Laman

Minggu, 16 April 2017

Sejarah Kota Padang (14): Orang Padang sama dengan Orang Minangkabau; Keliru, Orang Melayu disebut Orang Medan

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Minangkabauers te Kotagedang, 1890
Padang adalah nama tempat, sebagaimana Tapanoeli dan Medan. Padang menjadi nama generik untuk seluruh wilayah Sumatra Barat yang sekarang. Ini bermula penyebutan wilayah rendah dan wilayah tinggi Padang dengan Padangsche Benelanden dan Padangsche Bovenlanden. Penamaan serupa ini juga pernah terjadi untuk penyebutan Langkat Benelanden dan Langkat Bovelanden.

Asal usul (menurut berbagai versi): Minangkabau—Menang Kerbau atau Minanga; Tappanoeli—Tapian na Oeli (dipopulerkan oleh Inggris). Bata—Mada (dibaca: Bata). Pada awalnya penyebutan orang Minangkabau belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minangkabau dan Melayu mulai dibedakan karena adanya perbedaan (system) pewarisan (matrilineal).

Tapanoeli juga digunakan sebagai nama generik untuk seluruh wilayah Tapanuli yang sekarang. Tapanoeli sebelumnya, dan kemudian nama tempat berikutnya yang lebih popular Sibolga. Tapanoeli mendahului Sibolga. Karena itu nama Tapanuli yang digunakan sejak Inggris. Pada era VOC awal, Tapanoeli belum dikenal. Di Pantai Barat Sumatra nama tempat yang sudah dikenal sejak masa lampau adalah Baros, Batahan, Tikoe, Pariaman dan Indrapoera.

Nama Padang muncul di Sumatra Barat yang sekarang dan nama Tapanoeli di Tapanuli yang sekarang. Nama-nama baru tersebut menyusul nama-nama yang sudah eksis sebelumnya seperti Pariaman, Tikoe, Indrapoera dan Baros. Nama-nama baru yang muncul seperti Padang dan Tapanoeli adalah Natal, Air Bangies, Sibolga dan sebagainya.

Penduduk Baros adalah penduduk multi etnik. Kelak Padang juga penduduk multi etnik. Penduduk Baros juga termasuk penduduk berasal dari pedalaman (Batak). Demikian juga penduduk Padang juga termasuk penduduk berasal dari pedalaman (Minangkabau). Batak dan Minangkabau adalah sebutan penduduk di pedalaman sebagai suatu etnik.

Disebut suatu etnik karena memiliki dasar budaya yang sama (core culture). Etnik Batak memiliki core culture yang sama: Mulai dari Mandailing hingga Karo. Etnik Minangkabau memiliki core culture yang sama: Mulai dari Solok hingga Pasaman.

Di Jawa terdapat beberapa etnik: Jawa, Madura, Sunda, Banten, Tengger, Betawi dan sebagainya. Nama etnik Jawa mendapat nama dari penamaan pulau Jawa (demikian juga Madura). Namun di pulau Sumatra tidak ada etnik yang disebut etnik Sumatra.

Etnik Batak, etnik Atjeh dan sebagainya dibedakan dengan etnik Melayu. Etnik Batak di pedalaman, sedangkan etnik Melayu umumnya di pantai (pesisir). Nama Melayu merupakan kebudayaan yang didasarkan dengan core culture sendiri, yakni menggunakan bahasa Melayu. Lalu muncul dialek-dialek Melayu, seperti Riau, Palembang, Djambi, Deli dan sebagainya. Bahasa Melayu sangat dekat dengan Bahasa Minangkabau. Sementara Bahasa Batak sangat dekat dengan Bahasa Alas/Gayo.  Bahasa Atjeh sangat dekat dengan bahasa Melayu dan juga bahasa Atjeh sangat dekat bahasa Batak. Bahasa Atjeh sangat dekat dua bahasa tetangganya: Melayu dan Batak. Bahasa Melayu sangat berbeda dengan Bahasa Batak. Di selatan Sumatra ada bahasa Pasamah, Redjang  yang kenmudian bahasa Komering dan bahasa Lampung. Di pulau-pulau barat Sumatra ada bahasa Nias, Mentawai dan sebagainya.

Orang Padang dan Orang Tapanuli

Nama generik Padang menjadi nama Padang untuk Orang Minangkabau. Demikian juga nama Tapanoeli untuk Orang Batak. Oleh karena dari sisi etnik dalam perkembangan berikutnya, nama etnik secara perlahan menggantikan nama regional: Nama Minangkabau bersaing dengan nama Padang. Demikian juga nama Batak bersaing dengan nama Tapanoeli.

Oleh karenanya, nama Padang dan nama Minangkabau sama-sama benar penggunaannya, tergantung dari sudut pandangnya saja: nama regional atau nama etnik. Demikian juga nama Batak dengan nama Tapanoeli. Sah-sah saja digunakan dan saling menggantikan. Dalam perkembangan lebih lanjut nama Karo saling menggantikan dengan nama Batak, nama Pakpak/Dairi dengan Batak. Demikian juga nama Kerintji dengan nama Minangkabau. Nama Bangkinang dengan nama Minangkabau dan nama Rao dengan nama Minangkabau.

Nama Kota vs Nama Kampong

Kota Padang menjadi kota besar yang menjadi asal kata Padangsch untuk seluruh alam Minangkabau. Akan tetapi Kota Medan menjadi kota besar tidak pernah dikaitkan dengan seluruh Tanah Batak maupun seluruh Tanah Melayu. Nama-nama yang muncul sebelum nama Medan popular adalah nama-nama region: Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan dan Labuhan Batu.

Ketika Orang Minangkabau menyebut dirinya Orang Padang tidak ada salahnya. Demikian juga Orang Nias atau Orang Melayu di Padang tidak salah menyebutnya Orang Padang tetapi akan tetapi tidak tepat dengan menyebut dirinya orang Minangkabau. Yang paling runyam: Orang Batak menyebut dirinya orang Medan, demikian juga Orang Melayu menyebut dengan orang Medan. Kesalahan ini karena Medan adalah nama tempat (yang kemudian berkembang menjadi nama region: onderafdeeling Medan di region Deli. Kemudian di Deli sendiri terdapat dua region: onderfadeeling Medan dan onderfadeeling Labuhan. Karena itu muncul penyebutan Labuhan Deli dan Medan Deli. Sementara itu region Melayu terbagi ke dalam Melayu Langkat, Melayu Deli, Melayu Serdang dan sebagainya. Tidak ada Melayu Medan. Yang ada Labuhan Deli (Melayu) dan Medan Deli (Batak).

Ketika orang luar menanyakan asalnya (orang) dari mana?  Boleh menyebut Orang Padang atau Orang Minangkabau. Ketika di jawab (orang) Padang, siap-siap menjawab pertanyaan berikutnya. Padangnya dimana? Jawab di Bukittinggi dan seterusnya Bukittingginya dima? Jawab Baso. Hal yang aneh adalah ketika menjawab (orang) Medan. Ketika ditanyakan lebih lanjut Medannya dimana, Jawab Sipirok. Jawaban Sipirok adalah salah. Karena Sipirok bukan Medan.

Untuk WNI yang berasal dari Sumatra Barat bisa menyebut Padang atau Minangkabau.  Tapi yang berasal dari Sumatra Utara hanya boleh menyebut salah satu Melayu atau Batak. Karena dengan itu bisa menjawab pertanyaan lebih lanjut. Melayunya dimana? Deli, Serdang atau Asahan. Bataknya dimana? Karo, Simalungun, Toba atau Silindung. Singkat kata: menyebut Bukittinggi, karena Bukittinggi juga adalah Padang. Tapi akan salah menyebut Sipirok adalah Medan.

Untuk Jawa Barat sebut Sunda, jangan Bandoeng. Sundanya dimana? Jawab Priangan atau Bogor. Priangannnya dimana? Jawab Bandoeng, Sumedang, Tjiandjoer atau Garoet. Bandongnya dimana? Jawab: Bandung, Lembang atau Tjiwidey. Bogornya dimana: Jawab: Bogor, Megamendung, Tjibinong, Tjiomas; Djasinga dll.  Demikian juga Jawa: Jawa Timur, Jawa Tengah, Soerakarta atau Djogjakarta.

Identitas Diri: Hollander, Preanger dan Padanger

Orang yang sejak awal mempopulerkan sebutan ‘orang’ untuk identifikasi diri adalah orang-orang Belanda, bahkan sejak kali pertama orang-orang Belanda ke Nusantara (1595). Salah satu nama kapal ekspedisi Cornelis de Houtman adalah De Hollander (Orang Holland). Orang-orang Belanda juga memberi identifikasi kepada orang-orang Priangan sebagai Preanger (sejak ekspedisi van Verbeek ke Priangan tahun 1703). Penyebutan Orang Jawa (Javaan) teridentifikasi pada tahun 1711 (Oprechte Haerlemsche courant, 13-10-1711). Penyebutan untuk orang Melayu (Maleier) baru muncul awal 1800 sejak Pemerintah Hindia Belanda. Meski Sunda sudah teridentifikasi sebagai nama selat (antara Jawa dan Sumatra) di era Portugis dan penyebutan nama Preanger (VOC), identifikasi Orang Soenda (secara keseluruhan dan tidak terbatas pada Preanger) baru muncul belakangan (lihat Algemeen Handelsblad, 08-05-1857).

Padangsch nieuws- en advertentie-blad, 26-04-1862
Identifikasi diri diantara orang-orang Belanda di Hindia Belanda juga semakin menguat, Namun bukan sebagai afiliasi diri dalam konteks budaya tetapi sebagai warga kota (resident). Di Padang seorang pembaca menulis dirinya sebagai Padanger (Padangsch nieuws- en advertentie-blad, 26-04-1862). Siapa itu Padanger semakin jelas ketika seorang Padanger menulis ‘..nu dat ik een Padanger ben, en wel van ouder tot ouder..’ (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 06-09-1862). Sejak ini, identitas diri sebagai Padanger semakin sering muncul di surat kabar.

Dengan demikian, identitas diri sendiri atau penyebutan identitas bagi yang lain semakin popular diantara orang-orang Eropa/Belanda maupun orang-orang pribumi, apakah sebagai etnik lokal (Preanger dan Maleijer) atau warga keturunan setempat (Padanger). Penyebutan orang Bugis (Boeginees,) kali pertama muncul tahun 1820 (Bataviasche courant, 27-05-1820), orang Batak (Batakker) tahun 1863 (Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 10-09-1863).

Untuk sebutan Orang Minangkabau (Minangkabauer) baru muncul ke permukaan tahun 1890 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-03-1890). Boleh jadi karena selama ini Orang Minangkabau mengidentifikasi diri atau diidentifikasi sebagai Orang Melayu (Maleijer) yakni Minangkabausche Maleiers. Tulisan GD. Willinck tahun 1909 berdasarkan buku tentang hukum adat Minangkabau diduga telah memperkuat identifikasi Orang Minangkabau dan sebutan Orang Minangkabau semakin popular (Bataviaasch nieuwsblad, 07-08-1908). Hal ini di sisi lain akan semakin membuat jarak dengan identifikasi sebagai Orang Melayu.  

Di Medan, sebagai daerah rantau yang baru, orang-orang Minangkabau secara perlahan mulai intens mengidentifikasi diri sebagai Orang Minangakabau (Minangkabauer). Identifikasi ini semakin menguat pada tahun 1914 ketika Sarikat Islam mulai memperluas wilayah di Medan (De Sumatra post, 13-03-1914).

Orang Padang dalam pengertian sosiologis bagi Orang Minangkabau belum muncul ke permukaan sekalipun itu di Medan. Identifikasi sebagai Orang Padang baru teridentifikasi dalam Sensus Penduduk tahun 1930.

Soerabaijasch handelsblad,    06-10-1938
Soal identifikasi ini menjadi penting bagi pemerintah (Hindia Belanda) ketika kali pertama diadakan Sensus Penduduk (SP) tahun 1930. Berbagai ahli, seperti ahli bahasa dan etnolog di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen jauh sebelumbnya telah melakukan pekerjaan identifikasi ini. Namun belum secara keseluruhan, sehingga koding untuk  SP masih jauh dari yang diharapkan termasuk soal dikotomi antara Orang Padang dan Minangkabauer apakah masuk Melayu. Belum lagi seorang Dayak yang telah memeluk Islam, menyebut dirinya tidak lagi Dayak tetapi memberikan identifikasi diri sebagai Melayu. Karenanya data SP 1930 masih memerlukan klarifikasi (lihat Soerabaijasch handelsblad,    06-10-1938).

Het nieuws van den dag voor NI, 22-02-1940
Identifikasi diri ini juga menjadi heboh di parlemen. Ini bermula ketika, Mochtar anggota Volksraad tahun 1940 menyapa konstituennya Orang Palembang sebagai Orang Sriwidjaja. Pihak lain (Belanda?) keberatan, Karena Palembanger (Orang Palembang) bukan identik dengan Orang Sriwidjaja, hal ini agak berbeda dimana disebut Minangkabauer dalam kehidupan sehari-hari sebagai Orang Padang. Lantas apakah juga Bandjarees sama dengan Orang Borneo?

Mr. Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon dari dapil Sumatra Timur memberi tanggapan. ‘Orang Belanda juga memiliki persoalan yang sama yang disebut Hollander yang hanya sesuai dengan mereka yang disebut Holland yakni Nederland bagian utara dan bagian selatan dan terganggu bagi mereka dari bagian lain. Hollander dan Nederlander harus digunakan tepat’. (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-02-1940). Catatan: Mangaradja Soangkoepon tentu sangat paham tentang Orang Belanda (Hollander vs Nederlander), karena dia cukup lama berada di Belanda sebagai mahasiswa (berangkat dari tanah air pada tahun 1910).

Orang Indonesia: Orang atau Warga

Orang terkait dengan etnik (budaya). Warga hanya terkait dengan domisili (residentei). Misalnya: Saya warga Bandung orang Bandung; saya warga Bandung orang Minangkabau/Padang dan saya warga Bandung orang Jawa dan saya warga Bandung orang Batak dan saya warga Bandung orang Melayu. Demikian juga saya warga Padang orang Batak, orang Melayu, orang Padang atau orang Minangkabau. Akan aneh kalau menyebut: saya warga Padang orang Medan. Akan lebih pas: Saya warga Medan orang Padang.

Sebutan orang untuk lintas negara agak berbeda: Jika ditanya di luar negeri, sebut orang Indonesia sudah cukup, walau anda orang Padang atau orang Bukittinggi. Malah akan lebih membingungkan menyebut orang Padang atau orang Sunda. Mengapa sudah cukup dengan menyebut orang Indonesia? Ini karena bahasa lambang-lambang negara: termasuk bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Bagaimana dengan Orang Malaysia yang memiliki bahasa persatuan bahasa Melayu. Bukankah ada pengguna bahasa Melayu di Indonesia? Iya ada, bedanya: bahasa Melayu orang Malaysia adalah bahasa persatuan (nasional), sedangkan di Indonesia, bahasa Melayu adalah bahasa daerah. Lantas bagaimana dengan orang Timor? Sebut saja Orang Timor, tetapi jangan sebut lagi orang Timor Timur. Sebut saja Orang Indonesia. Juga bagaimana dengan orang Papua? Sebut saja Orang Papua tetapi jangan sebut Orang Papua Nugini. Kemudian apakah orang Papua Nugini bisa menyebut dirinya Orang Papua?. Tanyakan kepada Orang Papua Nugini.

Last but not least: Apakah ada orang Sumatra? Iya ada, yaitu Orang Padang, Orang Minangkabau, Orang Batak, Orang Tapanuli, Orang Melayu dan sebagainya. Apakah ada orang Kalimantan? Juga ada: Orang Dayak, Orang Bandjar atau lainnya. Apakah ada Orang Sulawesi? Tentu saja ada: Orang Makassar, Orang Mandar, Orang Bugis, Orang Minahasa dan sebagainya.

Okelah. Apakah ada orang Jawa? Ada, yaitu Orang Jawa (jangan sebut Orang Sunda, Orang Tengger dan lainnya). Sebab Orang Sunda, Orang Tengger bukan Orang Jawa. Berikutnya: Orang Bali adalah Orang Bali, Orang Nias adalah Orang Nias, Orang Madura adalah Orang Madura. Akan tetapi Orang Nias bukan Orang Sumatra dan Orang Madura bukan Orang Jawa.

Bagaimana dengan di Jakarta. Orang Betawi tidak akan menyebut orang Jakarta. Yang tetap, Orang Betawi warga Jakarta, Orang Betawi warga Depok dan sebagainya. Lantas apakah ada orang Jakarta?. Iya ada, tetapi bukan Orang Betawi. Mereka tersebut adalah orang yang tidak bisa lagi menyebut afiliasinya kemana karena sudah (berdarah) campuran. Hal ini karena ingin spesifik untuk menyebut orang Indonesia. Hal ini juga berlaku sebagai orang Medan, orang Bandung dan sebagainya. Oleh karena  sudah ada orang Bandung (etnik) maka sulit membedakan orang Bandung multi etnik. Ada baiknya untuk yang multi etnik lebih baik menyebutnya Orang Indonesia, daripada Orang Jakarta, Orang Medan atau Orang Bandung.

Nama Administrasi: Pemekaran atau Penggabungan

Nama etnik berbeda dengan nama (wilayah) administrasi). Nama wilayah administrasi dihubungkan dengan batas-batas pemerintahan. Batas-batasnya dapat meluas atau menyempit. Pergeseran batas (wilayah) administrasi ini karena eksistensi budaya. Penamaan wilayah administrasi awalnya bersifat sementara dan penerapannya lebih fleksibel (jika dibandingkan dengan batas-batas budaya).

Nama Sumatra’s Westkust adalah nama wilayah (administrasi), bukan nama (wilayah) budaya, yaitu wilayah Pantai Barat Sumatra antara Atjeh dan Lampung yang meliputi Bengkulu, Padang, Natal, Baros dan Singkel. Satuan wilayah Pantai Barat Sumatra ini kemudian diadministrasikan sebagai Residentie atau Province Sumatra’s Westkust. Demikian juga di wilayah Pantai Timur Sumatra antara Atjeh dan Djambi yang meliputi Indragiri, Kampas, Siak, Rokan, Labuhan Batoe, Asahan, Batubara, Deli dan Tamiang. Satuan wilayah Pantai Timur Sumatra ini kemudian diadministrasikan sebagai Residentie atau Province Sumatra’s Oostkust.

Pada permulaannya, Province Sumatra’s Westkust dikurangi Bengkulu dan menambahkan Tapanoeli, sehingga Province Sumatra’s Westkust terdiri dari Padangsche Benelanden, Padangsch Bovenlanden dan Tapanoeli. Kemudian, Province Sumatra’s Westkust dilikuidasi (1905): Tapanoeli menjadi residentie yang otonom. Sementara, Padangsche Benelanden bersama Padangsch Bovenlanden menjadi residentie yang otonom yang kemudian mendapat warisan nama Sumatra’s Westkust, tetapi kemudian mereduksi sendiri menjadi West Sumatra (menjadi nama Provinsi Sumatra Barat yang sekarang) seperti halnya West Java.

Sedangkan Residentie Sumatra’s Oostkust, permulaannya dipisahkan Siak dari Sumatra’s Oostkust dan terbentuk dua residentie (1887): Siak dan Sumatra’s Ooskust. Dalam perkembangan berikutnya Sumatra’s Ooskust mengalami pergeseran nama menjadi Oost Sumatra atau Sumatra Timur (sebagaimana sebelumnya West Sumatra atau Sumatra Barat) dan statusnya pada tahun 1915 ditingkatkan dari residentie menjadi Province.

Pada tahun 1923 muncul kali pertama nama Noord Sumatra dan Zuid Sumatra (menyusul West Sumatra dan Oost Sumatra). Penamaan ini muncul dikaitkan dengan ‘pemilu’ untuk wakil ke Volksraad (parlemen pusat) dimana (pulau) Sumatra dibagi ke dalam empat ‘dapil’. Sebelumnya, pada pemilu pertama 1918 (pulau) Sumatra hanya satu dapil. Keempat dapil yang baru adalah: West Sumatra, Oost Sumatra, Noord Sumatra dan Zuid Sumatra. Province Oost Sumatra sebagai dapil sendiri. Residentie West Sumatra dan Residentie Riau dibentuk menjadi satu dapil bernama Midden Sumatra. Noord Sumatra sebagai satu dapil yang terdiri dari Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh. Dapil Zuid Sumatra meliputi Palembang (termasuk Lampong), Djambi, dan Banca en Belitung.

Yang terpilih menjadi anggota Volksraad adalah: Dr. Alimoesa Harahap dari dapil Noord Sumatra, Mr. Firman Siregar gelar Managaradja Soangkoepon dari dapil Oost Sumatra. Dari dapil West Sumatra dan dapil Zuid Sumatra masing-masing satu orang wakil bernama.

Setelah era kemerdekaan (pasca pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda), di Sumatra dibentuk sejumlah provinsi: Atjeh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Djambi, Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Ini berarti Sumatra Timur digabung menjadi Sumatra Utara, Sumatra Selatan (Zuid Sumatra) dipecah menjadi Djambi, Lampung dan Sumatra Selatan. Palembang (Bangka dan Beliting) mewarisi nama Sumatra Selatan. Sementara warisan nama Sumatra Timur hilang, sedangkan warisan nama Sumatra Utara tetap dipertahankan. Oleh karena, Atjeh sudah menjadi provinsi sendiri, maka nama Sumatra Utara sesungguhnya pewarisnya adalah Tapanoeli. Sebagaimana pada masa kini, kita Bangka dan Belitung dipisahkan dan membentuk provinsi sendiri, nama Sumatra Selatan tetap diwarisi oleh Palembang. Yang agak sedikit berbeda adalah soal warisan nama Riau. Pada awalnya nama Riau adalah wilayah kepulauan Riau sedangkan Riau yang sekarang adalah Siak Indrapoera. Namun ketika terjadi pemekaran, Siak Indrapoera mendapat warisan nama Riau yang sesungguhnya merupakan nama Kepulauan Riau di masa lampau.

Lantas bagaimana jika Sumatra Barat mengalami pemekaran. Mungkin sepintas tidak menjadi soal sebab dapat mewarisi nama lama: Padangsche Benelanden (Padang Bawah/hilir) dan Padangsche Bovenlanden (Padang Atas/hulu). Akan tetapi tidak semudah itu karena warisan nama Sumatra Barat sangat seksi. Keduanya akan berusaha memilikinya. Namun jika kembali ke awal, nama Padang bermula di Padangsche Benelanden sehingga Padangsch masih memiliki nama Padang. Sedangkan Padangsch Bovenlabnden meski sudah memiliki kandidat nama Minangkabau tetapi juga akan  tertarik menggunakan nama Sumatra Barat. Sementara di Sumatra Utara jika terjadi pemekaran, persoalannya cukup rumit. Jika Tapanuli dimekarkan bisa menggunakan nama Tapanuli atau Sumatra Utara (dua nama ini diwarisi). Jika Tapanuli yang dipilih maka Sumatra Utara tinggal Sumatra Timur, tetapi pewaris terdekat nama Sumatra Utara adalah Tapanuli (selain Atjeh). Kemungkinan lain, nama Sumatra Utara hilang dan muncul secara bersamaan nama Tapanuli dan nama Sumatra Timur. Akan tetapi hal ini tidak lazim nama provinsi induk dihilangkan (atau menghilang). Melihat asal-usul ini: Sumatra Utara maupun Sumatra Barat sama-sama tidak akan ingin dimekarkan, dan tetap seperti apa adanya dengan yang sudah ada sekarang.   


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar