Laman

Jumat, 12 Januari 2018

Sejarah Barus, Tapanuli (5): Perdagangan Atjeh Menurun Drastis Karena Faktor VOC; Pedagang Atjeh Amat Tergantung Tapanoeli

*Semua artikel Sejarah Barus, Tapanuli dalam blog ini Klik Disini


Sejak kehadiran Belanda/VOC di Pantai Barat Sumatra, tidak hanya wilayah kekuasaan Atjeh yang berkurang, tetapi juga sumber-sumber utama perdagangan Atjeh semakin sedikit. VOC melakukan perjanjian dengan (pemimpin) penduduk lokal di Padang (1666), Baros (1668) dan Singkel, secara dejure perdagangan Atjeh hanya tersisa Meulaboh dan Deli.

Kantor Perdagangan VOC di Atjeh (1644)
Belanda/VOC mengalahkan Portugis di Malaka pada tahun 1841. Secara de facto, pedagang-pedagang Atjeh hanya melakukan pelayaran terjauh di Asahan dan Deli. Pada fase ini Kesultanan Siak semakin berkembang, Atjeh mendapat pesaing baru di Pantai Timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust).

Penerimaan Atjeh di Padang sangat negatif. Hal ini berlainan dengan di Deli dan Asahan (Pantai Timur) serta di Natal, Tapanoeli, Baros dan Singkel (Pantai Barat Sumatra). Pelabuhan-pelabuhan ini semua berhubungan dengan sumber produksi di pedalaman di Tanah Batak.  Penerimaan terhadap Atjeh di pelabuhan-pelabuhan ini bersifat indeferen (siapapun pedagang yang datang sama pentingnya) karena penduduk Batak berada di pedalaman.

Hanya karena faktor Belanda, keleluasaan Atjeh semakin berkurang. Yang menarik keuntungan kehadiran Belanda di pelabuhan-pelabuhan tersebut karena ada perebutan kekuasaan dalam hal kesahbandaran. Terusisrnya Atjeh dari Padang disambut sangat sukacita. Perayaan seratus tahun pengusiran Atjeh di Padang dilakukan dengan mendirikan monumen. Hal ini tidak ditemukan di Asahan, Deli, Natal, Tapanoeli dan Baros serta Singkel. Pengusiran Atjeh hanya dianggap sebagai persaingan biasa diantara para pedagang: VOC dan Atjeh.

Perdagangan, Faktor Kemakmuran Atjeh

Kerajaan-kerajaan di Atjeh tumbuh dan lalu kesultanan-kesultanan di Atjeh berkembang karena sumber produksi yang melimpah di Tanah Batak melalui enam pelabuhan: di pantai barat Sumatra di Batahan, Baroes dan Singkel; di pantai timur Sumatra di Deli, Asahan dan Panai/Biela. Kesultanan Atjeh di bawah Sultan Iskandar Muda (1583-1636) menjadi puncak kejayaan kesultanan-kesultanan di Atjeh. Saat kejayaan ini juga membuat Portugis sangat iri (bahkan hampir selama hampir satu abad). Ketika ekspedisi Belanda (1595-1597) coba melakukan pendekatan dengan Atjeh, perwakilan Belanda tanpa kompromi ditahan (1599-1602). Belanda/VOC lalu mengalihkan konsentrasinya di Maluku.

Pangeran Atjeh, wanita dan utusan Radja Belanda (1603)
Belanda cepat menyadari bahwa Maluku bukanlah lokasi yang secara geopolitik ideal untuk membangun kekuatan di Nusantara, baik untuk menggeser kekuatan asing (Portugis) maupun melumpuhkan kekuatan lokal (Atjeh). Makassar juga ternyata tidak ideal, sehingga pada akhirnya pilihan terakhir adalah Batavia.

VOC/Belanda yang telah bermarkas di Batavia (sejak 1619), mulai mengambil alih kekuatan Portugis di Sumatra yang dimulai dengan penaklukan Malaka pada tahun 1641. Berdasarkan peta yang dibuat Gerard Valk, 1657 di Sumatra hanya diidentifikasi Kraton Atjeh dan Jawa bagian barat, Kraton Banten. Ini mengindikasikan kekuasaan lama hanya tinggal Atjeh dan Banten. Dengan modal Malaka, VOC mulai merangsek dengan mermperluas ekspansi ke Padang (1666), Baros (1668) dan Singkel. Ekspansi ke Sumatra ini secara langsung telah memengaruhi kekuatan Atjeh. Sumber-sumber perdagangan adalah faktor penting kekuatan Atjeh (selama hampir satu abad).

Kraton Atjeh dan benteng Belanda, 1603
Mengapa pelabuhan-pelabuhan di pantai barat dan pantai timur Sumatra tidak begitu menginginkan kehadiran Atjeh, dan mnegapa begitu mudah pelabuhan-pelabuhan di pantai barat dan pantai timur Sumatra bekerjasama dengan Belanda. Pertanyaan memerlukan jawaban sendiri. Namun yang jelas, dengan lepasnya (semua) pelabuhan-pelabuhan di pantai barat dan pantai timur Sumatra kekuatan Atjeh langsung loyo. Kesultanan Atjeh hanya mampu mempertahankan diri di wilayah-wilayah rentang kendali kekuasaannya hingga di Meulaboh (barat) dan Tamiang (timur). Secara regional, Kesultanan Atjeh menjadi tak memiliki taji dan nyali lagi sebagaimana di era abad Portugis.

Sketsa Atjeh yang dibuat Johannes Vingboons 1665
Setelah penaklukkan Malaka, sesungguhnya Belanda/VOC berhasrat ingin bekerjasama dengan (Kesultanan) Atjeh. Kerjasama ini tampkanya tidak berhasil. Kedua belah pihak bukannya bekerjasama malahan saling bersaing. Atjeh tampaknya menginginkan kembali wilayah-wilayah perdagangaan tradisionalnya yang telah jatuh ke asing (khususnya Belanda), sebaliknya Belanda/VOC selain tidak melepaskannya juga ingin menguasai Atjeh. Faktor inilah mengapa VOC/Belanda meninggalkan Atjeh. VOC mulai memahami, Atjeh tidak lebih maju, jika pelabuhan-pelabuhan di pantai barat dan pantai timur tidak mendukungnya.

Perdagangan Atjeh semakin menyempit ketika tiga negara adikuasa (Belanda, Inggris dan Prancis) menanamkan pengaruhnya di pantai barat Sumatra. Kekuataan bersenjata dari tiga adikuasa ini di kawasan bukan tandingan (kesultanan) Atjeh lagi sejak pertengahan abad ke-18 (1750-1824). Pelayaran internasional dari tiga negara adikuasa ini juga melemahkan pelayaran internasional Atjeh.

Sketsa Gowa yang dibuat Johannes Vingboons 1665
Jika kita kembali ke belakang, saat Belanda membuka pos perdagangan di Atjeh (1599-1603), Kesultanan Atjeh belumlah apa-apa. Kraton dan masjid Atjeh yang menjadi landmark Kesultanan Atjeh masih terkesan bersahaja yang berada di sisi timur sungai Atjeh (lihat Peta 1603). Selama Sultan Iskandar Muda berkuasa, lokasi kraton dan masjid dipindahkan ke sisi barat sungai (lihat sketsa Atjeh yang dibuat Johannes Vingboons 1665). Lanskap Kesultanan Gowa (1665) justru terkesan lebih luas (lebih besar) jika dibandingkan Kesultanan Atjeh. Oleh karena dua sketsa ini dilukis pada tahun yang sama (1665) dan oleh orang yang sama (Johannes Vingboons), maka dua lanskap tersebut (Gowa dan Atjeh) dapat diperbandingkan ukurannya.

Benteng Belanda di Atjeh (1603)
Setelah penaklukan Malaka, Portugis mulai membangun benteng; Kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di nusantara belum mengadopsi konsep benteng dalam bertahan. Kerajaan/kesultanan yang berada di dua sisi sungai, maka sungai sendiri menjadi benteng. Hal ini juga ditemukan di Palembang, Gowa, Semarang, dan Soerabaja, Deli dan Siak. Ketika Belanda coba bekerjasama dengan Kesultanan Atjeh, Belanda membangun benteng tepat berada di muara sungai Atjeh. Benteng ini dibangun antara tahun 1599-1602. Namun karena kerjasama yang tidak berlanjut, benteng Belanda ini di Atjeh dibongkar. Belanda/VOC kemudian membangun benteng di Maluku, Makassar (Panakoekang) dan Batavia. Kekhawatiran Kesultanan Goa dari serangan asing, memicu kesultanan baru ini membangun benteng sendiri: Benteng Somboapoe.

Untuk Survive, Atjeh Berdagang Secara Sembunyi-Sembunyi ke Tapanoeli

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar