Laman

Jumat, 01 Desember 2017

Sejarah Bandung (40): Sejarah Sepak Bola Bandung Bermula 1904; Riwayat Suporter, El Clasico Bandung vs Jakarta Sejak 1927

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bandung dalam blog ini Klik Disini


Suporter sepak bola adalah bagian dari sepak bola. Sejarah suporter sepak bola setua klub sepak bola. Pertandingan derby (rivalitas) dua klub sepak bola menjadi hal yang ditunggu suporter sepak bola. Suporter fanatik adalah suporter setia klub yang mendukung klub kemana pun bertanding. Pertandingan derby clasico (El Clasico) adalah pertandingan rivalitas dua klub yang sudah ada sejak doeloe dan berlangsung hingga kini. El Clasico tidak hanya antara Real Madrid dengan Barcelona, tetapi juga antara lain: PSMS Medan versus Persib Bandung.

Iklan El Clasico Jakarta vs Persib, 1927
Pada tahun ini di antara enam klub legenda Indonesia, Persib Bandung sedikit murung. Prestasi Persib Bandung agak kendor. Persija Jakarta dan PSM Makassar sama-sama berada di peringkat empat besar (Big Four) Liga-1. Tiga klub legenda lainnya, Persebaya Surabaya, PSMS Medan dan PSIS Semarang berada di peringkat tiga besar Liga-2 dan sama-sama promosi ke Liga-1. Pada tahun 2018 ini untuk kali pertama enam klub legenda Indonesia bertemu dalam liga level tertinggi sejak era perserikatan..

Suporter sepak bola Bandung, yang disebut Bobotoh terbilang suporter fanatik di Indonesia. Suporter fanatik Bandung bahkan sudah muncul sejak tahun 1910. Bagaimana kisah suporter Bandung di masa lampau tidak pernah ditulis. Tentu riwayat para suporter ini menarik untuk diperhatikan, karena kelahiran mereka juga setua klub yang didukungnya. Mari kita telusuri.
.
Suporter Bandung Soendanesche (Bobotoh) 1924

Pada dasarnya bagian terpenting dalam dunia sepakbola adalah penonton. Ukuran kualitas pertandingan sepakbola dapat dilihat dari kehadiran penonton. Kualitas dari penonton dapat diukur dari partisipasinya dalam mendukung salah satu klub. Dukungan fanatic yang diberikan penonton terhadap klubnya disebut suporter. Para suporter ini selalu membicarakan dinamika klubnya dan selalu hadir ketika klubnya bertanding. Adakalanya suporter ini mendukungnya kemana klub mereka itu melakukan lawatan. Dukungan suporter tersebut juga terdapat di Bandoeng.

Pada pertengahan Maret, 1924 pertandingan UNI vs Sidolig ini sangatlah mendebarkan bukan di partai final, tetapi partai semi final antara UNI dan Sidolig (Bataviaasch nieuwsblad, 19-03-1924). Ada apa? Koresponden Bataviaasch nieuwsblad dalam hal ini melukiskan pertemuan yang kesekian dua musuh bebuyutan, sebagai berikut: Penonton pribumi tidak meninggalkan kesempatan ini, di tiga sisi lapangan (sisi lain depan tribun) sudah penuh sesak penonton dengan bunyi petasan dimana-mana. Di berbagai titik sudah ditempatkan militer untuk menjamin agar penduduk pribumi tidak membuat kekacauan. Tidak perlu terjadi peritiwa 9 Maret lalu. Jika tidak kita tidak pernah menyelesaikan penonton Bandoengs, dimana investasi kita dalam olahraga sudah sangat terkenal. Disamping itu di sana-sini sudah ditempel poster anti kembang api. Ini dilatarbelakangi kebencian supporter Sidolig yang sudah jauh hari menebar kebencian terhadap klub UNI.

Pada awal April 1924 liga dimulai lagi. Pertandingan pembuka antara UNI vs Velocitas di lapangan Aloon-Aloon. Pertandingan ini tidak dapat diselesaikan karena hujan dan deras yang mengakibatkan banjir. Hari sebelumnya meski lapangan stengah banjir pertandingan antara Luno vs Sidolig tetap diselesaikan. Hari pertama liga tanpa hiburan di Bandung, lapangan bagaikan kolam renang Tjihampelas. Setelah menunggu lima belas menit, wasit Poltinski yang memimpin laga UNI vs Velocitas coba dibujuk namun tetap berkeyakinan pertandingan tidak bisa dilanjutkan. Alasannnya, pemain tidak bisa bermain nyaman di depan khalayak yang banyak. BVB yang diminta mempengaruhi wasit hanya berkomentar bahwa keputusan wasit mutlak. Dia (Poltynski) adalah wasit terbaik dan dia tahu apa yang seharusnya, bahkan dia termasuk salah satu wasit terbaik di Jawa. Para penonton mulai gelisah, bahkan penonton pribumi sudah berteriak-teriak minta dikembalikan uang yang mereka bayar untuk tiket. Provokasi penonton ini mendapat reaksi dari polisi dan lalu para polisi memburu penonton yang mulai tak terkendali. Pertandingan Sabtu 5 April itu terpaksa dihentikan dengan skor sementara 0-0 dan akan dilanjutkan Senin pagi: bahwa setiap pertandingan ditinggalkan harus diputar tanpa dipungut biaya alias gratis. Pertandingan Luno vs Sidolig tidak berjalan mulus. Pertandingan ini dimulai tepat waktu tetapi pemaian si biru putih tidak kunjung lengkap. Luno protes dan akhirnya babak pertama dimainkan dengan jumlah pemain Sidolig hanya delapan orang. Luno menang 1-0 pada babak pertama. Pada babak kedua Sidolig sudah lengkap dan berhasil membalikkan skor hingga berakhir pertandingan di bawah hujan dan lapangan banjir dengan skor (1-2)[22].

Keberadaan suporter dalam dunia sepakbola terdapat dimana-mana dari sejak doeloe hingga kini. Di masa lampau, supporter klub yang mendampingi klubnya ke luar kota terdeteksi pertama kali di Medan (1903) ketika Medan Sportclub bertandang ke Binjai untuk melawan Langkat Sportclub. Para supporter ini memadati dua gerbong belakang kereta api, dimana di gerbong depan para pemain dan ofisial. Penumpang umum menjadi tidak kebagian tempat karena sudah disorder beberapa hari sebelumnya. Suporter serupa ini juga terdeteksi di Bandung, ketika klub kesayangan mereka, Sidolig melakukan pertandingan melawan Sparta di Cimahi (1907). Dengan kereta api berangkat ke Cimahi, gerbong penuh sesak. Hanya itu yang terdeteksi (mudah-mudahan di tempat lain dapat segera terlacak).

Sepakbola Bandoeng terus tumbuh, perserikatan Bandoeng telah menjadi bagian dari federasi sepakbola nasional (NIVB) dan dunia (FIFA). Animo penduduk pribumi Bandoeng juga bertambah bergelora. Namun dalam dua tahun terakhir (1923 dan 1924) tingkat ketegangan juga meningkat karena banyaknya kisruh yang terjadi mulai dari pengurus level liga hingga perseteruan antar klub anggota perserikatan serta reaksi dan ulah para penonton di luar lapangan dan perkelahian antar pemain di dalam lapangan.

Di Jakarta, juga terdapat suporter fanatik, bukan VIOS tetapi yang lebih fanatik adalah Oliveo. Meski VIOS dan Oliveo kerap bertanding ke Bandung, tetapi suporter tidak pernah dilaporkan bersedia mengikutinya. Mungkin karena jauh, atau sadar bahwa kapasitas kereta api terbatas, sebab kala itu belum ada alternatif transportasi selain kereta, yang dapat merugikan penumpang umum. Sebenarnya ada beberapa tempat yang terjangkau, seperti Buitenzorg yang sudah memiliki klub, tetapi klub-klub Batavia hampir tidak pernah menyambanginya dan lebih memilih ke Bandung, Semarang dan bahkan Surabaia. Yang terjadi adalah Tim Bogor yang kerap berkunjung ke Jakarta (sebagai Tim Perserikatan, tidak ada klub yang bisa mewakili). Di Depok terdapat suporter klub-klub Batavia. Penggemar atau suporter dari Depok terbagi dua: VIOS dan Oliveo. Jumlah suporter dari Depok tidak sebanyak di Bandung (ke Cimahi) dan Medan (ke Binjai) meski kedua kubu supporter Depok digabung. Para penonton dari Depok berangkat dari stasion Depok (lama). Soporter dari Buitenzorg (Bogor) sejauh yang diketahui tidak pernah dilaporkan, mungkin karena jaraknya sangat jauh. Boleh jadi ada batas tertentu dimana suporter bersedia mengikutinya sekalipun biaya transportasi dibebaskan oleh klubnya.Suporter Depok dalam hal ini menanggung biaya sendiri (Bandung dan Medan ada sebagian kontribusi klub).

Sementara itu, di Bandoeng sendiri, kegiatan sepakbola semakin marak. BVB (organisasi sepakbola Bandoeng) semakin menguat. Klub-klub semakin kompetitif. Publisitas makin meluas. Panitia di bawah pengawasan BVB semakin bergairah karena pemasukan semakin besar. Pajak tontonan, iklan promosi dan retribusi dari lapangan sepakbola menjadi sumber pendapatan baru bagi pemerintah kota. Animo penonton semakin meningkat. Bobotoh (media Belanda menyebutnya Soendanesche), khususnya pendukung klub Sidolig semakin banyak. Penonton bersedia membayar tiket masuk untuk menonton di lapangan. Bobotoh juga makin intens mendampingi tim kesayangannya untuk bertanding di luar kota. Suporter Sidolig Bandoeng  rela mendampingi timnya bertanding ke Tjimahi untuk melawan klub Velocitas. Suporter Bandoeng datang dengan naik kereta api.

Para suporter pribumi mendukung kemana tim puijaannya pergi bertanding sudah lama ada. Ini terindikasi ketika De Sumatra post, 29-04-1904 melaporkan bahwa ‘Sportclub akan bertandang ke Bindjai melawan Langkat Sportclub. Disebutkan bahwa ada kereta ekstra dari Bindjei ke Medan pemberangkatan pukul 7.00 (tidak seperti biasanya, 7.15) dimana kereta akan berhenti di stasion pembantu Diski dan Soenggal. Bagi non anggota Sportclub dapat memanfaatkan kesempatan ini’. Ini satu sinyal, bahwa Sportclub butuh dukungan meski itu datang dari pribumi yang akan turun di Diski dan Soenggal serta tentu saja yang akan turun di Medan. Sportclub yang membuka diri untuk suporter pribumi menunjukkan suporter juga mulai terwakili. Dunia sepakbola memang harus begitu. Men sana corpora sano  

Derby El Classico Sidolig (Bandoeng) dan VIOS (Batavia) 1927

El Classico Persib Bandung vs Persija Jakarta

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar