Laman

Rabu, 31 Januari 2018

Sejarah Jakarta (18): Benteng-Benteng VOC di Batavia dan Sekitar; Benteng Terjauh Fort Padjadjaran, Bogor Hulu Sungai Tjiliwong

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini


Benteng Batavia (Casteel Batavia) adalah benteng pertama di Batavia. Benteng Batavia  dibangun seiring dengan penetapan muara sungai Tjiliwong sebagai ibukota (stad) VOC yang baru, sejak 1619. Casteel Batavia tentu saja bukan satu-satunya benteng VOC di Batavia. Benteng sendiri bagi VOC dari sisi luar adalah untuk fungsi pertahanan, tetapi dari sisi dalam benteng juga berfungsi sebagai komplek bangunan untuk berbagai hal: pimpinan, administrasi, gudang komoditi, gudang senjata, barak pekerja, barak tentara dan sebagainya. Benteng Batavia (Casteel Batavia) adalah benteng terbesar VOC di Oost Indie (Hindia Timur).

Stad Batavia dan benteng sekitar Batavia (Peta 1660)
Benteng-benteng VOC tidak hanya terdapat di Batavia. Benteng VOC juga terdapat di Ternate, Tidore dan Amboina dan Macassar. Benteng-benteng VOC lainnya berada di Atjeh, Baros, Singkel dan Padang serta (pulau) Gontong di Riaouw di Sumatra. Benteng-benteng di timur Batavia diantaranya benteng Missier di Tegal, benteng-benteng di Semarang dan sekitar serta benteng-benteng di di Soerabaja dan sekitar. Di sebelah barat Batavia juga ditemukan benteng VOC di Banten. Satu benteng VOC yang berada di selatan Batavia adalah benteng Padjadjaran.   

Benteng di Batavia dan sekitar terbilang cukup banyak. Jumlah benteng VOC di sekitar Batavia diperkirakan sebanyak 20 buah. Benteng-benteng dibangun sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah. Lokasi dimana benteng dibangun ditentukan atas pertimbangan potensi (ekonomi) wilayah dan kemungkinan munculnya ancaman (serangan) di wilayah sekitar. Pembangunan benteng adalah investasi pertama VOC di wilayah yang baru.
 
Benteng-Benteng di Batavia dan Sekitar (1656)

Pada awal kolonialisasi Belanda/VOC tahun 1619 di muara sungai Tjiliwong dibangun benteng besar (yang kemudian disebut Casteel Batavia). Benteng ini berfungsi ganda: pertahanan, tempat dimana gudang komoditi ditempatkan, tempat para pimpinan, barak-barak tenaga kerja dan pasukan serta tempat para pemimpin lokal yang bekerjasama.

VOC umumnya membangun benteng di area kosong dan lokasinya bersifat marjinal (sebagaimana kita lihat juga dalam perkembangannya). Benteng pertama di muara sungai Tjiliwong (yang kemudian disebut Casteel Batavia) dibangun di area kosong dan lahan marjinal. Benteng ini tidak mengambil posisi di Soenda Kalapa, juga tidak di Jacatra (baca: Jayakarta) tetapi memilih lokasi di sisi timur muara sungai Tjiliwong dekat pantai. Penetapan lokasi atas pertimbangan menghindari okupasi dan fungsi pertahanan (strategis dalam bertahan juga tidak menyulitkan jika harus melakukan escape). Serangan pertama terhadap keberadaan Casteel Batavia adalah serangan yang dipimpin oleh Soeltan Agoeng dari Mataram. Sejak itu benteng Batavia diperkuat dan juga diperluas.

Dalam perkembangannya muncul resolutie van Gouverneur Generaal en Raden tanggal 12 Mei 1656 VOC yang memutuskan akan dibangun benteng di sejumlah tempat di Batavia. Saat itu, ibukota (stad) Batavia sudah cukup besar, pemukiman dan aktivitas orang-orang Eropa/Belanda sudah meluas di luar Casteel Batavia. Adanya resolusi pembangunan benteng-benteng baru diduga untuk lebih memperkuat pertahanan ibukota (stad) Batavia dan juga membuka prospek untuk melakukan berbagai jenis usaha di sekitar Batavia seperti pertanian (estate) dan industri (pabriek). Strategi ekonomi yang hanya berlandaskan perdagangan yang longgar di kota-kota pantai sudah tidak sepadan lagi dengan ekspektasi jangka panjang (untuk mengantisipasi pasar Eropa yang terus berkembang). Kebijakan VOC secara bertahap diarahkan agar penduduk (lokal) sebagai subjek.

Penetapan benteng-benteng berdasarkan resolutie van Gouverneur Generaal en Raden tanggal 12 Mei 1656 antara lain pembangunan benteng di Jacatra, Noordwijk dan Ryswyck. Benteng-benteng ini rancangannya telah dilukis oleh Johannes Listing (1656).

Pada peta situasi tahun 1660 selain Casteel Batavia sudah terdapat tiga benteng baru yang lebih kecil di sekitar Batavia. Benteng-benteng tersebut adalah Fort Jacatra di sekitar Mangga Dua yang sekarang; Fort Noordwijk di sekitar Jl. Juanda atau Jl Dr. Sutomo yang sekarang; dan Fort Ryswyck di sekitar Harmoni yang sekarang. Adanya benteng-benteng ini para investor VOC mulai investasi dalam bidang estate, pembukaan perkebunan-perkebunan dan pecetakan sawah-sawah baru. Para investor VOC juga mulai mengembangkan pabrik gula (kelapa dan aren) dan kemudian pabrik gula tebu sehubungan dengan perkebunan-perkebunan tebu yang telah mulai menghasilkan. Pembangunan industri gula ini kemudian mendatangkan tenaga kerja dari Tiongkok.

Sementara itu, perdagangan di luar Batavia seperti di Sulawesi, Jawa dan Sumatra masih menjadi prioritas. Ekspansi perdagangan kemudian diperluas ke Sumatra (terutama Sumatra’s Westkus) dengan membangun pos-pos perdagangan di (poelaoe Tjinco), Air Hajie dan Padang (1666) dan Baroes (1669). Di Makassar penentangan terhadap VOC mulai muncul yang berakhir dengan terjadinya Perang Gowa (1669) yang dipimpin oleh Soeltan Hasan Oedin (baca: Sultan Hasanudin).

Perkembangan pertanian dan industri di Batavia dan sekitar yang sudah mulai kondusif (menguntungkan), VOC mulai mengeksplorasi (poelaoe Jawa) dengan melihat posisi Chirebon dan Bantam [Banten]. Pengembangan pertanian tebu akan diperluas ke Jawa untuk mendukung industri gula di Batavia.

Untuk memperlancar strategi ekspansi VOC, sejumlah benteng dibangun di Bantam, Chirebon dan Tagal [Tegal]. Benteng Bantam dibangun sebagai wujud untuk memulai penaklukan Kesultanan Banten, demikian juga dengan benteng di Chirebon (untuk penaklukan Kesultanan Chirebon). Lalu kemudian benteng dibangun di Tegal untuk memulai ekspansi ke (wilayah) Mataram dan benteng dibangun di hulu sungai Tjiliwong [di Bogor] untuk memulai ekspansi ke (wilayah) Priangan.

Fort Padjadjaran (1687)

Setelah benteng-benteng di Batavia dan sekitar dibangun dan setelah sejumlah benteng dibangun di Banten, Chirebon dan Tegal, VOC mulai merintis jalan ke hulu sungai Tjiliwong (eks Pakwan Padjadjaran) dengan melakukan ekspedisi tahun 1687 yang dipimpin oleh Sersan Scipio.

Ekspedisi ke Pakwan Padjadjaran ini uniknya tidak dilakukan dari pantai utara Jawa, tetapi sebaliknya melalui pantai selatan Jawa di Pelabuhan Ratu yang sekarang. Dari pantai selatan, tim ekspedisi merangsek hingga menemukan lokasi strategis yang merupakan eks Pakwan Padjadjaran.

Dalam ekspedisi ini (1867), benteng VOC ditetapkan dibangun di hulu sungai Tjiliwing yang disebut Fort Padjadjaran (lokasinya persis berada di Istana Bogor yang sekarang). Benteng di hulu sungai Tjiliwong ini fungsinya tidak sebanyak Casteel Batavia, tetapi hanya sekelas benteng Jacatra, Noordwijk dan Ryswyck. Fungsinya hanya satu: fungsi pertahanan saja yakni untuk lebih melindungi perkebunan (estate) yang semakin meluas ke hulu sungai Tjiliwong.

Investor VOC pertama yang mulai merintis perkebunan terjauh di hulu sungai Tjiliwong adalah Cornelsis Chastelein di Sringsing (dan kemudian membuka lahan baru di Depok). Sejak itu muncul pembukaan perkebunan baru di Tjinirie (sebelah barat Depok) dan Pondok Terong (sebelah selatan Depok) oleh St. Martin. Wilayah sisi barat sungai Tjiliwong dianggap mulai aman sehubungan dengan penaklukan Banten. Penaklukan Banten dilakukan oleh pasukan di bawah pimpinan Kapitein Jonker dan kemudian diselesaikan oleh Sersan St. Martin. Pembukaan lahan di Tjinirie dan lahan di Pondok Terong adalah bentuk hadiah yang diberikan Gubernur Jenderal kepada Sersan St. Martin atas dedikasinya untuk mengamankan di Banten.   

Setelah benteng Fort Padjadjaran dibangun di hulu sungai Tjiliwong, lalu kemudian benteng baru dibangun di muara sungai Tjisadane di Tangerang (Fort Tangerang). Benteng ini berfungsi untuk pertahanan sehubungan dengan semakin meluasnya perkebunan ke sisi barat sungai Tjiliwong.

Pemberontakan China di Batavia (1740)

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar