Laman

Minggu, 25 Juni 2017

Sejarah Bogor (20): Kampung Empang di Buitenzorg, Ibukota Kabupaten; Menengok Masjid Tua di Bogor Tempo Doeloe

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disin


Kampung Empang, suatu kampung tua di Bogor. Nama Kampung Empang paling tidak sudah teridentifikasi pada tahun 1825. Ini bermula dari Mr. Cobben memasang iklan untuk menjual rumah dengan taman yang indah di Kampong Empang, Buitenzorg (lihat Bataviasche courant, 14-12-1825). Masih di koran yang sama, Mr. Cobben juga ingin menjual logement (losmen) beserta perabotannya dan kuda, kerbau serta pedatinya. Rumah dan losmen tersebut besar kemungkinan berdekatan, tetapi tidak diketahui persis posisi ‘gps’nya. Inilah awal berita adanya kampong Empang di Bogor.

Kampong Empang, 1867
Pada tahun 1843 Asisten Residen Buitenzorg, DCA van Hogendorp mengumumkan perbaikan sejumalah jembatan, termasuk jembatan yang berada di dekat rumah Bupati (Javasche courant, 18-02-1843). Jembatan yang dimaksud ini di kampong Empang adalah jembatan di atas sungai Tjisadane.

Ini mengindikasikan bahwa Kampong Empang, bukan hanya tempat orang Eropa, tetapi juga ibukota penduduk pribumi (mengacu pada kediaman Bupati). Kampong Empang berada di lembah yang dialiri oleh sungai Tjisadane.

Hotel Bellevue, 1867
Pada tahun 1853 di Buitenzorg dilaporkan keberadaan Hotel Bellevue. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1853 memberitakan bahwa hotel tersebut telah diakusisi oleh W. Hamstra. Hotel Bellevue juga disebut sebagai Logement Bellevue. Selain Hotel/losmen Bellevue di Buitenzorg juga dilaporkan terdapat losmen di Kota Batoe (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-05-1853). Dalam berita ini, hanya dua losmen ini yang disebutkan dan tidak ada losmen lainnya di Buitenzorg. Hotel Bellevue ini kemungkinan besar adalah logement (losmen) milik Mr. Cobben sebelumnya. Hotel Bellevue atau losmen Mr. Cobben di kampong Empang pada masa ini berada persis di Bioskop Ramayana yang sekarang.

Kampong Empang sebagai ibukota, tempat dimana Bupati tinggal, kampong Empang juga dinilai sebagai tempat yang strategis yang menghubungkan Kota Buitenzorg dengan lereng gunung Salak hingga ke Kota Batoe. Yang dimaksud Kota Buitenzorg adalah lokasi di sekitar Kantor/rumah Asisten Residen yang berada di depan Istana Buitenzorg (situsnya masih eksis hingga ini hari).

Masjid Kampong Empang

Ibukota Bogor (Bupati) berada di Kampong Empang paling tidak sudah terdeteksi pada tahun 1843 (Javasche courant, 18-02-1843). Tidak diketahui kapan Kampong Empang menjadi ibukota. Sementara itu di distrik Buitenzorg sendiri, selain penduduk pribumi, populasi orang-orang Eropa dan Tionghoa sudah banyak termasuk landerein Bloeboer dimana Kampong Empang berada. Orang-orang Arab bahkan hingga pada tahun 1861 belum ditemukan di Buitenzorg.

Sketsa (peta) Bloeboer, 1874
Pada awal pembagian administratif Regentschappen (Kabupaten) Buitenzorg memiliki lima district (kecamatan), yakni: Buitenzorg, Paroeng, Tjibinong, Jassinga dan Tjibaroessa. Pada tahun 1861 (lihat Statistiek der Assiten Residentie Buitenzorg, 1861) terdiri dari 62 tanah (landerien) dan 1.030 kampong. Jumlah penduduk sebanyak 341.083 jiwa, tidak termasuk  orang Eropa/Belanda sebanyak 759. Orang Eropa/Belanda umumnya berada di Depok, Bloeboer, Pasar dan perkebunan swasta (Pondok Gede, Dermaga, Tjiomas, Tjikoppo, Tjiseroa, Tjitjoeroek dan Tjiawi). Jumlah populasi orang Eropa/Belanda terbanyak berdasarkan statistic 1861 terdapat di Land Depok dan Land Bloeboer. Jumlah orang Eropa/Belanda di Land Depok sebanyak 303 orang dan di Land Bloeboer sebanyak 250 orang. Land Bloeboer sendiri adalah ibukota Buitenzorg dimana juga terdapat banyak Tionghoa. Di ibukota ini jumlah Tionghoa terbanyak yakni sebanyak 2.188 jiwa (jumlah kedua terbanyak di Tjilengsie sebanyak 1.008 jiwa). Wilayah perkotaan di Bloeboer yang umumnya dihuni oleh orang-orang Tionghoa disebut wijk (yang dibedakan dengan kampong). Meski orang-orang Tionghoa tersebar di seluruh Regenschappen Buitenzorg, namun di setiap land lainnya jumlahnya tidak lebih dari 500 jiwa. Dalam laporan statistik penduduk ini, tidak ditemukan orang Arab namun di Bloeboer sudah terdapat 45 orang timur asing lainnya.

Foto Masjid Empang 1880
Lantas pertanyaannya: kapan masjid Empang diketahui keberadaannya? Informasi yang tersedia, gambar masjid Empang yang paling awal ditemukan pada tahun 1880. Masjid ini terkesan cukup besar dan cukup megah untuk wujud bangunan pada saat itu. Di depan masjid Empang ini tampak lapangan yang cukup luas yang diduga menjadi aloon-aloon kota.

Rumah bupati, masjid dan aloon-aloon kota adalah tipikal kota-kota yang didiami penduduk lokal di Jawa, termasuk di Bandoeng dan Buitenzorg. Di Bandoeng lokasi serupa ini berada di area Kaoem. Aloon-aloon di Buitenzorg diduga terdapat di kampong Empang yang boleh jadi area ini juga disebut kaoem.

Soerabaijasch handelsblad, 10-06-1908
Kampong Empang tidak hanya memiliki masjid yang besar. Kampong Empang juga semakin terkenal di mata orang-orang Eropa/Belanda karena di kampong ini tidak hanya terdapat Hotel Bellevue, juga di kampong Empang juga terdapat rumah pelukis terkenal, Raden Saleh. Sebagaimana Raden Saleh yang bernama asli Saleh Boestaman sejatinya adalah pelukis kelahiran Semarang yang cukup lama berkiprah di Eropa yang memiliki darah Arab dari pihak ayah. Apakah pilihan Raden Saleh bertempat tinggal di Kampong Empang karena kampong Empang terkenal dengan keindahan pemandangannya ke arah gunung Salak. Raden Saleh meninggal dunia tahun 1880 yang mana makamnya terdapat di Bondongan.

Foto Masjid Empang 1910.
Pada tahun 1908 masjid yang berada di Kampong Empang ini mendapat bantuan dari pemerintah untuk dilakukan perbaikan. Kampong Empang juga mendapat bantuan untuk dua buah lampu di sepanjang jalan utama (Soerabaijasch handelsblad, 10-06-1908). Masjid Empang pada tahun 1910 terlihat sudah berbeda jika dibandingkan dengan foto 1880.

Kampong Empang yang juga menjadi komunitas orang-orang Arab semakin berkembang. Keberadaan orang-orang Arab di Kampong Empang juga mempekaya area dengan tumbuhnya pasar Empang. Pasar ini tampaknya menjadi alternatif bagi warga untuk berdagang maupun berbelanja selain pasar baroe yang terdapat di kampong Babakan Pasar.

Mengapa Disebut Empang: Tjipakantjilan vs Tjisadane

Sketsa Michiel Ram en Cornelis Coops, 1701
Nama kampung Empang diduga mengacu pada adanya empang  yang dibangun di sungai Tjisadane. Lantas bagaimana munculnya empang? Pada masa lampau, berdasarkan ekspedisi tahun, sketsa yang dibuat Michiel Ram en Cornelis Coops, perkampungan hanya terdapat di sisi timur sungai Tkiliwong. Dengan kata lain, di area Bondongan, Empang dan Pantjasan yang sekarang tidak ditemukan kampung (wilayah hutan rimba). Lalu dalam perkembangannya, berdasarkan lukisan Js Rach, 1771 sudah ditemukan lahan pertanian. Area yang lebih rendah dari sungai Tjipantjilan dibentuk sawah dengan mengambil air dari sungai Tjipakantjilan dengan cara membendung (apakah dari sini munculnya nama kampong Bondongan/Bandongan?).

Area yang menjadi Empang/Bondongan (lukisan Js Rach, 1771)
Secara alamiah sungai Tjipakantjilan lebih tinggi dari sungai Tjisadane di hulu. Air sungai Tjipakantjilan inilah yang mengairi persawahan di kampong Bondongan (air sungai Tjisadane berada di bawah). Sejauh ini tidak ada kontribusi sungai Tjisadane terhadap pertanian di sekitar Bondongan dan Empang. Akan tetapi selisihnya makin rendah di hilir hingga aliran sungai Tjipakantjilan bermuara ke sungai Tjisadane (di Kampong Empang yang sekarang). Dengan kata lain air sungai Tjipakantjilan bermuara ke sungai Tjisadane (lihat foto 1860).

Foto 1860
Pemerintah Hindia Belanda (era Daendles) dan pemerintah lokal (Bupati) mulai merencanakan perluasan sawah di Panaragan dan Kedong Badak. Selama ini area tersebut berada di ketinggian yang hanya sesuai dengan perkebunan lahan kering dan tidak memungkinkan untuk persawahan untuk menghasilkan beras lebih banyak. Lalu dibuat rencana pengalihan air sungai Tjipakantjilan tidak masuk ke sungai Tjisadane tetapi dengan membuat kanal melalui Empang Atas dan Pledang. Kanal ini cukup dalam di sekitar Jembatan Merah yang sekarang (lihat Johannes Olivier dan K. van Hulst, 1835). Untuk menambah debut air yang melalui kanal baru ini sungai Tjisadane dibendung. Air yang kini lebih tinggi di empang sungai diatur melalui peraturan yang dialirkan menuju kanal baru melalui muara sungai Tjipakantjilan (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie voor 1859). Empang dan kanal baru ini selesai pada tahun 1872. Pemakaian air dari bendungan Empang diatur kembali kemudian, dimana di Pasar Tjitajam dibagi dua, ke barat menuju Tjinere dan Pondok Labo dan ke timur setelah Pondok Tjina diteruskan ke Tandjong Barat dan berakhir di Pegangsaan masuk ke Tjiliwong (lihat Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 200 Tahun 1877). .

Peta 1880
Jauh sebelumnya sudah ada kanal yang dibuat di era VOC yang menyodet sungai Tjiliwong di Kampong Katoelampa. Kanal ini disebut Slokkan op Kalie Baroe. Air kanal ini mengairi persawahan bari di Kampoeng Baroe yang diteruskan ke hilir. Kali Baroe ini yang mendapat pasokan tambahan air dari Kali Tjikeas akan mengairi sawah hingga ke Batavia. Kanal ini akan bertemu kembali dengan sungai Tjikias di Batavia (yang kemudian sungai/kali baru itu dikenal sebagai Kali Soenter). Sementara itu, kali baru dari sungai Tjisadane ini diintegrasikan dan memperbesar sungai kecil di Tjiliboet yang kemudian diteruskan untuk mengairi persawahan baru di Bodjong Gede, Tjitajam, Depok. Air yang jatu di UI yang sekarang dialihkan lagi dengan membuat kanal lanjutan untuk mengairi persawahan di Srengeseng, Lentang Agoeng, Pasar Minggoe.

Peta 1900
Bendungan sungai Tjipakantjilan dengan membentuk kanal baru inilah yang diduga diduga yang menjadi asal muasal nama Kampong Empang. Sebagaimana dikutip di atas, nama Kampong Empang sudah dilaporkan pada tahun 1825 (era Cobben). Sebab pembendungan ini sudah dimulai sejak era Daendels (1809). Sedangkan bendungan sungai Tjisadane sendiri baru terjadi pada tahun 1872. Dengan demikian, asal usul nama Kampong Empang baru muncul antara 1809-1825.

Ibukota Kabupaten Bogor

Pada tahun 1820 Gubernur Jenderal van den Bosch mulai menerapkan koffiestelsel, termasuk di Buitenzorg dan Preanger. Kofficultuur selama ini (sejak era VOC), sentra produksi hanya terbatas di Megamendoeng dan Tjiboengboelan. Dengan perubahan status menjadi koffiestelsel, sentra produksi kopi diperluas ke lereng gunung Salak. Untuk mengefektifkan kinerja koffiestelsel, para Bupati digaji tinggi, tetapi volume produksi kopi harus terus meningkat.

Untuk meningkatkan efektivitas di dalam pemerintahan (kerjasama Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah lokal (dalam hal ini yang dipimpin Bupati) dengan sistem koffistelsel maka ibukota kabupaten (Bupati) terpaksa dipindah. Bupati Bandoeng pindah dari ibukota lama (kemudian disebut Dajeuh Kolot) ke ibukota baru (Bandoeng).  Hal ini juga tampaknya yang berlaku bagi Bupati Bogor dipindahkan ke Kampong Empang. Why? Lantas dimana ibukota kabupaten (Bupati) selama ini? Perlu penelusuran lebih lanjut.

Kampong Empang adalah area yang sudah mulai berkembang dan dekat ke ibukota Buitenzorg. Sementara sentra-sentra produksi di lerang-lereng gunung Salak (yang masuk wilayah Pantjasan, Tjiomas, Dramaga dan lainnya) melalui Kampong Empang. Sebab segera Bupati Bogor pindah ke Empang tidak lama kemudian jembatan di atas sungai Tjisadane diperbarui berdasarkan berita tahun 1843 (sedangkan jembatan di atas sungai Tjisadane di Panaragan (terusan Jembatan Merah) baru diperbarui (dari jembatan bambu menjadi jembatan permanen) berdasarkan berita tahun 1894.      

Kampung Empang, 1910
Area yang sudah berkembang di lereng gunung Salak salah satunya adalah Kota Batoe. Berdasarkan berita tahun 1853, ada dua hotel/losmen yang teridentifikasi di Buitenzorg yakni Hotel Bellevue di Empang dan losmen di Kota Batoe. Hotel Bellevue ini tidak lain adalah losmen milik Mr. Cobben pada tahun 1825.

Untuk sekadar menambahkan: Pada tahun 1932 Hotel Bellevue dilikuidasi oleh pemerintah (dalam hal ini Perusahaan Negara Kereta Api). Lalu gedung (eks hotel Bellevue) dialihkan sebagai gedung rapat untuk Regetschappenraad (dewan kabupaten). Sedangkan kantor Landraad yang sudah ada sejak lama berada disamping Hotel Bellevue. Lahan eks gedung kabupaten ini kelak menjadi lokasi Bioskop Ramayana.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. 

9 komentar:

  1. Masjid yang anda sertakan dalam pos ini adalah dua masjid yang berbeda. Masjid yang nampak dalam dalam foto tahun 1880 adalah eks masjid kabupaten yang sekarang jadi Masjid Agung at-Thohiriyah. Sedangkan masjid dalam foto 1908 adalah masjid milik habib Abdullah Alatas, kini bernama masjid An-Nur atau masjid Kramat Empang. Semoga jadi koreksi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh jadi Anda benar. Foto tahun 1880 masjid memiliki halaman/pekarangan yang luas di depan, masjid pada foto 1910 berada di pinggir jalan.

      Hapus
  2. Saya penasaran dengan lokasi Ibukota Kabupaten sebelum pindah ke Empang.
    Lalu, saat pindah ke Empang, kantor/rumbah Bupati lokasinya sebelah mana ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pada era VOC pemimpin lokal rumahnya di Kampong Baroe. Disebut kampong Baroe diduga karena dibangun baru. Para tahun 1699 gunung Salak meletus dan sekian lama tidak ada penghuni dan kemudian terbentuk kampong baru tersebut (di area istana Bogor yang sekarang). Pada masa Gub. Jenderal van Imhoff 1740an wilayah kampong baru ini dibeli dan namanya menjadi land Bloeboer. Di land ini van Imhoff membangun villa (cikal bakal istana). Sang pemimpin lokal direlokasi ke Kedong Halang. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, Daendels membangun kota Buitenzorg dengan membeli land Bloeboer. Ketika kota Buitenzorg makin ramai pasca pendudukan Inggris (1811-1816)tata kota mulai diarahkan yang mana area sekitar istana dan kampong Paledang sebagai area orang Eropa dan area kampong Babakan Pasar untuk area Tionghoa. Untuk area penduduk pribumi diarahkan di sekitar Bondongan dan Empang. Setelah tiga area ini terbentuk, pemerintah memformalkan rumah/kantor dengan membangun rumah/kantor Bupati di Empang (sekitar tahun 1820an). Rumah/kantor Bupati di Empang ini lokasinya di belakang alun-alun sekarang. Berdasarkan Peta 1880 sebelah barat alun-alun adalah lokasi masjid, sebelah utara jalan raya (kini jalan Pahlawan); sebelah selatan atau belakang alun-alun tempat rumah/kantor Bupati. Dengan kata lain alun-alun ini adalah halaman rumah/kantor Bupati dimana masjid juga berada di sisi lain alun-alun. Mungkin kira-kira diantara jalan Empang/masjid dengan jalan Krupuk. Demikian, semoga terbantu.

      Hapus
  3. Mohon izin untuk reproduksi foto Masjidnya pak. Kalau diizinkan saya juga minta sumber fotonya. Terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan semoga bermanfaat. Sumbernya KITLV.nl (tampaknya situs tersebut sudah ditutup sekitar dua tahun lalu). Tks

      Hapus
  4. Kalau tentang sepakbola nya buitenzorg ada yg bisa di baca ga pak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih ada sejumlah artikel serial Sejarah Bogor yang belum dipublish, termasuk sejarah sepak bola. Suatu waktu akan kembali ke serial Sejarah Bogor. Sekarang masih fokus pada serial Sejarah Menjadi Indoneisia.

      Hapus