Laman

Rabu, 25 Oktober 2017

Sejarah Kota Padang (46): Pantun Tertua Asli Indonesia, 1813? Bahasa dan Sastra Melayu di Padang, Pantun-Pantun Heroik

Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini


Bulan Bahasa dan Sastra di Indonesia adalah pada bulan Oktober. Namun sejak kapan penggunaan bahasa dan sastra di Indonesia tentulah sangat menarik untuk ditelusuri. Mari kita mulai dari sebuah pantun/puisi/syair/gurindam asli Indonesia yang tercatat. Pantun/puisi asli Indonesia muncul pada tahun 1813. Pantun/Puisi tersebut dimuat dalam surat kabar Java government gazette edisi 30-01-1813. Lantas apakah pantun tersebut sebagai pantun tercatat yang tertua di Indonesia? Bahkan pantun tersebut dibuat jauh sebelum terjadinya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (1825-1830).

Java government gazette, 30-01-1813
Pantun yang tercatat ini menceritakan banyak hal. Pertama, pantun ditulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Latin (ketika orang Melayu masih menulis bahasa Melayu dengan aksara Jawi). Kedua, pantun dimuat dalam surat kabar (publish), surat kabar berbahasa Inggris di era pendudukan Inggris (1811-1816). Ketiga, pantun ini sudah berumur tua, 204 tahun yang lalu yang ditulis oleh seorang pribumi, bukan di Sumatra tetapi di Jawa dengan (tata)bahasa yang dapat kita pahami pada masa ini. Keempat, pantun ini ditulis mendahului pantun-pantun Abdullah dan Raja Ali Haji. Kelima, pantun ini bernada nasehat (sesuai jaman) ditulis oleh seorang perempuan bernama Sirrah Salamut beralamat di Salatiga.

Pemahaman kita selama ini tentang pantun Melayu ditulis dalam aksara Jawi (Arab-Melayu) hanya ditemukan di Kepulauan Riau, keliru, ternyata pantun Melayu yang ditulis dalam aksara Latin justru ditemukan di Jawa. Publikasi pantun di Jawa ini (1813) bahkan jauh sebelum Elisa Netscher mengunjungi Riaouw untuk meneliti bahasa dan sastra Melayu tahun 1849 (dua tahun setelah munculnya Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji). Marsden dalam bukunya, The History of Sumatra (edisi terakhir 1812) meski telah menyatakan adanya pantun di Sumatra tetapi tidak sebuah pantun pun yang ditanslasinya ke dalam aksara Latin.

Bagaimana semua itu terjadi perlu penelusuran lebih lanjut.’ Sebab pada masa ini masih banyak penggemar pantun di Indonesia, seperti Gubernur Sumatera Barat di Padang, Irwan Prayitno. Elisa Netscher, Gubernur Sumatra’s Westkust, 1870 (mantan Residen Riaouw) juga adalah pengagum pantun dan jago berpantun.

Introduksi Pantun di Surat Kabar

Pantun sudah ada di nusantara sejak lama. Demikian juga surat kabar sudah sejak lama di Hindia Belanda. Namun penulisan pantun dengan menggunakan aksara Latin dimuat di surat kabar belum lama. Surat kabar di era VOC terbit tahun 1774. Pada era pemerintah Hindia Belanda muncul surat kabar pemerintah tahun 1810 yakni Bataviasche koloniale courant (edisi pertama tanggal 05-01-1810). Akan tetapi surat kabar ini tidak berumur lama karena Hindia Belanda diduduki oleh Inggris pada tahun 1811. Di dalam surat kabar berbahasa Belanda baik edisi VOC maupun edisi pemerintah tersebut tidak pernah terdeteksi pemuatan pantun.

Pada era pendudukan Inggris muncul surat kabar berbahasa Inggris bernama Java Government Gazette (edisi pertama 29-02-1812). Surat kabar ini dengan sendirinya telah menggantikan peran surat kabar berbahasa Belanda Bataviasche koloniale courant. Dalam beberapa edisi Java Government Gazette muncul pemuatan puisi/pantun yang ditulis oleh orang-orang Eropa (Inggris dan Belanda) dalam bahasa Inggris.

Seorang penduduk pribumi yang bernama Salamut (diduga tinggal di Semarang) coba menulis pantun di surat kabar Java Government Gazette untuk menanggapi puisi/pantun yang ditulis oleh orang-orang Eropa. Pantun Salamut yang ditulis bulan December 1812 tersebut dimuat pada edisi 45 Java Government Gazette (2 Januari, 1813). Untuk mengantarkan pantunnya tersebut, penulis Salamut memberi kata pengantar. Anehnya, pantun dan kata pangantar tersebut ditulis dalam bahasa Melayu.

Java government gazette, 02-01-1813
‘Tuan, Nyonya-Nyonya de Samarang sooda dappat leat summa etoo Fantoen yang Fhilo-Villunda sooda beckin—-etoo Pantoen punya bebunee saparo buttool, saparo sala; sakarang, Saya adda branie kassee adjar baiee baiee summa etoo Tuan English en Tuan Hollanda yang sooda tulees buggitoo rupa derree Nonya Nonya de seenee. Kalo Tuan suka, Kitta minta bear Tuan taroe enee Pantoen de Cartas [surat kabar], etoo Tuan Tuan simmonva bollce tau kiah derree kitta orang punya salatra bollee jadee, kiah kitta orang adda anak de seenee, maar derree Tuan Allah punya suka sudja, luggee derree oraug orang English adjóek adjoek summa kitta orang punea addut, etoo addut trada nantee jaddee libbee manees, ea libbce baiec. Semarang, Dec. 1812. Salamut, Nonya Tuah’.

Apa yang menarik untuk diperhatikan dari bahasa dan sastra (pantun) tersebut adalah penggunaan bahasa Melayu lisan ke dalam bahasa tulisan aksara Latin. Tampak masih tercampur dengan ucapan bahasa Eropa (Inggris dan Belanda) seperti seenee (sini) dan geela (gila). Juga tampak penyalinan bahasa lisan seperti apa ke bahasa tulisan (appa) dan ingat (eingat). Tentu saja tampak soal ejaan seperti oe, dj dan ch yang belum konsisten. Singkat kata: ini seakan masih (seakan) belajar mengucapkan dengan baik dan menuliskannya dengan benar. Gambaran ini menjelaskan proses awal dalam pembelajaran mengkoding lisan dengan tulisan (aksara Latin). Suatu hal yang baru memang jika dibandingkan pengetahuan penduduk dalam bahasa lokal (bahasa dan kasara Jawa). Namun demikian, introduksi awal bahsa Melayu dengan menggunakan aksara Latin di dalam surat kabar (berbahasa Eropa) terbilang cukup berani. Penulis ini boleh dibilang pionir. Jika tidak demikian, kita tidak akan temukan hal tersebut di masa kini (Eureka!).

Pada tahun 1803 terbit buku kamus Bahasa Belanda-Bahasa Melayu dan Bahasa Melayu-Bahasa Belanda karya Dr. W. van Rees yang diterbitkan JH Moeleman Junior di Arnhem. Buku ini didistribusikan secara luas yang boleh jadi pedoman bagi orang Belanda maupun non-Belanda di Hindia Belanda. Buku kamus ini menjadi sangat penting karena Kerajaan Belanda telah membentuk pemerintahan di Hindia Belanda setelah berakhirnya era VOC (1799). Pada tahun 1815 terbit buku pengajaran di dalam bahasa Melayu (Onderwijs in de Maleische taal) oleh penerbit Holtrop, Amsterdam. Pada tahun 1824 terbit kamus Belanda-Melayu dan Melayu-Belanda karangan Roorda van Eysinga yang diterbitkan Batavia Landsdrukkerij di Batavia. Setelah itu sudah mulai banyak kamus dalam berbagai versi dan penulis. Sementara itu pada tahun 1923 muncul buku tentang tata bahasa Melayu karya JE van Breugel. Pada waktu yang relatif bersamaan (1824) terbit buku kembar W. Marsden yang berjudul Maleische spraakkunst dan buku yang berjudul Grammaire de la langue Malaie. Sejak itu muncul berbagai versi tata bahasa Melayu oleh sejumlah penulis.

Ini mengindikasikan bahwa bahasa Melayu yang sudah sejak lama digunakan sebagai lingua franca di Nusantara telah memiliki pedoman dalam proses pembelajaran dan penyebarluasan pemakaian bahasa Melayu yang ingin belajar bahasa Melayu baik bagi setiap orang Eropa (Belanda) maupun penduduk etnik lain (seperti di Jawa). Seperti contoh Wilde, A. de, Nederduitsch-Maleisch en Soendasch woordenboek, Benevens twee stukken tot oefening in het Soendasch. Uitg. Door T. Roorda. Amst, J. Müller. 1841.  

Khasanah Bahasa dan Sastra Melayu

Publikasi yang terbilang terawal tentang sastra Melayu adalah buku berjudul Sjair Bidasari yang dibukukan oleh Dr. W. van Hoevell. Buku puisi asli Melayu (oorspronkelijk Maleisch gedicht) diterbitkan tahun 1845. Buku ini disertai dengan terjemahan yang dijual f10 per buku (Javasche courant, 25-01-1845). Publikasi lain yang muncul adalah karya-karya Radja Ali Hadji, Abdoel Moeloek dan Koning van Barbarije yang dikumpulkan oleh PP Roorda van Eysinga yang diterbitkan tahun 1847 (disebutkan karya Ali Hadji dari Riaouw dibuat tahun 1846). Terkait dengan karya-karya Radja Ali Hadji ini terbit tulisan Elisa Netscher berjudul De twaalf spreukgedichten. Een Maleisch gedich (1853) dan yang berjudul Raadgeving. Maleisch gedicht (1857).

Elisa Netscher adalah seorang sarjana bahasa. Selain pernah berkunjung ke Riaouw, Elisa Netscher juga berkunjung ke Tapanoeli yang menghasilkan karya berjudul Battasche taalstudie (1857). Satu karya E. Netscher yang dapat ditambahkan di Mandailing dan Angkola berjudul ‘Aan te ekeningen omtrent de taal der Loeboe's en Oeloe's [Mandheling] op Sumatra, naar meded. van TJ. Willer (1855). Meski tidak terkait dengan bahasa, karya Elisa Netscher terawal di pantai barat Sumatra adalah penerjemahan ke dalam bahasa Melayu Verzameling van overleveringen van het rijk van Mänang-Kabou (1850). Sebagaimana diketahui abang E. Netscher adalah Franciscus Henricus Johannes (FHJ) Netscher yang pernah menjabat sebagai Resident Tapanoeli (1853-1856). Pada tahun 1860 E, Netscher diangkat sebagai sekretaris Gubernur Jenderal dan juga merangkap sekretaris Raad van Ned. Indie yang lalu kemudian E. Netscher ditunjuk sebagai Resident Riaow sejak 1861 (dan kelak pada tahun 1870 diangkat sebagai Gubernur Province Sumatra’s Westkust). Dengan modal pemahaman bahasa (dan tentu saja lingkungan) mengantarkan Elisa Netscher menjadi pejabat tinggi di wilayah pantai timur Sumatra dan wilayah pantai barat Sumatra.

Di pantai barat Sumatra, seperti diduga, tentu saja tidak akan ada studi bahasa dan sastra Melayu yang dipublikasikan. Meski demikian, bukan berarti tidak ada penggunaan bahasa Melayu di Minangkabau. Pengajaran sudah barang tentu juga dengan menggunakan bahasa Melayu (di luar bahasa Minangkabau). Ini dapat diperhatikan dari buku yang diterbitkan pada tahun 1861 berjudul: ‘Kitab tjonto soerat roepa roepa serta pitoeah dan pengadjaran jang berbagei. (Brieven boek, in het Menangkabau Maleisch) terbitan Bat. Landsdrukkerij. Buku lainnya adalah Menangkabausch-Maleische zamenspraken karya Si Daoed Radja Medan yang diterbitkan Nijhoff tahun 1872. Justru yang tidak terduga adalah hasil-hasil studi tentang Minangkabau hanya ada dua judul yang dipublikasikan: selain karya tejemahan E Netscher adalah laporan dengan judul yang sama Verzameling van overleveringen van het rijk van Manang-Kabou yang ditulis oleh JT Grushuis dimuat di Indisch archief (1864).

Sebaliknya di Tapanoeli publikasi terbilang sangat banyak, paling tidak ada 22 buah publikasi, termasuk karya E. Netscher berjudul Battasche taalstudie (1857). Publikasi tertua adalah karya FJ Willer Tijdschr. van NI (1846) berjudul Verzameling der Battahsche wetten en instellingen in Mandheling en Pertibie yang juga diterbitkan oleh Batavia Drukkerij v.h.Bat. Genootschap. Dalam daftar ini juga termasuk karya-karya van der Tuuk tentang bahasa (tatabahasa, grammar dan kamus) dan sastra, serta GK Niemann berjudul Mededeelingen omtrent de Letterkunde der Bataks dimuat dalam Bijdr. 1866. Sebagaimana penulis pribumi, Si Daoed Radja Medan, juga Willem Iskander menhasilkan karya menyadur buku Nicolaas Anslijn Nz., De brave Hendrik: een leesboekje voor jonge kinderen. D. du Mortier en Zoon, Leiden 1833. Buku yang sangat terkenal di Eropa ini diterjemahkan oleh Willem Iskander ke dalam aksara Latin bahasa Mandailing dan Angkola dengan judul Hendrik Nadenggan Roa: sada Boekoe basaaon ni Dakdanak (penerbit van Zadelhoff & Fabritius, Padang, 1865).  Willem Iskander sebelumnya telah menulis buku pelajaran dengan menggunakan aksara Latin dengan judul Boekoe Parsipodaan Ni Dakdanak Di Sikola diterbitkan W. Ogilvie, Batavia, 1862. Buku ini selain mendeskripsikan cara penulisan dalam aksara Latin juga disertai sejumlah cerita pendek. Buku terkenal dari Willem Iskander yang masih digunakan hingga ini hari berjudul Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek (terbit pertama di Batavia, 1872). Satu buku lagi yang mendampingi buku Willem Iskander adalah buku yang ditulis oleh Dja Sian (murid Willem Iskander) berjudul Boekoe etongan Mandailing etongon ni Dakdanak dimedja (penerbit Bat, Landsdrukkerij. 1868).

Buku-buku sastra Melayu terus berkembang. Buku sastra berikutnya yang terbit adalah Boek Saier oetawa Terseboet Pantoen yang diterbitkan Lange & Co tahun 1857 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-01-1857). Kemudian menyusul buku berjudul Pantoen Malaijoe keluaran W. Ogilvie. Buku ini merupakan kumpulan Inlandsche.Gedischten (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 02-11-1861).

Bahasa dan Sastra Melayu di Kota Padang

Sumatra courant, 21-10-1871
Pantun tentu saja tidak hanya dalam bahasa Melayu, tetapi juga ditemukan dalam bahasa etnik di wilayah non-Melayu, seperti di Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkus). Beberapa pantun yang ditemukan dimuat dalam surat kabar. Dalam dialek Minangkabau ditemukan pantun yang bernada menyindir (Belanda) yang terbaca dalam surat kabar Sumatra courant, nieuws en advertentieblad, 21-10-1871. Intinya pantun ini dalam konteks koffiestelsel (tanam paksa kopi) yang mana dulu setiap orang bebas (demokrasi) tetapi kini rodi (kerja paksa) dimana-mana.

Bataviaasch nieuwsblad, 18-12-1886
Pantun di Angkola dan Mandailing tampak lebih keras dengan bernada protes. Pantun di Mandailing dan Angkola ini juga tentang perihal kopi (koffiestelsel). Pantun ini  terbaca dalam surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 18-12-1886. Intinya: kalau hasil kopi (stelsel) bagus bisa pergi (belanja) ke pasar tetapi jika tidak tetap harus pergi ke kebun kopi meski hari pasar. Pada bait kedua pantun di Mandailing dan Angkola ini (lihat teks) terkesan lebih radikal. Intinya: Semoga orang Belanda pergi dari sini biar hati kita lebih senang (pantun perlawanan terhadap Belanda). Dalam buku Willem Iskander (1872) berjudul Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek buku yang berisi banyak prosa dan pantun, kalau kita jeli membaca tersembunyi satu bait pantun yang juga radikal yang berbunyi: ‘Adong alak roear, Na mijan di Panjaboengan; Tiboe ija aroear, Baen ija madoeng boesoengan' (Ada orang luar [Belanda] yang tinggal di Panyabungan; Semoga mereka cepat pergi, karena mereka sudah banyak pendapatannya [sementara kami dalam kemiskinan]. Buku ini dilarang pada tahun 1930an.

Siboeloes-boeloes, Siroemboek-roemboek, 1872
Sebagaimana pantun di Minangkabau dan di Mandailing dan Angkola (Province Sumatra’s Westkust) secara khusus di Kota Padang pantun sudah dibukukan dan telah menjadi bagian kurikulum sekolah (schoolschrift). Pantun tersebut ditulis oleh seorang guru di Padang. Buku pantun berbahasa Melayu (tanpa tahun) ini terdiri dari tiga bagian: 1. Pantoen anak dagang, 2. Pantoen bertoenangan dan 3. Pantoen roepa-roepa. Naskah pantoen ini beredar di era kolonial Belanda.

Di Padang Sidempoean juga terdapat buku berjudul Pantoen Seloka yang berisi pantun berbahasa Melayu yang ditulis oleh Charles Adriaan van Ophuijsen. Buku pantun ini digunakan dalam kurikulum sekolah (schoolschrift). Namun buku pantun ini tidak diketahui tahun terbit dan penerbit. Charles Adriaan van Ophuijsen adalah guru di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Sebagaimana diketahui Kweekschool Padang Sidempoean dibuka tahun 1879 dan ditutup tahun 1892. Charles Adriaan van Ophuijsen menjadi guru selama delapan tahun di Kweekschool Padang Sidempoean, lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah. Charles Adriaan van Ophuijsen juga kolektor pantun Mandailing dan Angkola (Tapanoeli). Koleksi pantunnya berjudul De poëzie in het Bataksche volksleven (Puisi dalam kehidupan penduduk Batak) yang terbit dalam Volgr. 5, I, bl. 402-32, 1886. Dua bait yang dikutip di atas yang dimuat pada surat kabar Bataviaasch nieuwsblad edisi 18-12-1886 adalah koleksinya. Charles Adriaan van Ophuijsen juga kolektor pepatah yang koleksinya diberi judul Bataksche spreekwoorden en spreekwijzen. Koleksi ini diterbitkan dalam Deel XXXIV, bl. 72-99, 1891, en Deel XXXV, bl. 613-638, 1892. Charles Adriaan van Ophuijsen, yang juga menulis buku Tata Bahasa Melayu kelak terkenal dengan Ejaan Ophuijsen (sebelum ejaan Soewandi dan ejaan EYD).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar