Laman

Sabtu, 06 Mei 2017

Sejarah Kota Padang (26): Jong Sumatranen Bond Didirikan di Belanda (1917); Kongres Sumatranen Bond Pertama di Kota Padang

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disin


Jong Sumatranen Bond adalah nama pop perserikatan pemuda Sumatra. Pada awal pendirian perserikatan pemuda Sumatra ini di Batavia hanya disebut Sumatranen Bond. Oleh karena pendiri, pengurus dan anggotanya adalah para pemuda (yang berkembang di kalangan mahasiswa dan pelajar) yang berasal dari (pulau) Sumatra maka nama publiknya ke permukaan disesuaikan dengan nama Jong Sumatranen Bond agar setara dengan Jong Java yang sudah lebih awal didirikan.

De Sumatra post, 17-01-1918
Jong Sumatranen Bond adalah semacam sayap (pemuda) Sumatranen Bond, seperti halnya Jong Java sayap (pemuda) dari Boedi Oetomo. Dalam perkembangannya dua perserikatan pemuda ini muncul Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Islamieten Bond dan sebagainya. Selain menggunakan terminologi (bahasa) Belanda ada (kalan) juga menggunakan terminology (bahasa) Melayu: jong=pemuda dan bond=sarikat.

Sumatra Sepakat

Perserikatan pemuda asal (pulau) Sumatra pertama kali diproklamirkan di Belanda pada tanggal 1 Januari 1917. Ide perserikatan pemuda asal Sumatra ini timbul sebagai respon terhadap munculnya Jong Java seiring dengan semakin menguatnya Boedi Oetomo (yang disokong pemerintah). Pendirian perserikatan pemuda asal Sumatra di Belanda ini diberi nama Sumatra Sepakat yang mana ketuanya adalah Sorip Tagor (kelak lebih dikenal sebagai ompung dari Inez/Risty Tagor).

De Sumatra post, 31-07-1919
Sorip Tagor mempelopori didirikannya Sumatranen Bond di Belanda. Pada tanggal 1 Januari 1917, Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Mereka yang tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan dikirim ke Sumatra dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke perpustakaan di Padang, Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta Radja dan di tempat lain di Soematra  (lihat De Sumatra post, 31-07-1919).

Indisch Vereeniging (Perhimpunan Hindia) pada era Sorip Tagor semakin loyo sejak Soetan Casajangan pulang ke tanah air tahun 1914. Pendirian Sumatranen Bond di Belanda oleh Sorip Tagor boleh jadi merupakan suatu respon terhadap munculnya Jong Java di Jawa (sebagai sayap pemuda Boedi Oetomo). Sebagian anggota Indisch Vereeniging yang berasal dari Jawa (yang umumnya dari kalangan ningrat) sudah mulai kehilangan focus perjuangan dan secara tidak sadar mulai berkiblat ke Boedi Oetomo di Jawa (kedaerahan) daripada Indisch Vereeniging di Belanda (nasional).

Menurut Sorip Tagor studi dan kegiatan politik sejalan dalam organisasi. Sorip Tagor menulis artikel tentang Perhimpunan Hindia di majalah Hindia Poetra edisi Januari 1919 dengan kata-kata pedas. Menurutnya, jika Perhimpunan Hindia menghindari politik, organisasi tidak akan mencapai apapun dalam bentuk manfaat bagi penduduk Hindia, baik hari ini maupun masa datang. Sorip Tagor mempersalahkan sejumlah orang Jawa dari keluarga ningrat yang tak punya perhatian terhadap situasi di Hindia dan keadaan kehidupan wong cilik (lihat Harry A. Poeze  et al: ‘Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950).

Situasi dan kondisi ini dilihat Sorip Tagor sebagai suatu pembelokan visi dan misi Indisch Vereeniging. Sebagai mahasiswa asal Sumatra paling senior (asisten dosen di sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg yang melanjutkan studi di Utrecht, coba menyindir mahasiswa asal (pulau) Jawa dan menaikkan tingkat radikalitas mahasiswa dengan menggagas didirikannya Jong Sumatranen (yang dalam hal ini Sumatra Sepakat). Ide Sorip Tagor ini didukung habis mahasiswa asal Sumatra terutama dari West Sumatra seperti Dahlan Abdoellah dan Tan Malaka.

Sorip Tagor Harahap adalah mahasiswa angkatan pertama sekolah kedokteran hewan (Inlandschen Veeartsen School) di Buitenzorg yang dibuka tahun 1907. Sorip Tagor diangkat asisten dosen di kampusnya tahun 1912 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-08-1912). Setelah beberapa tahun menjadi asisten dosen, Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter hewan Belanda). Bulan Juni 1916, Sorip Tagor lulus dan diterima sebagai kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool, Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916).

Mangapa Sorip Tagor berapi-api soal nasionalisme? Jawabnya adalah karena Sorip Tagor dan Soetan Casajangan sama-sama memiliki satu pemikiran. Boleh jadi, Sorip Tagor telah banyak mendapat masukan dari Soetan Casajangan. Sejak awal, Soetan Casajangan adalah actor pertama pergerakan di Belanda yang kerap memberikan kritik dan solusi kehidupan di Hindia di berbagai forum yang dihadiri oleh kalangan cendekiawan di Belanda.

Foto Soetan Casajangan dalam sebuah jurnal (1913)
Soetan Casajangan sebagai seorang mantan guru di Padang Sidempuan melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi. Di kampung halamannya, di Padang Sidempuan dia rasakan sendiri ketidakadilan itu nyata, di negeri Belanda diperjuangkannya di hadapan para pakar bangsa Belanda, juga sekembalinya di tanah air, perjuangan menuntut keadilan terus bergelora. Ketika tengah kuliah di negeri Belanda, sepak terjang Soetan Casajangan sudah diketahui umum, karena itu Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya.

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

    ..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

Itulah gaya santun Soetan Casajangan seorang guru dalam berjuang, untuk meningkatkan harga diri bangsanya. Sebelum pulang ke tanah air, Soetan Casajangan masih terus berjuang tidak melalui forum tetapi melalui buku. Pada tahun 1913 Soetan Casajangan menerbitkan buku yang dicetak di Barns oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij. Inilah cara Soetan Casajangan agar orang di Eropa dapat melihat apa yang terjadi di Hindia. Buku itu berjudul: 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi).

Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan khususnya pembangunan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan), Buku ini sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda. Buku ini adalah buku pertama orang pribumi yang diterbitkan pertama kali dan diedarkan di Eropa.

Sumatranen Bond di Batavia

Soetan Casajangan dan Sorip Tagor adalah dua mata rantai berikatan kuat yang terus berjuang membebaskan diri dari belenggu penjajah. Soetan Casajangan dan Sorip Tagor tentu saja sudah bertemu saat Soetan Casajangan pulang ke tanah air tahun 1914 sebelum Sorip Tagor berangkat studi ke Belanda tahun 1916. Sebagaimana diketahui Soetan Casajangan saat kembali ke tanah air setelah sembilan tahun di Belanda (sejak 1905) pada tahun 1914 mengajar di Buitenzorg dan pada tahun 1915 mengajar di Sekolah Radja di Fort de Kock. Saat Soetan Casajangan di Buitenzorg ini Sorip Tagor sudah menjadi asisten dosen di kampusnya. Dua dosen asal Padang Sidempuan bertemu di Buitenzorg untuk memikirkan kelanjutan perjuangan kebangkitan bangsa.

Pada saat Sorip Tagor sudah di Belanda, Soetan Casajangan dipindahkan dari Fort de Kock dan ditempatkan di sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Dengan kata lain, Soetan Casajangan sudah berada di Batavia (di pusat pergerakan kebangkitan bangsa) saat mana Sorip Tagor memproklamirkan Sumatra Sepakat sebagai wadah Jong Sumatra di Belanda. Soetan Casajangan boleh jadi mulai tersenyum dan bergegas menemuai mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di Batavia. Soetan Casajangan adalah tokoh mahasiswa yang sangat dihormati oleh semua mahasiswa terutama mahasiswa asal Sumatra.

Seide dengan Jong Sumatra di Belanda yang telah mendirikan wadah Sumatra Sepakat, di Batavia juga didirikan wadah pergerakan yang disebut Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA Batavia yang berasal dari Sumatra. Sumatra Bond yang mewadahi pemuda Sumatra (Jong Sumatra) didirikan pada tanggal 8 Desember 1917 (setahun setelah Sumatra Sepakat didirikan tanggal 1 Januari 1917). 

De Sumatra post, 17-01-1918
Sumatranen Bond, asosiasi pemuda ini lahir dari suatu pemikiran bahwa intensitas (pembangunan) hanya berada di Jawa yang mana di Sumatra dan pulau-pulau lainnya terabaikan. Dengan kata lain pemikirannya sama dengan Sumatranen Bond yang berada di Belanda. Susunan pengurus Jong Sumatranen di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918).

Kongres Sumatranen Bond Pertama di Kota Padang

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar