Laman

Senin, 25 Desember 2017

Sejarah Makassar (8): Bongaisch Contract (1667) dan Awal Pendirian Kota Makassar; Soeltan Hassan Oedin di Somba Opoe

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini


Belanda/VOC pada tahun 1619 telah menetapkan Batavia sebagai ‘ibukota’ perdagangan di India sebelah timur (Oost Indie), sebagaimana Inggris menetapkan ibukota di Calcutta. Jauh sebelumnya, Portugis dan Spanyol telah aktif melakukan perdagangan di wilayah Oost Indie. Sementara di Oost Indie (baca: Nusantara) eksis sejumlah kerajaan/kesultanan baik di pesisir pantai maupun di pedalaman.

Bongaisch Contract, 1667
Aktivitas perdagangan Belanda (VOC) dibagi ke dalam empat periode (lihat Hendrik Kroeskamp, 1931). Periode pertama dimana VOC hanya melakukan perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai, sampai sekitar 1615. Periode kedua, dimana wilayah penduduk asli (pribumi) diperluas menjadi bagian perdagangan VOC, sampai sekitar 1663; periode ketiga, dimana penduduk asli sebagai sekutu VOC, sampai dengan 1666; dan periode keempat, penduduk asli dijadikan sebagai subyek VOC.

Pada tanggal 18 November 1667 dilakukan perjanjian Bongaya (Bongaisch Contract) antara VOC dengan Kesultanan Goa [Gowa]. Perjanjian ini meski disebut perjanjian damai, namun sesungguhnya perjanjian ini harus dilihat sebagai ujung keretakan (kesultanan Gowa) dengan (kesultanan) Bone: Soeltan Hassan Oedin [Hasanuddin] redup; Aroe Palakka [Aroe Palakka] yang bekerjasama dengan VOC semakin berkibar.

Perjanjian Bongaja menjadi prakondisi munculnya benteng (Fort) Rotterdam yang menjadi cikal bakal Kota Makassar. Secara teknis Kota Makassar yang berpusat di benteng (casteel) Rotterdam hanyalah sebuah kota pelabuhan yang pusat produksi komoditi di (kepulauan) Maluku yang meneruskan fungsi Kota Sombaopoe sebelumnya dimana Soeltan Hasan Oedin berkuasa. Lantas bagaimana perkembangan Kota Makassar selanjutnya pasca Bongaisch Contract menarik untuk diketahui. Mari kita telusuri.

Pergeseran Peta Perdagangan

Kota Sombaopoe mulai berkembang seiring dengan munculnya pertikaian antara orang-orang Eropa dengan (pemimpin) penduduk lokal di (kepulauan) Maluku. Para pedagang Belanda yang mulai agresif menyebabkan pedagang non Belanda seperti Portugis, Inggris, Denmark. dan sebagainya  mulai menyingkir ke Sombaopoe dengan mengandalkan pedagang-pedagang lokal (Melayu, Jawa, dan lainnya termasuk Arab dan Tionghoa)

Courante uyt Italien, Duytslandt, 16-07-1633
Perdagangan rempah-rempah di (kepulauan) Maluku yang menarik perhatian orang-orang Eropa (dimulai Portugis) adalah kelanjutan perdagangan kuno di Pantai Barat Sumatra dengan komoditi kuno: benzoin, damar, kemenyan, getah poeli, kulit manis, gading, emas dan sebagainya. Perdagangan kuno ini bahkan sudah ada sejak Mesir kuno, Hindu/Budha dan kemudian berlanjut pada era munculnya agama Islam. Ada petunjuk nama komoditi kuno kapur Baroes (kafura) sudah dibnyatakan dalam kitab Injil dan Al-Quran. Pada awal era Belanda jumlah komoditi yang diperdagangkan semakin beragam. Kapal kargo yang dilaporkan surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c. edisi 16-07-1633 memberitakan sangat rinci. Kapal-kapal yang tiba tersebut terdiri dari kapal Prins Willem, Hollandia, Zutphen, Amelia, Rotterdam, Hoorn dan Amboina. Kapal-kapal ini di bawah komandan Jenderal Specx. Muatan kapal-kapal tersebut berisi 36 jenis komoditas yang dirinci menurut volume (seperti pon, pikul). Komoditi tersebut antara lain lada, rotan, puli, getah dammar, gambir, indigo, kelapa, pala, berlian dan permata. Dari daftar ini masih terlihat komoditi kuno puli dan damar. Secara keseluruhan komoditi tersebut komoditas tahan lama. Selain itu juga terdapat kain (sutra dan katun) yang kemungkinan diangkut dari pelabuhan-pelabuhan di India. Dalam perkembangannya, aktivitas perdagangan rempah-rempah di Maluku mulai melemah sehubungan dengan permintaan komoditi baru yang semakin meningkat: gula, kopi, indigo, teh, kina, tembakau dan sebagainya yang menyebabkan (pulau) Jawa berkembang pesat. Lalu kemudian seiring dengan pembukaan terusan Suez (1869) ekonomi tembakau bergeser ke Pantai Timur Sumatra. Dengan demikian, peta perdagangan telah mengalami siklus: Sumatra, Maluku, Jawa dan Sumatra (kembali).

Perwakilan dagang Belanda di Sambopp [Somba Opoe] sudah ada sejak 1607 yakni Class Leuers dan berakhir tahun 1608. Tugas Class Leuers dilanjutkan oleh Samuel Denis pada tahun 1609 hingga 1612. Perwakilan ini kemudian semakin bertambah hingga tahun 1619.

Perwakilan Belanda setelah kedatangan pelayaran Cornelis de Houtman (1595-1597) secara perlahan bertambah jumlahnya. Perwakilan pertama adalah di Bali adalah Emanuel Roodenburgh, Jacob Claesz van Delft dan Jan Jansz de Roy sejak 1597 (tiga orang yang ditinggalkan oleh Cornelis de Houtman). Tugas ketiga orang ini berakhir tahun 1601 yang digantikan yang lain. Perwakilan berikutnya Frank van der Does di Ternate (sejak 1599), di Banda (sejak 1599) dan Fredrik de Houtman (adik Cornelis de Houtman) di Atjeh sejak 1599 hingga 1601. Lalu kemudian tahun 1600 di Ambon, Jan Dirckz Sonnenbergh dan di Bantam Claes Simonsz Meehaêl. Sementara itu Frederik de Houtman setelah kembali ke Belanda dari Atjeh ditempatkan lagi di Amboina (1605-1611). Perwakilan Belanda yang lain hingga 1612 juga ada di Jawa, Patane en Siam, Japan, Djohor, Borneo [Kalimantan], Pantai Corromandel, Arrakan, Ceylon, Pantai Malabar dan Goezzarate.

Peta Batavia 1653
Dengan latar belakang semakin banyaknya perwakilan Belanda di Oost Indie kemudian dibentuk VOC dan mengangkat Gubernur Jenderal (pertama) Pieter Both yang kemudian melakukan pelayaran dan tiba di Bantam 19 Desember 1610 (hingga 1614). Jan Pieterz Z. Coen memindahkan pos dari Maluku ke Batavia 30 Mei 1619. Kota (stad) Batavia yang awalnya berada di dalam benteng (casteel) Batavia (1627) cepat berkembang, meluas keluar benteng yang diikuti dengan pembangunan kanal (menggantikan sungai Tjiliwong). Seiring dengan perkembangan kota, benteng diperluas mengitari kota (lihat Peta Batavia 1653).

Perkembangan Pelabuhan Sombaopoe dan Soeltan Hasan Oedin

Pada saat Batavia berkembang sebagai kota, Sombaopoe (stad Macassar) juga berkembang pesat. Gubernur Jenderal kesembilan, Anthony van Diemen mengangkat seorang pedagang (koopman) di Makassar N van Vliet sebagai gubernur (landvoogden). N van Vliet terbunuh pada tahun 1638 lalu digantikan oleh oleh kepala pedagang (opperkoopman) VOC di Makassar, Johan van Suijdewijk. Pengangkatan Johan van Suijdewijk sebagai gubernur hanya berlangsung hingga 1646. Setelah itu fungsi gubernur VOC di Makassar ditadakan, Namun pada tahun 1651 fungsi gubernur diaktifkan kembali dengan mengangkat Evert Jansz Ruijs. Pada tahun 1655 Ruijs digantikan oleh Abraham Verspreet. Namun belum lama menjabat sebagai gubernur, Abraham Verspreet harus ditarik kembali ke Batavia. Hal ini sehubungan dengan perubahan kebijakan VOC.


Sombaopoe (dilukis oleh Johannes Vingboons, 1665)
Aktivitas perdagangan Belanda (VOC) dibagi ke dalam empat periode (lihat Hendrik Kroeskamp, 1931). Periode pertama dimana VOC hanya melakukan perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai, sampai sekitar 1615. Periode kedua, dimana wilayah penduduk asli (pribumi) diperluas menjadi bagian perdagangan VOC, sampai sekitar 1663; periode ketiga, dimana penduduk asli sebagai sekutu VOC, sampai dengan 1666; dan periode keempat, penduduk asli dijadikan sebagai subyek VOC.

Sejak 1655 di Makassar tidak ada pemerintahan VOC. Kerajaan Goa mulai membangun ibukota di Sombaopoe dengan membangun benteng pertahanan. Boleh jadi gelagat ini yang membuat Batavia menarik perwakilannya di Makassar.

Kapal-kapal Portugis di Sombaopoe (lukisan 1676)
Pada tahun 1667 dibuat perjanjian (contract) antara VOC dengan Kesultanan Gowa. Hal ini sehubungan dengan ancaman VOC terhadap Kesultanan Gowa karena diduga alasan terbunuhnya N van Vliet pada tahun 1638. Namun pelaksanaan Bongaisch Contract tentu saja tidak mudah dan akhirnya terjadi Perang Gowa antara VOC dengan Kesultanan Gowa yang dipimpin oleh Soeltan Hasan Oedin. Perang ini berakhir pada tahun 1669.

Setelah penaklukan Makassar, pada tahun 1669, Johan van Opzijnen seorang pedagang diangkat sebagai gubernur (landvoogden) di Makassar. Kota Sombaopoe yang porak poranda akibat perang, kota pelabuhan ini tidak kondusif lagi sebagai kedudukan gubernur yang baru. Disamping itu, meski dinyatakan telah damai tetapi kekhawatiran VOC menjadikan Sombaopoe sebagai ibukota VOC di Celebes belum sepenuhnya terjamin. Pedagang-pedagang Eropa di pelabuhan Sombaopoe masih melakukan aktivitas. Sementara itu, kekalahan Kesultanan Gowa masih menyimpan kebencian terhadap VOC dan Aroe Palakka yang turut membantu VOC. Meski demikian, palabuhan Sombaopoe terus diawasi di bawah penguasaan militer. Pedagang-pedangan VOC aktif kembali di (pelabuhan Sombaopoe).

Kota Sombaopoe, 1725
Rumah Gubernur Celebes yang baru, dibangun di Maruso (kini Mariso). Posiis rumah gubernur di Maruso berada diantara benteng Sombaopoe di selatan dan benteng Oegong Pandang di utara. Dalam perkembangannya rumah gubernur di Maruso ditinggalkan sehubungan dengan selesainya rumah gubernur yang baru. Pembangunan rumah gubernur yang baru ini bersamaan dengan pembangunan benteng Rotterdam di lokasi eks benteng Odjoeng Pandang. Desain benteng Rotterdam dibuat pada tahun 1695 (yang bersamaan dengan sejumlah benteng seperti di Semarang dan Soerabaja). Benteng Rotterdam, sebagaimana benteng Soerabaja dan benteng Semarang selesai dibangun pada tahun 1708. Lukisan Sombaopoe, 1725

Bongaisch Contract dan Aroe Palakka

Fort Rotterdam di Makassar (lukisan 1749)
Setelah ibukota VOC berada di benteng Rotterdam, pemukiman orang-orang Eropa/Belanda lambat laun semakin meluas ke sisi selatan maupun sisi utara benteng. Pelabuhan (fort) Rotterdam semakin ramai. Sementara itu, pelabuhan Sombaopoe mulai ditinggalkan oleh para pedagang-pedagang Eropa dan lebih memilih ke benteng Rotterdam (Makassar). Pelabuhan Rotterdam dibuat dengan membangun dermaga ke laut yang berada persis di depan benteng Rotterdam. Pelabuhan (baru) .

Cornelis Speelman dan Aroe Palakka (lukisan 1669-1675)
Bongaisch Contract, 1667 adalah perjanjian VOC dengan Kesultanan Gowa. Tokoh penting di belakang perjanjian ini adalah Cornelis Speelman, mantan Gubernur Coromandel yang menjadi Raad van Indie di Batavia. Dalam penyerangan Somboopoe, Speelman dibantu oleh Radja Palacca de Koningh der Bougies.  Lukisan disamping ini menampilkan potret Speelman dan Palakka yang dilukis oleh Romeyn de Hooge (sekitar tahun 1669-1675). Wajah kedua tokoh dalam Perang Gowa ini menggambarkan raut wajah kedua tokoh ini saat itu. Romeyn de Hooge adalah pelukis Belanda kelahiran Amsterdam (lahir 1645 dan meninggal 1708). Cornelis Speelman kelak (1681-1684) menjadi Gubernur Jenderal.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar