Laman

Rabu, 19 Juli 2017

Sejarah Kota Depok (16): Sejarah Cimanggis, Nama Awal Land Yemans; Lauw Tek Lok dan Rumah Tua Cimanggis

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Wilayah Tjimanggis yang sekarang sebagai wilayah yang subur sudah dikenal sejak era VOC tetapi  tidak dengan nama Tjimanggis tetapi disebut dengan nama Yemans. Besar dugaan pemilik lahan yang subur itu adalah keluarga Yemans (sebagaimana keluarga Chastelein di Land Depok). Nama Land Yemans berganti menjadi Land Tjimanggis di era Pemerintah Hindia Belanda.

Land Yemans menjadi Land Tjimanggis (lukisan 1770-1777)
Nama landgoed yang disebut sebagai Yemans disebut Johs Rach dalam lukisannya yang dibuat 1770-1777. Inkripsi dalam lukisan Gezicht op een landgoed genaamd Yemans, op de weg van Batavia naar Bogor (land yang disebut Yemans di jalan dari Batavia ke Bogor. Dalam lukisan ini terlihat suatu area pemberhentian gerobak dan kuda-kuda. Tidak diketahui secara pasti kapan Land yang disebut Land Yemans ini dibuka sebagai landgoed (estate).

Jalan Pos Trans-Java

Pada saat Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1745) mulai membangun villa di Buitenzorg (Istana Buitenzorg) kawasan dari Batavia dan Buitenzorg sudah dipetakan ke dalam sejumlah land, yang dalam hal ini termasuk Land Yemans.

Bataviasche kol.courant, 05-01-1810
Pada era Pemerintah Hindia Belanda (sejak 1800), Gubernur Jenderal Daendels membuat keputusan yang dimuat dalam surat kabar, Bataviasche koloniale courant edisi pertama (lihat Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810). Di dalam keputusan ini (General Reglement) terdapat aturan umum (general reglement) yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Daendles (setelah dua tahun menjabat untuk) menetapkan beberapa nama tempat yang dijadikan sebagai patokan (check poin) jaringan jalan pos yang menghubungkan semua wilayah di Jawa (dimana orang-orang Eropa tinggal). Jaringan jalan pos utama ini disebut jalan pos utama (groote post-weg) Trans-Java. Jalan pos ini melalui Anjer, Batavia dan kemudian ke Buitenzorg.

Dalam perkembangannya, ruas jalan pos Batavia-Buitenzorg diperinci ke dalam beberapa pos pada tahun 1842. Dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1842 antara Batavia dengan Buitenzorg tedapat enam pos: Pos I: Bidara Tjina, Pos II Tandjoeng (15 paal dari Batavia), Pos III Tjimanggis, Pos IV Tjibinong (28 paal), Pos V Tjiloear (34 paal) dan Pos VI Buitenzorg (39 paal). Pos Tjimanggis terkenal karena posisinya strategis antara Batavia dan Buitenzorg.

Ekspedisi pertama ke hulu sungai Tjiliwong kali pertama dilakukan pada tahun 1687. Rute ekspedisi ini kemudian menjadi jalan pos Trans-Java (1810) dan penetapan pos-pos pada tahun 1842. Dengan kata lain, Land Tjimanggis atau nama sebelumnya Land Yemans sudah dikenal sebagai daerah yang subur sejak 1687

Pos-pos yang ditetapkan pada tahun 1842 semakin diperkuat. Asisten Residen Buitenzorg pada tahun 1847 pos-pos itu dijadikan sebagai stasion kereta kuda dan pedati (lihat Javasche courant, 15-09-1847). Sebagaimana keterangan yang dibuat Johs Rach (1770-1777), Landhuis Yemans sudah menjadi tempat pemberhetian kereta kuda dan pedati. Dengan kata tempat pemberhentian yang sudah ada sejak era VOC ditingkatkan menjadi pos dengan nama Pos Tjimanggis. Yang dimaksud pos dalam hal ini adalah pusat bongkar muat barang-barang pos yang mana di setiap pos disediakan dan dibangun rumah pos (semacam kantor pos).

Berdasarkan penetapan beberapa pos di ruas jalan pos Batavia-Buitenzorg, diduga nama Tjimanggis kali pertama dilaporkan (ke publik) pada tahun 1842. Dengan mengacu pada keterangan Johs Rach (dalam lukisannya 1770-1777) dengan penetapan pos tahun 1842 berselang hampir 70 tahun. Banyak hal yang mungkin terjadi di dalam periode tersebut. Apakah Land Yemans masih eksis atau apakah namanya telah berubah nama menjadi Land Tjimanggis.

Land Tjimanggis.

Landhuis Pondik Tjina dan Landhuis Tjimanggis (Peta 1901)
Land Tjimanggis adalah salah satu land penting di sisi timur sungai Tjiliwong karena terdapat salah satu pos jalan trans-Java. Pos Tjimanggis adalah pos yang berada di tengah antara Pos Bidara Tjina di Meester Cornelis (Batavia) dan Pos Tjilioer di Buitenzorg. Sebagai pos yang berada di tengah, Pos Tjimanggis oleh para crew pedati/caravan dijadikan tempat bermalam baik yang dari Bidara Tjina maupun yang dari Tjiloear.

Ini mengindikasikan bahwa Land Tjimanggis tidak hanya sekadar adanya pos, tetapi juga tempat yang dijadikan sebagai tempat menginap dari Batavia ke Buitenzorg atau sebaliknya. Dari aspek bisnis (perdagangan) Land Tjimanggis adalah pos terpenting di sisi timur Tjiliwong (sedangkan area terpenting di sisi barat sungai Tjiliwong adalah Land Pondok Tjina. Kedua land ini terhubung melalui pelabuhan sungai di Pondok Tjina.

Lauw Tek Lok

Lauw Tek Lok adalah seorang yang terkenal. Lauw Tek Lok  adalah seorang Luitenant Chineese di Meester Cornelis yang memiliki banyak properti. Lauw Tek Lok memiliki rumah di Batoe Toelis, Buitenzorg (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-03-1869). Juga memiliki rumah di Tanah Abang dan Pasar Baroe (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1873).

Landhuis Tjimanggis (Peta 1901)
Lauw Tek Lok terungkap sebagai pemilik Land Tjimanggis ketika Pemerintah (Hindia Belanda) pada tahun 1876 bernegosiasi dengan Lauw Tek Lok, sebagai pemilik Land Tjimanggis untuk dibangun barak sementara untuk artileri negara (land een temporaire kazerne voor de artillerie op te richten) yakni semacam garnisun (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-08-1876).

Pembangunan garnisun ini untuk menambah kekuatan militer di tengah (diantara Weltevreden dan Buitenzorg). Hal ini dipicu karena sebelumnya (1860an) telah terjadi kerusuhan (semacam pemberontakan) di Land Pondok Terong (Ratoe Djaja). Kerusuhan di Ratoe Djaja berawal dari kerusuhan sebelumnya di Bekasi (tidak jauh dari gemeente Toegoe). Setelah kerusahan di Bekasi dapat diatasi, eskalasi politik meningkat di Ratoe Djaja. Tokoh-tokoh kerusuhan di Bekasi merangsek ke Ratoe Djaja (tidak jauh dari gemeente Depok).

Land Tjimanggis kemudian sebagian beralih kepemilikan dari swasta (partikelir) ke pemerintah (militer). Hal ini dapat diketahui karena garnisun militer akhirnya terealisasi di Land Tjimanggis.

Kasus yang sama sebelumnya (1873) pemerintah melalui Pengadilan Tinggi di Batavia memutuskan pembebasan lahan untuk keperluan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg para pemilik lahan mendapat konpensasi. Land-land yang mendapat konpensasi tersebut adalah Land Pondok Tjina, Land Depok dan Land Pondok Terong/Ratoe Djaja.

NV. Maatschappij tot Exploitatie vaa het Land Tjimanggies

Lauw Tek Lok, pemilik Land Tjimanggis, posisinya sebagai pemimpin Tionghoa (masih berpangkat letnan) di Chineesch Bestuur sulit digantikan oleh yang lain. Menurut orang-orang di Chineesch Bestuur, Lauw Tek Lok  dan Tan Kan Ie  sulit mencarikan penggantinya yang cocok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-04-1879), Lauw Tek Lok selain memiliki properti sendiri juga memiliki saham di lahan yang terletak di Tjipanang (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-06-1879). Juga Lauw Tek Lok dilaporkan memiliki rumah di Glodok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-08-1880).

Bataviaasch handelsblad, 20-07-1881
Pada tahun 1881 Lauw Tek Lok dilaporkan telah menjual Land Tjimanggis kepada Kapiten China (kapitein der Chinezen) di Buitenzorg yang secara keseluruhan senilai f270.000 (Bataviaasch handelsblad, 20-07-1881). Nilai ini terbilang sangat besar saat itu.  Sebagai pembanding, jembatan Batang Toroe di Residentie Tapanoeli, jembatan terpanjang di Hindia Belanda (100 M) yang dibangun 1879 dan selesai 1883 memakan biaya sebesar f140.000 (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 08-05-1883). Diharapkan dengan penjualan Land Tjimanggis akan dikelola dengan baik, karena selama ini Lauw Tek Lok kurang begitu antusias.

Java-bode, 27-05-1882
Namun tidak lama setelah Lauw Tek Lok menjual Land Tjimanggis, Lauw Tek Lok dikabarkan meninggal dunia tanggal 26 Mei (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-05-1882). Disebutkan dalam proses pemakaman, Luitenent Meester Cornelis dihadiri oleh para perempuan dan anak perempuannya. Juga dihadiri oleh para pejabat Tionghoa dan pejabat pribumi dan rekan-rekannya sendiri. Dalam berita ini Lauw Tek Lok teridentifikasi tidak memiliki anak laki-laki dan dimana dimakamkan tidak terinformasikan.
   
Land Pondok Tjina yang merupakan tetangga Land Tjimanggis diketahui pemiliknya adalah seorang Tionghoa bernama Lauw Tjeng Siang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1898). Tidak diketahui jelas apakah pemilik Land Tjimanggis dan pemilik Land Pondok Tjina dari keluarga yang sama (dilihat dari marganya yang sama: Lauw). Kepemilikan kedua lahan kemungkinan berkaitan satu sama lain karena selain kedua land bertetangga, juga satu-satunya interchage di sungai Tjiliwong hanya terdapat di antara kedua sisi land ini (Land Tjimanggis di sisi timur sungai Tjiliwong dan Land Pondok Tjina di sisi barat sungai Tjiliwong

Dalam perkembangannya, di area eks land milik Lauw Tek Lok (Land Tjimanggis) sudah didirikan suatu maskapai yang diberi nama NV. Maatschappij tot Exploitatie vaa het Land Tjimanggies. Adanya maskapai ini didasarkan pada suatu iklan pemberitahuan yang dimuat surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 05-04-1909.

Bataviaasch nieuwsblad, 05-04-1909: ‘NV. Maatschappij tot Exploitatie vaa het Land Tjimanggies. Majelis Umum Pemegang Saham pada tanggal 18 April 1909, pagi hari pukul 10 di rumah Direktur yang berada di Buitenzorg. Agenda acara: Perkembangan usaha sekitar tahun 1897 hingga pada tahun 1908 dan penentuan dan pemberian dividen setelah bertahun-tahun. Acara rapat pemegang saham dilakukan di rumah direktur. Tertanda Direktur’.

Dari iklan pengumuman ini terindikasi bahwa NV. Maatschappij tot Exploitatie vaa het Land Tjimanggies didirikan pada tahun 1897. Dalam iklan tersebut tidak disebutkan siapa nama direktur NV. Maatschappij tot Exploitatie vaa het Land Tjimanggies.

Bataviaasch nieuwsblad, 14-04-1925
NV. Maatschappij tot Exploitatie vaa het Land Tjimanggies cukup lama eksis. Pada rapat pemegang saham tahun 1923 diinformasikan bahwa terjadi pengangkatan seorang komisaris untuk menggantikan almarhum Mr TL Tan Sr (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-08-1923). Lalu pada tahun 1925 muncul identitas baru dari perusahaan (NV) dengan merek Soen Hin sebagaimana terbaca dalam iklan pengumuman rapat pemegang saham (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 14-04-1925). Di dalam iklan ini juga tercantum alamat direktur yang (tetap) beralamat di Buitenzorg, tepatnya di Handelsstraat No. 162. Dalam rapat pemegang saham ini, selain membicarakan laporan keuangan juga penggantian seorang komisaris karena pengunduran diri yang bernama Mr. TK Tan. Dalam hal ini diduga sebelumnya TK Tan Jr yang menggantikan (ayahnya) Mr TL Tan Sr.

Riwayat Rumah Tua Cimanggis

Keutamaan lainnya Pos Tjimanggis karena di tempat ini pada tempo doeloe, mantan Gubernur Jenderal Petrus Albertus Van der Parra mendirikan rumah tinggal (huis). Di lokasi tempat tinggal van der Parra tersebut, pada saat ini masih ditemukan rumah tua yang disebut Rumah Tua Cimanggis.

Tidak jauh dari huis ini dulunya muncul bazaar lalu berkembang  menjadi pasar (yang kini menjadi cikal bakal Pasar Cimanggis). Pada era Pemerintahan Hindia Belanda, sejak penataan lahan-lahan perkebunan ditertibkan (yang dimulai pada era Daendels) intensifikasi lahan-lahan ditingkatkan sebagai usaha pertanian untuk komoditi ekspor dengan skema verponding. Hal ini juga terkait dengan pembangunan selokkan (kanal irigasi) yang airnya disodet dari sungai Tjiliwong di Katoelampa. Lahan-lahan (land) di sekitar, selain Land Tjimanggies antara lain Land Pondok Tjina, Land Tjibinong, Land Tjilodong, Land Tjimpoen en Patingie (kemudian disebut lnad Tapos) dan Land Tjiboeboer. Pusat land ini berada di landhuis. Rumah Tua Cimanggis yang jejaknya masih terlihat sekarang adalah salah satu landhuis yang pernah ada.

Untuk jelasnya Rumah Tua Cimanggis dapat dilihat artikel yang ditulis lima tahun lalu dimuat dalam blog ini dengan judul: ‘Rumah Tua Cimanggis di Depok: Pesanggrahan Janda Gubernur Jenderal Belanda’


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

2 komentar:

  1. Saya ingin bertanya kepada penulis, apakah mempunyai sumber-sumber atau catatan terkait dengan sumur-sumur yang ada di kota Depok? Seperti sumur 7 beji, sumur bandung dan khususnya sumur Gondang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya tidak mempunyai sumber Bagus. Tetapi saya memiliki catatan sendiri. Sumur-sumur itu haruslah diperhatikan dari dua era berbeda. Pada era VOC (1500an) wilayah Hindoe Pakwan Padjadjaran ditaklukkan Islam Banten. Sejak itu wilayah Bogor yang sekarang termasuk Depok dimana terdapat kraton Pakuwan Pajajaran di Bogor menjadi sepi karena ditinggalkan. Meski wilayah eks Hindoe ini sepi tetapi tetap berada di dalam otoritas Banten. Lalu sejak 1619 VOC membangun pos perdagangan di Batavia (hilir sungai Tjiliwong). Jalan sisi barat sungai Tjiliwong antara hulu (kraton) dengan hilir di juara di Soenda Kalapa juga tetap sepi lalulintas. Situasi dan kondisi berubah pada tahun 1628 Mataram menyerang Batavia yang dibantu Banten. Serangan ke Batavia ini dari arah hulu sungai Tjiliwong yang diduga dimulai dari Depok dan sekitar. Sejak serangan ke Batavia itu wilayah hulu ini tetap menjadi DOM Mataram. Saat menjadi daerah operasi militer ini wilayah eks Hindoe ini muncul kampong-kampong baru seperti Depok, Beji, Gondang, Mampang, Ratujaya dan sebagainya. Harus diingant nama-nama ini adalah nama yang sudah eksis di wilayah Mataram yang diduga menjadi asal dari para prajurit Mataram yang tidak kembali tetapi menetap. Di kampong-kampong baru inilah berkembang peradaban baru (Islam) antara Mataram dan Banten. Sumur-sumur tersebut dibangun seiring dengan perkembangan pemukiman dari kampong-kampong itu sebagai sumber air minum. Hal ini karena dimana sumur-sumur itu dibangun berada di daerah yang kering di musim kemarau, aliran sungai (sungai Tjiliwong) berada jauh di bawah. Sementara sunga-sungai yang dibangun berupa kanal baru dimulai pada era Cornelis Chastelein 1694-1714 yang kemudian membentuk danau Pitara. Lalu pada tahun 1850 situ Rawabesar dan situ Kladen dibangun sebagai eks lio (pabrik pembuatan batu bata). Area eks lio ini kemudian dialirkan air dari danau Pitara ke eks lio yang menjadi danau situ Rawabesar dan limpahan airnya diarahkan ke sungai Kalibata (yang menjadi sumber air Situ Babakan (di Lenteng Agung yang dibangun 1830) yang kemudian dibangun irigasi di wilayah Tanjung Barat. Dalam perkembangan air danau Situ Pitara dialirkan dengan membangun kanal melalui Tanah Baru dan kemudian sebagian diarahkan ke Situ Babakan. Jadi, dalam sejarah sumur-sumur itu terbentuk karena tempat penampungan air (mata air) sejak kehadiran (prajurit) Mataram-Banten di wilayah eks Hindoe tersebut. Kanal irigasi yang melalui Kemiri Muka (wilayah Beji) dan Pondok Tjina (lalu dialihkan ke situ Babakan melalui kampus UI yang sekarang, itu baru dibangun pada tahun 1870an. Selama ini kawasan tersebut area lahan kering
      Demikian, semoga sedikit membantu.

      Hapus