan Tapanoeli) tetapi juga sampai ke Bengcoelen, Lampong dan Zuid Sumatra. Iklannya juga makin banyak, karena interaksi Kota Padang dan Batavia semakin tinggi. Ini semua karena ‘booming kopi’ di Province Sumatra’s Westkust. Barang-barang consumer’s good, mulai dari panci hingga tempat tidur diiklankan sehingga pembaca surat kabar di berbagai tempat bahkan hingga pelosok terpencil di Padangsche Bovenlanden dan Tapanoeli dapat mengetahuinya. Petani yang dulunya setengah mati membenci koffiestelsel lambat laun mulai tersenyum. Petani dan pedagang kopi kini daya belinya semakin menguat dan bersambut dengan berbagai ragam iklan surat kabar Sumatra Courant.

Penduduk yang semakin banyak memegang hepeng atau piti juga makin mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah rakyat negeri. Bagi orang tua yang lebih mampu, terutama para pedagang dan para penghoeloe, kepala laras dan kepala koeria (dengan haji tetap dan komisi ekonomi kopi) menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah guru, baik di Fort der Kock maupun di Tanobato. Untuk anak-anak yang lebih pintar di sekolahkan ke Batavia untuk mengikuti sekolah kedokteran (docter djawa school). Willem Iskander hanya suatu keajaiban saat itu: pintar (secara lingusitik), ekonomi orangtua kuat dan satu lagi factor penentu yakni motivasi yang kuat.

Peluang ini dimanfaatkan oleh orang-orang Tionghoa untuk berdagang jauh hingga pedalaman. Kehidupan di pedalaman mulai dari Tanah Datar, Agam, Lima Poeloeh Kota hingga Mandailing dan Angkola semakin moncer. Kopi terus mengalir ke Kota Padang sebaliknya barang-barang industri juga terus mengalir ke pedalaman. Penduduk yang tinggal di Padangsche Benelanden termasuk di Kota Padang semakin jauh tertinggal dengan saudara-saudara sebangsa di pedalaman. Hanya orang-orang Tionghoa di Kota Padang yang mendapat bagian dari booming kopi ini. Orang-orang Tionghoa yang awalnya memilih tinggal di Kota Padang lambat laun sebagian telah menggeser koloninya ke kota-kota pantai (sebagai simpul baru arus perdagangan dari pedalaman) seperti di Pariaman, Tikoe, Air Bangies, Natal dan Sibolga.

Di kurun waktu yang sama dinamika yang terjadi di Sumatra’s Westkust kurang lebih serupa di West Java. Heboh pendidikan di Tapanoeli karena Willem Iskander, pejabat pemerintah merespon cepat mengejar ketertinggalan pendidikan di Preanger. Pada tahun 1866 Kweekschool Bandoeng didirikan dengan bangunan yang sangat mewah. Ini sangat mudah dipahami, karena ekonomi kopi juga lagi booming di Preanger (Sumadang, Bandoeng, Soekapoera dan Tjiandjoer). Para bupati yang telah menerima gaji tinggi dan juga telah bekerja keras untuk menaikkan produktivitas dan bahkan membuat rakyat cukup menderita. Beberapa titik mulai ada kegelisahan penduduk, dan boleh jadi takut memberontak, sekolah guru dengan bangunan mewah ini dianggap dapat mendinginkan. Sebagaimana ekonomi colonial, ‘tidak ada makan siang gratis’ maka biaya pembangunan gedung megah kweekschool Bandoeng dapat ditutupi dengan produksi dan arus perdagangan kopi di Preanger yang juga tinggi (bahkan lebih besar daripada di Sumatra’s Westkust). Pedagang-pedagang Tionghoa yang sudah lama membuat koloni di Buitenzorg (kini Bogor) secara perlahan-lahan sebagai melakukan migrasi ke Preanger terutama ke Bandoeng dan Tjiandjoer. Hal yang sama seperti di Preanger juga dinamikanya terjadi di Semarang yang kemudian mendirikan kweekschool di Oengaran.

Dinamika yang terjadi menjadi bagian rutin dari surat kabar Sumatra Courant yang terbit tiga kali seminggu (Senin, Rabu, Jumat). Wartawannya juga semakin rajin ke pedalaman untuk menjemput berita. Demikian, juga para pejabat-pejabat pemerintah yang berdinas di wilayah-wilayah terpencil semakin intens mengikuti perkembangan berita, karena peristiwa di satu tempat dengan tempat lain di Province Sumatra’s Westkust kurang lebih mirip sehingga mereka dapat memperbandingkan kemajuan-kemajuan yang dialami oleh wilayah lain. Para pejabat telah menganggap surat kabar Sumatra Courant sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan kinerjanya di tempat ia bertugas. Diantara para pejabat-pejabat setingkat controleur dan asisten residen (walau menggunakan nama samara atau singkatan tetap dapat teridentifikasi) banyak yang menulis (sebagai surat pembaca) dan mengirimkannya ke kantor Sumatra Courant di Kota Padang. Para pembaca menulis di daerah seakan telah menggantikan fungsi koresponden di dalam dunia persuratkabaran.

Pada tahun 1869 surat kabar Sumatra Courant kembali menurunkan berita pendidikan. Berita pendidikan yang diusung tetap masih mengacu dengan kemajuan pendidikan yang terjadi di Tapanoeli (Mandailing en Angkola). Berita itu berupa surat pembaca yang berinisial GA. Penulis ini terkesan agak galau melihat problema pendidikan di Padangsche (Boevenlanden dan Benelanden). Boleh jadi penulis melihat dinamika yang terjadi akhir-akhir di Jawa yang semakin terpacu untuk meningkatkan pendidikan pribumi (setelah berita-berita yang menghebohkan di Mandailing dan Angkola oleh semangat Willem Iskander sebagai guru pribumi berlisensi Eropa tetapi sangat peduli dengan pendidikan pribumi)..   

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 23-06-1869 (Pendidikan di antara pribumi untuk Sumatra’s Westkust): ‘Kami percaya pada laporan sekolah menunjukkan pendidikan pesisir tersebut digambarkan kondisi yang sangat menyedihkan antara pribumi. Hanya sekolah di Mandheling membuat pengecualian dalam hal pendidikan, tapi apa lokalitas yang bersangkutan, yang sama-sama cacat. Sekarang ini harus didukung oleh pemerintah, yang komentar akan mengajar jika tidak menimpa pentingnya jalan berdaya penonton? Mereka yang penduduk asli tetapi hanya diberi setengah kasih sayang akan harus mengakui bahwa pendidikan dasar untuk menjangkau lebih  banyak yang harus diinginkan oleh kami di sini…Karena itu, kami berharap bahwa Pemerintah mendorong pendidikan sebagai prestise dan pendidikan sebagai pelabuahan untuk mencapai tujuan doktrin bagi pemuda ditanamkan dan karena itu untuk lebih banyak sekolah yang dibangun dalam kaitannya kepentingan pemerintah. Padang, 7 Juni 1869, G. A.’.

Surat kabar Sumatra Courant hanya satu-satunya media yang representatif dan menjadi medium untuk semua hal bagi semua kalangan (Eropa, pribumi dan Tionghoa). Surat kabar berbahasa Melayu belum ada, yang ada hanya surat kabar berbahasa Belanda seperti Sumatra Courant. Orang-orang terpelajar di Mandailing dan Angkola yang bisa menggunakan tiga bahasa: Melayu, Belanda dan Batak menjadi tampak lebih adaptif. Sementara itu, sejak terbit surat kabar berbahasa Belanda, Sumatra Courant di Padang orang-orang Mandailing en Angkola hanya berlangganan surat kabar Sumatra Courant, karena surat kabar berbahasa Melayu sendiri belum ada. Surat kabar Sumatra Courant oleh penduduk Mandailing dan Angkola tidak hanya dipandang sebagai ruang berita tetapi juga ruang promosi untuk transaksi perdagangan dan ruang menyampaikan pendapat yang ditulis sebagai surat pembaca. Anehnya, orang Mandailing dan Angkola menulis surat pembaca dan memasang iklan tidak dalam bahasa Belanda tetapi dalam bahasa Melayu. Hal ini karena pembaca yang disasar adalah penduduk pribumi yang berlangganan Sumatra Courant. Ternyata redaksi mengabulkannnya. Sesungguhnya inilah awal perkenalan bahasa Melayu di dalam pers Belanda.

Sumatra-courant, 08-04-1874
Para pedagang Tapanuli di Padang Sidempoean memasang iklan (awal 1870an) di surat kabar berbahasa Belanda Sumatra Courant yang terbit di Padang. Uniknya iklan-iklan yang dipasang para pedagang asal Tapanoeli di Mandailing dan Angkola ini dibuat dalam bahasa Melayu. Tentu saja iklan itu ditujukan untuk para pedagang pribumi atau para pedagang Tionghoa. Pemasang iklan yang dimaksud tersebut berdomisili di Padang Sidempuan. Paket-paket yang diperdagangkan sangat beragam, seperti hasil peternakan (sapi, kerbau, kuda, dan kambing), hasil hutan (kulit manis, rotan), hasil budidaya pertanian seperti beras, kopi, gula aren serta hasil industri kerajinan. Salah satu iklan tesebut seperti tampak dalam Sumatra-courant edfisi 08-04-1874. Penulis iklan ini adalah Maharadja Soetan, kepala koeria Batoenadoea di Padang Sidempoean, seorang yang dikenal sebagai murid pertama Willem Iskander di Kweekschool Tanobato yang berdiri pada tahun 1862.

Surat kabar Sumatra Courant terus dalam performanya, sangat kondusif untuk media untuk mencerdaskan dan media untuk mendorong perekonomian lebih tumbuh dan berkembang di Sumatra’s Westkust. Surat kabar Sumatra Courant terus dalam posisi stabil, berita yang semakin beragam, iklan yang semakin banyak dan keuangan yang tetap mumpuni. Surat kabar Sumatra Courant menjadi kuat karena ditopang oleh perkonomian wilayah, terutama di Padangsch Bovenlanden dan Tapanoeli. Ekonomi dengan leading sector saat itu adalah koffiecultuur. Penduduk di pelosok-pelosok makin meluas yang dengan sendiri penduduk terpencilpun memiliki daya beli yang baik. Akan tetapi tingkat daya beli penduduk di perkotaan sebaliknya, terus merosot, seiring dengan mekarnya kota akibat urbanisasi yang terus berlangsung.

Secara teknis tahun 1880 hanya ada tiga kota utama di Province Sumatra’s Westkust yang memiliki karakteristik urban (penduduk yang padat dan memiliki fasilitas yang memadai). Kota-kota tersebut kebetulan mewakili masing-masing residentie, yakni: Kota Padang (Residentie Padangsche Benelanden), Kota Fort de Kock (Residentie Padangsche Bovenlanden) dan Kota Padang Sidempuan (Residentie Tapanoeli). Keutamaan Fort de Kock dan Padang Sidempuan karena masing-masing memiliki sekolah guru (kweekschool). Kedua kota ini juga sama-sama menjadi simpul perdagangan utama (ekonomi kopi).  

Penduduk perkotaan, seperti di Padang, Fort de Kock dan Padang Sidempuan semakin banyak yang terjebak dalam kehidupan perkotaan. Penduduk yang miskin di kota makin banyak dari hari ke hari. Hal ini boleh jadi semakin sulit mendapat lahan pertanian karena lahan-lahan potensial sudah banyak yang diperjualbelikan dan beralih ke tangan swasta atau digunakan untuk peruntukkan kebutuhan bangunan-bangunan pemerintah. Kweekschool Padang Sidempuan (pengganti Kweekschool Tanobato) yang pembangunannya dimulai tahun 1874 dan telah memulai aktivitas perkuliahan 1879 dibangun di atas lahan persawahan yang subur. Bangunan-bangunan pemerintah yang semakin banyak juga mempersempit ruang penghidupan yang keahliannya hanya bertani. Kemiskinan kota ini tercermin dari upaya yang dilakukan oleh dua mahasiswa di Padang Sidempuan yang dilaporkan oleh Sumatra Courant.

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 01-05-1884: ‘dua anak murid Kweekschool Padang Sidempuoen yang bernama Si Saleh dan Si Doepang melakukan kebajikan mengumpulkan untuk membantu orang yang membutuhkan’

Sumatra Courant Akhirnya Tumbang

Pertumbuhan ekonomi kopi di Sumatra’s Westkust mulai melambat. Harga kopi mulai mendapat tekanan karena sentra produksi kopi semakin meluas di Hindia Belanda, seperti di Semarang dan sekitarnya dan Malang dan sekitarnya. Tekanan ini juga diperparah dengan negara-negara lain yang maju pesat dalam budidaya kopi, seperti Brazil dan koloni-koloni Eropa di Afrika. Sementara itu ekonomi tembakau di Sumatra’s Oostkust lagi naik daun. Para investor yang terbilang baru mulai investasi di Padangsch dan Tapenoeli (yang sedikit menggeser ekonomi rakyat) dalam membuka plantation (onderneming) di Sumatra’s Westkust terutama di Padangsch Benelanden (dan sebagian sudah memasuki Padangsch Bovenlanden) mulai gamang. Hal ini karena daya tarik investasi di Sumatra’s Oostkust lebih menjanjikan jika dibandingkan di Sumatra’s Westkust.

Daya tarik di Sumatra’s Ooskust karena berbagai fasilitas ditemukan. Lahan yang lebih luas, sarana jalan dan angkutan yang lebih baik (topografi yang baik) dan kekuatan Sultan dan Pemerintah yang mampu menekan penduduk dalam soal konsesi lahan (hak ulayat masih menjadi kendala di Pantai Barat Sumatra terutama di Padangsch). Juga insentif lainnya di Pantai Timur Sumatra adalah arus perdagangan yang ramai di selat Malaka, kompetisi yang sehat antara investor Belanda di Pantai Timur Sumatra dan Inggris di Semenanjung (terjadi sinergi). Disamping itu, moda pelayaran yang semakin fokus di selat Malaka, apalagi setelah dibukanya terusan Suez (ongkos pelayaran makin murah) yang memungkinkan investor Eropa semakin banyak menuju Pantai Timur Sumatra yang berbasis di Medan.   

Investor Eropa yang terus berdatangan di sekitar jalur selat Malaka (Pantai Timur Sumatra dan Semenanjung) juga menggoda investor yang selama ini berada di Jawa. Eksodus investor lama ini dari Jawa dan dari Pantai Barat Sumatra lambat laun ekonomi Pantai Barat Sumatra semakin loyo. Hanya beberapa (sedikit) investor yang bertahan di Padangsche dan Tapanoeli.

Konsekuensinya, surat kabar Sumatra Courant yang hidup dari iklan, jumlah pemasang iklan semakin kendor. Jumlah orang-orang Eropa/Belanda di Pantai Barat Sumatra tidak mengalami peningkatan malah yang terjadi relatif mengalami penurunan. Pendapatan dari harga jual koran juga tergerus apalagi semakin kuatnya surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Kota Padang, Pertja Barat. Para pejabat-pejabat lokal sudah mulai lebih memilih Pertja Barat daripada Sumatra Courant. Hukum alam berlaku, surat kabar, Sumatra Courant yang terbit sejak 1859 dari semua persoalan menimpa dirinya seakan mulai mati langkah.

Persoalan yang dihadapi oleh Sumatra Courant semakin berat. Competitor baru, Sumatra Post yang terbit di Medan sejak 1898 semakin mekar. Raja koran Sumatra segera pindah tangan dari Sumatra Courant di Kota Padang ke tangan Sumatra Post di Kota Medan. Di Batavia, Sumatra Post lebih banyak dibaca daripada Sumatra Courant (dilihat dari sisi promosi kedua koran ini). Surat kabar Sumatra Courant tirasnya makin melemah di Medan, sebaliknya oplah Sumatra Post sudah melakukan penertrasi di Kota Padang. Orang-orang di Kota Padang (Eropa, pribumi dan Tionghoa) sudah memegang dua koran, diangan kanan Sumatra Courant dan di tangan kiri Sumatra Post. Tinggal menunggu waktu untuk hanya berlagganan satu kora yakni Sumatra Post.  

Pertja Barat, milik Dja Endar Moeda
Singkat kata: Akhirnya surat kabar Sumatra Courant tumbang dan tutup selamanya pada tahun 1900. Tidak hanya itu, Pertja Barat yang tirasnya sampai di Medan, juga mendapat saingan baru, surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Timor yang terbit tahun 1902. Pertja Barat juga goyah. Pemilik surat kabar Pertja Barat sudah beralih tangan kepada Dja Endar Moeda sejak tahun 1900 (persis tahun yang sama dengan tumbangnya Sumatra Courant). Dja Endar Moeda adalah seorang mantan guru, alumni Kweekschool Padang Sidempuan tahun 1884. Sebagaimana Sumatra Courant pernah melaporkan Si Saleh dengan temannya melakukan kebajikan di Padang Sidempuan (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 01-05-1884). Si Saleh ini tidak lain adalah Dja Endar Moeda. Nama lengkapnya: Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Sedangkan editor pertama surat kabar berbahasa Melayu di Medan, Pertja Timor yang merupakan koran komplemen Sumatra Post adalah Mangaradja Salamboewe. Untuk sekadar diketahui: Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe adalah alumni Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1893 (adik kelas Dja Endar Moeda). 

Afdeeling Padang Sidempuan, Residentie Tapanoeli, 1905
Pada tahun 1905 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust dan berdiri sebagai Residentie otonom (bertanggungjawab langsung ke Batavia). Seiring dengan pemisahan ini, Provice Sumatra’s Westkust yang hanya tinggal dua residentie (yakni Padangsch Bovenlanden dan Padangsche Benelanden) akhirnya statusnya diturunkan dari provinsi menjadi hanya setingkat residentie saja. Konsekuensinya, para investor pribumi yang berasal dari Tapanoeli mulai mengalihkan investasinya dari Kota Padang ke Kota Medan, termasuk investasi Dja Endar Moeda baik di bidang percetakan, toko buku dan surat kabar ke Medan dan Kota Radja (kini Banda Atjeh). Lalu kemudian, Dja Endar Moeda dengan kawan-kawan tahun 1905 mendirikan Sarikat (dagang) Tapanoeli untuk menghadapi kekuatan ekonomi Tionghoa yang selama ini mendominasi di Kota Medan. Pertja Barat akhirnya tutup tahun 1907 tetapi surat kabar berbahasa Melayu, Tapian Na Oeli di Sibolga (yang didirikan Dja Endar Moeda tahun 1901) tetap dipertahankan. Pada tahun 1909 Dja Endar Moeda menerbitkan Pembrita Atjeh di Kota Radja. Kemudian Dja Endar Moeda yang merupakan pimpinan Sarikat Tapanoeli di Medan menerbitkan surat kabar Pewarta Deli di Medan pada tahun 1910 (dan eksis hingga tahun 1938). Untuk sekadar diketahui wakil Sarikat Tapanoeli adalah Sjech Ibrahim dari Mandailing. Sjech Ibrahim adalah orang Tapanoeli pertama di Kota Medan (datang pada tahun 1870). Saat Sarikat Tapanoeli didirikan di Kota Medan, Sjech Ibrahim adalah lurah Kesawan, lurah pertama di Kota Medan. Dengan demikian, Sarikat Tapanoeli di Kota Medan dipimpin dua orang haji terkenal: Dja Endar Moeda dan Sjech Ibrahim.

Last but not least: Investor pribumi di Kota Padang yang umumnya berasal dari Padangsche Bovenlanden juga mulai secara perlahan-lahan mengalihkan investasinya ke Medan sebagaimana sudah dilakukan lebih dahulu oleh para investor pribumi dari Tapanoeli. Dengan dibukanya jalur transportasi dari Sibolga ke Medan pada tahun 1912, penduduk Minangkabau di Padangsch Bovenlanden telah terbagi dua untuk tujuan migrasi: ke Kota Medan dan juga tetap banyak yang ke Kota Padang. Tentu saja ada juga yang ke Sibolga dan Padang Sidempoean.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto-fot dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. 
Bagi pembaca yang ingin menelusuri lebih lanjut, kontekstual serial Sejarah Kota Padang, disarankan untuk membaca artikel saya yang lain dalam serial Sejarah Padang Sidempuan, Sejarah Angkola, Sejarah Mandailing, Sejarah Natal, Sejarah Tapanoeli, Sejarah Kota Medan, Sejarah Jakarta, Sejarah Bogor dan Sejarah Bandoeng. Untuk serial Sejarah Semarang masih dalam proses eksplorasi data. Untuk serial Sejarah Soerabaya sudah dimulai dengan mengetengahkan serial Radjamin Nasoetion, walikota pribumi pertama Kota Surabaya. Beberapa sumber yang tidak disebut lagi dalam serial Sejarah Kota Padang ini sudah disebut di artikel dalam serial-serial tersebut..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar