Laman

Jumat, 02 Maret 2018

Sejarah Semarang (16): Sejarah Pendidikan; RA Kartini dan Alimatoe Saadiah; Lahirnya Boedi Oetomo dan Medan Perdamaian

Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disini


Sejarah pendidikan kita adalah sejarah pendidikan nasional di berbagai tempat. Sejarah pendidikan di Semarang tidak terpisahkan dengan sejarah pendidikan di tempat lain. Bahkan hubungan sejarah pendidikan di Semaramg dan sejarah pendidikan di Padang Sidempoean meski jauh berjarak ribuan kilometer tetapi memiliki visi yang sama: Pendidikan adalah untuk semua.

RA Kartini
Salah satu tokoh pendidikan terkenal adalah Raden Adjeng (RA) Kartini. Meski masih muda tetapi RA Kartini sudah memiliki visi yang hebat: emansipasi. Banyak membaca adalah kuncinya. RA Kartini juga mendapat inspirasi dari buku-buku karya Edward Douwes Dekker alias Multatuli. Surat-surat korespondesi dengan teman-temannya di Belanda dibukukan dengan judul Habis Gelap Timbul Terang. Tidak hanya itu, banyak pihak yang mendukung riwayat semangat RA Kartini dengan mendirikan Sekolah Wanita di Semarang tahun 1912 yang juga didukung oleh pemerintah.

RA Kartini adalah tokoh penting, tetapi bukan satu-satunya. Banyak perempuan sebayanya di tempat lain yang melakukan kebajikan yang sama di bidang pendidikan tetapi dengan cara yang berbeda-beda, seperti Dewi Sartika dan Alimatoe Saadiah. Yang menjadi pertanyaan: Bagaimana itu semua terhubung satu sama lain. Menarik untuk diperhatikan. Mari kita lacak.

RA Kartini dan Alimatoe Saadiah

RA Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879. Saat itu pendidikan golongan pribumi baru mulai mendapat perhatian serius oleh pemerintah Nedermadsch Indie (Hindia Belanda). Namun demikian, masih sangat jarang kaum perempuan yang mendapat pendidikan. Boleh jadi masa-masa inilah yang dimaksud masa gelap dalam judul buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

Peta Kweekschool, 1879
Pada tanggal 30 April 1879 sekolah guru Kweekschool Padang Sidempoean dibuka dengan jumlah siswa yang diterima 18 siswa (lihat Algemeen Handelsblad, 23-07-1879). Direktur sekolah adalah LK Harmsen (lihat Bataviaasch handelsblad, 21-02-1879). Salah satu guru diangkat bernama Charles Adriaan van Ophuijsen (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 02-12-1881). Salah satu lulusan sekolah guru Padang Sidempoean ini adalah Saleh Harahap (Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 01-05-1884).  Pada tahun 1987 CA van Ophuijsen dipromosikan menjadi Direktur Kweekschool Padang Sidempoean (Bataviaasch nieuwsblad, 02-02-1887). Sekolah guru Padang Siempoean adalah pengganti sekolah guru Tano Bato (afdeeling Mandailing dan Angkola). Sebelum Kweekschool Padang Sidempoean dibuka sudah ada sekolah guru di Soerakarta (1851) dan dipindahkan ke Magelang (1875); Fort de Kock (1856), Tano Bato (1862), Tondano (1873), Ambon (1874), Probolinggo (1875), Banjarmasin (1875) dan Makassar (1876).

RA Kartini memulai pendidikan di sekolah dasar yang disebut Europese Lagere School (ELS). Sekolah dasar ini adalah sekolah untuk anak-anak Eropa dan secara terbatas diberikan kepada golongan pribumi. RA Kartini diperkirakan lulus ELS tahun 1892. Namun RA Kartini tidak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi karena alasan budaya. Meski begitu, pengetahuan RA Kartini sudah jauh memadai jika dibandingkan dengan teman sebanyanya yang bersekolah di sekolah dasar pribumi. Kemampuan bahasa Belanda RA Kartini cukup mumpuni karena cukup lama bersekolah di ELS, sekolah Eropa berbahasa Belanda.

Pada saat RA Kartini lulus ELS, Alimatoe Saadiah masuk sekolah ELS di Padang Sidempoean. Berbeda dengan RA Kartini, Alimatoe Saadiah setelah lulus ELS melanjutkan studi ke sekolah yang lebih tinggi, Sekolah Radja (Kweekschool) di Fort de Kock tahun 1899. Setelah lulus sekolah tinggi, Alimatoe Saadiah pada tahun 1903 menikah dengan seorang dokter muda yang baru lulus bernama Haroen Al Rasjid Nasution (Leeuwarder courant, 22-06-1903). Haroen Al Rasjid adalah alumni ELS Padang Sidempoean. Alimatoe Saadiah kelahiran Padang Sidempoean bersekolah di ELS Padang. Pada saat itu tentu saja tidak mudah bagi orang pribumi masuk sekolah Eropa (ELS), kecuali ayahnya sebagai orang terpandang, terpelajar dan terkaya. Ayah Alimatoe Saadiah adalah satu-satunya orang pribumi paling terpandang, terpelajar dan terkaya tidak hanya di kota Padang, tetapi juga di seluruh Province Sumatra's Westkust. Ayah Alimatoe Saadiah adalah Dja Endar Moeda, pensiunan guru, pemilik sekolah dan pemilik surat kabar dan percetakan Pertja Barat di Kota Padang. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah alumni Kweekschool Padang Sidempoean, murid Charles Adrian van Ophuijsen. Ayah Haroen Al Rasjid adalah seorang shjriver di Padang Sidempoean dan kemudian menjadi asisten demang di Kebajoran di Batavia.

Sejak lulus ELS, RA Kartini yang masih berumur 14 tahun tidak melanjutkan studi ke sekolah yang tinggi. RA Kartini harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Namun demikian, RA Kartini masih memungkinkan berinteraksi dengan para pejabat atau istri pejabat yang kemudian menjadi teman korespondensinya. Meski hanya sekolah sampai ELS, kemampuan RA Kartini terus meningkat, karena RA Kartini adalah seorang pembelajar yang suka membaca dan menulis.

Nama RA Kartini muncul dan menyita perhatian pada tahun 1902. Ini bermula dari sebuah tulisan Nellie van Kol di Kolonial Weekblad edisi 19 Juni. Nellie van Kol yang menceritakan tentang seorang gadis Jawa RA Kartini dan adiknya Roekmini. Isu Kartini ini dilaporkan empat surat kabar bertiras tinggi di Medan, Batavia, Semarang dan Bandung  (lihat De Sumatra post, 15-07-1902; Bataviaasch nieuwsblad, 21-07-1902; De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-07-1902; De Preanger-bode, 25-07-1902). Intinya, RA Kartini mempunyai pemikiran dan berkeinginan sekolah yang lebih tinggi. Namun tidak diketahui dengan jelas mengapa itu tidak terwujud.

Bataviaasch nieuwsblad, 17-09-1902
Ayah RA Kartini, Bupati Jepara apakah merespon atau tidak isu di surat kabar tersebut, telah merencanakan untuk mengirim RA Kartini dan Roekmini ke Belanda. Salah satu anak Bupati Jepara Raden Mas Kartono tengah studi bahasa-bahasa Timur di Leiden (Bataviaasch nieuwsblad, 17-09-1902). Bupati Jepara menyatakan satu putrinya memiliki bakat melukis dan akan belajar melukis dan satu putrinya yang lain juga akan mengunjungi sekolah di Belanda dengan tujuan untuk mendirikan sekolah semacam itu di Jawa bagi anak perempuan kepala pribumi.

Raden Mas Kartono diterima di HBS Semarang tahun 1891 (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-05-1891). Dalam daftar ini hanya Kartono dari golongan pribumi. RM Kartono naik dari empat ke kelas lima (Bataviaasch nieuwsblad, 14-05-1895). Raden Mas Pandji Sosno Kartono lulus ujian HBS (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). RM Kartono, berangkat ke Batavia untuk test (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-07-1896). RM Kartono, anak ketiga Bupati Djepara akan melanjutkan studi Indologi ke politeknik di Delf (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-07-1896). Di antara 63 kandidat untuk Korps Mahasiswa Delft juga ada seorang pangeran Hindia, Raden Mas Pandje Sono Kartono (Algemeen Handelsblad, 15-09-1896). RM Kartono melanjutkan ke universitas di Utrech dan diterima di faculteiten der godgeleerdheid enz/Fakultas Teologi (Algemeen Handelsblad, 25-08-1901).

Namun dalam perkembangannnya, RA Kartini tidak jadi ke Belanda tetapi RA Kartini dan Roekmini mendapat beasiswa dari pemerintah untuk mengikuti pelatihan di Batavia sebesar f200 per bulan dan tidak lebih dari dua tahun (Soerabaijasch handelsblad, 17-07-1903). RA Kartini tidak jadi mengikuti pelatihan dan diberitakan akan melangsungkan perkawinan dengan Bupati Rembang (Soerabaijasch handelsblad, 21-09-1903). Perkawinan ini akhirnya dilangsungkan pada tanggal 12 November 1903 dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Residen Semarang Sijthoff ikut menghadiri (Bataviaasch nieuwsblad, 12-11-1903). Sebagaimana disebutkan bahwa Bupati Rembang mendapat istri yang sangat muda untuk seorang usianya (lihat De Sumatra post, 27-11-1903). Bupati sudah pernah memiliki tiga istri.

Harapan RA Kartini yang didukung oleh ayahnya untuk studi ke Belanda telah sirna. Rencana pelatihan yang ditawarkan oleh pemerintah juga tidak diwujudkan. Hanya pernikahan yang membuat RA Kartini berhenti bermimpi. Bagaimana itu bisa terjadi sesungguhnya tidak sulit dipahami. Umur RA Kartini saat pernikahan sudah kepala dua.

Soerabaijasch handelsblad, 23-09-1904
Langkah RA Kartini tidak hanya berhenti di dalam pernikahan. RA Kartini pada akhirnya tidak berumur panjang. Belum genap setahun menikah. RA Kartini yang masih berumur 25 dikabarkan meninggal dunia di Rembang pada hari Sabtu tanggal 17 September 1904 (Bataviaasch nieuwsblad, 23-09-1904). RA Kartini telah tiada. Djoijo Adiningrat, mengiklankan kabar duka meninggalnya istrinya Raden Adjeng Kartini dengan nama keluarga sebagai Raden Ajoe Adipati Djoijo Adhiningrat (lihat Soerabaijasch handelsblad, 23-09-1904).

RA Kartini memiliki seorang anak. RA Kartini melahirkan seorang putra pada tanggal 13 September 1904 (Bataviaasch nieuwsblad, 23-09-1904). Anaknya diberi nama Raden Mas Sienggih.  RA Kartini meninggal dunia setelah lima hari dari hari melahirkan. Raden Mas Sienggih yang kemudian dikenal sebagai Soesalit Djojo Adhiningrat kehilangan ibu saat berumur baru empat hari. Tidak lama kemudian ayah RA Kartini, Raden Mas Adipati Arya Sosroningrat meninggal dunia (Bataviaasch nieuwsblad, 28-02-1905).

Nun jauh di sana, teman sebaya RA Kartini, Alimatoe Saadiah yang sama-sama menikah tahun 1903 melahirkan seorang putri di Padang yang diberi nama Ida Loemongga yang lahir pada tanggal 22 Maret 1905. Ida Loemongga adalah cucu Dja Endar Moeda, pemilik sekolah dan pengusaha media yang sangat terkenal di Kota Padang.

Pada tahun 1905 seorang guru bernama Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan berangkat studi ke Negeri Belanda, Dari Padang Sidempoean, Soetan Casajangan menuju Sibolga dan lalu ke Padang untuk menunggu kapal layar ke Batavia (dan seterusnya ke Belanda). Di Padang, Soetan Casajangan bertamu di rumah Dja Endar Moeda yang baru memiliki cucu bernama Ida Loemongga br Nasution. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah sepupu dari Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Di waktu masih bersekolah, Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean. Soetan Casajangan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke Belanda untuk mendapatkan akte kepala sekolah.  

Keluarga Alimatoe Saadiah lalu pindah ke Sibolga. Setelah beberapa tahun di Sibolga, suami Alimatoe Saadiah, Dr. Haroen Al Radjid Nasution yang telah delapan tahun berdinas  mengajukan cuti  dan pindah ke Telok Betoeng Lampoeng. Diantara kesibukan ikut membantu suami dalam pengembangan klinik kesehatan di Tandjong Karang dan Bandar Lampoeng, Alimatoe Saadiah tidak lupa untuk mempersiapkan pendidikan anak-anaknya. Putrinya yang pertama, Ida Loemongga dimasukkan ke sekolah ELS Tandjong Karang. Lalu pendidikan putrinya dilanjutkan ke Batavia, di Prins Hendrik School (afdeeling-B/IPA). Setelah lulus tahun 1922, putrinya Ida Loemongga melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Ida Loemogga lalu meraih gelar Ph.D pada bidang kedokteran tahun 1930. Ida Loemongga Nasution adalah perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D) di Indonesia.

Seandainya, RA Kartini berumur panjang, boleh jadi raihan pendidikan tinggi Ida Loemongga ini membuat RA Kartini turut bangga. Telah terwujud harapannya. Kaum perempuan tidak hanya diizinkan tetapi juga mampu bersekolah setinggi-tingginya bahkan sekolah ke luar negeri. RA Kartini dan Alimatoe Saadiah (ibu Ida Loemongga) adalah dua perempuan pertama yang dilaporkan bersekolah di sekolah elit (ELS). Tentu saja RA Kartini masih punya kebanggaan, anaknya semata wayang Soesalit Djojo Adhiningrat yang menjadi militer dan berjuang di era perang kemerdekaan di Jawa Tengah dengan pangkat Kolonel. Rekan sebaya RA Kartini, Alimatoe Saadiah juga memiliki seorang anak bernama Gele Haroen yang masuk militer dan berjuang di era perang kemerdekaan di Lampung. Gele Haroen anak keempat Alimatoe Saadiah, ketika Ida Lomongga tengah mempersiapkan sidang desertasi (Ph.D) datang ke Belanda untuk studi hukum di Universiteit Leiden dan berhasil meraih gelar master hukum (Mr). Letnan Kolonel Mr. Gele Haroen Nasution adalah Residen pertama Lampung (kini sedangkan diusulkan menjadi Pahlawan Nasional dari daerah Lampung).     
   
Ida Loemongga adalah peraih gelar doktor (Ph.D) pertama dari kaum perempuan di Indonesia. Peraih gelar Ph.D pertama Indonesia adalah RM Kartono, kakak kandung RA Kartini. RM Kartono meraih doktor di bidang de Taal- en Letterkunde van den Oost-Indischen archipelago (Bahasa dan Sastra Nusantara) pada tahun 1909 di Universiteit Leiden (Algemeen Handelsblad, 09-03-1909). Peraih gelar doktor kedua bukan Dr. Abdul Rivai sebagaimana kerap disebut. Dr. Abdul Rivai alumni Docter Djawa School di Belanda hanya melanjutkan gelar dokter sarjana lengkapnya (bukan Ph.D). Peraih Ph.D kedua adalah Hussein Djajadiningrat di Universiteit Leiden pada Mei 1913 di bidang sastra (De Telegraaf, 31-12-1934). Orang ketiga adalah Mr. Gondokoesoemo pada tahun 1922. Orang keempat bergelar doktor adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi. Anak Batang Toroe, Padang Sidempoean ini memperoleh gelar doctor (PhD) di bidang hokum di Leiden 1925 dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Selanjutnya adalah DJ Apituley di Amsterdam dengan desertasi berjudul: 'Onderzoekingen over de histiogenese van émail en mambraan van Nasmyth' (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-07-1925). Berikutnya adalah Poerbatjaraka pada bidang sastra di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul 'Agastya in den Archipel' (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 11-06-1926). Orang ketujuh yang meraih gelar doktor adalah Ida Loemongga. Pada tahun 1931, Ida Loemongga dipromosikan sebagai doktor di bidang kedokteran dengan desertasi berjudul ‘Diagnose en prognose van aangeboren hartgebreken’ (Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1931). Orang kedelapan Indonesia yang meraih gelar doktor adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia tahun 1933 dalam bidang sastra dan filsafat di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'.

Salah satu doktor Indonesia yang terkenal lulusan Belanda adalah Masdoelhak. Pada tahun 1943 Masdoelhak lulus ujian doctoral sebagaimana dilaporkan  Friesche courant, 27-03-1943. Pendidikan ini ditempuh setelah Madoelhak menyelesaikan sarjana hukumnya (Mr) di Belanda. Masdoelhak Nasoetion berhasil mempertahankan desertasinya dengan predikat cumlaude di Leiden yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Masdoelhak setelah pulang ke tanah air diangkat Soekarno menjadi Residen pertama Sumatra Tengah (Sumatra Barat dan Riau) yang berkedudukan di Bukit Tinggi. Pada fase ibukota RI pindah ke Yogyakarta, diangkat menjadi penasehat Soekarno dan Hatta di bidang hukum. Masdoelhak adalah satu-satunya pejabat bergelar doktor di lingkaran inti pemerintahan Indonesia di Yogyakarta. Pada saat agresi militer kedua, saat Yogyakarta diserang, Masdoelhak yang pertamakali diculik intelijen/militer Belanda dan lalu pada tanggal 21 Desember 1948 ditembak. Peristiwa penembakan ini membuat PBB marah besar karena militer telah membunuh intelektual berbakat. (Masdoelhak baru diberi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2006).

Apakah ini serba kebetulan? Peraih gelar doktor (Ph.D) pertama di Indonesia terkait dengan dua wanita pertama yang memiliki pendidikan Eropa, yakni: RA Kartini dan Alimatoe Saadiah. Gelar Ph.D kaum laki-laki pertama diraih oleh kakak kandung RA Kartini dan gelar Ph.D kaum perempuan pertama diraih oleh anak kandung Alimatoe Saadiah. Lantas apakah juga kebetulan dari delapan pertama peraih gelar Ph.D terbanyak berasal dari Afdeeling Mandailing dan Angkola (Afdeeling Padang Sidempoean) Residentie Tapanoeli sebanyak tiga orang: Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi; Ida Lomongga Nasution dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Lima yang lainnya: Residentie Semarang (2 orang); Residentie Soerabaja (1 orang); Residentie Banten (1 orang) dan Residentie Manado (1 orang).    

Boedi Oetomo dan Medan Perdamaian

Budi Utomo (ejaan van Ophuijsen: Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr.Soetomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Wikipedia).

Itulah yang kita tahu dalam sejarah pendidikan nasional selama ini, sejarah pendidikan, sejarah kebangkitan bangsa dan sejarah awal kemerdekaan Indonesia. Lukisan ini tampaknya hanya sebatas gambaran di Jawa, tidak menggambarkan lukisan di seluruh Indonesia. Indonesia doeloe adalah Indonesia masa kini dari Sabang hingga Merauke.

Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900
Di Kota Padang pada tahun 1900 telah dibentuk organisasi kebangsaan yang disebut Medan Perdamaian (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 20-02-1900). Organisasi Medan Perdamaian, tidak bersifat kedaerahan seperti Boedi Oetomo, melainkan Medan Perdamaian dibentuk sebagai organisasi kebangsaan yang bersifat multi etnik (trans-nasional).

Organisasi sosial Medan Perdamaian digagas oleh Dja Endar Moeda, ayah dari Alimatoe Saadiah. Direktur pertama Medan Perdamaian adalah Dja Endar Moeda sendiri (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902). Organisasi multi etnik ini di Padang kemudian diteruskan oleh Muhamad Safei dan masih eksis di Padang pada tahun 1912 (lihat De Sumatra post, 26-04-1912). Pada tahun 1907 Medan Perdamaian juga didirikan di Medan dan Fort de Kock. Organisasi cabang Medan Perdamaian di Medan ini membentuk klub sepakbola bernama Medan Perdamaian yang ikut berkompetisi tahun 1908 di Medan. Medan Perdamaian juga didirikan di Palembang (lihat De Indische courant, 25-09-1922) dan juga eksis di Batavia. Organisasi sosial Medan Perdamaian Batavia ini dipimpin oleh Mohamad Sjafe'i dengan wakil Tjik Nang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 10-07-1926). Dalam perkembangan lebih lanjut organisasi Medan Perdamaian juga didirikan di Pematang Siantar dan mendapat badan hokum tahun 1931 (lihat De Sumatra post, 12-02-1931). Pada tahun 1932 Medan Perdamaian mendapat saingan dari organisasi sosial Taman Persahabatan (lihat De Sumatra post, 15-12-1932).

Oleh karena itu, organisasi Medan Perdamaian didirikan jauh sebelum organisasi Boedi Oetomo. Organisasi Boedi Oetomo dibentuk pada bulan Mei 1908 di Batavia dan melakukan kongres yang pertama pada bulan Oktober 1908 di Djogjakarta. Ini mengindikasikan bahwa organisasi Boedi Oetomo bukan yang pertama di Indonesia. Hal ini dapat diperhatikan berita yang dimuat dalam Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908.

De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-08-1902: ‘Pada pertemuan asosiasi Boedi Oetomo, yang diselenggarakan di Djokdjakarta 3 Oktober 1908 (Kongres pertama Boedi Oetiomo, red) pemerintah menanggapi pertanyaan dari Bupati Temanggoeng bahwa di luar Djawa sudah ada asosiasi sejenis. (seperti misalnya) Medan Perdamaian di Fort de Kock yang didirikan 17 Oktober 1907. Organisasi Medan Perdamaian (sebagaimanai) diketahui bertujuan untuk mewakili kepentingan anggota dan populasi dalam satu kata: kemajuan. Untuk mencapai tujuan, organisasi Medan Perdamaian telah diputuskan menerbitkan majalah (maandelijksch) yang akan dicetak dan diterbitkan oleh penerbit pribumi Dja Endar Moeda di Padang yang akan berisi ilmu sehari-hari yang berguna dan yang diperlukan di bidang pertanian, peternakan, industri, pendidikan, kesehatan di kampung, keadilan, dll. Organisasi (cabang) Fort de Kock ini sudah memiliki anggota 700 orang’.

De Locomotief, 21-08-1902
Dari berita ini jelas menunjukkan bahwa para peserta kongres pertama Boedi Oetomo sendiri sudah mengetahui adanya Medan Perdamaian (suatu organisasi yang telah didirikan sejak 1900). Organisasi Medan Perdamaian adalah organisasi yang tidak eksklusif bagi dirinya sendiri. Organisasi Medan Perdamaian ketika masih dipimpin oleh direktur (ketua) Dja Endar Moeda pada tahun 1902 sebagaimana dilaporkan De Locomotief (edisi 21-08-1902) bahkan telah memberi sumbangan bagi peningkatan pendidikan di Semarang sebesar f14.490 yang diserahkan melalui Charles Adrian van Ophuijsen yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan Province Sumatra;s Westkust (Pantai Barat Sumatra). Charles Adrian van Ophuijsen adalah guru Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean. Ejaan van Ophujsen akan teringat nama guru CA van Ophuijsen.

Ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa Medan Perdamaian, organisasi sosial pribumi pertama di Indonesia membuktikan sifatnya yang memang multi etnik dengan sasaran seluruh populasi (pribumi) di seluruh Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Sekadar diketahui, arsitektur organisasi (baru) Boedi Oetomo sesungguhnya adalah copy paste dari organisasi (lama) Medan Perdamaian. Hanya saja bedanya: Medan Perdamaian tetap cenderung bersifat multi etnik (nasional), sedangkan Boedi Oetomo cenderung bersifat terbatas di Jawa (kedaerahan).

Dokumen Pengurus Indische Vereeniging, 1908
Pendirian organisasi Boedi Oetomo lalu mendapat reaksi dari mahasiswa ‘Indonesia’ di Belanda, Soetan Casajangan. Lalu Soetan Casajangan mengundang semua mahasiswa Indonesia di Belanda. Mereka sepakat mendirikan persatuan Indonesia dengan membentuk Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang disahkan pada tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Soetan Casajangan menjadi presiden pertama, sekretaris Raden Mas Soemitro dari Banjoemas dan bendahara F Laoh dari Manado. Mengapa Soetan Casajangan merespon balik atas pendirian Boedi Oetomo? Hal ini karena Boedi Oetomo secara terbuka organisasi yang bersifat cenderung kedaerahan, sementara persatuan dan kesatuan (trans-nasional) harus terus diperjuangkan sebagaimana telah menjadi misi Medan Perdamaian yang digagas Dja Endar Moeda (kakak kelas Soetan Casajangan sewaktu di Kweekschool Padang Sidempoean). Untuk itulah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan mengikat mahasiswa Indonesia di Belanda di dalam persatuan Indonesia yang disebut Indische Vereeniging. Motto surat kabar Pertja Barat milik Dja Endar Moeda adalah ‘Oentoek Segala (suku) Bangsa’. Sebaliknya nanti akan muncul organisasi pemuda Boedi Oetomo yang berbasis kedaerahan yang disebut Jong Java.

Melalui Indische Vereeniging, proses kesadaran berbangsa ditumbuhkembangkan oleh Soetan Casajangan. Organisasi anak negeri ini dibentuk dengan tujuan untuk memajukan kemakmuran dan peningkatan pendidikan pribumi. Oleh banyak pihak, para pakar etika di negeri Belanda, Soetan Casajangan dianggap sebagai pelopor pribumi dan oleh para akademisi Indonesia, Soetan Casajangan dianggap sebagai peletak dasar kesadaran kebangsaan Indonesia dan penentu orientasi kesatuan Indonesia.

Kecerdasan dan keberanian Soetan Casajangan di Belanda dengan cepat diketahui umum, karena itu Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya.

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

‘...saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

Pidato ini tentu saja sangat menyentak para pakar Belanda yang hadir dalam forum itu. Poinnya adalah ketidakadilan dalam pendidikan semua pribumi antara ‘coklat’ (pribumi) dengan ‘putih’ (Belanda). Kata kuncinya adalah persatuan (semua pribumi) dan pertentangan (pribumi dan penjajah) yang menjadi awal munculnya kebangkitan bangsa. Persatuan sudah muncul di Medan Perdamaian tetapi pertentangan belum muncul. Sedangkan pada Boedi Oetomo baik persatuan dan pertentangan tidak ditemukan. Indische Vereeniging melalui ketuanya Soetan Casajangan persatuan dan pertentangan ini dipertegas. Bagaimana pendirian Soetan Casajangan bermula? Surat kabar Telegraaf pernah mewawancarai Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya mengutip beberapa saja di sini).

‘…mengapa anda mengambil risiko jauh studi kesini meninggal kesenangan di kampungmu, calon koeria, yang seharusnya sudah pension jadi guru dan anda juga harus rela meninggalkan anak istri yang setia menunggumu…anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh guru Ophuijsen….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah pada semua sendi kehidupan.. saya punya rencana pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda)..saya mengajak anak-anak muda untuk datang ke sini (Belanda) agar bisa belajar banyak..’

Pendirian Soetan Casajangan ini tentu saja sudah ada sejak menjadi guru di kampungnya di Padang Sidempoean. Ketika berangkat ke Belanda tahun 1905, Soetan Casajangan terlebih dahulu ke Padang menemui Dja Endar Moeda yang baru mendapat cucu Ida Loemongga dari putri pertamanya Alimatoe Saadiah. Dja Endar Moeda, pendiri Medan Perdamaian adalah kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean. Oleh karenanya, pendirian Soetan Casajangan tidak berdiri sendiri, tetapi ada yang memulainya, dan ketika cita-cita mulai dirasakan berbelok dalam pembentukan Boedi Oetomo, Soetan Casajangan cepat memberi reaksi dengan mengikat mahasiswa dalam persatuan dan kesatuan dalam wujud pendirian Indische Vereeniging. Inilah awal persatuan dan kesatuan bangsa yang sejatinya menjadi awal kebangkitan bangsa Indonesia.

Buku Soetan Casajangan, 1913
Setelah selesai studi, Soetan Casajangan pulang ke tanah air pada tahun 1914. Sebelum pulang ke tanah air, Soetan Casajangan pada tahun 1913 menerbitkan sebuah buku berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (Negara Hindia Belanda Dilihat oleh Penduduk Pribumi) oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij di Baarn. Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) setebal 48 halaman yang mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (nusantara) dan pertanian di Indonesia. Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh Soetan Casajangan), Boedi Oetomo (digagas oleh Wahidin) dan Sarikat Dagang Islam. Buku ini sangat mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda.

Dalam buku ini terang-terangan Soetan Casajangan menyinggung Undang-Undang di Hindia Belanda yang  membatasi konsesi untuk warga pribumi yang mana menurut Soetan Casajangan hanya orang Eropa hak konsesi dapat diberikan sementara penduduk pribumi asli haknya justru dirampas. Lebih lanjut, Soetan Casajangan mengutarakan tuntutan yang sangat mendasar bahwa persamaan di hadapan hukum bagi orang pribumi dan orang Belanda harus dengan segera diwujudkan. Menurut Soetan Casajangan  di Belanda sendiri tidak semua orang sifat, tabiat dan kebajikannya sama tapi toh diperlakukan sama di hadapan hukum. Di Hindia Belanda mengapa tidak? Untuk itu, menurut Soetan Casajangan pemerintah Belanda juga harus menyelenggarakannya di bidang pendidikan termasuk pengadaan beasiswa. Dalam buku ini, buku yang pertama ditulis oleh seorang pribumi dengan bernada politis, Soetan Casajangan juga menuntut kepada pihak pemerintah Belanda hal yang sama di bidang penerangan pertanian dan penggalakan perdagangan. Dengan kesamaan hukum tersebut pribumi akan mendapat kemajuan yang sama dengan orang-orang Belanda baik di bidang pendidikan, pertanian maupun perdagangan. Tulisan Soetan Casajangan ini juga mengkritik disparitas harga kopi dimana harga jual kopi lokal hanya dihargai sebesar f40 per pikul sementara harga jual kopi di pasar Eropa berkisar f70-f90 (rata-rata dua kali lipat per pikul).

Itulah Soetan Casajangan, seorang guru yang berpendidikan tinggi dengan melakukan metode revolusi diam (smart revolution) untuk menentang Belanda. Sebaliknya, orang-orang Belanda juga melakukan revolusi diam umtuk menentang pribumi dengan mengumpulkan (kembali) surat-surat almarhum RA Kartini dan menjadikannya sebuah buku dengan judul oleh JH Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht yang diterbitkan tahun 1911. Surat-surat RA Kartini (yang sebagian merupakan surat-surat yang bersifat rahasia kepada teman-temannya) mengindikasikan tentang impiannya tentang, hambatan yang dihadapi untuk meraihnya dan berbagai permasalahan sekitar (lingkungan budaya Jawa). Soetan Casajangan (pribumi) dan Abendanon (Belanda) pada tahun-tahun itu adalah dua tokoh penting beda ras, dua matahari yang bertentangan.

Willem Iskander dan Kweekschool Padang Sidempoean

RA Kartini dan Willem Iskander hidup dan memiliki cita-cita di era yang berbeda. Keduanya muncul diantara penduduk dan mempelopori perlunya pendidikan. RA Kartini meski cita-citanya belum terwujud sepenuhnya, karena meninggal sebelum waktunya, namun cita-cita RA Kartini tersebut masih bisa diteruskan oleh pihak yang lain dengan terbentuknya Yayasan Pendidikan RA Kartini yang menyelenggarakan Kartini School yang idenya dimulai di Semarang tahun 1912 (Algemeen Handelsblad, 06-12-1912). RA Kartini dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi kaum perempuan karena itu nama sekolahnya disebut Kartini School.

Kartini School dibuka di sejumlah tempat, seperti di Semarang (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-08-1913); di Batavia (De Sumatra post, 13-01-1914); di Buitenzorg (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-04-1915); di Malang tahun (lihat De Telegraaf, 20-01-1916); di Chirebon (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 31-01-1916); di Rembang (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-08-1917); di Soerabaja (De Preanger-bode, 08-02-1917); di Kertosono (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-07-1919); di Magelang (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-07-1953). Di Bandoeng sekolah sejenis Kartini School sudah ada sejak 1904 yang dirintis oleh Dewi Sartika (lihat De Telegraaf, 19-02-1929).

Jauh sebelum RA Kartini mempelopori perlunya pendidikan bagi kaum wanita, di Afdeeling Mandailing dan Angkola (Residentie Tapanoeli) seorang siswa bernama Si Satie berkeinginan kuat untuk menempuh sekolah guru ke Belanda. Si Sati Nasution berangkat ke Belanda pada tahun 1957. Si Satie yang mengubah namanya menjadi Willem Iskander [kombinasi nama Raja Willem III dan pemikir terkenal dari Rusia yang bermukim di Inggris, Iskander Hertz] lulus tahun 1861 dan mendirikan sekolah guru (kweekschool di Tano Bato. Dalam beberapa tahun sekolah guru yang dirintis oleh Willem Iskander ini menjadi sekolah guru terbaik di Nederlandsche Indie (baca: Indonesia). Penilaian ini langsung dari Inspektur Pendidikan JA Van der Chijs di Batavia berdasarkan laporan pendidikan tahunan.

Saat Willem Iskander mulai membangun sekolah guru di Residentie Tapanoeli terdapat sebanyak enam sekolah negeri. Jumlah ini bertambah empat menjadi sepuluh buah pada tahun 1864. Dari sepuluh sekolah negeri tersebut delapan buah berada di Afdeeling Mandailing dan Angkola (dua yang lainnya di Sibolga dan Natal). Lihat Hoeven 1864.

Penilaian JA Van der Chijs ini awalnya terungkap di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang mengutip dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’

Revolusi diam yang dilakukan oleh Willem Iskander telah dengan sendirinya menyadarkan sebagian orang-orang Belanda. Willem Iskander telah berlari jauh meninggalkan cara-cara pemerintah (Belanda) menangani pendidikan pribumi. Kontras pendidikan di Mandailing dan Angkola membuat menganga pendidikan di Jawa. Pemerintah mulai digugat. Iskander Effect mulai bergaung di Jawa.

Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa di Jawa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’.

Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.

Langkah pertama yang akan dilakukan di Jawa adalah  untuk melanjutkan pengembangan pendidikan di 15 ibukota kabupaten, dimana tidak ada sekolah berada selama ini. Namun tidak disebutkan nama-nama 15 ibukota afdeeling tersebut. Jika jumlah ibukota tahun 1865 sebanyak 23 maka baru delapan ibukota yang memiliki sekolah. Selain itu, adanya kemajuan pendidikan tak terduga di Mandailing dan Angkola menyadarkan pemerintah untuk segera membangun sekolah guru di Bandoeng. Tahun 1865 Kweekschool Tanobato sendiri diakuisisi pemerintah dan dijadikan sekolah guru negeri. Kweekschool Bandoeng mulai dibuka tahun 1866, Dengan demikian sekolah guru negeri menjadi empat buah: Soerakarta (1852), Fort de Kock (1856), Tanobato (1865) dan Bandoeng (1866).

Laporan Chijs juga mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock gagal total. Menurut Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama sekolah guru. Sebaliknya sukses besar di Tanobato. Laporan Chijs menggarisbawahi siswa-siswa Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus. Menurut Chijs di sini (maksudnya Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandailing/Angkola.

Iskander Effect terus menggelinding. Pemerintah tidak cukup hanya mendirikan sekolah yang banyak di Jawa, juga tidak cukup hanya menambah sekolah guru di Bandoeng. Pemerintah juga meniru cara yang dilakukan oleh Willem Iskander. Lalu pemerintah meminta Willem Iskander untuk membimbing tiga guru muda dari Soerakarta, Bandoeng dan Tapanoeli untuk sekolah guru ke Belanda. Akibatnya, Kweekschool Tano Bato ditutup (1873) tetapi akan dibangun sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean (sehubungan dengan ibukota Mandailing dan Angkola telah dipindah dari Panjaboengan di Mandiling ke Padang Sidempoean di Angkola tahun 1970). Willem Iskander sendiri sebagai pembimbing tiga guru juga diberikan beasiswa untuk melanjutkan studinya di Belanda untuk mendapat akta kepala sekolah yang nantinya diplot menjadi Direktur Kweekschool Padang Sidempoean.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1874: ‘Dengan keputusan tanggal 6 bulan ini, Radja mengambil keputusan yang diperlukan di bawah otorisasi untuk mengirim kepala sekolah di kweekschool untuk guru Inlandsche di Tanah-Bato (Sumatera’s Westkust), Willem Iskander, dan tiga pribumi lainnya, ke Belanda, agar untuk dilatih studi dua tahun lebih lanjut untuk pendidikan inlandsch. yang dirancang untuk menemani Iskandcr, pemuda Batak Si Banas, Soendauees mas Ardi Sasmita, sekarang menjadi guru di sekolah asli Madjalengka (Cirebon) dan Soerono, guru di Soerakarta. Sehubungan dengan keberangkatan Iskander sementara menutup perguruan tinggi untuk Tanah-Batoe’.

Pada bulan April 1874 Willem Iskander bersama Banas Lubis, Ardi Sasmita dan Raden Mas Surono bertolak dari Tandoung Priok ke Negeri Belanda dengan kapal Prins van Oranje. Mereka tiba di bandar Amsterdam pada tanggal 30 Mei 1874. Namun sangat disayangkan pionir pembaharu Willem Iskander dan calon pembaharu ini (Banas, Soerono dan Sasmita) tidak kembali. Satu per satu mereka dilaporkan telah meninggal dunia. Jika Willem Iskander adalah orang Indonesia pertama studi ke Belanda (1857) maka tiga guru muda ini adalah yang kedua studi ke Belanda.

Sejak itu tidak ada lagi orang Indonesia berangkat studi ke Belanda. Orang pribumi yang menyusul kemudian untuk studi di Belanda adalah Raden Mas Ismangoen Danoe Winoto di sekolah pelatihan di Delft. Lalu kemudian menyusul Raden Mas Kartono, kakak kandung RA Kartini yang berangkat tahun 1896 untuk kuliah di politeknik Delf untuk mempelajari bahasa-bahasa Nusantara (Indologi). Kemudian putra Soeltan Kutai dan putra Bupati Madioen.

Pada tahun 1879 Kweekschool Padang Sidempoean dibuka (tahun ini bertepatan dengan lahirnya RA Kartini). Tentu saja Willem Iskander tidak mungkin lagi menjadi direktur sekolah. Yang menjadi direktur adalah LK Harmsen, sarjana bahasa lulusan negeri Belanda. Lalu kemudian salah satu guru di Kweekschool Padang Sidempoean CA van Ophuijsen dipromosikan menjadi direktur sekolah. CA van Ophuijsen diangkat guru tahun 1881 dan menjadi direktur tahun 1887.

Dua lulusan Kweekschool Padang Sidempoean adalah Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (1884) dan Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (1887). Dja Endar Moeda pada tahun 1884 ditempatkan sebagai guru di Batahan, kemudian Air Bangis, dan Singkel. Setelah delapan tahun mengabdi, Dja Endar Moeda pensiun (1891) dan berangkat haji ke Mekkah. Dalam perkembangannya Dja Endar Moeda memulai mendirikan sekolah swasta di Kota Padang dan kemudian pada tahun 1900 mengakuisis surat kabar dan percetakan Pertja Barat. Tahun inilah Dja Endar Moeda menggagas didirikan perstuan Indonesia yang disebut Medan Perdamaian. Sementara itu Soetan Casajangan setelah lulus pada tahun 1887 ditempatkan menjadi guru di Simapil-apil (dekat Padang Sidempoean). Idem dito: setelah mengabdi sebagai guru (lebih dari 10 tahun) Soetan Casajangan pensiun dan mulai memikirkan studi ke Belanda. Beberapa tahun Soetan Casajangan, pada umur 30 tahun pada tahun 1905 Soetan Casajangan berangkat studi ke Belanda dan kemudian mendirikan organisasi mahasiswa (Indische Vereeniging) tahun 1908. Saat itu jumlah mahasiswa Indonesia di Belanda baru berjumlah 20 orang termasuk RM Kartono, kakak kandung RA Kartini.

Pada tahun 1893 Kweekschool Padang Sidempoean. Meski demikian, lulusannya sudah cukup banyak dan menyebar, selain di Residentie Tapanoeli juga di Residentie Riaouw, Oost Sumatra, Atjeh dan Djambie. Oleh karena Kweekschool Padang Sidempoean ditutup, maka siswa-siswa sekolah dasar diarahkan untuk masuk ke Kweekschool di Fort de Kock. Salah satu siswa yang diterima di sekolah guru ini adalah Alimatoe Saadiah, putri Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, seorang guru dan pemilik sekolah di Kota Padang. Sementara itu, sejumlah anak-anak Mandailing dan Angkola mulai diterima di ELS (Europessch Lager Onderwijs) Padang Sidempoean.

Sebagaimana RA Kartini memasuki Europessch Lager Onderwijs (ELS) di Koedoes (Residentie Semarang), anak-anak afdeeling Mandailing dan Angkola (Residentie Tapanoeli) di ELS Padang Sidempoean banyak yang diterima. Lulusan ELS Padang Sidempoean ini umumnya melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi,ke  sekolah kedokteran, Docter Djawa School di Batavia. Tiga yang terkenal adalah Si Ahmat yang satu kelas dengan Dr. Wahidin dan Abdul Hakim dan Abdul Karim yang sekelas dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Dr. Abdul Hakim Nasution kelak dikenal sebagai wali kota pribumi pertama di Kota Padang. Satu lagi lulusan ELS Padang Sidempoean adalah Dr. Radjamin Nasoetion (teman sekelas Dr. Soetomo) di STOVIA (yang nama Docter Djawa School berubah tahun 1902). Kelak Dr. Radjamin Nasution dikenal sebagai wali kota pribumi pertama di Kota Soerabaja. Docter Djawa School sendiri dibuka tahun 1951 di Batavia di Weltevreden (RSPAD yang sekarang). Pada tahun 1954 dua siswa dari Mandailing dan Angkola bernama Si Asta dan Si Angan diterima di Docter Djawa School. Dua siswa ini merupakan siswa-siswa pertama yang diterima di Docter Djawa School yang berasal dari luar Jawa. Si Asta adalah kakak kelas Willem Iskander di sekolah dasar. Dr. Asta kelak dikenal sebagai ayah dari Mangaradja Salamboewe, editor pertama surat kabar Pertja Timor di Medan (1902-1908). Setiap dua tahun berikutnya dua siswa asal Mandailing dan Angkola diterima di sekolah kedokteran ini hingga ke generasi Si Ahmat (sejaman dengan Dr. Wahidin).

Sejak ditutupnya ELS Padang Sidempoean tahun 1905, dan dipindahkan ke Sibolga anak-anak Padang Sidempoean (Afdeeling Mandailing dan Angkola) harus menempuh pendidikan lebih jauh ke Sibolga, Medan. Padang dan Batavia (ELS, MULO dan HBS).

ELS hanya terdapat di sejumlah tempat: Batavia, Buitenzorg, Bandaneira, Soerabaja, Koedoes, Padang Sidempoean dan Sibolga. Semarang, Koedoes. Padang, Medan, Makassar dan Probolinggo, ELS didirikan di Koedoes (Res. Jepara) pada tahun 1877 (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 17-04-1877). Guru-guru yang mengajar di ELS adalah berlisensi Eropa (Sarjana lulusan Belanda(. Dua pribumi yang pernah tercatat mengajar di ELS adalah Soetan Casajangan di Buitenzorg (1914) dan Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (Menteri Pendidikan RI yang kedua setelah Ki Hajar Dewantara), Soetan Goenoeng Moelia adalah kelahiran Padang Sidempoean, saudara sepupu Amir Sjarifoeddin, anak seorang guru lulusan Kweekschool Fort de Kock. Lulusan ELS ini umumnya melanjutkan studi ke HBS. Sekolah HBS terkenal di Batavia Prins Hendrik School dan Willem School. Ida Loemongga, Ph.D bersekolah di HUB Prins Hendrik School Batavia (lulus 1918).

Salah satu alumni ELS Sibolga adalah Amir Sjarifoeddin Harahap (Perdana Menteri RI kedua). Nama-nama anak Padang Sidempoean yang harus menempuh pendidikan lebih jauh cukup banyak diantaranya kelak yang terkenal adalah Dr. Parlindungan Lubis (sekolah dasar di Padang Sidempoean, MULO dan HBS di Medan serta Universitas di Leiden).

Tidak adanya lagi Kweekschool dan ELS di Padang Sidempoean tidak membuat surut anak-anak Padang Sidempoean untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Salah satu dari generasi ini adalah Pangurabaan Pane. Setelah lulus Kweekschool Fort de Kock, Pangurabaan Pane ditempatkan di Moearasipongi, Tapanoeli. Dua orang anak Pangurabaan Pane yang terkenal adalah Sanoesi Pane dan Armijn Pane. Buku RA Kartini yang terkenal yang ditulis dalam bahasa belanda diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (baca: Indonesia) dengan judul Habis Gelap Timbullah Terang oleh Armijn Pane tahun 1920.

Itulah riwayat sekolah guru di Tano Bato dan di Padang Sidempeoan di afdeeling Mandailing dan Angkola Residentie Tapanoeli. Itulah riwayat anak-anak Padang Sidempoean di bidang pendidikan sejak 1854. Tokoh terkenal dari Kweekschool Tano Bato adalah Willem Iskander (pendiri dan kepala sekolah alumni Belanda 1861). Dua lulusan Kweekschool Tano Bato yang terkenal adalah Soetan Abdoel Azis dan Mangaradja Soetan. Abdoel Azis adalah ayah dari Dr. Haroen Al Rasjid Nasution, kakek dari Ida Loemongga. Abdoel Azis adalah besan dari Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Sementara Mangaradja Soetan adalah ayah dari Soetan Casajangan.

Peringatan hari lahir Kartini oleh PPI di Belanda, 1939
Dja Endar Moeda adalah pendiri Medan Perdamaian pada tahun 1900 dan Soetan Casajangan adalah pendiri perhimpunan mahasiswa Indonesia Indische Vereeniging 1908 (dan setelah selesai studi pada tahun 1913 pulang ke tanah air menjadi Direktur Normaal School di Batavia). Indische Vereeniging pada era kepemimpinan M. Hatta (tahun 1922) diubah namanya menjadi Persatoean Peladjar Indonesia (PPI). Pada tahun 1939 untuk kali pertama dilakukan perayaan hari lahir Kartini di Belanda yang dilakukan oleh PPI. Ketua PPI periode 1938-1941 adalah Parlindoengan Lubis, mahasiswa kedokteran Universiteit Leiden; Sekretaris Sidhartawan dan Bendahara Mohammad Ildrem Siregar. Dalam foto (disamping) yang dibuat 1939 juga terdapat Djalaloeddin (adik Parlindoengan Lubis), MO Parlindoengan dan Masdoelhak.

Itulah kedekatan siswa-siswa asal Padang Sidempoean (Residentie Tapanoeli) yang menjadi tokoh penting dengan tokoh-tokoh penting dari Residentie Semarang yang beribukota di Semarang. Tidak hanya memberi kontribusi dalam pengembangan pendidikan di Semarang (Dja Endar Moeda), tetapi juga memberi kontribusi untuk tetap menjaga nama baik RA Kartini sebagai tokoh pendidikan kaum perempuan (Armijn Pane).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar