Laman

Selasa, 01 Mei 2018

Sejarah Menjadi Indonesia (6): Soekarno, George Washington van Indonesia ke Amerika Serikat 1956; Parada Harahap, The King of Java Press ke Jepang 1933


Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Hanya ada dua orang Indonesia yang pernah mendapat nama julukan terhormat dari luar negeri. Yang pertama adalah Parada Harahap tahun 1933 dijuluki oleh pers Jepang sebagai The King of Java Press (De Indische courant, 29-12-1933). Yang kedua adalah Soekarno dijuluki oleh pers Amerika Serikat tahun 1956 sebagai George Washington van Indonesia (De nieuwsgier, 16-05-1956). Julukan ini sangat beralasan. Parada Harahap menyatukan Boedi Oetomo (Jawa) dalam Indonesia melawan imperialis kolonial Belanda. Selanjutnya, Soekarno memimpin Indonesia untuk menyatukan dunia melawan paham imperialis. Parada Harahap memimpin orang Indonesia pertama ke Jepang, 1933 dan kemudian Soekarno memimpin pemerintah Indonesia pertama ke Amerika Serikat, 1956. Parada Harahap adalah mentor politik praktis Ir. Soekarno.

Tiga orang revolusioner pertama Indonesia
Parada Harahap dan Soekarno adalah dua tokoh revolusioner yang sangat dekat (bersahabat karib) satu sama lain. Soekarno pada tahun 1927 kerap datang dari Bandoeng bertandang ke Gang Kenari untuk menemui Parada Harahap. Mereka berdua adalah musuh berat intel dan polisi Pemerintah Hindia Belanda. Parada Harahap, jauh sebelum Indonesia merdeka memprovokasi Belanda dengan memimpin tujuh orang Indonesia ke Jepang tahun 1933. Setali tiga uang: dalam kasus pembebasan Irian Barat, Soekarno juga memprovokasi Belanda dengan berkunjung ke Amerika Serikat tahun 1956.

Bagaimana kisah persahabatan dua tokoh utama revolusioner Indonesia ini sejak muda hingga tua? Parada Harahap adalah mentor politik praktis Soekarno. Parada Harahap sejak 1927 telah menggadang-gadang Soekarno dan Hatta untuk menjadi pemimpin Indonesia. Dan, itu terbukti. Pada tahun 1954, ketika Indonesia belum memiliki Rencana Pembangunan (baca: Repelita), Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengangkat Parada Harahap untuk memimpin delegasi Indonesia untuk studi banding ke 14 negara di Eropa (minus Belanda). Hasil laporan studi banding ini menjadi buku Repelita pertama Indonesia. Pada tahun 1956 giliran Soekarno yang memimpin Indonesia ke Amerika Serikat.

Pada jaman pendudukan Jepang, hanya tiga tokoh Indonesia yang paling dipercaya oleh milter Jepang, yakni: Parada Harahap, Soekarno dan Mohamamd Hatta. Untuk itu pemerintah militer Jepang di Indonesia mengangkat Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Ketua Dewan dan Wakil Ketua Dewan Indonesia; dan Parada Harahap sebagai Koordinator urusan media untuk militer Jepang. Dua tokoh revolusioner yang berseberangan dengan Jepang adalah Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin Harahap. Dan mudah ditebak, ketika BPUPKI dibentuk Jepang, yang menjadi ketua adalah Soekarno dan wakil ketua M. Hatta. Tentu saja Parada Harahap menjadi anggota, Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 empat tokoh muda ‘adik-adik Parada Harahap’ ini menjadi empat orang pertama Indonesia (yang menjadi Founding Father Republik Indonesia): Soekarno (Presiden RI); Mohammad Hatta (Wakil Presiden RI); Sjahrir (Perdana Menteri RI pertama); dan Amir Sjarifoeddin Harahap (Perdana Menteri RI kedua). Lantas bagaimana itu bisa terjadi? Mari kita lacak peran Parada Harahap.

Dalam hal ini, sudah waktunya kita membersihkan sejarah kita, sejarah Indonesia yang disana sini penuh dengan berbagai kebohongan. Sejarah Indonesia dibangun untuk kepentingan tertentu oleh pihak-pihak tertentu. Para sejarawan masa lalu, langsung atau tidak langsung telah turut mengotori sejarah kita. Kini, pada era digital, semua fakta (data dan informasi) masa lampau dapat diakses. Semua hal terlihat terang benderang. Sejak ini, setahap demi setahap kita meluruskan sejarah, sejarah kita Sejarah Indonesia, agar next generation tidak tertipu. Era zaman now: semua statement harus ada bukti otentik yakni bukti tertulis (bukan katanya atau his story). Deskripsi yang panjang lebar ini akan anda temukan perbedaan esensial dengan apa yang ditulis di Wikipedia.

Parada Harahap Membongkar Poenalie Sanctie, Koelie Ordonantie dan Prostitusi Jepang di Medan: 1918

Parada Harahap tidak seperti pejuang-pejuang lain. Parada Harahap sangat peduli para persoalan eksploitasi dan berjuang untuk keadilan. Pada usia 17 tahun, Parada Harahap (lahir di Padang Sidempoean 15 Desember 1899) membongkar kasus Poenalie Sanctie, Koelie Ordonantie di perkebunan di Deli. Tulisan-tulisannya lalu dimuat di surat kabar Benih Mardeka yang terbit di Medan pada tahun 1918 dalam enam edisi pada bulan Februari dan Maret 1918. Lalu, surat kabar Soeara Djawa di Semarang melansir laporan tersebut yang dimuat pada bulan Juni. Heboh di Jawa. Atas kasus itu, diadakan penyelidikan: Parada Harahap dipecat sebagai krani (juru tulis dan juru buku) di sebuah onderneming (perusahaan) perkebunan.

Pada tahun 1918, Soekarno berumur 17 tahun (lahir di Soerabaja 6 Juni 1901). Soekarno duduk di HBS di Soerabaja. Pada tahun 1920 Soekarno memulai kuliah di Technischoogesschool di Bandoeng. Mohammad Hatta pada tahun 1918 baru berumur 15 tahun (lahir di Fort de Kock 12 Agustus 1902). Mohammad Hatta di Padang masih sekolah Mulo (setingkat SMP). Amir Sjarifoeddin tahun 1918 baru berumur 11 tahun (lahir di Medan 27 April 1907). Amir Sjarifoeddin duduk di sekolah dasa (ELS di Medan). Soetan Sjahrir pada tahun 1918 baru berumur sembilan tahun (lahir di Padang Pandjang 5 Maret 1909). Sjarir sekolah dasar.

Parada Harahap hijrah ke Medan akhir tahun 1918 dan melamar menjadi wartawan dan langsung diangkat menjadi editor Benih Mardeka. Pada bulan April 1919 Parada Harahap menggagas organisasi wartawan di Medan dan duduk sebagai sekretaris.

Parada Harahap adalah seorang petarung, setelah dipecat dari jabatannya sebagai karani di perusahaan perkebunan karena membongkar kasus poenale sanctie, Parada Harahap justru membuat tantangan baru menjadi jurnalis. Parada Harahap sadar tidak bisa sendiri dan harus muncul jkerjasama dan organisasi. Parada Harahap sangat mengutamakan dua hal persatuan dan keadilan. Hanya satu musuh bersama yakni imperialis/penjajah. Parada Harahap berlaku adil tidak hanya sesama (pribumi) tetapi juga terhadap orang Asia (seperti Tionghoa) dan juga orang Eropa. Gebrakan pertama setiba di Medan, Parada Harahap menengahi persaingan tidak sehat dalam bisnis antara pedagang Batak dan pedagang Minangkabau. Yang mungkin di uar dugaan adalah membongkar kasus praktek prostitusi Jepang. Parada Harahap yang merangkap editor surat kabar Benih Mardeka menulis editorial dan laporan tentang prostitusi wanita-wanita Jepang di Medan. Wanita-wanita Jepang didatangkan germo Cina dari Singapura untuk beroperasi di hotel-hotel kelas atas di Medan. Para wanita Jepang ini menjadi langganan para pejabat, pengusaha perkebunan dan wisatawan di Medan. Parada Harahap seakan telah membela harga diri Jepang di Medan. Kasus prostitusi ini malah sebelumnya tidak terdeteksi oleh Konsulat Jepang di Medan. [Kelak, sebagaimana kita lihat segera, berbalik Konsulat Jepang yang membela Parada Harahap di Batavia ketika menghadapi suatu kasus di pengadilan].

Atas laporan poenale sanctie, Benih Mardeka dibreidel. Parada Harahap pindah ke surat kabar Pewarta Deli. Pada bulan Juni 1919 Parada Harahap pulang kampung menjadi editor surat kabar berbahasa Batak, Poestaha. Surat kabar Poestaha didirikan oleh Soetan Casajangan pada tahun 1915.

Soetan Casajangan duduk di tengah (Leiden 1908)
Surat kabar Poestaha didirikan oleh Soetan Casajangan tahun 1915. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan lahir di Padang Sidempoean 30 Oktober 1874. Soetan Casajangan lulus sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean tahun 1887. Setelah mengabdi menjadi guru di Padang Sidempoean selama 17, pada usia 30 tahun, bulan Juli 1905 berangkat studi ke negeri Belanda untuk mendapatkan akta kepala sekolah. Pada tahun 1908, Soetan Casajangan mendirikan perhimpunan orang Indonesia (Indisch Vereeniging). Soetan Cajangan menjadi presiden dan Hussein Djajadiningrat sebagai sekretaris. Pada tahun 1911 Soetan Casajangan lulus dari Rijkskweekschool dan bekerja sebagai guru dan editor majalah Bintang Perniagaan. Pada tahun 1913 Soetan Casajangan menerbitkan buku berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh penduduk pribumi), Buku ini diterbitkan oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij di Baarn. Soetan Casajangan di Belanda dijuluki oleh para kademisi Belanda sebagai Een Inlandsch pionir in Nederland (pelopor pribumi di Belanda). Pada tahun 1914 Soetan Casajangan pulang ke tanah air dan diangkat sebagai guru Eropa di Sekolah Radja di Fort de Kock. Saat menjadi guru inilah, Soetan Casajangan kerap bolak-balik dari Fort de Kock ke Padang Sidempoean dan pada tahun 1915 mendirikan surat kabar Poestaha.  

Pada tanggal 4, 5 dan 6 Juli 1919 Parada Harahap menghadiri kongres pertama Sumatranen Bond yang diadakan di Kota Padang pada tanggal 8 Juli 1919. Pembina kongres ini adalah Dr. Abdoel Hakim (Nasution) (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-07-1919). Abdoel Hakim adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang. Dr. Abdoel Hakim lahir di Padang Sidempoean dan setelah lulus ELS Padang Sidempoean tahun 1898 melanjutkan studi ke Docter Djawa School di Batavia (sekelas dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo). Abdoel Hakim lulus menjadi dokter tahun 1905. Abdoel Hakim juga adalah Ketua NIP/PNI Sumatra’s Westkust (pendiri NIP adalah Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo). Ketua PNI Tapanoeli adalah Dr. Abdoel Karim (kelahiran Padang Sidempoean, alumni Docter Djawa School, sekelas dengan Dr. Abdoel Hakim dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo). Pada saat kongres Sumatranen Bond tahun 1919 ini Parada Harahap tentu saja bertemu dengan Mohammad Hatta. Parada Harahap mewakili utusan Tapanoeli dan Mohammad Hatta utusan dari Padang (baru lulus Mulo Padang).

Untuk sekadar diketahui Sumatranen Bond yang dimotori oleh Sorip Tagor Harahap dan didirikan di Belanda pada tanggal 1 Januari 1917. Ketua Sorip Tagor Harahap, sekretaris  Dahlan Abdoellah, bendahara Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Pada tanggal 8 Desember 1917 Sumatranen Bond didirikan di Batavia dengan ketua T. Mansoer dan wakil ketua Abdul Moenir Nasution. Sorip Tagor berangkat studi ke Belanda tahun 1914 setelah lulus Inlandschen Veeartsen School di Buitenzorg tahun 1912. Sorip Tagor keahiran Padang Sidempoean adalah suksesi Soetan Casajangan di Belanda. Lantas mengapa muncul Sumatranen Bond? Ini tidak lain karena perhimpunan seluruh mahasiswa Hindia Belanda (baca: Indonesia) Indisch Vereeniging telah digembosi. Boedi Oetomo (yang bersifat kedaerahan) yang semakin menguat, Indisch Vereeniging mulai ditinggalkan oleh mahasiswa-mahasiswa asal Djawa. Aksi inilah yang memunculkan reaksi dari Sorip Tagor Harahap untuk memunculkan Sumatranen Bond (Soematra Sepakat). Posisi Ketua Indisch Vereeniging. Dahlan Abdoellah seakan kehilangan jiwa. Akhirnya, Dahlan Abdoellah ‘menyeberang’ ke Sumatranen Bond (sebagai sekretaris). Indisch Vereeniging mati suri. Lalu pada tahun 1921, bersamaan dengan kedatangan Mohammad Hatta studi di belanda, Indisch Vereeniging diaktifkan kembali, yang mana sebagai ketua adalah Dr. Soetomo. Sorip Tagor adalah dokter hewan pertama Indonesia (kelak dikenal sebagai kakek Risty/Inez Tagor dan Deisti Astriani Tagor (istri Setya Novanto).

Sepulang Parada Harahap dari kongres Sumatranen Bond di Padang, lalu di Padang Sidempoean mendirikan surat kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Sinar Merdeka (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 02-09-1919). Berikut salah satu gebrakan Parada Harahap sebagai pimpinan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean.

Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919)
De Sumatra post, 28-11-1919 Van 'n redacteur en 'n controleur. Parada Harahap, editor Sinar Merdeka baru-baru ini langsung menghubungi Controluer Padang Sidempoean atas banyaknya keluhan masyarakat karena soal pembayaran untuk berobat. Parada bertanya, mengapa obat harus dibayar dan bahkan dokter di rumah sakit meminta harga yang lebih tinggi, padahal obat harus gratis.. Controleur menjawab bahwa obat pemerintah gratis. Lalu Parada mendesak apakah obat yang dikutip seperti struk ini dapat dikembalikan. Controleur ini menjadi marah: Apa yang Anda katakana itu, akan menyulitkan Anda, itu penting bahwa Anda tidak berlanjut, Anda tahu, tidak ada cara untuk mendapatkan begitu dekat dengan saya; Anda hanya tidak tahu bagaimana harus bersikap. Saya tidak suka Anda lihat di sini. P. Harahap menjawab bahwa ia adalah untuk kepentingan banyak orang yang telah mengajukan keluhan mereka kepadanya, dan untuk kekasaran bahwa kontroler dia akan mencatat bahwa P. Sidempoean bukan di Java atau di Rusia. Lebih lanjut dia mengatakan kepada controller bahwa sikap anda yang justru tidak memiliki kehormatan, lihat saya ini bukan gelandangan yang harus berdiri di sini, sementara begitu banyak kursi di sini’.

Dalam beberapa bulan di Padang Sidempoean Parada Harahap sudah berurusan dengan hukum dan dimejahijaukan. Ibarat kata: di Deli saja Parada Harahap berani membongkar kasus poenale sanctie dan membongkar praktek prostitusi Jepang, apalagi di kampungnya sendiri di Padang Sidempoean. Parada Harahap berbicara sesuai dengan nama dan motto surat kabarnya, Sinar Merdeka: Organ Ontoek Kemadjoean Bangsa dan Tanah Air.

Sementara itu, setelah kongres Sumatranen Bond di Padang, Mohammad Hatta melanjutkan studi ke Batavia. Mohammad Hatta pada bulan Mei 1920 naik ke kelas dua Handelschool di Prins Hendrik School Batavia (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie. 01-05-1920). Soekarno saat itu masih HBS di Soerabaja. Mohammad Hatta lulus (Bataviaasch nieuwsblad, 06-05-1921).

Dalam kongres berikutnya tahun 1921 Parada Harahap ketua Jong Sumatranen (Bond) cabang Tapanoeli turut hadir. Tentu saja Mohammad Hatta juga hadir karena bertepatan libur sekolah dan Hatta baru lulus HS di PHS. Ini terlihat dalam manifest kapal Willis dari Tandjong Priok terdapat nama M. Hatta turun di Padang (lihat De Preanger-bode, 25-05-1921). Singkat kata: Parada Harahap dan Mohammad Hatta sudah dua kali bertemu di kongres Sumatranen Bond di Padang (1919 dan 1921).

Setelah kongres Sumatranen Bond di Padang, Mohammad Hatta tanggal 2 Agustus berangkat studi ke Negeri Belanda dari Tandjong Priok ke Rotterdam dengan kapal Tambora (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-08-1921).  Mohammad Hatta tiba di Rotterdam tanggal 29 Agustus 1921 (Algemeen Handelsblad, 31-08-1921). Mohammad Hatta diterima di Nederlandsc Handelshoogeschool Rotterdam, dan lulus ujian handels-economie (Algemeen Handelsblad, 28-11-1923).

Parada Harahap Mendirikan Surat Kabar Bintang Timoer di Batavia: 1925

Setelah merasa yakin bahwa kampong halamannya bebas dari ketidakadilan, penduduk makin sadar akan haknya, Parada Harahap mulai menatap Batavia. Pelajaran jurnalistik Parada Harahap sudah selesai di Medan dan disempurnakan dengan inkubasi bisnis media di Padang Sidempoean. Parada Harahap juga sudah terbiasa berorganisasi baik di Medan (organisasi para krani dan organisasi wartawan) maupun di Padang Sidempoean (organisasi Sumatranen Bond wilayah Tapanoeli). Parada Harahap pada tahun 1922 hijrah dari Padang Sidempoean ke Batavia. Pada tahun 1923 Parada Harahap berkolaborasi dengan Dr. Abdul Rivai untuk mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Pada tahun 1924 Parada Harahap berkolaborasi dengan investor Amerika di Bintang Hindia (De Indische courant, 28-02-1924). Masih pada tahun 1924, Parada Harahap melebarkan sayap mendirikan kantor berita pribumi yang diberi nama Alpena (dengan editor WR Supratman, yang tinggal bersama dengan Parada Harahap).

Dr. Abdul Rivai adalah alumni Docter Djawa School tengah melajutkan studi kedokteran di Amsterdam. Pada tahun 1902 Abdul Rivai bersama Clockener Brousson menerbitkan majalah Bintang Hindia di Belanda. Pada saat kedatangan Soetan Casajangan di pelabuhan Amsterdam, Abdul Rivai menyambutnya. Beberapa hari kemudian, setelah Soetan Casajangan mendapatkan pemondokan menulis sebuah artikel di Bintang Hindia yang mana editor adalah Dr. Abdul Rivai. Inilah awal dua kisah seorang guru dan seorang dokter di Belanda. Umur mereka beda tiga tahun: Abdul Rivai lahir di 1871, Soetan Casajangan lahir tahun 1874. Dalam perkembangannya, Bintang Hindia bangkrut dan tahun 1909 diterbitkan majalah Bandera Wolanda dengan editor Soetan Casajangan. Pada tahun 1911 muncul majalah Bintang Perniagaan yang juga editor Soetan Casajangan. Masih di tahun yang sama Soetan Casajangan memenuhi permintaan Pemerintah Belanda untuk menjadi pengajar pertama dalam bahasa Melayu di sekolah bisnis atau School of Commerce (Handelsschool) yang berada di Rotterdam dan Haarlem. Sekolah bisnis ini kelak dimana Mohammad Hatta kuliah (mulai 1921). Majalah Bintang Hindia yang dulu digawangi oleh Dr. Abdul Rivai diterbitkan kembali di Batavia yang diduga merupakan hasil pembicaraan tiga pihak: Abdul Rivai, Soetan Casajangan (guru di Normaal School di Meester Cornelis) dan Parada Harahap.  Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan dan Parada Harahap berasal dari kampung yang sama: di Padang Sidempoean. Sebelum hijrah ke Batavia, di Padang Sidempoean menjadi editor surat kabar Sinar Merdeka dan juga surat kabar Poestaha (yang didirikan Setan Casajangan tahun 1915). Surat kabar Bintang Hindia di Batavia diterbitkan oleh Percetakan Bintang Hindia (yang diduga saham tiga pihak: Parada Harahap, Abdul Rivai dan Soetan Casajangan).

Parada Harahap mulai bertarung dengan pers Belanda. Ini bermula dari pers Belanda yang mulai ‘nyinyir’ dengan pers pribumi (yang sudah mulai berkembang). Parada Harahap juga membela seorang editor Tionghoa yang ditangkap intel/polisiBelanda dan menggagas didirikannya organisasi wartawan (De Sumatra post, 29-09-1925). Pertemuan pembentukan organisasi ini diadakan di gedung kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di Weltevreden. Organisasi wartawan sudah pernah dipelopori oleh Parada Harahap di Medan tahun 1918.

De Indische courant, 17-09-1925 (Indisch fascisme. Het blanke front): ‘Mr. Parada Harahap, editor Bintang Hindia, menulis dalam Java Bode tanggal 10 lalu dengan judul Kranten en Klanten (Koran dan Pelanggan) setelah posisi Lokomotif diambil oleh Soerabija HBL dengan operasi pasar di Semarang. Artikel ini di Soerabajasch Handelsblad dan Algemeen Handelsblad di Semarang. Parada Harahap mengatakan: ‘Sebagai pribumi, kemajuan negara-negara ini sangat dekat dengan hati saya, dan berusaha agar masyarakat tetap harmonis dari semua lapisan di HIndia, harus mencatat bawah saya pikir saya memiliki pemahaman, setidakanya mewakili wartawan dari pers Melayu. Mohon ijin saya harus member pendapat yang sama dikhususkan pada Soer. Hbld hari ini yang kesannya sikap yang diambil membahayakan kerjasama yang harmonis masyarakat di Hindia. Ini telah lama mengancam kepercayaan umum penduduk pribumi niat baik dari Belanda akan hilang di sini di Hindia, oleh tindakan beberapa pers Eropa/Belanda dan masyarakat ETI, terutama oleh cepat meluncurkan mereka dari tuduhan senegara mereka sendiri, yang mendukung keselamatan India dan rakyatnya dengan cara mereka, jika mereka bersalah mengkhianati rakyat dan negara mereka sendiri. Kesenjangan antara Timur dan Barat dan tidak sedikit Doori (tindakan yang dimaksudkan Anda dari Soer. Hbld) untuk membentuk sebuah front kosong, yang begitu banyak memiliki untuk menandakan tantangan resmi yang ditujukan kepada umat berwarna di Hindia. Bagaimana Pribumi dan disini yang mana Lokomotif, Cina berpikir, sempurna akrab bagi saya. Lokomotif adalah salah satu organ, menekankan sopan santun yang baik bagi kita. Dalam hal ini bagi kami adalah bukti bahwa tidak semua Belanda memusuhi kami, baik antar penduduk asli termasuk Cina, bahwa semua orang Eropa di Hindia kepercayaan rakyat tidak pantas berada sendirian dengan menunjuk ke item yang yang terdapat di Soer. Hbld. dan simpatisan nya. Memang benar bahwa Soer. Hbld. tidak hitam-putih terhadap pribumi, tetapi efek yang diperoleh oleh sesama seperti Mr Ant Lievegoed menunjuk sebagai anti-Belanda atau orang berbahaya bagi Nederlandsene di Hindia tidak berbeda dengan semakin yakin terletak di antara pribumi bahwa setiap pelatih asal Belanda, yang berusaha untuk kemajuan dan pengembangan tanah dan orang, dan yang tidak memperkuat depan putih, dan antagonisme abaian putih dan coklat, dengan bangsanya sebagai pengkhianat. Ini sekarang jelas tilisan anda  lebih berbahaya daripada tulisan wartawan pribumi. Pers ETI bergema di dunia asli tapi resonansinya jauh dari menguntungkan untuk hubungan timbal balik di Hindia. Menurut pendapat saya tugas pers putih sekarang jauh lebih besar dari sebelumnya, sekarang jadi harus memperhitungkan jutaan orang di Hindia, yang oleh pers sendiri dan melalui komunikasi yang lebih baik dan karena itu lebih menjamin kontak di antara mereka sendiri, akan diinformasikan diberitahu tentang apa yang terjadi di pers ETI tercermin apa yang mereka percaya sebagai yang kulit putih di wilayah ini. Anda telah mendorong ke arah fasisme. Hal ini unsur-unsur, seperti Komunis, akan datang untuk mengeksploitasi pernyataan tidak membantu seperti dan taktik dasar merusak mereka kemudian turun, dan digunakan sebagai alat propaganda. Soer. Hbld. Telah berusaha kebohongan, bahwa ada lebih kecurigaan terangsang antara pribumi melawan Belanda di Hindia? Bukankah sekarang delapan orang datang waktu untuk menahan suara seseorang dari journalistieken diucapkan sikap simpatik terhadap penduduk pribumi menunjukkan sikap yang menurut banyak pihak, melihat orang Barat telah mulai menaruh minat kompromi. Tapi kemajuan daerah ini telah membuat kemajuan besar juga, sudah ada terlalu banyak intelektual asli yang merupakan penilaian independen untuk mengetahui untuk membuat peristiwa politik saat ini dari yang klik taruhan reaksioner akan berani secara terbuka untuk keluar orang untuk prinsip-prinsip etika hanya sebagai musuh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, adalah komunisme jika diperlukan untuk membenarkan kampanye…Ada yang mau mengikut Aku, yang akan menyelesaikan pekerjaan saya ini?’. [artikel ini juga dilansir De Sumatra post, 24-09-1925].

Parada Harahap tampaknya telah menggantikan peran para seniornya dalam berjuang demi bangsa: Abdul Rivai dan Soetan Casajangan. Parada Harahap dengan cara dan keberaniannya sendiri serta didukung para senior semakin percaya diri di ibukota: Batavia. Pers Belanda juga mengakui kehebatan Parada Harahap. Parada Harahap sedang di atas angin, bahkan berani berkata: ‘Ada yang mau mengikut Aku, yang akan menyelesaikan pekerjaan saya ini’.

De Indische courant, 23-12-1925: ‘Sungguh luar biasa bagaimana kuat hari ini jumlah media di Jawa meningkat. Banyak yang tutup tetapi lebih banyak yang muncul. Semakin berwarna (nasionalis, keagamaan) dan juga khusus perempuan. Wartawannya juga bertambah pesat, bahkan wartawan Sumatra sudah mencapai 700 anggota. Sangat disayangkan oleh Parada Harahap dari Bintang Hindia dan kantor berita Alpena, yang merupakan wartawan terbaik dari Europeescbe pers, bahwa majalah aksara Jawa kurang diperhatikan oleh komunitasnya. Perjalanan jurnalistiknya ke Sumatera dan Selat Malaka baru-baru ini manjadi saksi ini’.

Kata-kata ini di hadapan pers Belanda tidak hanya untuk menentang Belanda tetapi juga untuk menantang kaum intelektual pribumi untuk bersama di belakangnya. Boleh jadi, reaksi Parada Harahap ini didengar oleh Mohammad Hatta di Belanda. Dan juga boleh jadi didengar oleh teman sekampungnya di Belanda. Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi yang baru lulus ujian desertasi dan mendapat gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum tahun 1925 di Universiteit Leiden (Radja Enda Boemi adalah doktor hukum Indonesia pertama).

Nieuwe Rotterdamsche Courant, 25-02-1926
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 25-02-1926: ‘Indonesische Vereeniging. Mengutip terbitan Februari ‘Indonesia Merdika melaporkan bahwa di Den Haag dewam baru serikat mahasiswa Hindia Perhimpoenan Indonesia (dikenal sebagai Indonesische Vereeniging) dibentuk pada bulan Januari dalam pertemuan tahunan, yang terdiri dari: Mohammad Hatta, ketua, A. Madjid, sekretaris, Aboetari, bendahara, Darsono, komisaris dan mr Soenario, wakil komisaris’.

Parada Harahap yang pada dasarnya baru 27 tahun (memulai karir jurnalistik sejak usia 17 tahun) sangat energik, berani dan sangat piawai berpolemik (adu argumentasi). Sejauh ini sudah ditunjukkannya kepada pers Belanda. Parada Harahap juga tentu berharap didukung para seniornya dari belakang, terutama Soetan Casajangan dan Abdul Rivai.

Deretan para intelektual lainnya asal Padang Sidempoean saat itu di Jawa khususnya di Batavia antara lain: Dr. Mr, Radja Enda Boemi Siregar Ph.D (kepala pengadilan di Semarang); Dr. Sorip Tagor Harahap (dokter hewan pribumi pertama di Bandoeng, lulus di Utrecht 1920); dua anggota Volksraad di Pedjambon: Dr. Alimoesa Harahap (dari dapil Tapanoeli) dan Mr. Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (dari dapil Oostkust Sumatra). Mangaradja Soangkoepon studi ke Belanda tahun 1910 dan lulus sekolah hukum.

Parada Harahap telah memiliki percetakan dan surat kabar Bintang Hindia (bersama Dr. Abdul Rivai) plus kantor berita Alpena (bersama Wage Rudolf Supratman). Sepulang dari lawatan jurnalistik di Sumatra dan Semenanjung, Parada Harahap menerbitkan buku dan mendirikan surat kabar baru tahun 1926. Buku Parada Harahap ini berjudul ‘Dari Pantai ke Pantai: Perjalanan Jurnalistik ke Sematra dan Semenanjung’. Buku ini tergolong buku kedua yang ditulis oleh seorang wartawan pribumi.

Wartawan pribumi pertama yang menulis buku adalah Dja Endar Moeda. Judul buku yang dimaksud adalah Riwajat Poelau Sumatra yang terbit tahun 1903 di Padang. Dja Endar Moeda adalah editor pribumi pertama di surat kabar investasi ETI (orang-orang Eropa) tahun 1897. Surat kabar tersebut adalah Pertja Barat yang terbit di Padang. Pada tahun 1900. Dja Endar Moeda mengakusisi surat kabar dan percetakan Pertja Barat. Dja Endar Moeda adalah editor peribumi pertama dan juga orang pribumi pemilik percetakan pertama. Editor pribumi kedua adalah Mangaradja Salamboewe, Pertja Timor di Medan tahun 1902. Editor pribumi ketiga adalah Tirto Adhi Soerjo, Pewarta Betawie di Batavia. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean. Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe adalah adik kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda kelak dijuluki orang sebagai Radja Persuratkabaran Sumatra. Tidak hanya memiliki Pertja Barat, juga Insulinde (1900) di Padang dan surat kabar berbahasa Melayu, Tapian Na Oeli (1900). Dja Endar Moeda juga memiliki surat kabar berbahasa Belanda di Padang (1905). Parada Harahap juga menerbitkan surat kabar Pembrita Atjeh di Kota Radja (1907). Selain menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda di Medan, Dja Endar Moeda menerbitkan surat kabar Pewarta Deli di Medan (1909). Saat Benih Mardeka dibreidel di Medan (1918) Parada Harahap pindah menjadi editor di Pewarta Deli sebelum pulang kampung di Padang Sidempoean untuk menerbitkan surat kabar Sinar Merdeka (1919). Kelak, sebagaimana kita lihat segera, Parada Harahap mendapat julukan dari pers Jepang sebagai The King of Java Press (1934). Singkat kata: di era kolonial Belanda, hanya ada dua raja surat kabar, yakni: Dja Endar Moeda dan Parada Harahap yang kebetulan keduanya kelahiran Padang Sidempoean. Keduanya juga sama-sama menulis buku fenomenal (yang bisa dibaca di internat sekarang)Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah Dja Endar Moeda adalah pendiri organisasi sosial kebangsaan (berisfat nasional) yang pertama di Padang tahun 1900 yang diberi nama Medan Perdamaian (jauh sebelum organisasi kebangsaan yang bersifat kedaerahan Boedi Oetomo tahun1908).

Buku ini menyajikan perkembangan masyarakat pribumi di Sumatra dan Semenanjung. Sebagaimana diberitakan Bataviaasch nieuwsblad, 27-07-1926, Parada Harahap dalam kata pengantar buku ini menyebut bertujuan untuk meningkatkan pengenalam Indonesia (baca: Hindia Belanda), terutama karena sejauh ini hanya penulis ‘orang luar’ yang melaporkan sehingga disarankan juga mempertimbangkan pendapat dari penduduk pribumi sendiri untuk didengar. Dengan harapan bahwa buku ini akan bekerja untuk pengetahuan lebih lanjut seperti geografi dan etnografi Kepulauan Nusantara.

Buku ini berisi ringkasan dari pengalaman yang diperoleh Parada Harahap selama perjalanannya dari Bengkulu hingga Aceh, Pulau Penang, Kuala Lumpur, Singapura dan kemudian Jambi dan Palembang. Penulisan buku ini dengan sendirinya telah melanjutkan upaya seniornya, Soetan Casajangan tahun 1913 yang menerbitkan buku di Belanda berjudul: berjudul 'Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia dilihat oleh penduduk pribumi) diterbitkan oleh Percetakan Hollandia-Drukkerij di Baarn.

Parada Harahap selain membuat langkah besar dalam bidang jurnalistik dengan menulis buku yang dapat dibaca secara luas dan disimpan lebih lama, Parada Harahap juga menerbitkan surat kabar baru yang diberi nama Bintang Timoer (Bataviaasch nieuwsblad, 07-08-1926). Disebutkan, surat kabar ini diterbitkan kepada pembaca diprakarsai oleh perjalanannya ke Sumatra dan Semenanjung. Surat kabar ini, sampai akhir Agustus sementara akan muncul seminggu sekali, untuk berikutnya belum diketahui. Surat kabar ini juga disertai suplemen untuk pembaca ETI (orang-orang Eropa) dengan pemuatan beberapa gambar. Surat kabar baru ini dengan cepat melejit dan telah mencapai tiras paling tinggi di Batavia. Tampaknya orang pribumi dan ETI telah mengenal baik dengan kepiawaian Parada Harahap di bidang jurnalistik. Sebagaimana kita lihat segera. Surat kabar Bintang Timoer terkesan lebih keras (revolusioner) dibandingkan surat kabar Bintang Hindia.

Mengapa memilih nama Bintang Timoer? Sulit diterka. Yang jelas surat kabar Parada Harahap yang lama, Bintang Hindia seakan tersirat sebagai bintang barat (masih berorientasi ke barat, Eropa). Sedangkan Bintang Timoer seakan menyuarakan dengan cara timur untuk meninggalkan Eropa/Belanda yang berorientasi ke timur, Asia, termasuk Indonesia. Apakah Parada Harahap sudah melakukan persahabatan dan kerjasama dengan orang-orang Jepang di Batavia? Bukankah Jepang berutang kepada Parada Harahap dalam kasus prostitusi Jepang di Medan? Atau, sebaliknya Jepang dan Konsulat Jepang di Batavia, Medan dan Soerabaja telah mengincar Parada Harahap untuk dijadikan sebagai agen mereka di Indonesia (melawan kekuasaan/imperialis Belanda)? Sebagaimana kita lihat segera, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab..

Dalam hubungan itu semua, Parada Harahap mulai berpikir siapa yang akan dijagokan (perlu digadang-gadang) untuk menjadi pemimpin Indonesia. Seperti kita lihat segera, Parada Harahap sudah mengidentifikasi dua tokoh muda: Soekarno dan Mohammad Hatta. Parada Harahap sadar bahwa dirinya hanyalah lulusan sekolah dasar di Padang Sidempoean, sementara Soekarno di Techisch Hoogeschool di Bandoeng (sejak 1921) dan Mohammad Hatta di Handels Hoogeschool di Rotterdam. Boleh jadi Parada Harahap melihat komposisi ini ideal: satu mahasiswa teknik dan satu mahasiswa ekonomi. Tentu saja itu kurang, diperlukan kandidat pemimpin dari mahasiswa hukum. Parada Harahap tampaknya tidak melirik Radja Enda Boemi, Ph.D, tetapi lebih memilih, seperti kita lihat segera, yakni bernama Amir Sjarifoeddin Harahap (1928).

Keluarga Amir Sjarifoeddin Harahap sudah dikenal Parada Harahap di Sibolga tahun 1919-1922. Ayah Amir Sjarifoeddin adalah seorang jaksa di Sibolga yang tidak bisa distir oleh pemerintah Belanda. Kakek Amir Sjarifoeddin bernama Soetan Goenoeng Toea adalah jaksa pribumi pertama di Kota Medan yang dipindahkan dari posisi jaksa di Sipirok tahun 1885. Ayah Amir memulai karir jaksa di Medan 1914 dan dipindahkan ke Sibolga tahun 1915. Dalam kasus-kasus delik pers yang dialami oleh Parada Harahap ketika memimpin surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean, jaksa Djamin Harahap gelar Baginda Soripada (ayah Amir Sjarifoeddin) kerap membantu. Meski Djamin Harahap bekerja untuk pengadilan pemerintah Hindia Belanda, tetapi Djamin Harahap tidak pernah memihak (dan bersikap adil, apa adanya). Boleh jadi karakter tiga generasi di keluarga Amir Sjarifoeddin, Parada Harahap memiliki preferensi terhadap karakter Amir Sjarifoeddin. Amir Sjarifoeddin sendiri lulus ELS di Medan dan melanjutkan studi ke Belanda tahun 1921 (Hatta juga berangkat ke Belanda tahun 1921). Setelah menyelesaikan tingkat SMP dan SMA di Belanda, Amir Sjarifoeddin melanjutkan ke sekolah hukum di Belanda. Amir masuk perguruan tinggi di Haarlem (1926). Namun baru naik tingkat dua, tahun 1927, Amir pulang kampong karena alasan ada masalah di dalam keluarga di Sibolga. Amir tidak kembali ke Belanda tetapi masih pada tahun 1927, Amir mendaftar di Rechthoogeschool di Batavia. Pada tahun inilah intesitas pertemuann Parada Harahap dan Amir Sjarifoeddin semakin tinggi. Kampung Parada Harahap dan kampung Amir Sjarifoeddin di Padang Sidempoean (timur) berdekatan.

Tonggak sejarah Indonesia Merdeka sendiri baru dimulai dibangun tahun 1928 saat mana Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior) diadakan di Batavia. Dalam radar Parada Harahap hanya terdapat tiga orang: Soekarno, Mohammad Hatta dan Amir Sjarifoeddin. Sementara nama Soetan Sjahrir belum muncul bahkan sama sekali belum terdeteksi. Nama Soetan Sjahrir kali pertama muncul, kelak pada tahun 1930 sebagai wakil ketua Persatoean Indonesia (PI) di Belanda (pasca kepengurusan Mohammad Hatta).

Het nieuws van den dag voor NI, 05-04-1930
Soetan Sjahrir disebut menyelesaikan ELS dan MULO di Medan. Setelah lulus MULO tahun 1926, Sjahrir melanjutkan studi AMS di Bandoeng. Pada tahun ini, Amir Sjarifoeddin lulus SMA di Belanda dan melanjutkan sekolah hukum di Belanda. Namun pada saat naik ke tingkat dua (1927) Amir harus pulang ke Sibolga karena masalah keluarga. Masih pada tahun ini, Amir masuk sekolah Rechthoogeschool di Batavia. Sementara itu, disebutkan pada tanggal 20 Februari 1927 Soetan Sjahrir (masih kelas dua SMS) dan kawan-kawan mendirikan Jong Indonesie yang kemudian disebut organisasi Pemuda Indonesia. Sebagaimana kita lihat segera, Amir Sjarifoeddin aktif di Persatoean Peladjar Indonesia (PPI) di Rechthoogeschool. PPI menjadi motor Kongres Pemuda 1928. Dalam kepanitiaan kongres, Amir Sjarifoeddin sebagai posisi bendahara. Selanjutnya, selepas SMA, Sjarir berangkat studi ke Belanda, pasca Kongres Pemuda. Lalu nama Sjarir terdeteksi di surat kabar tahun 1930 sebagai wakil ketua Persatoean Indonesia (PI) di Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-04-1930).

Praktis, Parada Harahap pada tahun 1927 hanya mengenal tiga pemuda revolusioner yang terbilang menonjol, yakni: Soekarno, Mohammad Hatta dan Amir Sjarifoeddin Harahap. Parada Harahap sejatinya memerankan fungsi seorang libero dalam tim sepakbola. Berada pada posisi tengah, mengupayakan kerjasama (teamwork) semua individu dan mengkoordinasikannya. Rajin dan lincah bergerak ke segala arah, ikut membantu pertahanan, mendampingi sayap-sayap dan mendorong penyerang untuk menciptakan gol. Sebagaimana penyerang, libero juga dapat melakukan tugas penyerangan. Parada Harahap nyata-nyata juga pemain sepak bola dan berposisi sebagai libero di dalam klub Bataksch Voetbal Club yang berkompetisi di Bataviasch Voetbalbond. Di dalam masyarakat luas, Parada Harahap seorang yang pemberani, santun dan luwes yang menjadi pegawai yang baik (mantan krani), jurnalis pemberani, aktivis dan organisatoris, penulis buku, pengusaha, politisi dan seniman.

Parada Harahap Mempersatukan Semua Organisasi Kebangsaan: 1927

Di Belanda, pada tanggal 17 Januari 1926 Mohammad Hatta terpilih sebagai ketua Perhimpoenan Indonesia (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 25-02-1926). Berita ini dikutip dari buletin bulanan bulan Februari Indonesia Merdeka, organ dari Perhimpoenan Indonesia. Berita ini di Batavia secara umum baru diketahui pada bulan April (De Indische courant, 03-04-1926). Kepengurusan Perhimpoenan Indonesia yang baru ini melakukan reformasi. Sebelumnya dilaporkan di Belanda didirikan Perhimpoenan Hakim Indonesia (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 23-03-1926). Organisasi ini adalah organisasi mahasiswa hukum (yang juga diduga tetap berafiliasi dengan Perhimpoenan Indonesia).

Perhimpoenan Indonesia diubah dari Indonesische Vereeniging pada tahun 1925 (era kepengurusan Soekiman Wirjosandjojo). Sementara Indonesische Vereeniging diubah dari Indisch Vereeniging pada tahun 1922 (pada saat pergantian pengurus dari Dr. Soetomo dan Herman Kartawisastra). Indisch Vereeniging sendiri didirikan tahun 1908 oleh Soetan Casajangan, seorang mantan guru di Padang Sidempoean yang melanjutkan studi ke Belanda tahun 1905. Indisch Vereeniging pernah menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Poetra. Pada tahun 1922 Hindia Poetra diterbitkan kembali di bawah pengasuhan Mohammad Hatta. Pada tahun 1924 nama majalah Hindia Poetra diubah menjadi Indonesia Merdeka yang tetap sebagai organ Indonesische Vereeniging. Kata merdeka untuk media bukan baru, jauh sebelumnya (1919) sudah ada nama surat kabar yang diberi nama Sinar Merdeka di Padang Sidempoean yang dipimpin oleh Parada Harahap. Sebelum Parada Harahap mendirikan surat kabar Merdeka, di Padang Sidempoean sudah ada surat kabar bernama Poestaha yang editornya adalah Parada Harahap. Surat kabar Poestaha di Padang Sidempoean didirikan tahun 1915 oleh Soetan Casajangan (pendiri Indisch Vereeniging). Soetan Casajangan boleh dikatakan pendiri pertama organisasi pelajar/mahasiswa, Indisch Vereeniging (1908), sedangkan untuk organisasi kebangsaan (masyarakat) yang pertama adalah Dja Endar Moeda di Padang tahun 1900 yang diberi nama Medan Perdamaian (jauh lebih tua dari organisasi kebangsaan Boedi Oetomo yang didirikan 1908). Format organisasi Boedi Oetomo adalah copy paste Medan Perdamaian (lihat Soerabaijasch handelsblad, 20-10-1908). Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah kakak kelas Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean.

Tentu saja berita ini turut menggembirakan Parada Harahap. Sebab antara Parada Harahap dan Mohammad Hatta sangat dekat. Mohammad Hatta memanggil Parada Harahap dengan ‘Om Parada’. Parada Harahap kemudian juga mereformasi medianya. Bintang Hindia diganti dengan penerbitan surat kabar yang baru, Bintang Timoer (Bataviaasch nieuwsblad, 07-08-1926). Dalam tempo singkat, surat kabar Bintang Timur dibawah perusahaan Bintang Hindia tirasnya melejit dan menjadi yang tertinggi di Batavia. Parada Harahap mencoba mengambil inisiatif untuk menghidupkan kembali Sumatranen Bond.

Parada Harahap mulai menghubungi para senior seperti Abdul Rivai dan Soetan Casajangan. Lalu menghubungi para anggota Volksraad antara lain Mangaradja Soeangkoepon dan Alimoesa.  Lalu diadakan pertemuan orang Sumatra di Welteverden (De Indische courant, 10-02-1927). Pertemuaan ini diadakan karena Sumatranen Bond sudah lama vakum. Komite sementara (formatur) terdiri dari Sutan Mohamad Zain, Parada Harahap dan Dr Abdoel Rivai. Pertemuan memutuskan susunan dewan Sumatranen Bond yang baru antara lain Soetan Mohamad Zain (ketua) dan Parada Harahap (sekretaris). Lalu kemudian pertemuan publik pertama diadakan di rumah Dr. Abdul Rivai (Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1927). Dalam pertemuan ini, Parada Harahap naik ke mimbar mewakili Residentie Tapanoeli. Anggota Volksraad di Pedjambon yang berasal dari Sumatra juga turut hadir dalam pertemuan ini. Tiga diantaranya (kebetulan anak Padang Sidempoean) adalah Todoeng (Harahap) gelar Soetan Goenoeng Moelia, wakil Batavia, Abdul Firman (Siregar) gelar Mangaradja Soeangkoepon, wakil Oostkust Sumatra dan Alimoesa Harahap wakil dari Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli en Residentie Atjeh). Catatan: mahasiswa pribumi pertama di Belanda adalah Abdul Rivai (1899); Soetan Casajangan yang kelima (1905). Sementara Mangaradja Soeangkoepon tiba di Belanda tahun 1910 dan kemudia disusul Soetan Goenoeng Moelia tahun 1911. Setelah mengabdi menjadi guru HIS di Kotanopan, Soetan Goenoeng Moelia melanjutkan studi doktoral tahun 1928 (saat Mohammad Hatta menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia). Soetan Goenoeng Moelia, saudara sepupu Amir Sjarifoeddin meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1933 yang kelak menjadi Menteri Pendidikan RI kedua (setelah Ki Hadjar Dewantara). Soetan Goenoeng Moelia adalah orang Indonesia ketujuh yang meraih gelar doktor di Belanda. Yang pertama ada Husein Djajadiningrat (1913), yang ketiga Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi (1925) dan yang keenam Ida Loemongga Nasution (1930). Husein Djajadiningrat dari Banten adalah sekretaris Soetan Casajangan di awal Indisch Vereeniging.

Parada Harahap, seperti halnya surat kabarnya Bintang Timoer meroket, sangat aktif untuk mendorong terbentuknya supra organisasi kebangsaan, organisasi nasional, Indonesia sebagaimana organisasi pelajar di Belanda telah menggunakan nama Indonesia, yakni Perhimpoenan Indonesia.

Pada tahun 1927 masih aktif kuliah di Handelshoogeschool Rotterdam. Soekarno baru lulus di Technischoogeschool di Bandoeng. Amir Sjarifoeddin Harahap tingkat dua di Rechthoogeschool Batavia (transfer dari Rechthoogeschool Belanda). Soetan Sjahrir masih duduk sekolah menengah (SMA) di Bandoeng. Ir. Soekarno di Bandoeng sudah mulai mengirim tulisan ke surat kabar Bintang Timoer di Batavia.

Pada bulan September 1927 dibentuk organisasi kebangsaan yang bersifat nasional. Organisasi supra kebangsaan ini disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia, disingkat PPPKI. Dalam pembentukannya, Mohammad Hoesni Thamrin didaulat menjadi ketua dan tentu saja Parada Harahap sebagai penggagas diposisikan sebagai sekretaris. MH Thamrin adalah anggota Volksraad dari dapil Batavia.

Mohammad Hoesni Thamrin dan Parada Harahap adalah sama-sama pengusaha. Usaha MH Thamrin bergerak di bidang perdagangan dan industri pengolahan di batabia. Sedangkan Parada Harahap pengusaha di bidang media dan percetakan. Parada Harahap adalah ketua pengusaha di Batavia (semacam Kadin pada masa ini).

Pertemuan pembentukan PPPKI diadakan di rumah Mr. Husein Djajadiningrat (yang sudah barang tentu turut dihadiri Soetan Casajangan, Direktur sekolah Normaal School di Meester Cornelis). Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D saat itu adalah salah satu dosen di Rechthoogeschool di Batavia.  Rumah Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat di Kramat tidak terlalu jauh.

Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927: ‘Minggu di Weltevreden para pemimpin yang berbeda dari Serikat pribumi bertemu di Batavia di rumah Mr Husein Djajadiningrat. Diputuskan untuk mendirikan organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari berbagai serikat pribumi, dengan ketua komite adalah MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Serikat yang hadir adalah Boedi Oetomo, Pasoendan, Kaoem Betawi, Sumatranenbond, Persatoean Minahasa, Sarekat Amboncher dan NIB (Perserikatan Nasional Indonesia).

Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat adalah senior para mahasiswa Indonesia keduanya adalah angkatan pertama di Indisch Vereeniging di Belanda. Pada awal pendirian tahun 1908 Soetan Casajangan sebagai Ketua dan Husein Djajadiningrat sebagai sekretaris. Soetan Casajangan menyelesaikan studi menjadi sarjana tahun 1911 dan Husein Djajadiningrat meraih Ph.D tahun 1913, Soekarno masik di sekolah dasar (ELS) di Soerabaya. Soekarno lulus ELS tahun 1915.  Pada saat ini (1927) Soekarno baru lulus di Technisch Hoogeschool di Bandoeng, Mohammad Hatta kuliah tingkat akhir di Handelschool di Rotterdam, Amir Sjarifoeddin kuliah tingkat awal di Rechthoogeschool dan Soetan Sjahrir masih SMA di Bandoeng.

Sebelum pertemuan tersebut muncul kesulitan mengajak Boedi Oetomo. Hal ini karena Boedi Oetomo adalah oraganisasi kebangsaan yang sangat besar (relatif terhadap organisasi kebangsaan lainnya). Sebagaimana kita lihat nanti, Parada Harahap meminta bantuan Dr. Radjamin Nasution membujuk Dr. Soetomo yang belum lama ini pulang studi dari Belanda. Dr. Radjamin dan Dr. Soetomo sewakru di STOVIA adalah teman sekelas. Sebaliknya, sebagaimana kita lihat nanti, Persatoean Minahasa, Sarekat Amboncher dalam pembentukan ini tanpa masalah tetapi dalam perkembangannya keduanya kurang respon. Sebagaimana kita lihat nanti, kurang tertariknya Persatoean Minahasa dan Sarekat Amboncher sangat disayangkan oleh Parada Harahap.

Stambuk Menjadi Indonesia
Kantor PPPKI ditetapkan di Gang Kenari. Lahan dan gedung tersebut merupakan sumbangan dari Mohammad Hoesni Thamrin. Gedung PPPKI ini kemudian lebih dikenal sebagai Indonesiesch Clubhuis (gedung ini masih eksis hingga ini hari di Jalan Kenari Salemba).. Parada Harahap sebagai sekretaris PPPKI yang merangkap kepala kantor di Gang Kenari hanya memajang di dinding tiga foto yang diduga menjadi idolanya, yakni Soeltan Agoeng, Soekarno dan Mohammad Hatta.

Mengapa harus Soeltan Agoeng, Soekarno dan Mohammad Hatta? Mudah ditebak. Soeltan Agoeng adalah pejuang masa lalu, Soekarno dan Mohammad Hatta adalah pejuang masa dekat. Parada Harahap sebagai seorang aktivis (berbagai organisasi) yang suka membaca dan seorang jurnalis tentu dapat memetakan masa lalu dan memproyeksikan masa datang. Khusus, untuk Soeltan Agoeng adalah terbilang salah satu angkatan awal sebagai pejuang (pribumi) melawan (kehadiran VOC) Belanda. Soeltan adalah pejuang paling agoeng awal-awal kehadiran Belanda. Bagaimana dengan Soekarno dan Mohammad Hatta? Itu yang tengah kita lacak dalam konteks hubungannya dengan Parada Harahap.   

Sementara Parada Harahap sangat aktif di PPPKI, pers Belanda terus menyorot sepak terjang Parada Harahap di media. Soal tanah air, banyak ahlinya, tetapi soal tanah air di media, Parada Harahap jagonya. Hanya Parada Harahap yang bergelora dan berani memainkan penanya yang tajam ke depan hidung pers Belanda.  Sejak tulisan Parada Harahap (tentang isu fascism) yang dimuat di Java Bode dan disarikan oleh De Indische courant, 17-09-1925, pers Belanda terus mengikuti sepak terjang Parada Harahap. Perang sesama pers (Pribumi vs Eropa/Belanda) terus memanas.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-11-1927 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘diskusi tentang mayoritas Indonesia, bahwa Indonesia adalah warisan nenek moyang, sebagai protes keras Parada Harahap dari Bintang Timur. ‘Jika Indonesia warisan nenek moyang, KW cs menganggap sebagai pemberontakan.. Jadi saya memahami komunikasi yang dilakukan oleh Pemerintah, bermain aman! Dan Anda? K.W’.

Ungkapan warisan nenek moyang sudah kerap digunakan Parada Harahap, bahkan ketika masih menjadi editor di Benih Mardeka di Medan dan Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Saat terjadi polemik Parada vs pers Belanda menyusul tulisan Soekarno yang dimuat di surat kabar Bintang Timoer. Soekarno tampaknya mulai keluar kandang untuk menyuarakan opininya secara terbuka ke publik. Mohammad Hatta sebelumnya di Belanda masih bersifat setengah berani.

Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 07-05-1926
Mohammad Hatta setelah menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia juga mulai gerah. Perhimpoenan Indonesia mulai melakukan propaganda di Prancis. Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 01-05-1926 melaporkan dengan judul Inconsequentie en Misleding (ketidaksesuaian dan pelanggaran) ada indikasi orang-orang Perhimpoenan Indonesia di Paris, Prancis saat melakukan kegiatan pameran melancarkan penolakan legitimasi otoritas Nederland di Hndia (baca: Indonesia), yang mereka masing-masing selalu menolak kerjasama dengan cara yang cukup menantang, anti Belanda dan tidak mengikuti sebagaimana sebelumnya. Lalu beberapa hari kemudian, untuk merespon tuduhan tersebut Mohammad Hatta menanggapi tuduhan di dalam berita itu.. Mohammad Hatta pada edisi Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 07-05-1926 bahwa itu bukan dari kami (Perhimpoenan Indonesia, red), tetapi dari pihak lain yang ada di Prancis. Tertanda Mohammad Hatta (Ketua Perhimpoenan Indonesia).

Soekarno Kerap Menemui Parada Harahap di Gang Kenari dan Parada Harahap Meminta Mohammad Hatta Mengumpulkan Semua Tulisan Dr. Abdul Rivai

Soetan Casajangan, Pionir Pendidikan Tinggi Indonesia (1913)
Technische Hoogeschool dibuka di Bandoeng pada tahun 1920. Pada awal perencanaan yang diterima di sekolah tersebut tidak termasuk pribumi. Namun jelang pembukaan tiba-tiba diakomodir dua mahasiwa pribumi, yakni R. Katamso dan R. Soeria Nata Legawa. Perkuliahan pertama di Technische Hoogeschool Bandoeng dimulai tanggal 3 Juli 1920 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-07-1920). Mengapa muncul tarik ulur soal pribumi? Tidak jelas. Namun yang jelas, pada bulan Oktober 1920 Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato di hadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tanggal 28 Oktober 1920, Soetan Casajangan, berdiri untuk kali kedua di hadapan para ahli/pakar Belanda dengan makalah 19 halaman yang berjudul 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Berikut beberapa petikan isi pidatonya:

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan...saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan [pemerintah kolonial]...’

Isi pidato ini tampaknya ditujukan untuk mengoreksi kebijakan pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng yang tidak memihak pribumi. Sebab isu saat itu soal ketidaksetaraan sangat menonjol pada sekolah tinggi teknik ini. Dalam daftar mahasiswa baru di tahun pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng hanya terdapat dua jatah pribumi. Saat itu Soetan Casajangan adalah Direktur Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara).

Pada tahun 1911, Soetan Casajangan, pendiri Indisch Vereeniging, baru saja meraih sarjana pendidikan, Soetan Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya.

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

    ..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

Pada tahun kedua tahun 1921 akhirnya Technische Hoogeschool te Bandoeng mengakomodir kandidat mahasiswa pribumi lebih banyak. Salah satu diantaranya adalah Soekarno (lihat De Preanger-bode, 08-05-1922).

Sementara itu, Mohammad Hatta tahun 1922 di Handelshoogeschool Rotterdam baru naik ke tingkat dua (masuk tahun 1921). Sorip Tagor lulus dari Rijksveeartsenijschool, Utrecht dan mendapat gelar dokter hewan (Dr) pada tahun 1920 (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920). Sorip Tagor Harahap adalah pendiri Sumatranen Bond di Belanda tanggal 1 Januri 1917. Mohamamd Hatta mengawali sebagai anggota Sumatranen Bond di Padang. Pada tahun 1922 muncul Vereeniging Indische Club, namun publikasi mereka akan dibatasi oleh Menteri Koloni (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 22-07-1922). Sepulang dari Belanda, tahun 1925 Dr. Soetomo tampak hadir dalam sebuah pertemuan yang diadakan studi klub di Soerabaja (De Indische courant, 23-02-1925). Pertemuan publik pertama turut hadir Mr. La Fontaine, asisten Residen dan Mr. JE Stokvis, anggota Volksraad dan banyak wanita. Dr. Soetomo membuka pertemuan dengan singkat dalam bahasa Melayu. Singgih mengambil podium yang pertama mengatakan bahwa Studie club adalah kebangkitan dari klub Intelektual. yang didirikan oleh RMH Soekono dan M. Soendjoto. Pada tahun 1923, sepulang Soetomo dari Belanda mendirikan klub studi Neu-Orientierung namun gagal karena kurang keberanian. Pada tanggal 12 Juli 1924 akhirnya RMH Soejono klub studi intelektual tersebut diganti nama Studieclub yang memiliki karakter Indonesia. Dalam pertemuan tersebut juga dilakukan pengabadian nama-nama dengan menggantung potret sejumlah orang di dinding, yakni potret orang-orang terkenal Diponegoro, Mangkoenegoro IV, Mangkoenegoro VI, Raden Adjeng Kartini, Dr. Wahidin, juga potret Doewes Dekker, Dr. Tjipto, Dr. Soewardi dan Tjokroaminoto.

Soekarno lulus pada tahun 1926 (Bataviaasch nieuwsblad, 05-05-1926). Ada empat nama pribumi yang lulus dalam daftar kelulusan yakni Anwari, Ondang, Soekarno dan Sutedjo. Soekarno melamar atau tidak bekerja untuk pemerintah.  Soekarno, Dermawan dan Anwari membuka Sekolah MULO di kampung Astana Anjar di Bandoeng. MULO ini buka setiap hari untuk anak-anak dan orang dewasa dari pukul 4 hingga 8 pagi kecuali hari Sabtu dan Minggu (De Indische courant, 26-08-1926). Tentu saja Soekarno sangat dikenal di kalangan orang Jawa dan kerana itu Soekarno diajukan oleh Boedi Oetomo sebagai salah satu dari tiga kandidat untuk Volksraad di dapil West Java  (De Indische courant, 23-09-1926).

Saat itu, banyak pribumi yang giat untuk mencerdaskan bangsa dengan inisiatif sendiri. Sekolah MULO milik pemerintah tidak cukup. Partisipasi ini yang dilakukan di Bandoeng oleh Soekarno dan kawan-kawan. Hal ini juga muncul di kota-kota lain seperti di Medan. Soekarno dan kawan-kawan juga mendirikan klub studi di Bandoeng yang diberi nama Algemeene Studie Club.

Pada tanggal 7 November 1926 di Bandoeng diadakan pertemuan publik pertama Algenieene Studieclub dengan tema ‘Politiek en Economie in de Koloniale Overheersching’ (Politik dan Ekonomi di dominasi kolonial). Pertemuan ini dilakukan di balairung yang dipenuhi sekitar 600 orang, termasuk 6 Belanda dan 3 Eropa serta 15 orang perempuan pribumi (Bataviaasch nieuwsblad, 08-11-1926). Pembicara antara lain Mr Stokvis. Dalam pertemuan ini juga turut hadir Goenawan, Mohamad Sanoessi, Soeprodjo, Soediro, Darmoprawiró Dr Tjipto dan Dr. Douwes Dekker. pertemuan itu dipimpin oleh Ir. Darmawan Mangun Koesoemo. Sementara pada panel duduk Ir. Anwari, Ir. Soekarno dan guru Kadmirah. Pidato Stokvis diterjemahkan Soekarno ke dalam bahasa Melayu. Pada intinya Stokvis memberikan gambaran tentang masa lalu dan kehadiran politik etika dan ekonomi terkait dengan dominansi Belanda dan pribumi masih tahap belajar. Srokvis berpendapat bahwa pribumi belum matang untuk menerapkan hukum dan prinsip tersebut, bahkan setengah kedewasaan belum bisa dikatakan. Dalam tanya jawab, Mohammad Sanoesi tidak sependapat. Dr. Douwe Dekker mengatakan klaim tentang ketidakdewasaan (hijau) atau kedewasaan (kuning) dari penduduk Hindia benar, kasusnya menurutnya, penduduk itu tidak merah. Soekarno mengibaratkan pinang ketika matang berwarna merah. Pertemuan ditutup pukul 12 oleh Ir. Darmawan Mangoenkoesoemo. Semuanya berakhir dengan lancar berkat kehadiran Komisaris. Stein dan wakil pembantu polisi R. Machmoed.

Pada tahun 1925 Partai Komunis Indonesia (PKI) dibentuk dengan tujuan untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Bulan November 1926 PKI melakukan pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Pimpinan PKI Alimin dan Musso tengah berada di luar negeri melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka. Ada beberapa hal yang tidak disetujui oleh Tan Malaka dalam pemberontakan tersebut. Pemerintah Belanda berhasil menahan pemberontakan dan kader-kadernya diasingkan, sebagian besar dikirim ke Boven Digoel. Dalam hubungan ini sebuah majalah Tionghoa melaporkan, untuk melokalisir pengaruh PKI, polisi mengawasi para pimpinan Algemeene Studie Club diantaranya Dermawan, Soekarno en Anwari Yang turut diawasi polisi di Bandoeng adalah advocat Sartono dan Soenarjo. Resident van Midden-Priangan menyangkal tuduhan tersebut (lihat De Indische courant, 14-12-1926).

Parada Harahap mulai kenal Soekarno ketika Soekarno mengirim tulisan ke Bintang Timoer (didirikan 1926; pemilik dan editor Parada Harahap). Ini sehubungan dengan semakin intensnya aktivitas Soekarno di Algemeene Studie Club di Bandung. Parada Harahap mulai melihat sosok dua pemimpin muda yakni Mohammad Hatta di Belanda (ketua Perhimpoenan Indonesia sejak 1926) dan Ir. Soekarno di Bandoeng (anggota Algemeene Studie Club sejak 1926). Hubungam antara Mohammad Hatta dan Soekarno belum terlihat. Parada Harahap sudah lama kenal dengan Mohammad Hatta, sementara Parada Harahap baru mulai kenal Soekarno.

Dalam konteks ini, Parada Harahap mulai menggalang persatuan tidak hanya diantara organisasi-organisasi kebangsaan (Sumatranen Bond, Boedi Oetomo, Kaoem Betawi, Pasoendan dan lainnya), Parada Harahap juga ingin organisasi-organisasi mahasiswa yang menjadi organ organisasi kebangsaan untuk menyatukan langkah menuju Indonesia Merdeka. Inilah yang mendasari, mengapa Parada Harahap berambisi segera mewujudkan persatuan. Lalu digagasnya dan terbentuk PPPKI tahun 1927. Singkat kata: Mohammad Hatta di Belanda, Soekarno di Bandoeng dan Soetomo di Soerabaja. Parada Harahap sendiri berada di Batavia. Sebagaimana kita lihat nanti, di Batavia Parada Harahap ‘mengarahkan’ Amir Sjarifoeddin dan Mohammad Jamin.

Parada Harahap pada satu sisi terus aktif membangun PPPKI, namun di sisi lain Parada Harahap terus membendung  serangan pers Belanda soal tanah air milik nenek moyang, soal persatoean dan munculnya partai politik. Anehnya, sebagian wartawan dari pers pribumi turut mendiskreditkan Parada Harahap dan lebih memihak pers Belanda. Parada Harahap tentu tidak sendiri, masih banyak orang-orang revolusioner seperti Soekarno dan Mohammad Hatta yang berani bertarung dan bersuara garang di publik. Musuh utama yang menjadi seteru polemik Parada Harahap adalah Karel Wijbrand (mantan editor Sumatra post yang kini, seperti Parada Harahap berkarir/hijrah ke Batavia). Pers Belanda terus menggarisbawahi statement-statement para revolusioner baik terdapat di media (seperti Bintang Timoer) maupun di rapat-rapat besar.

Algemeen Handelsblad, 01-10-1927: ‘Pekalongan, 1 Oktober (Aneta.) Dalam pertemuan lanjutan partai Sarekat Islam mengenai [sindirian dari pers Belanda] pembentukan ‘front kosong’, Ir. Soekarno berbicara atas nama Komite Sentral Perserikatan ‘Nasional Indonesia’ juga merespon tindakan itu di dalam pidatonya yang mangatakan ‘ingat bahwa itu oleh bagian pers putih ditolak’, Soekarno memiliki kesimpulan bahwa orang-orang itu [pers Belanda] takut untuk pembentukan wajah coklat, dan itu adalah tugas yang membentuk [baris] depan [kulit] coklat’...(sementara itu) dalam pertemuan itu, salah satu topik yang paling penting adalah apakah PSI akan bergabung dengan Liga (baca: partai-partai politik Indonesia) melawan imperialisme dan pemerintahan kolonial...’.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-11-1927 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘diskusi tentang mayoritas Indonesia, bahwa Indonesia adalah warisan nenek moyang, sebagai protes keras Parada Harahap dari Bintang Timur. ‘Jika Indonesia warisan nenek moyang, KW cs menganggap sebagai pemberontakan.. Jadi saya memahami komunikasi yang dilakukan oleh Pemerintah, bermain aman! Dan Anda? K.W’.

Parada Harahap tidak hanya diserang oleh Karel Wijbrand dan kawan-kawan dari depan, Parada Harahap juga, sebagian individu dari pers pribumi ‘menyerang’ dan mendiskreditkannya dari belakang. Hal ini karena Parada Harahap dianggap sebagai wartawan terlalu jauh terlibat dalam urusan politik dan telah menyimpang dari organisasi jurnalistik. Parada Harahap tampaknya tidak peduli. Parada Harahap sudah sejak lama menyadari dan telah memulainya dengan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean tahun 1919.

Gang Kenari menjadi pusat perjuangan Indonesia. Di gang inilah terdapat gedung tempat pertemuan dan kantor PPPKI. Gedung gang Kenari ini kerap disebut Indonesia Club. Kepala kantornya adalah Parada Harahap. Di gedung pertemuan ini hanya ada tiga foto yang dipajang di dinding: Soeltan Agoeng, Soekarno dan Mohammad Hatta. Ke gedung inilah setiap akhir pekan datang Soekarno dari Bandoeng. Sejauh ini, setelah berdirinya PPPKI, perlawanan hampir serentak terjadi di Belanda (Mohammad Hatta dkk), Bandoeng (Soekarno dkk) dan Medan (Abdullah Lubis dkk). Catatan: Abdullah Lubis adalah salah satu pendiri surat kabar Benih Mardeka di Medan tahun 1916. Dan sebagaimana kita lihat nanti di Soerabaja (Dr. Soetomo, Dr. Rdajamin Nasution dkk).

Dalam urusan politik, Parada Harahap tidak sendiri. Senior para mahasiswa yang juga cendekiawan ada di belakangnya, seperti Dr. Abdoel Rivai, Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat, Juga terdapat anggota Volksraad yang cukup vokal diantara para anggota Volksraad pribumi, yakni Mangaradja Soangkoepon, MH Thamrin dan Alimoesa Harahap. Mangaradja Soangkopen kerap berseberangan dengan anggota Volksraad JE Stokvis. Corong politik Parada Harahap tidak hanya Bintang Timoer di Batavia, tetapi juga Benih Timoer di Medan.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-01-1928 (Wat Gisteren in de Krant stond!...): ‘Artikel utama pada Benih Timoer, Medan, pada tanggal 15 Desember membahas lebih lanjut usulan tentang mayoritas penduduk pribumi, yaitu pertanyaan, apa yang harus terjadi jika tidak diterima oleh Statan General. Menurut editorial tersebut, Indonesia tidak duduk diam, tapi protes, dimana Regeering di belakang mereka. Dan sebagai wakil dari Opini publik memberikan opini editor itu lagi, bahwa Pemerintah di sini dan Belanda akan memahami karena suara rakyat adalah suara Tuhan. "Sekarang, yang terjadi adalah non-coperative! Tapi sepertinya yang satu jari tidak diberikan sekali dan untuk semua satu menangkap seluruh tangan. Benih Timoer ingin di semua dewan kota, mayoritas Indonesia.  Pewarta Dcli mengatakan, 12 Des. ‘Ketika editor setelah kekuasaan di tangannya, mereka akan dengan Indonesia mencoba mereka yang mengatakan mereka sudah matang, dan Belanda harus menonton. Dia menyebut [Abdullah] Lubis, [Mohammad] Samin, Soekirman; Tjokroaminoto, [Agoes] Salim, Ibrahim Lubis, Mohamad Joenoes di daerah dan Parada Harahap di pusat’ KW

Para cendikiawan tersebut aktif melakukan kontak dengan para mahasiswa. Dr. Abdoel Rivai dan Soetan Casajangan dengan mahasiswa-mahasiswa di Belanda. Sedangkan Husein Djajadiningrat dengan mahasiswa-mahasiswa di Batavia dan Buitenzorg. Dalam hubungan ini Parada Harahap merasa perlu untuk membukukan karya-karya Dr. Abdoel Rivai.  Parada Harahap meminta bantuan Mohammad Hatta di Belanda. untuk mengoleksi  semua tulisan-tulisan Abdoel Rivai. Kelak, Parada Harahap juga menulis memoar Abdul Rivai:  Riwajat Dr Abdul Rivai (oleh Parada Harahap). Handel Mij Indische Drukkerij. 1939.

Nieuwe Rotterdamsche Courant, 28-08-1928: ‘Mahasiswa Indonesia dl Eropa (Indonesische studenten  in Europa) telah mengoleksi tulisan-tulisan dr Abdul Rivai di surat kabar Melayu, Bintang Hindia di Batavia dari akhir 1926 sampai pertengahan 1928. Seluruh proses terhadap dilakukan oleh anggota dewan Perhimpoean Indonesia. Hal tersebut baru-baru ini diumumkan Hatta, juga mencakup kerja jurnalistik kontribusi terhadap pengetahuan tentang apa yang terjadi di lingkaran mahasiswa Indonesia. Dr. Abdul Rivai terus-menerus dengan mereka untuk berhubungan. Editor Bintang Hindia. Parada Hararap, telah menulis kata pengantar rekomendasi.

Mengapa posisi Abdul Rivai dan Soetan Casajangan begitu penting? Ini bukan semata-mata karena Parada Harahap kenal dekat kepada dua intelektual senior ini, dan juga bukan karena kedua tokoh ini bukan karena mereka terbilang pionir sebagai mahasiswa di Belanda, tetapi karena nyata-nyata sejak awal telah memiliki visi (Indonesia) yang jauh ke depan. Berikut statement Dr. Abdul Rivai.

Soerang koresponden De Sumatra post mewancarai Abdul Riavia di Amsterdam yang dimuat pada De Sumatra post, 11-06-1901: ‘Bagaimana anda bisa ke sini.. Jika seseorang lulus, mendapat diploma dokter pribumi (dokter djawa), seseorang memang memiliki judul yang terdengar ilmiah, tetapi keilmuannya kecil, masih membutuhkan banyak pengembangan. Saya sudah lima tahun menjadi dokter di tiga tempat yang berbeda, saya kira itu gagal, karena penduduk membutuhkan pengetahuan kedokteran yang lebih modern.,dengan sedikit tabungan saya berangkat ke Belanda untuk studi di Utrecht pada tahun 1899 agar mendapat gelar dokter (penuh) agar bisa lebih mandiri. Saya pindah ke Amsterdam tahun 1900. Namun situasi berubah, saya melihat penerangan dibutuhkan penduduk, saya mencoba agen publisitas sebagai wartawan. Pada bulan Juli 1900, pekerjaan jurnalistiknya dimulai dengan menerbitkan Pewarta Wolanda..publisitas pengetahuan di Belanda dibuat dalam bahasa Melayu. Sebab populasi inlandsche di Hindia pengetahuan tentang bahasa Belanda sangat rendah, juga karena kurangnya kesempatan untuk menikmati pendidikan yang layak di dalamnya, sebagian karena kebiasaan buruk Orang Eropa untuk menegur dan berbicara penduduk asli dengan bahasa Belanda dan selalu menjawabnya dalam bahasa Melayu. Ini sangat aneh, hingga saat ini orang Eropa.Belanda dan penduduk inlandsche hampir tiga abad bersama, tapi sayangnya belum hidup bersama.,,di sisi tampak orang Belanda lebih baik jika dibandingkan orang Belanda di Hindia...hubungan antara negara dan India sebenarnya membuat lebih kuat jika berdasarkan hubungan kehormatan moral yang tinggi, saling menghargai dan menghormati namun itu tidak jalan,,publisitas ini dicetak sekitar 19.000 eksemplar, dibagikan gratis di Hindia diantara penduduk asli dan Cina, pegawai negeri dan guru hingga bupati, beberapa orang Eropa seperti pegawai negeri’.

Dalam perkembangannya muncul kolaborasi antara Abdul Rivai dan Clockener Brousson yang mana masing-masing majalah mereka digabung dengan menerbitkan majalah baru bernama Bandera Wolanda. Akan tetapi tidak lama, pada tahun 1903 muncul investor baru Dr. AA Fokker yang sebelumnya telah mengunjungi kota-kota di Jawa dan kota Medan dan kota Padang. AA Fokker mengajak Dja Endar Moeda di Padang untuk merencanakannya di Belanda bersama Dr. Abdul Rivai. Sepulang Dja Endar Moeda dari Belanda tahun 1903, muncul majalah Bintang Hindia dimana sebagai editor adalah Dr. Abdul Rivai. Sementara tetap mengelola tiga medianya (Pertja Barat, Insulinde dan Tapian Na Oeli) Dja Endar Moeda menjadi koresponden Bintang Hindia di Padang. Dua tahun setelah Dja Endar Moeda ke Belanda, Soetan Casajangan berangkat studi ke Belanda tahun 1905. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschoo Padang Sidempoean.

Surat kabar Telegraaf mewawancara Soetan Casajangan di Amsterdam yang dilansir Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907 (hanya mengutip beberapa saja disini): ‘…mengapa anda mengambil risiko jauh studi kesini meninggalkan kesenangan di kampungmu, calon koeria [raja], yang seharusnya sudah pension jadi guru dan anda juga harus rela meninggalkan anak istri yang setia menunggumu…Anda tahu untuk masyarakat saya, masih banyak yang perlu dilakukan, kami punya mimpi, kami diajarkan dengan baik oleh guru [Charles Adriaan van] Ophuijsen….tapi kini masyarakat kami sudah mulai menurun dan melemah pada semua sendi kehidupan.. Saya punya rencana pembangunan dan pengembangan lebih lanjut dari penduduk asli di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda)..Saya mengajak anak-anak muda untuk datang ke sini (Belanda) agar bisa belajar banyak..di kampong saya kehidupan pemuda statis, baik laki-laki dan perempuan..dari hari ke hari hanya bekerja di sawah (laki-laki) dan menumbuk padi (perempuan)..Anda tahu dalam filosofi Batak kuno, kami yakin bahwa jiwa itu berada di kepala, dan karenanya kami harus tekun agar tetap intelek…’.

Majalah Bintang Hindia yang dulu terkenal menerangi penduduk pribumi di Hindia Belanda, pada tahun 1923 diterbitkan kembali oleh Parada Harahap dan Dr. Abdul Rivai dalam bentuk surat kabar. Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Timoer (yang lebih radikal). Dalam rangkaian inilah muncul ide Parada Harahap untuk mempersatukan bangsa dan terbentuknya PPPKI. Sebagaimana kita lihat, kini, PPPKI telah mengambil semua peran perjuangan untuk menuju kemajuan dan kemerdekaan. Hal ini karena sejak 1927 Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dinyatakan terlarang oleh pemerintah Hindia Belanda. PPPKI akan melakukan kongres pada tahun 1928. Kongres PPPKI (senior) ini akan disandingkan dengan kongres junior (Kongres Pemuda). Kongres PPPKI diketuai oleh Dr. Soetomo.

De Indische courant, 01-09-1928: ‘Pertemuan publik pertama PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia) utuk melakukan kongres di Batavia. Berbagai duta Negara sudah hadir dalam pertemuan ini. Tjokroaminoto dari PSI sudah hadir. Delegasi dari Sumatera Sarekat, Mr. Parada Harahap, managing editor Bintang Timur, di sini hari sebelum kemarin tiba dengan mobilnya. Kongres dibuka jam delapan di tempat terbuka yang dihadiri lebih dari 2000. Di antara mereka yang hadir kami melihat Tuan Gobee dan Van der Plas dari Kantor Urusan Pribumi. Perwakilan dari asosiasi dan istri kongres perempuan berlangsung di aula tengah bangunan situs. Untuk membuka sekitar 9:00 Dr Soetomo atas nama panitia menerima kongres. Soetamo mengatakan bahwa ini hasil dari diskusi pada konferensi berlangsung di Bandung pada tanggal 17 Desember 1927, ketika pembentukan PPPKI diputuskan. Pada konferensi bahwa rancangan undang-undang diadopsi dan menyerah PSI itu., PN1., BO, Pasundan, Sarekat Sumatera, Studi Indonesia, Kaoem Betawi dan Sarekat Madura sebagai anggota. Organisasi dalam pembentukan PPPKI berdasarkan nasionalis. Dengan seru: Hidoeplah Persatoean Indonesia (Hidup unit Indonesia) memutuskan spr. sambutannya. Kesempatan untuk PPPKI. untuk mengucapkan selamat kongres pertamanya. Ir. Soekarno, yang berbicara atas nama PNI (Perserikatan Nasional Indonesia), bersukacita dalam realisasi PPPKI karena pemisahan antara sana dan sini dan akan ditentukan lebih tajam. Delegasi dari Sumatera Sarekat, Mr. Parada Harahap, menyesalkan sikap pasifnya Minahassiscbe dan Amboineesche sebangsa..’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Parada Harahap Mengundang Mohammad Hatta di Kongres PPPKI (senior) dan Menempatkan Amir Sjarifoeddin di Kongres Pemuda (junior): 1928

PPPKI di Batavia terus menggalang persatuan. Pertemuan-pertemuan semakin kerap dilakukan di kantor PPPKI di Gang Kenari. Ir. Soekarno juga semakin kerap datang ke gang Kenari dalam rangka mempersiapkan organisasi kebangsaan yang baru Perserikatan Nasional Indonesia. Sudah barang tentu komunikasi antara Parada Harahap dan Soekarno semakin intens.

Soekarno di Bandoeng masih belum mononjol. Soekarno aktif sebagai sekretaris Algemene Studieclub. Pada bulan Februari 1927 diadakan rapat tahunan. Ketua yang baru adalah Ir. Anwari yang menggantikan Putuhena. Posisi Soekarno tetap sekretaris. Sekolah MULO yang didirikan Soekarno dan kawan-kawan tidak diketahui secara jelas. Namun Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-06-1927 melaporkan bahwa di Bandoeng telah didirikan Taman Siswa untuk MULO dan AMS mulai tanggal 6 Juli 1927. Kurikulum akan sesuai dengan AMS pemerintah. di Djokja dengan beberapa modifikasi. Pelamar yang tidak bersertifikat juga diterima tetapi dilakukan masa percobaan tiga bulan. Dipungut uang sekolah. Para pengajar antara lain Ir. Anwari, Ir. Soekarno, Mr. Soenarjo, Dr. Samsi Sastrawidagda dan Drs. Sosro Kartono. MOLO dan AMS Taman Siswa ini beralamat di Poengkoerweg 7.

Di Bandoeng muncul panitia Rapat Besar yang akan mempersiapkan kongres nasionalis di Bandoeng. Promotor adalah Ir. Soekarno dan Mr. Iskaq (Algemeen Handelsblad, 24-06-1927). Dalam fase inilah, didirikan Perserikatan Nasional Indonesia disingkat PNI, suatu organisasi kebangsaan yang diketuai oleh Ir. Soekarno yang juga masih anggota Alegemene Studieclub yang telah berubah nama menjadi Indonesische Studieclub. Rapat Besar yang rencananya diadakan pada Minggu pagi 15 Agustus 1927 di bioskop Oriental terpaksa batal karena bersamaan ada festival (Bataviaasch nieuwsblad, 10-08-1927). Rapat Besar sedianya akan dipimpin oleh Ir. Soekarno yang telah disepakati oleh sebuah komite yang berasal dari PNI, PSI, Boedi Oetomo dan Pasoendan. Rapat Besar ini disebut inisiatif PNI. Para pembicara sudah dilist seperti Dr. Tjipto, Ir. Soekarno, Ir. Anwari dan banyak anggota dewan lainnya dari Indonesische Studieclub dan organisasi kebangsaan lain yang turut hadir. Gagasan Rapat Besar ini muncul sehubungan dengan investigasi rumah-rumah mahasiswa di Belanda (lihat Nieuwsblad van het Noorden, 15-08-1927).  Dilaporkan bahwa rapat besar itu akan turut dihadiri oleh van der Plas van Inlandsche zaken dan Stokvis, inspecteur van het middelbaar onderwijs (Bataviaasch nieuwsblad, 15-08-1927).

Dalam fase inilah spirit non-cooperative semakin menguat diantara para revolusioner. PNI secara terang-terang menyebut non-cooperative. Sejarah kolonial telah berevolusi. Pada awal VOC perdagagan bebas (diawali di Banten), lalu kerjasama perdagangan (di Maluku), kemudian menginisiasi penduduk (di Jawa) lalu penduduk dijadikan subjek (di Sumatra’s Westkust). Pada era pemerintah Hindia Belanda (1800), sejak Daendels dan van de Bosch, eksploitasi Belanda sampai ke tulang sumsum. Pada awal 1900 muncul politik etik (terutama di Boedi Oetomo), Lalu muncul ide kerjasama West en Oost yang dipelopori oleh Soetan Casajangan (Indisch Vereeniging) yang kemudian melakukan protes coklat-putih. Setelah itu muncul spirit non-cooperative (gerakan kemerdekaan): Parada Harahap, Mohamamd Hatta dan Soekarno. 

Selama Rapat Besar di Bandung ditunda (sampai waktu yang ditetapkan), PNI terus melebarkan sayap. Pada bulan September diadakan pertemuan PNI di Djogjakarta (De Indische courant, 13-09-1927). Dalam pertemuan ini Soekarno menjadi salah satu pembicara. Apa yang menjadi tujuan PNI mulai terbuka. Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-09-1927 melaporkan bahwa Mr. Iskaq telah secara luas menjjelaskan bahwa tujuan dari PNI adalah untuk memperoleh Kebebasan Hindia (Vryheid van Indie te verkrijgen).

Ini berarti Soekarno tidak (lagi) mewakili Boedi Oetomo (kedaerahan) tetapi telah mewakili PNI sendiri (yang bersifat nasionalis). Jalan inilah yang menyebabkan kemudian antara Parada Harahap di satu pihak, Soekarno dan Mohammad Hatta di pihak lain yang memiliki visi sama yang berada di barisan paling depan. Parada Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond, Soekarno sebagai Ketua Perserikatan Nasional Indonesia dan Mohammaad Hatta sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia (di Belanda). Dalam kerangka itu, Parada Harahap di Batavia mempersiapkan pertemuan antara para pemimpin organisasi/partai kebangsaan Iddonesia. Dalam mempertemukan semua organisasi kebangsaan tersebut, hanya Boedi Oetomo yang sedikit agak sulit, karena para pemimpin Boedi Oetomo adalah organisasi kebangsaan paling besar. Melalui lobi Parada Harahap melalui Dr. Radjamin Nasution terhadap Dr. Soetomo maka Boedi Oetomo dapat mencair. Dr. Soetomo di Boedi Oetomo masih memiliki pengaruh besar, sebagaimana Dr. Abdul Rivai, Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat masih memiliki pengaruh besar pada perhimpunan pelajar di Belanda. Lalu hari Minggu 25 Juni 1927 di rumah Husein Djajadiningrat dibentuk PPPKI (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927).

Parada Harahap sebagai sekretaris PPPKI kemudian melakukan konsolidasi di dalam internal dalam kepengurusan PPPKI (supar organisasi yang baru). Konsolidasi tersebut termasuk mempformalkan administrasi organisasi (ke pemerintah), penyiapan gedung/kantor PPPKI (di Gang Kenari), kampanye PPPKI di media, serta mempersiapkan agenda besar pada tahun 1928.

Sementara itu, Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) terus berupaya untuk melebarkan sayap ke berbagai tempat, seperti Batavia, Djogjakarta, Pekalongan, Soerabaja dan lainnya. Bataviaasch nieuwsblad, 02-12-1927: ‘Minggu pagi pukul sembilan, Afdeeling Jacatra Perserikatan Nasional Indonesia mengadakan rapat propaganda publik di Cinema Palace di Krekot. Pembicara adalah Ir. Soekarno, Mr. Boediarto dan Mr. Sartono’. De Indische courant, 06-02-1928 melaporkan pendirian cabang PNI di Soerabaja.

Semua lini sama-sama bergerak. Dalam perkembangannya PPPKI ada kalanya disebut Permoefakatan Perhimpoenan Partai Kebangsaan Indonesia). Juga adakalanya disebut sebagai Permoefakatan Partai Politiek Kebangsaan Indonesia. Hal ini seiring dengan semakin banyaknya partai: PNI, PSI, PBI dan sebagainya.

Parada Harahap terus berperang (berpolemik) di surat kabar mewakili pers pribumi melawan pers Belanda. Mohammad Hatta di Belanda dengan intel/polisi Belanda dan Soekarno yang terus diawasi oleh polisi.intel pemerintah Hindia Belanda. Perang di media yang dilakukan Parada Harahap (terhadap pers Belanda) saat ini seakan mengulang apa yang pernah dilakukan oleh Dja Endar Moeda yang mengkritisi pers Belanda dalam kasus transvaal tahun 1899 (lihat Sumatra courant, 16-12-1899).

PNI terus menggebu-gebu meski pengawasan terhadap Soekarno dkk oleh intel/polisi Hindia Belanda semakin intens. De Indische courant, 06-02-1928 di gedung Indonesische Studieclub diadakan pertemuan propaganda Perserikatan Nasional Indonesia yang dihadiri sekitar 600 orang. Sejumlah pembicara tampil ke podium. Ir. Soekarno berbicara menjelaskan gagasan Indonesia tentang persatuan dan dalam hubungan ini merujuk pada PPPKI yang baru dibentuk. Dalam berita ini disebut PPPKI adalah Permoefakatan Partai Politiek Kebangsaan Indonesia dimana berbagai partai politik bergabung, termasuk PNI. Ir. Soekarno memulai pembicaraan yang dimulai dengan memberikan gambaran tentang perkembangan politik di Indonesia, dari pendirian Boedi Oetomo pada tahun 1908 hingga termasuk pembentukan serikat baru ini [PNI] dimana PNI memohon [kepada Boedi Oetomo] untuk bekerja sendiri. untuk melayani eksistensi Indonesia.

Ini mengindikasikan bahwa Soekarno yang berasal dari Boedi Oetomo/Jong Java (Jawa) menuju Indonesia (PNI), sebagaimana halnya Mohammad Hatta dari Sumatranen Bond (Sumatra) menuju Indonesia (PI) dan juga Parada Harahap dari Sumatranen Bond menuju Indonesia (PPPKI). Sebagaimana kita lihat segera, Amir Sjarifoeddin Harahap dari Bataksch Bond dari Tapanoeli menuju Indonesia (PPI=Pemoeda Peladjar Indonesia) di Batavia. Ini seakan kembali ke kittah, bahwa persatuan nasional (baca: Indonesia) adalah cita-cita semua anak bangsa dalam wadah organisasi tunggal (bersifat nasional): Medan Perdamaian yang didirikan oleh Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di Padang pada tahun 1900 dan Indisch Vereeniging yang didirikan oleh Radjioen gelar Soetan Casajangan di Leiden pada tahun 1908.

PNI tampak seakan berpacu dengan waktu. PNI melakukan pertemuan awal dengan membicarakannya dengan PPPKI  yang dilakukan di Bandung. Dalam pertemuan ini dihasilkan suatu manifesto yang akan dibicarakan pada kongres pertama PNI di Soerabaja pada 27 hingga 30 Mei (De Indische courant, 02-05-1928). Manifesto yang telah disiapkan oleh Ir. Soekarno dan Mr. Iskaq, masing-masing presiden dan sekretaris Perserikatan Nasional Indonesia terdiri dari sejumlah isu krusial. Isu-isu tersebut diantaranya juga isu-isu yang selalma sering disuarakan oleh Parada Harahap. Manifesto tersebut adalah sebagai berikut:

Kami meminta (1) kebebasan bergerak dari mesin cetak (media). Kebebasan berserikat dan berkumpul. Penghapusan hak luar biasa yang diberikan kepada gubernur. Penghapusan sistem mata-mata politik. Pemisahan administrasi, polisi dan keadilan. Pemisahan agama dan negara. Pembebasan orang-orang buangan politik. (2) Mempromosikan eksistensi bebas. Mempromosikan perdagangan domestik dan bisnis. Pengenalan peraturan pajak yang lebih adil. Undang-undang tenaga kerja yang lebih baik. Promosi irigasi. Pembentukan bank nasional. Pembentukan perkumpulan koperasi. Perlindungan tani terhadap perusahaan asing. Pelonggaran kemungkinan eksploitasi tidak ada lagi lahan oleh penduduk asli yang tidak mampu melakukannya. Mempromosikan eksodus orang Jawa ke bagian lain di Indonesia. Penghapusan sanksi hukuman, menurunkan tingkat gadai. Melawan riba. (3) Membangun sekolah nasional dan memerangi buta huruf. Memperbaiki nasib wanita. Administrasi peradilan yang lebih cepat dan lebih baik. Kompensasi untuk tersangka yang dilakukan secara salah. Peningkatan kualitas penjara dan reklasifikasi orang yang dihukum. Penghapusan hukuman mati. Penentuan gaji minimum dan pengenalan hari kerja delapan jam. Bagi hasil bagi pekerja di perusahaan besar. Dukungan dan penempatan kerja untuk orang yang menganggur. Perawatan pensiun orang tua dan miskin. Promosi pemantauan kesehatan. Penghapusan layanan opium dan pelarangan roh. Larangan pernikahan anak, mempromosikan pernikahan monogami.

De Indische courant, 02-05-1928 menyebut bahwa butir-butir (program) manifesto itu tampaknya ditulis oleh seseorang yang tidak pernah melihat-lihat di Hindia (terutama luar Jawa). Hal ini menjelaskan bahwa beberapa item yang tercantum, sudah periode puluhan tahun itu telah menjadi perhatian pemerintah, sementara yang lain ingin diajukan yang jika dipenuhimereka, untuk anggota PNI, itu akan sangat fatal. Orang yang dimaksud tersebut sudah tentu menuju kepada Soekarno (selain belum pernah ke luar negeri juga belum pernah ke luar Jawa).

Mungkin editor De Indische courant tidak memahami atau tidak mengetahui hubungan antara Parada Harahap dan Soekarno. Mungkin tidak sempat membaca buku laporan jurnalistik Parada Harahap ke Sumatra. Padahal di dalam buku ini puncak-puncak kemajuan pribumi dan kemerosotan penduduk dan sebab-sebab mengapa demikian disajikan secara berimbang. Isu-isu yang terdapat dalam maifesto itu banyak diantaranya merupakan isu-isu yang selama ini sering disuarakan oleh Parada Harahap baik di medianya Bintang Timoer maupun buku yang diterbitkannnya tahun 1926 berjudul Dari Pantai ke Pantai.. Ketidaktahuan sang editor (pers Belanda) menjadi pengetahuan di pihak lain (pers pribumi yang revolusioner).

Sehubungan dengan jelang kongres pertama PNI yang akan diadakan di gedung klub studi Indonesia di Soerabaja yang dimulai hari Minggu tanggal 27 Mei sejumlah agenda telah dirilis yang mana agenda pertama adalah pengesahan beberapa afdeeling baru di Sumatra, Kaliman dan Sulawesi (De Indische courant, 25-05-1928). Dalam agenda juga ada pertemuan tertutup di rumah Dr. Soetomo di Simpang Doekoeh 12. Agenda juga termasuk penting adalah penentuan posisi PNI dalam hubungannya dengan PPPKI. Sebagaimana diketahui PPPKI adalah organisasi kebangsaan, bukan organisasi politik. Lantas apakah PNI akan berubah menjadi partai politik?

Hasil kongres PNI di Soerabaja telah memutuskan bahwa Perserikatan Nasional Indonesia (organisasi kebangsaan) menjadi Partai Nasional Indonesia (partai politik) (De Indische courant, 20-06-1928). Meski demikian, singkatan namanya tetap PNI. Ini adalah suatu kemajuan, setelah sebelumnya Partai Komunis Indonesia dilarang, maka PNI sejauh ini menjadi satu-satu partai di Indonesia. Partai Komunis Indonesia pada awalnya bernama ISDV yang dibentuk 1914 dan pada tahun 1920 diubah namanya menjadi Perserikatan Komunis Hindia (pengurusnya kombinas Belanda dan pribumi). Pada tahun 1921 berkurang anggotanya karena SI melarang anggotanya menjadi anggota PKI. Pemerintah lalu membatasi kegiatan politik yang lalu mengakibatkan SI hanya fokus di bidang keagamaan. Pada tahun 1922 memimpin pemogokan nasional untuk semua sarikat buruh. Atas kejadian ini Tan Malaka ditangkap dan diasingkan ke luar negeri. Lalu partai komunis ini dilanjutkan oleh Semaun yang baru pulang dari luar negeri. Pada tahun 1924 nama Perserikatan Komunis Hindia diubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 melancarkan tujuan PKI untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Pemberontakan ini terjadi ketika pimpinan Ailimin dan Muso tengah berada di luar negeri untuk membicarakan dengan Tan Malaka. Pemberontakan ini dapat dilumpuhkan pemerintah dan menangkap para kadernya dan mengasingkannya ke Boven Digoel. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Nama PKI sempat muncul mengubah namanya menjadi Partai Rakjat Indonesia namun gagal karena kurang pengikut, sementara para pemimpinnya banyak yang dipenjara/diasingkan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 06-10-1927). Pada jelang ujung kisah PKI ini muncul gagasan Parada Harahap membentuk PPPKI yang mana kemudian anggota PPPKI yakni Perserikatan Nasional Indonesia berubah menjadi Partai Nasional Indonesia. Pada saat keberangkatan interniran PKI ke Digoel di Bandoeng tahun 1926 para anggota Algemeene Studieclub masih sempat menyaksikannya. Anggota klub studi yang menyaksikannya termasuk diantaranya Ir. Soekarno, Ir. Anwari dan Dr. Tjipto Mangoenkoesomo. Sejak itulah, para anggota klub studi memberuk organisasi kebangsaan PNI yang kemudian menjadi partai PNI. Catatan: Tan Malaka adalah salah satu pendiri Sumatranen Bond di Belanda tahun 1917 yang mana sebagai ketua Sorip Tagor, wakil ketua Dahlan Abdullah serta Soetan Goenoeng Moelia sebagai sekretaris. Saat Parada Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond tahun 1927 terbentuk PPPKI.

De Indische courant, 20-06-1928: ‘dalam pertemuan Partai Nasional Indonesia di Bandoeng, bendera baru PNl: merah dan putih, dua jaring horisontal, dengan kepala kerbau liar di tengah hitam. Partai PNI sekarang memiliki lima divisi (afdeeling), yaitu Batavia (Jacatra), Bandoeng, Jogja (Mataram), Soerabaja dan Chirebon, Dalam pertemuan itu Ir. Soekarno menjelaskan perubahan perserikan menjadi partai berbasis politik agar lebih jelas dan gamblang dalam pertimbangan panjang dominasi kolonial Indonesia oleh Belanda, Dan untuk mengakhiri ini, PNI menghendaki orang Indonesia untuk terampil dalam politik, sosial dan ekonomi. PNI untuk kemerdekaan dan kebebasan. Sama seperti di negara-negara Asia yang dominan lainnya, orang-orang disini juga merasa bahwa tindakan melawan sistem penindasan imperialis harus dilakukan dengan lebih giat dan lebih disengaja. Menurut Soekarno bahwa Belanda ingin menyebarkan peradaban Barat adalah bohong. Jika ingin menyebarkan peradaban, mengapa mereka tidak pergi ke kafirland, ke sebuah negara dimana orang-orang biadab yang membutuhkan peradaban, atau ke negara-negara di mana tidak ada penduduk yang tinggal. Negara ini tidak membutuhkan apa pun dari Barat! PNI secara langsung mempromosikan kebebasan Indonesia. Kami tidak percaya pada dewan sesuai dengan sistem pemerintahan saat ini, jadi tidak kooperatif adalah motto kami. Menekankan bahwa kesatuan semua bangsa di negara Indonesia ini diperlukan untuk mewujudkan rekonstruksi nasional yang diinginkan. Disebutkan Kongres berikutnya akan diadakan di Djokja pada 29 Juli. Pada tanggal 4 Juli ini, PNI genap satu tahun. Ini menandakan dalam satu tahun, boleh dikatakan Soekarno dan kawan-kawan telah menjadi Partai Nasional Indonesia yang diawal mula sebagai organisasi kebangsaan Perserikatan Nasional Indonesia.

Situasi yang dikemukakan oleh Soekarno inilah yang diinginkan oleh Parada Harahap ketika mengawali membentuk persatuan diantara oraganisasi-organisasi kebangsaan yang lahirnya PPPKI. Boleh jadi dalam hal ini Parada Harahap merasa PPPKI telah melahirkan anaknya yang disebut partai politik. Cita-cita Parada Harahap sejak membongkar poenale sanctie di Deli, mendirikan surat kabar Sinar Merdeka kini telah beralih ke tangan Soekarno, seorang revolusioner yang memang secara terbuka digadang-gadangnya sejak awal. Ini terlihat di kantor PPPKI hanya da tiga foto, yakni Soeltan Agoeng, Soekarno dan Mohammad Hatta.

Sementara itu Parada Harahap dan kawan-kawan di Batavia terus mengolah program PPPKI. Agenda terdekat PPPKI adalah melakukan kongres pertama yang akan diadakan bulan September 1928. Sebagaimana kita lihat segera, rangkaian proses kongres PPPKI ini juga berjalan rangkaian proses persatuan pemuda yang diagendakan akan melakukan kongres pada bulan Oktober 1928 di Jakarta.

De Indische courant, 08-09-1928: ‘Organisasi pemuda. Surat kabar Bintang Timoer melaporkan bahwa PPP1, federasi organisasi pemuda, terdiri dari Jong lslamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Batak dan Kaoem Pemuda Betawi, dalam pertemuan di Weltevreden, memutuskan pada bulan Oktober untuk mengadakan kongres pemuda di sana [Batavia] untuk membahas tentang isu-isu mengenai organisasi pemuda’.

Parada Harahap dalam bulan-bulan ke depan akan sangat sibuk. Tidak hanya menyiapkan agendea konges PPPKI tetapi juga mengkoordinasikan dengan pemuda yang juga akan melakukan kongres pada bulan Oktober 1928. Parada Harahap juga sangat sibuk sebagai editor surat kabar Bintang Timoer yang beralamat di Welteverden untuk mengarahkan setiap editorial dan pemberitaan dalam menggaungkan kongres senior (PPPKI) dan kongres junior (PPPI).

Manifesto Bandoeng, kongres PNI di Soerabaja telah mengubah PNI menjadi sebuah partai yang revolusioner. Dalam hubungan ini, di Belanda Perhimpoenan Indonesia mengaktifkan kembali organ organisasi, majalah Indonesia Merdeka (De tribune : soc. dem. Weekblad, 27-06-1928). Edisi majalah yang terbit (kembali) ini berisi ulasan politik, ulasan kerjasama dan non kerjasama. Disebutkan dalam editorial, sudah waktunya bergerak  lebih cepat. Ini bukan politik pasif Gandhi, tetapi kebijakan yang aktif, Gerakan nasionalis bergerak menjauh dari kebijakan kerjasama dengan pemerintah dan kelompok. Dr. Soetomo, yang menempati posisi ambigu pada titik ini, kemudian dengan tajam mengkritik organ mahasiswa Indonesia.

Sudah ada tiga matahari yang baru di Indonesia daerah tropis: Parada Harahap di Batavia, Mohammad Hatta di Amsterdam dan Soekarno di Bandoeng. Tiga matahari sudah menerangi penduduk pribumi, tetapi sangat menyengat di panas terik bagi orang Belanda. Di antara Parada Harahap ada dua tokoh revolusioner muda yang memiliki ilmu di perguruan tinggi: Mohammad Hatta di luar negeri dan Soekarno di dalam negeri. Meski antara Soekarno dan Mohammad Hatta tidak terhubung secara intens (jika tidak mau dikatakan belum pernah terhubung), tetapi peran Parada Harahap membuat keduanya dapat dihubungkan. Respon baik pertama terhadap Mohammad Hatta adalah ketika Soekarno di Perserikatan Nasional Indonesia di Bandoeng merencanakan rapat besar untuk protes terhadap polisi/intel yang menangkap para mahasiswa di Belanda. Soekarno juga tidak terlalu dekat dengan dunia kampus (mahasiswa Indonesia) di Batavia (yang jumlahnya cukup banyak di Geneeskundigeschhol, Rehcthoogeschool dan termasuk Inlandschen Veeartsen School di Buitenzorg). Di Bandoeng sendiri, mahasiswa Indonesia di Technischhoogeschool, almamaternya hanya sedikit mahasiswa pribumi. Ketidakdekatan Soekarno dengan mahasiswa ini diperankan oleh Parada Harahap. Selain dengan mahasiswa, Parada Harahap juga terkoneksi dengan beberapa dosen.

Di Rechthoogeschool Batavia, sejumlah mahasiswa dan dosen terkoneksi dengan Parada Harahap. Para mahasiswa antara lain Amir Sjarifoeddin, Mohamamd Jamin, SM Amin, Hazairin. Sementara dosen antara lain, Prof. Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D dan Mr. Radja Enda Boemi, Ph.D. Keduanya adalah dosen di Rechthoogeschool. Husein Djajadiningrat doktor (Ph.D) pribumi pertama di Belanda (lulus 1913) yang pernah menjadi sekretaris Soetan Casajangan di Indisch Vereeniging (1908) dan yang menyediakan tempat di Batavia (1927) dalam pembentukan PPPKI dimana diadaulat sebagai ketua MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Sementara itu, Alinoedin Siregar adalah doktor hukum pertama pribumi, lulus Ph.D tahun 1925 di Leiden.

PNI telah melakukan kongres pertama dan perayaan ulang yang pertama.  Kini gilirannya kongres PPPKI yang akan diadakan dan sekaligus perayaan satu tahun berdirinya PPPKI. Kongres PPPKI akan diadakan pada bulan September 1928 di Batavia. Seiring dengan kongres PPPKI (senior) ini juga direncanakan akan diadakan kongres perempuan dan kongres pemuda (junior). Ketua kongres PPPKI adalah Dr. Soetomo. Dalam kongres ini, Ir. Soekarno hadir dan memberikan pidatonya.

De Indische courant, 01-09-1928: ‘Pertemuan publik pertama PPPK (Permoefakatan Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia) untuk melakukan kongres di Batavia. Berbagai duta Negara sudah hadir dalam pertemuan ini. Tjokroaminoto dari PSI sudah hadir. Delegasi dari Sumatranen Bond, Mr. Parada Harahap, managing editor Bintang Timur, di sini hari sebelum kemarin tiba dengan mobilnya. Kongres dibuka jam delapan di tempat terbuka yang dihadiri lebih dari 2000 orang. Di antara mereka yang hadir kami melihat Mr. Gobee dan van der Plas dari Kantor Urusan Pribumi. Perwakilan dari asosiasi dan istri kongres perempuan berlangsung di aula tengah bangunan situs. Untuk membuka sekitar 9:00 Dr Soetomo atas nama panitia menerima kongres. Soetomo mengatakan bahwa ini hasil dari diskusi pada konferensi PPPKI berlangsung di Bandoeng pada tanggal 17 Desember 1927. Pada konferensi bahwa rancangan undang-undang diadopsi dan setujui oleh PSI, PN1., BO, Pasoendan, Sumatranen Bond, Studi Indonesia, Kaoem Betawi dan Sarekat Madoera sebagai anggota. Organisasi dalam pembentukan PPPKI berdasarkan nasionalis. Dengan seru: Hidoeplah Persatoean Indonesia (Hidup unit Indonesia) memutuskan spr. sambutannya. Kesempatan untuk PPPKI. untuk mengucapkan selamat kongres pertamanya. Ir. Soekarno, yang berbicara atas nama PNI (Partai Nasional Indonesia), bersukacita dalam realisasi PPPKI karena pemisahan antara sana dan sini [antara Indonesia dan Belanda] dan akan ditentukan lebih tajam. Delegasi dari Sumatranen Bond, Mr. Parada Harahap, menyesalkan sikap pasifnya Minahassiscbe dan Amboineesche sebangsa..’.

Lantas bagaimana dengan kongres para pemuda. Kongres pemuda akan diagendakan pada bulan Oktober 1928. Panitia kongres pemuda sudah dibentuk. Ketua adalah Soegondo, sekretaris adalah Mohamamd Jamin dan bendahara adalah Amir Sjarifoeddin (lihat De Indische courant, 08-09-1928). Kongres pemuda ini diinisiasi oleh PPPI (Perhimpoenan Pemoeda Peladjar Indonesia) yang merupakan gabungan semua organisasi pemuda. Dalam kepanitiaan ini mayoritas anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa Rechthoogeschool Batavia.

Pelaksana Kongres Pemuda tahun 27-28 Oktober 1928 adalah gabungan dari organisasi-organisasi pemuda baik yang mengatasnamakan pelajar maupun yang mengatasnamakan pemuda. Organisasi pemuda juga terdiri dari pelajar-pelajar. Oleh karena itu, pelaksana Kongres Pemuda tahun 1928 adalah pemuda dan pelajar yang dalam hal ini disebut Persatoean Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI). Organisasi PPPI ini adalah federasi organisasi-organisasi pemuda (lihat De Indische courant, 08-09-1928).

Dalam hubungan ini, PPPKI menjadi pembina panitia Kongres Pemuda. Husein Djajadiningrat dan Radja Enda Boemi adalah dua dosen di Rechthoogeschool, Sementara Parada Harahap adalah sekretaris PPPKI yang juga sekaligus ketua kamar dagang Batavia. Dugaan besar bahwa yang membiayai kongres pemuda adalah para pengusaha pribumi di Batavia. Hubungan PPPKI dengan panitia kongres adalah penempatan Amir Sjarifoeddin sebagai bendahara panitia.

Pada tahun 1927 Parada Harahap mendirikan organisasi pengusaha pribumi di Batavia yang sekaligus menjadi ketuanya (semacam KADIN pada masa ini). Susunan pengurus terpilih (1927): Presiden, Mr Parada Harahap (Bintang 'Timoer), Wakil Presiden Abdul Gani (industry perabaton), Sekretaris, Harun (Toko Haroen Harahap), bendahara, Dachlan Sapi'ie (Schoenenmagazijn Sapi'ie). Komisaris: MT Moehamad (Siloengkangwinkel), Tarbin Moehadjilin (Toko Djokja), Djelami Salihoen (ledikantenhandel). Sedangkan Bapak Thamrin bertindak sebagai penasihat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 16-09-1929).

Organisasi-organisasi yang tergabung dalam PPPI ini antara lain adalah Jong lslamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong-Batak dan Kaoem Pemoeda Betawi.

Jong Sumatra didirikan pada bulan Desember 1917 di Batavia dengan ketua T. Mansoer dan wakil ketua Abdoel Moenir Nasution. Sebelumnya pada bulan Januari 1917 didierikan di Belanda Sumatra Sepakat yang diketuai oleh Sorip Tagor. Pada tahun 1918, jelang pemilihan Volksraad, nama Sumatra Sepakat diubah menjadi Sumatranen Bond. Pada tahun 1919 didirikan Bataksch Bond oleh Abdoel Rasjid Siregar di Batavia. Pada tahun 1925 didirikan Jong Bataksch. Ini sejalan dengan perkembangan Boedi Oetomo (yang didirikan sejak 1908) yang melahirkan Jong Java (1916). Dalam hal ini Sumatra Sepakat/Sumatranen Bond melahirkan Jong Sumatra dan Bataksch Bond melahirkan Jong Batak. Pada tahun 1927 Jong Sumatranen Bond dibentuk kembali, tepat 10 tahun kelahirannya dirayakan di Soerabaja (lihat De Indische courant, 19-12-1927). Disebutkan nama asli Kong Sumatranen Bond adalah Persatoean Anak Sumatera. Tokoh-tokohnya adalah Mansoer, Amir, Mohammad Hatta dan Bahder Djohan. Masa jaya Jong Sumatranen Bond pada era trio Bahder Djohan, Diapari Siregar dan Abdul Gafar. Tokoh-tokoh Sumatra Sepakat/Sumatranen Bond yang paling awal adalah Sorip Tagor, Dahlan Abdoellah, Soetan Goenoeng Moelia dan Tan Malaka. Sumatranen Bond dibentuk kembali tahun 1927 dimana Parada Harahap sebagai sekretaris dan Mohammad Zain sebagai ketua. Parada Harahap sendiri tidak pernah anggota Jong Sumatranen Bond dan Jong Batak tetapi memulai anggota pada Sumatranen Bond (1919) dan Bataksch Bond (1922). Sebaliknya, Mohammad Hatta hanya Jong Sumatranen Bond sebelum menjadi Indisch Vereeniging/Perhimpoenan Indonesia.   

Dari organisasi-organisasi inilah dibentuk komite kongres (lihat De Indische courant, 08-09-1928).

De Indische courant, 13-09-1928: ‘De Indische courant, 13-09-1928: ‘Koran Melayu. Oleh NV Percetakan Bintang Hindia, Mr Parada Harahap direktur dan pemimpin redaksi dari Batavia mengeluarkan surat kabar Melayu Bintang Timoe, untuk Jawa Tengah di Semarang dan Jawa Timur di Surabaya sebagai edisi daerah. Mr Parada Harahap telah melakukan pertemuan lokal dalam rangka tujuan konferensi PPPKI. Selama perjalanan dan tinggal dengan tokoh terkemuka di daerah sangat antusias. Bintang Timoer sudah datang di sebuah iklan untuk kebutuhan yang staf diminta untuk kedua edisi tersebut’.

Parada Harahap selalu bekerja dengan caranya sendiri. Parada Harahap ingin cepat merdeka, itu saja. Apa pun dilakukan. Tidak hanya di sarikat dan pertemuan public, juga secara sadar memainkannya melalui media. Kini, Parada Harahap tidak cukup dengan Bintang Timoer di Batavia, Parada Harahap ingin juga dapat dibaca di daerah agar pesannya untuk merdeka dapat tertangkap jelas. Namun hal itu tidak berarti tidak ada tantangan, karena ada para pihak yang tidak senang.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 08-10-1928: ‘Editor koran Bintang Timur, Mr. Parada Harahap, dalam beberapa hari terakhir telah banyak berbicara, kata Pr. Bode, hampir semua dikutip koran/majalah Maleisehe dan menulis segala macam hal yang tidak menyenangkan baginya. Ada yang bahkan mengatakan bahwa Perserikatan Joernalis Asia di Djokja akan membahas perilaku ini pada pertemuan pada tanggal 6 bulan mendatang dan bukan tidak mungkin bahwa pertemuan ini akan diputuskan apakah Mr. Parada disanksi untuk hal yang dilakukannya untuk ditulis secara khusus perihal pertemuan publik’.

Pelaksana Kongres Pemuda 1928 adalah Komite Kongres Pemuda yang dibentuk dari gabungan organisasi-organisasi pemuda (PPPI).

De Indische courant, 08-09-1928
Ketua adalah Soegondo (sekolah hukum), Wakil Ketua, Djokomarsaid (sekolah hukum), Sekretaris, Mohamad Jamin (Jong Sumatra), Bendahara, Amir Sjarifoeddin (Jong Batak/sekolah hukum), anggota: Djohan Mohamad Tjaja (JIB/sekolah hukum), Senduk (Jong Celebes/STOVIA, J. Leimena (Jong Ambon/STOVIA) dan Robjini (Pemoeda Kaoem Betawi).

Kongres Pemuda puncaknya dilangsungkan di gedung  Indonesia Club di gang Kenari. Hasil keputusn Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 adalah berisi janji (sumpah) satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.

Sejatinya, dalam kongres pemuda ini termasuk PI di Belanda pimpinan Mohammad Hatta. Namun Parada Harahap meminta Mohammad Hatta untuk berbicara di Kongres PPPKI. Inilah waktunya Parada Harahap melihat Soekarno dan Mohammad Hatta berbicara dalam satu panggung. Akan tetapi, Mohammad Hatta berhalangan hadir. Untuk mewakili dirinya, Mohammad Hatta mengutus Ali Sastroamidjojo.  

Dalam kongres pemuda ini tidak hanya menghasilkan keputusan yang mana para pemuda dalam satu rangkaian nusa, satu ikatan bangsa dan satu penggunaan bahasa resmi, juga diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Kelak, lagu Indonesia Raya ini menjadi lagu kebangsaan Indonesia.

Wage Rudolf Supratman adalah ‘anak buah’ Parada Harahap. Pada tahun 1925, Parada Harahap mengajak WR Supratman dari Bandoeng untuk membantunya dalam rangka pendirian kantor berita pribumi (pertama), Alpena. WR Supratman menjadi editor sekaligus merangkap wartawan Alpena. WR Supratman sendiri tinggal bersama Parada Harahap di rumahnya. Sementara dalam kongres pemuda ini (1928), Parada Harahap, sekretaris PPPKI yang juga menjadi ketua pembina Panitia Kongres. Dalam kepanitiaan ini ini juga terdapat Mohamad Jamin (Sumatranen Bond) dan Amir Sjarifoeddin (Bataksch Bond). Parada Harahap adalah kader Sumatranen Bond dan juga kader Bataksch Bond. Sumatranen Bond didirikan di Belanda tagun 1817 oleh Sorip Tagor. Bataksch Bond didirikan di Batavia tahun 1919 oleh Abdoel Rasjid. Sorip Tagor Harahap, Abdoel Rasjid Siregar adalah kelahiran Padang Sidempoean yang sekampung dengan Parada Harahap.   

Tunggu deskripsi lengkapnya

Parada Harahap Terus Mengangkat Moral Soekarno Agar Tetap dalam Barisan Revolusioner: 1932

Setelah Kongres PPPKI (dan Komgres Pemuda) suhu politik makin naik, Sukarno semakin percaya diri (karena didukung PPPKI dan Parada Harahap juga semakin intens memperhatikan dan menyebarluaskan berita. Sukarno yang telah menjadi ketua PNI (nama Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia) semakin gencar bersuara di dalam berbagai kesempatan untuk berpidato tetapi juga semakin diawasi oleh polisi kolonial Belanda.

De tribune: soc. dem. Weekblad, 10-04-1929: ‘…telah terjadi perbedaan paham diantara anggota PPPKI yang mana Partai Sarekat Islam (PSI) dari golongan tua dengan yang lebih muda, Partai Nasional Indonesia (PNI). Hal serupa juga telah muncul segera kongres PPPKI yang dipimpin Soetomo antara PSI dengan Muhammadiyah. Perbedaan paham (keretakan) tersebut dipicu oleh pembentukan Dewan Dana Nasional yang diketuai oleh MH Tamrin, Sekretaris, Sartono dari PNI dan anggota Soetomo dari Boedi Oetomo, Singgih dari Kelompok Studi dan Otto dari Pasundan. Tujuan dari dana nasional ini adalah untuk bantuan finasial untuk diberikan kepada pemimpin kaum nasionalis. Dewan dana diberi mandat penuh untuk kebebasan bertindak, kecuali untuk keuangan, yang tetap bertanggung jawab kepada PPPKI. Selanjutnya, dewan pers akan dibentuk, dipimpin oleh Mr Thamrin, maksudnya adalah untuk membendung serangan pers terhadap pribumi, yang kemungkinan akan merugikan kepentingan nasional. Pembentukan dewan pers diambil keputusan dalam kaitannya dengan serangan yang akhir-akhir ini terhadap Dr. Soetomo yang menjadi ketua komite kongres PPPKI. Dalam hubungan ini Perhimpoenan Indonesia di Belanda dilibatkan untuk membuat propaganda di luar negeri. Liga PPPKI telah menjadi wahana pejuang untuk dukungan kemerdekaan Indonesia yang efektif. Kaum nasionalis Indonesia dalam hal ini sebagai tindakan permusuhan dan Perhimpunan Indonesia (di Belanda) cukup kasar dalam berpolemik’.

Sementara Sukarno semakin kencang suaranya, Parada Harahap sebaliknya sangat sibuk mengadministrasikan semangat pergerakan. Parada Harahap ke dalam (semacam kemendagri), MH Tamrin ke luar (kemenlu). MH Tamrin sebagai ketua PPPKI juga duduk sebagai ketua Dewan Dana Nasional dan ketua Dewan Pers. Sukarno, yang jago berpidato terus berpidato kemana-mana. Dalam pertemuan PPPKI di Djogja, tema utama adalah Poenale Sanctie. Sebagaimana diketahui masalah poenale sanctie kali pertama dibongkar oleh Parada Harahap di Deli tahun 1918. Dalam beberapa kesempatan perttemuan PPPKI, Parada Harahap masih menyoroti masalah ini karena ia masih terhubung dengan rekan-rekannya di Medan.

Soerabaijasch handelsblad, 02-09-1929: ‘Pertemuan PPPKI. Di Djokja malam Minggu ada pertemuan PPPKI yang dihadiri oleh 1500 orang. Ketua adalah Mr. Sujoedi, yang juga pembicara pertama. Dia berbicara tentang kontak antara PPPKI, Perhimpoenan Indonesia dan Liga (oragansiasi-organiasi kebangasaan) melawan tekanan dibawah imperialisme dan kolonial. Pembicara kedua, Ali memberikan pendapat hukum tentang poenale sanctie dan menyimpulkan bahwa ini adalah sisa perbudakan. Pembicara, Dr. Soekiman memberi pendapat politik tentang poenale sanctie. Sosro Soegondo mengajukan pertanyaan sugestif tentang imperialisme dan penindasan oleh pemerintah, yang mendorong polisi untuk turun’.

Pidato terakhir Sukarno sebelum ditangkap untuk kali pertama adalah pada Kongres PPPKI kedua di Solo tanggal 25-27 Desember 1929 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-01-1930).

Pada tanggal 29 Desember 1929 Soekarno dikabarkan ditangkap di Jogjakarta. Penangkapan ini hanya berselang dua hari setelah usai Kongres PPPKI kedua di Solo tanggal 27 Desember 1929. Sukarno baru disidang pada 18 Juni 1930 di pengadilan negara di Bandung. Sukarno dituntut empat tahun penjara (di Sukamiskin, Bandung). Ada sembilan belas sesi dan permohonan Sukarno "Indonesia Menggugat" sepotong terkenal, diterbitkan dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Indonesia (Nieuwsblad van het Noorden, 11-01-1969).

Sukarno yang menyebut dirinya ‘penyambung lidah’ rakyat Indonesia, Parada Harahap juga terbilang ‘penyambung lidah’ sepak terjang Sukarno dan kawan-kawan. Sebagaimana diketahuii Parada Harahap jelang Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda telah memperluas cakupan pemberitaan dengan menerbitkan Bintang Timoer edisi daerah Jawa Tengah dan edisi daerah Jawa Timur.

De Sumatra post, 11-09-1930: ;,,,sejak awal 1929 telah banyak pihak yang diintrogasi… Pembentukan lembaga Dana Nasional di bawah PPPKI dipertanyakan pihak Belanda dan Dewan Dana dianggap tidak wajar. Thamrin telah memainkan peran dalam PPPKI dan sudah mulai berkurang intensitasnya di Kaoem Betawi meski tidak sedikit anggota Kaoem Betawi yang mulai memprotes kontrak (keterkaitan Kaoem Betawi) dengan Fonds Nasional…Thamrin sendiri Dewan Dana Nasional lebih suka diberi nama Fond Oentoek Kaperloean Nasional. Dia mengakui bahwa Dana Nasional adalah panggilan yang benar-benar umumnya ditujukan mendukung gerakan Indonesia… (sementara itu) ada penunjukan wakil dari PPPKI untuk Eropa yang terpilih Perhimpoenan Indonesia?...(selama Sukarno di penjara) Soetomo ingin berbicara diam-diam dengan Sukarno..’

De Indische courant, 25-09-1930: ‘Volkscourant di Batavia, seperti yang kita baca di AID telah dijual kepada Mr. Parada Harahap. Sehubungan dengan ini maka Java Express (edisi Belanda Bintang Timoer) berhenti beroperasi. Volkscourant sekarang berpindah ke Krekot (markas Bintang Timoer). Aneta, 25 September melaporkan bahwa manajemen baru Volkscourant di Weltevreden akan terbit 1 Oktober dalam format yang lebih besar. Volkscourant adalah nama baru dari De Courant yang sebelumnya kepala redakturnya adalah A. Weeber’.

Kini Parada Harahap menyebarluaskan berita kebangkitan bangsa ke orang-orang Belanda dengan menerbitkan surat kabar berbahasa Belanda, Volkscourant. Surat kabar berbahasa Belanda ini tampaknya dimaksudkan untuk ‘menyerang’ pers untuk mengurangi beban MH Tamrin sebagai ketua Dewan Pers dalam membendung serangkan pers Belanda kepada orang-orang pribumi seperti Dr. Soetomo [serangan pers Belanda kepada Dr. Soetomo, karena selama ini Soetomo dan Boedi Oetomo banyak mendapat dukungan politik dan sokongan dana dari pemerintah/simpatisan Belanda].

Pers Belanda menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu (Indonesia) cukup banyak seperti surat kabar Pertja Barat di Padang tahun 1895, Pertja Timor di Medan 1902 dan Pembrita Betawi di Batavia 1903. Editor pribumi pertama Dja Endar Moeda (Pertja Barat, 1897); Mangaradja Salamboewe (Pertja Timor, 1902) dan Tirto Adhi Soerjo (Pembrita Betawi, 1903). Pers pribumi yang baru tumbuh dimulai oleh Dja Endar Moeda dengan mengakuisisi Pertja Barat dan percetakannya tahun 1899 dan kemudian menerbitkan dua media lainnya majalah Insulinde (di Padang) dan surat kabar Tapian Na Oeli (di Sibolga). Bagi Dja Endar itu tidak cukup, lalu pada tahun 1905 mengakuisisi Sumatra Nieuwsblad (di Padang). Surat kabar pribumi pertama berbahasa Belanda itu tersandung delik pers (1907) yang mana Dja Endar Moeda di hokum cambuk dan surat kabar itu akhirnya ditutup Dja Endar Moeda. Kini (1930), Parada Harahap mengulang success story seniornya Dja Endar Moeda (sama-sama kelahiran Padang Sidempuan) dengan menerbitkan Volkscourant di Batavia.

Seperti halnya Sukarno, Parada Harahap juga menjadi perhatian dan target poisi/pemerintah Belanda. Dua orang ini dianggap momok dan sangat membayakan. Sukarno memainkan kata-kata orasi yang tajam di lapangan (forum atau rapat-rapat), Parada Harahap memainkan pena yang tajam di media. Sebagaimana diketahui saat itu, Parada Harahap adalah radja media di Jawa (sebagaimana dulu Dja Endar Moeda sebagai radja media di Sumatra).

Soerabaijasch handelsblad, 03-01-1931: ‘Kami selalu melihat dia (Parada Harahap) sebagai orang ‘putaran suara’. Mungkin dia memiliki gagasan bahwa ia seperti lingkaran memiliki jumlah tak terbatas sisi. Direkturnya, yang giat Parada Harahap, yang populer disebut ‘Batavia Paradepap’ yang memiliki banyak delik pers sebagai pemimpin Bintang Timoer’.

Saat ini Sukarno masih di penjara, isu-isu baru agak tenggelam. Parada Harahap juga tidak banyak mendapat amunisi baru dalam surat kabarnya. Sukarno yang masih di penjara terus mengolah pikirannya di balik jeruji di penjara Sukamiskin. Parada Harahap beralih ke isu yang mana para wakil rakyat di parlemen (Volksraad) sangat penakut dan kurang greget. Parada Harahap mengomentari adanya tambahan anggota parlemen dari luar Jawa akan membuat suasana politik di parlemen semakin hidup dan garang (banyak yang tidur, seperti sekarang di Senayan).

De Sumatra post, 26-01-1931(De Buitengwesten in den Volksraad): ‘Editor Java Bode mengutip Bintang Timur yang mana Mr. Parada Harahap, editor pada tanggal 16 bulan ini menulis dengan judul ‘Djago Sabrang’ meski anggota dewan luar Jawa dan yang disebutnya provinsi bagian depan. Ini disebut ‘depan’ sehubungan dengan cukup dukungan untuk kepentingan di luar Jawa yang terletak tujuan Belanda – Inlandsch karena masing-masing dari mereka anggota dewan rakyat memiliki budaya yang diturunkan tidak jinak, tapi keberanian memiliki kepentingan umum terhadap siapa juga berdiri dari daerah luar sesuai Bintang Timur dilayani dengan baik. Para editor majalah menyambut hangat jabatan Dr Ratu Langi, M. Soangkoepon dan Soekawati, terutama dengan penambahan anggota Mukhtar, Dr. Abdoel Rashid dan Koesad. Echo kondisi bahwa orang-orang di dewan kepentingan kepulauan besar di luar Jawa akan dipromosikan lebih intensif dari sebelumnya dan prospek pengembangan wilayah akan datang lebih kedepan’.

Parada Harahap sebagai pejuang pers, merasa tidak cukup dengan hanya ada PPPKI (sebagai sekretaris) dan meski MH Tamrin juga telah membentuk Dewan Pers (kasus Soetomo yang terus di serang pers Belanda). Parada Harahap lalu menggalang kekuatan lewat para wartawan untuk mendirikan sarikat wartawan.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-07-1931 (Congres Inlandsche Journalisten): ‘Kongres wartawan pribumi pertama diadakan di Semarang pada 8 Agustus. Kongres ini diketuai oleh jurnalis Semarang, sekretaris, jurnalis Sumatra, Paroehoem. Program: editor Bahagia Semarang, Pak Yunus, akan mengadakan kuliah tentang: "Jurnalisme dan pengembangan bisnis surat kabar"; Haji (Agus) Salim akan berbicara pada "Jurnalisme dan kode etik; RM Soedarjo tentang ‘Orang-orang dan Jurnalisme; Maradja Loebis: ‘Jurnalisme dan kehidupan sosial’; Saeroen, Siang Po: ‘Jurnalisme dan gerakan rakyat’ dan Parada Harahap: "Jurnalisme dan ekonomi’, sementara editor Soeara Oemoem akan berbicara pada ‘Jurnalisme dan malaise. Kemudian, organisasi wartawan dibentuk dengan Mr Saeroen sebagai ketua dan Bapak Parada Harahap sebagai sekretaris dan (merangkap) bendahara. Komisaris adalah  Bakrie, Yunus dan Koesoemodirdjo’.

Parada Harahap bukan asing dalam soal urusan bersarikat di bidang pers. Parada Harahap pada tahun 1918 di Medan pernah mendirikan sarikat wartawan yang merupakan gabungan pers pribumi dan pers Tionghoa untuk membendung tekanan pers Belanda. Setelah 13 tahun, Parada Harahap membentuk lagi sarikat wartawan. Alasannnya selalu sama: melawan pers Belanda. Hal yang sama juga: Parada Harahap selalu menyertakan Tionghoa. Itulah Parada Harahap, nasionalis yang musuhnya hanya satu: Belanda. Meski di satu sisi Parada Harahap selalu disorot pers Belanda dan menekannya, namun di sisi lain pers Belanda juga cover both side dan memberikan penilaian sesuai dengan kode etik pers (independen). Sebagaimana pers pribumi, pers Belanda juga ada paksi-paksinya yang satu sama lain adakalanya memiliki pandangan yang berbeda.

Soerabaijasch handelsblad, 15-09-1931: ‘Wartawan muda Batak Parada Harahap, direktur dan editor Indonesisch nationalist meskipun ia mungkin dalam berbagai artikel mencerahkan bagi nasionalisme untuk hari yang akan datang, dia berada di atas semua realis. Dia melakukan, tanpa menjauhkan apa yang disebut orang Prancis il prend son bien öu il le trouve. Dia dengan senang hati merekomendasikan contoh Barat saat ia menemukan berguna, dan memuji dan menghargai dimana ia menemukan sesuatu untuk memuji dan menghargai, bahkan jika itu adalah dengan orang Eropa. Singkatnya, ia praktis dan turun ke bumi dan karena itu sangat dibenci dan kadang-kadang - dengan permukaan cemburu pada perusahaannya yang berjalan dengan baik - dibenci oleh orang-orang mabuk nasional. Yang menyebut dirinya nasionalis, tapi kutukan dan berkampanye untuk melukai dia. Ada banyak kebencian, persaingan dan kecemburuan dan disebut beberapa kejanggalan dan bertindak tidak sopan di pihaknya’.

Soerabaijasch handelsblad, 05-11-1931 (Een en ander over de Inlandsche Pers): ‘Bintang Timur telah menjadi salah satu yang terbaik adalah hanya karena Parada Harahap’.

Sejak penangkapan Soekarno pasca Kongres PPPKI di Solo. Kegiatan politik sedikit kendor. Semua pihak perhatiannya diarahkan terhadap sidang-sidang Soekarno di pengadilan. Kantor PPPKI di gang Kenari juga sedikit merana karena kegiatan yang selama ini ramai menjadi fokus kepada Soekarno.

Dalam ketidakhadirannya PNI telah hancur. Partai ini secara resmi dibubarkan (pada saat Kongres kedua PNI 25 April 1931). Sebagai gantinya didirikan Partai Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Sartono. Parada Harahap sebagai kepala kantor PPPKI tentu sangat menyesalkan tindakan Sartono sementara Soekarno berada di penjara. Parada Harahap lalu mengajak Mohammad Jamin dan Amir Sjarifoeddin membicarakan soal nasib PNI. Bataviaasch nieuwsblad,     02-05-1931 melaporkan PPPI melakukan pertemuan publik di Gedoeng Permoefakatan (PPPKI) di gang Kenari dengan tema ‘beschouwingen betreffende het PNI vonnis (Pertimbangan Mengenai Keputusan PNI). Salah satu pembicara adalah Parada Harahap.

Saat ada pemberitaan bahwa hukuman Soekarno dikurangi, Parada Harahap seakan ingin mempersiapkan ruangan bagi Soekarno di gang Kenari. Namun apa yang terjadi, Parada Harahap kaget melihat kantor PPPKI (yang sudah lama terabaikan).

De Indische courant, 27-11-1931 (De nationalist Hatta):’Di antara pemimpin cemerlang, Hatta, seorang Sumatra, dianggap oleh banyak kalangan, setelah Ir Soekarno sebagai yang paling sesuai sebagai pemimpin Inlandsch baik saat ini maupun masa datang. Di dalam gedung pertemuan permufakatan di gang Kenari, potret Ir. Soekarno dan Diponegoro telah dipajang bertahun-tahun, diambil dari dinding dan disembunyikan di bawah. Tindakan ini telah membawa banyak keributan di antara penduduk pribumi, bahkan wartawan Parada Harahap di majalahnya menulis dalam ‘Surat Terbuka’ telah menginformasikan bahwa, saat melihat tempat pajangan telah kosong, air mata menangis dan pelaku  diduga telah melakukan tindakan kejahatan keji ini dan akan dicari di kalangan partai. Mr. Sartono menyangkal semua itu tindakan partainya dan menolak untuk menaruh sendiri potret itu (kembali) ke tempat asalnya. Dan sekarang bahkan potret Hatta telah berdebu di bawah meja’.

Dalam berita ini terkesan bahwa Sartono tidak menginginkan kembali Ir. Soekarno maupun Mohammad Hatta. Namun kenyataannya tidak semua eks anggota PNI setuju pemburaran PNI (Soekarno) dan juga tidak mengikuti partai baru (Sartono). Mereka ini menyebut diri sebagai ‘golongan merdeka’.  Golongan ini kemudian yang diinisiasi oleh Sjahrir dan kawan-kawan menjadi partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Ini terjadi pada tanggal 25-27 Desember 1931 dalam sebuah konferensi yang diadakan di Jogjakarta dengan Soekemi sebagai ketuanya.

Nama Soetan Sjahrir tidaklah terlalu dikenal. Nama Sjahri baru muncul pada tahun 1930 di Belanda dalam pengurus baru Perhimpoenan Indonesia sebagai wakil ketua. Seementara yang menjadi ketua adalah Roesbandi (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-04-1930). Kepengurusan baru ini menggantikan kepengurusan seblumnya yang dipimpin oleh Mohammad Hatta (1926-1930). Nama Amir Sjarifoeddin sudah jauh lebih dikenal sebagai mahasiswa rechthoogeschool di Belanda (1926-1927) dan transfer menjadi mahasiswa Rechthoogeschool di Batavia)1927). Pada tahun 1928, Amir Sjarifoeddin sebagai anggota PPPI yang kemudian duduk sebagai bendahara panitia Kongres Pemuda 1928. Pada tahun 1928, Sjahrir masih duduk di sekolah menengah (AMS) di Bandoeng. Lalu nama Sjahrir muncul di Bandoeng pada tahun 1931 (Het volk: dagblad voor de arbeiderspartij,        18-02-1931). Sjahrir ikut dalam gerakn protes terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mengkampanyekan buruh untuk melawan pemerintah dan menyampaikan rasa simpatik kepada eks pemimpin PNI yang telah menyuarakan melawan imperialis dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Hukuman Soekarno benar-benar dikurangi dan Sukarno dibebaskan pada 31 Desember 1931. Parada Harahap sumringah, karena tidak hanya Soekarno yang dibebaskan, tetapi Mohammad Hatta juga dikabarkan akan pulang ke tanah air, Parada Harahap adalah orang yang merasa pertama kehilangan Soekarno selama di penjara. Parada Harahap merasa tidak cukup dengan hanya Mohammad Hatta. Parada Harahap masih konsisten membutuhkan Soekarno. Setelah Soekarno keluar dari penjara, Parada Harahap ‘memanggil’ kembali Ir. Soekarno. Inilah ‘panggilan’ kedua Parada Harahap kepada Soekarno, Panggilan pertama adalah ketika Soekarno di Algemeene Studieclub untuk membentuk organisasi kebangsaan: Perserikatan Nasional Indonesia.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-04-1932  (Ir. Soekarno en zijn Wederoptreden): ‘Tunggu tindakan saya’. Ini pernyataan mahasiswa pribumi Ir. Soekarno yang telah secara khusus meminta untuk meluangkan waktu belajar tentang partai yang nantinya apakah akan memilih atau apakah harus tetap di belakang layar, sebagaimana dikonfirmasinya di Bintang Timoer. Ir. Soekarno telah menulis surat kepada editor Bintang Timoer yang diterbitkan kemarin, yang menunjukkan bahwa Soekarno bahwa mereka (siswa) tengah mempelajari ‘teori gerakan rakyat’. Saya perlu untuk belajar teori, karena saya ingin mengambil tindakan. Selanjutnya Soekarno menulis: "Ketika saya lagi kemauan politik yang aktif? Aku tahu itu saja. Aku hanya pada jawaban rakyat. Segera itu akan terlihat bahwa orang itu sendiri, yang sekarang aku ekspor. Saya tidak ingin bermain. Dengan nasib rakyat, politik bagi saya adalah bukan olahraga tapi masalah serius, yang membuat saya hidup.  Soekarno meminta kepada Mr Parada Harahap, editor Bintang Timoer komentar, Ir. Soekarno bukan seseorang yang berasal untuk Rakyat?’.

Soekarno akhirnya memilih Partindo (Partai Indonesia), yang didirikan oleh Mr. Sartono. Soekarno lalu menjadi presiden dan segera aktif secara politik setelah penahanannya. Sementara itu Soetan Sjahrir terus melakukan propaganda menyuarakan Pendidikan Nasional Indonesia. Dalam suatu pertemuan besar di gang Kenari, PNI berbicara tentang politik dan ekonomi. dan krisis. Pemimpin pertemuan tersebut seorang mahasiswa Soetan Sjahrir yang kembali dari Belanda (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-03-1932).

Dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang berlangsung di Bandung, Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia menggantikan Soekemi.

Suhu politik yang semakin memanas, sementara Sukarno yang belum memanas telah terjadi pembereidelan sejumlah majalah dan surat kabar, termasuk Bintang Timoer, milik Parada Harahap.

De Sumatra post, 13-06-1932 (Verboden periodieken en bladen): ‘Pihak berwenang militer pada kenyataannya hampir seluruh rakyat pribumi ditempatkan pada daftar hitam, diduga melarang. Lembar dan majalah yang dilarang adalah sebagai berikut: Persato'an Indonesia, Simpaj, Sediotomo, Aksi, Indonesia Moeda, Balai Pemoeda Bandoeng, Garoeda, Garoeda Smeroe, Garoeda Merapi, Sinar Djakarta, Indonesia Merdeka, Impressa, Soeloeh Indonesia Moeda, Keng Po, Sim Po, Warna Warta, Sinar Terang, Indonesia Raja, Soeara Merdeka, Daulat Ra'jat, Banteng Indonesia, Panggoegah Ra'jat, Banteng Ra'jat, Darmo Kondo, Haloean, Kaperloean Kita, Mustika, Pahlawan (dengan pcmoeda Kita), Soeara Kita, Priangan Tengah, Soeara Oemoem, Soeara Oemoem Jav. Editie, Sipatahoenan, Medan Ra'jat, Fikiran, dan Ir. Soekarno Djeung Pergeraken Ra'jat. Seperti dapat dilihat, media tersebut meliputi media berbahasa Melayu yang pribumi maupun yang Chineesch. Di antara majalah yang bisa dibaca Bintang Timoer (Parada Harahap) dan Siang Po, baik yang muncul di Batavia, maupun majalah Fikiran (anggota dewan Dr Ratu Langi) di Manado adalah tabu. Majalah lainnya yang organ nasionalis, yang semua link bahkan dicap sebagai berhaluan revolusioner’.

Pembreidelan adalah senjata polisi/pemerintah colonial Belanda untuk membungkam pers melalui pasal pers dalam undang-undang. Soal pembreidelan sudah lama ada. Yang pertama diketahui adalah surat kabar berbahasa Belanda (Sumatra Niuewsbald) milik Dja Endar Moeda di Padang tahun 1907, kemudian Pewarta Deli (pimpinan Dja Endar Moeda) di Medan 1911 dan Medan Prijaji di Batavia (pimpinan Tirto Adi Soerjo) tahun 1912. Kemudian juga surat kabar Benih Merdeka di Medan (1918) dan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1922). Kedua surat kabar yang disebut terakhir dulunya digawangi oleh (editor) Parada Harahap. Dalam hal ini Parada Harahap tidak kaget dengan pembreidelan. Setelah Sinar Merdeka dibreidel di Padang Sidempoean, tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke Batavia.

Soekarno yang sudah jarang naik panggung, Parada Harahap mempertemukan Soekarno dalam suatu pertemuan PPPI. Pertemuan himpoenan organisasi pemuda/pelajar ini akan diadakan pada tanggal 17-19 September. Soekarno akan berbica terntang  ‘Mencari Koneksi Asing’ (De Sumatra post, 16-09-1932). Sementara itu, Mohammad Hatta kembali dari Belanda. Pada bulan November 1932, Mohammad Hatta dilaporkan berduet dengan Sjahrir di dalam pertemuan publik di Meglang. Mohammad Hatta akan berbicara tentang kelebihan perdagangan, dan Sjahrir tentang prinsip partai (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-11-1932).

Lalu kemudian Mohammad Hatta pada awal tahun 1933, Ketua PNI diserahkan oleh Sjahrir kepada Hatta. Kini, Parada Harahap melihat ini benar-benar ada dua matahari yang diinginkannya: Ir. Soekarno pemimpin Partai Indonesia, dan Drs. Mohammad Hatta pemimpin (partai) Pendidikan Nasional Indonesia.

Pemerintah tidak hanya melakukan pembreidelan pers pribumi, juga menangkap para pemimpin dan kader-kader politik yang bersifat radikal. Penangkapan terhadap kader-kader politik tersebut diasingkan ke Digul. Sukarno juga ditangkap 31 Juli 1933 (Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 22-06-1970) karena menyebarkan rasa permusuhan terhadap pemerintah colonial. Sukarno tidak diasingkan ke Digul tetapi ke Flores. Tujuannya hanya satu: memisahkan pemimpin dengan anak buah.

Melihat dinamika politik yang tengah berlangsung, Parada Harahap berkoordinasi dengan Radjamin Nasution di Soerabaja (De Indische courant, 27-04-1933). Lalu Federasi ‘Kaoem Boeroeh Indonesia’ menyelanggarakan konferensi di Soerabaia dari 4 hingga 7 Mei. Soekarno yang agak jarang mendapat panggung diundang sebagai pembicara. Pembicara lainnya adalah Dr. Soetomo. Meski Parada Harahap sebagai ketua pengusaha pribumi (semacam Kadin) di Batavia, juga turut dalam konferensi ini. Dalam suasana May Day ini empat tokoh revolusioner bertemu di Soerabaja: Parada Harahap, Soekarno, Soetomo dan Radjamin Nasution.

Radjamin Nasution adalah teman sekelas Soetomo di STOVIA. Setelah lulus, Radjamin Nasution ditempatkan pada urusan kesehatan di bea dan cukai lalu berpindah-pindah dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. Setelah cukup lama di Medan pada tahun 1927 Radjamin Nasution dipindahkan ke Batavia. Jelang pembentukan PPPKI, Radjamin Nasution yang diminta Parada Harahap agar Boedi Oetomo ikut bergabung. Pada bulan September 1929 Radjamin Nasution dipindahkan ke Soerabaja. Tidak lama setelah kembali berdinas di Surabaya, awal November, Radjiman dan kawan-kawan mendirikan Sarikat Pekerja Bea dan Cukai. Dalam rapat tahunan Oktober 1930 Radjamin tetap duduk sebagai bendahara.

Pada bulan yang Oktober 1930 Dr. Soetomo dari studieclub Soerabaja mendirikan orgnisasi kebangsaan yang baru yang disebut Partai Bangsa Indonesia (PBI). Besar dugaan pendirian partai didorong oleh Parada Harahap. Radjamin Nasution menjadi salah satu pengurus PBI. Radjamin Nasution dicalonkan menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja. Pada tanggal 10-03-1931 Radjamin Nasution menang mutlak dengan jumlah perolehan suara sebanyak 62 (suara perwakilan penduduk Surabaya).

PBI kemudian mendirikan surat kabar Soeara Oemoem sebagai organ partai. Surat kabar Soeara Oemoem ini mirip dengan Soara Djawa yang pernah eksis tempo doeloe yang merilis laporan Parada Harahap tentang poenale sanctie di surat kabar Benih Mardeka di Medan 1918. Surat kabar Soera Oemoem besar kemungkinan surat kabar Bintang Timoer edisi Jawa Timur yang diterbitkan oleh Parada Harahap pada tahun 1928. Edisi Jawa Timur diterbitkan saat itu dimaksudkan untuk lebih menyebarluaskan propaganda PPPKI (organisasi senior) dan PPPI (organisasi junior).

Untuk tetap menjaga marwah revolusi, Parada Harahap dari gang Kenari mengundang PPPI untuk melakukan diskusi publik. Lalu kemudian PPPI menyelenggarakannya pada tanggal 3 September di Djatibaroe dan gang Kenari (De Sumatra post, 01-09-1933). Sebagaimana diketahui Djatibaroe adalah lokasi percetakan Bintang Hindia (milik Parada Harahap). Pertemuam publik ini diduga terkait dengan ditangkapnya Ir. Soekarno dan telah mendapat sinyal dari pemerintah agar Soekarno diasingkan (De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 03-08-1933). Parada Harahap kembali kehilangan Soekarno.

Haagsche courant, 03-08-1933: ‘Het oordcel van de ‘Bintang Timoer’, Batavia, 3 Agustus. (Aneta). Dalam sebuah editorial Bintang Timur menjelaskan berikut peristiwa baru-baru ini, bahwa penangkapan Ir. Soekarno adalah suatu keprihatinan karena pembatasan hak untuk menghadiri pertemuan, hal itu sehubungan dengan PI dan PNI. Bintang Timoer menganggap bahwa gerakan nasionalis menuntut korban, Namun demikian, hak-hak mereka dapat diterapkan untuk setiap saat diinginkan, sehingga penangkapan Ir. Sukarno meski harus diasingkan kita harus tetap tenang. Bintang Timoer menyebut pembatasan hak untuk menghadiri pertemuan, bahkan itu juga terjadi di Volksraad adalah kemunduran serius dan berharap bahwa Pemerintah akan memberikan kembali hak yang diberikan sepenuhnya sebagaimana yang terdapat dalam Konstitusi’.

Parada Harahap juga kemungkinan akan lebih kehilangan lagi karena Mohammad Jamin (ketua Partindo Soerabaja) dan Amir Sjarifoeddin (ketua Partindo Batavia) juga dalam pembahasan pemerintah (Arnhemsche courant, 04-08-1933).

Mohammad Jamin dan Amir Sjarifoeddin adalah sekretaris dan bendahara panitia Kongres Pemuda 1928. Setelah keduanya lulus Rechthoogeschool, langsung terjun ke partai politik (Partai Indonesia). Mohamamad Jamin adalah adik dari Djamaloeddin alias Adinegoro. Sepulang Adinegoro studi jurnalistik dari Eropa, Parada Harahap mempekerjakannya sebagai editor Bintang Timoer (1929). Namun belum genak setahun, datang Abdullah Lubis dari Medan untuk membantu Pewarta Deli karena para editornya mengundurkan diri karena mendirikan surat kabar. Antara Parada Harahap dan Abdullah Lubis terjadi kesepakatan dan Adinegoro dipindahkan ke Pewarta Deli di Medan. Parada Harahap sendiri pernah menjadi editor Pewarta Deli pada tahun 1918.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Parada Harahap, The King of Java Press Memimpin Tujuh Orang Indonesia Pertama ke Jepang: 1933

Pemerintah Hindia Belanda yang dijalankan oleh para intel dan polisi terus mengawasi pergerakan nasional. Pemerintah Hindia Belanda terus melakukan tekanan. Mahasiswa ditangkapi, pemimpin partai juga ditangkap, semua pers pribumi dibreidel. Pers Belanda juga terus menyoroti pers pribumi. Parada Harahap telah lama menjadi target pers Belanda. Meski demikian, Parada Harahap tetap berbicara dengan pena yang tajam dan pikiran yang jerni dalam mengorganisasikan para revolusioner Indonesia. Tidak ada lagi hal yang aman dan nyaman dengan Belanda. Parada Harahap (kembali) memikirkan nama (bangsa) Jepang sebagai partner (yang baru). Belanda sudah menjadi masa lalu dan tetap melancarkan prinsip non-kooperative, Jepang adalah masa datang dengan prinsip kooperative..

Mengapa muncul nama Jepang di antara para revolusioner Indonesia adalah sebuah teka teki yang belumlah terjawab. Soekarno dalam satu kesempatan mengatakan bahwa PNI terbuka untuk semua bangsa kecuali Belanda. Semua bangsa dapat diterima sebagai anggota, Arab, Tionghoa, India, Jepang dan sebagainya (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-09-1927). Mr. Iskaq menyatakan bahwa gerakan Nasionalis Indonesia, program partai didasarkan pada kekuatannya sendiri, PNI tidak ingin mengambil bagian dalam administrasi nasional dengan lembaga negara saat ini [Pemerintah Hindia Belanda]. Perspektifnya adalah sebuah negara dalam negara bagian (Het perspectief is: een staat in den staat). Jepang dijadikan contoh (Bataviaasch nieuwsblad, 27-09-1927). Soekarno juga pernah menyebut dalam suatu pertemuan publik untuk mencari koneksi asing (De Sumatra post, 16-09-1932). Soekarno kembali mengulang soal hubungan ke timur pada bab pertama dalam brosurnya sebelum ditangkap (Arnhemsche courant, 29-08-1933).

Bangsa Eropa/Belanda adalah masa lalu, bangsa Asia/Jepang adalah masa yang akan datang. Belanda sudah mulai dicampakkan oleh para revolusioner. Bahkan para revolusioner tidak mau berada di dalam administrasi (pemerintah Hindia) Belanda. Parada Harahap tampaknya sudah lama menjalin hubungan dengan Jepang.

Diantara tokoh revolusioner yang kali pertama berurusan dengan Jepang adalah Parada Harahap. Itu terjadi pada tahun 1918 ketika Parada Harahap membongkar kasus prostitusi Jepang di Medan. Apakah Jepang telah memantau terus perjalanan dan sepak terjang Parada Harahap terhadap Belanda?

Sebagaimana orang-orang Tionghoa, orang-orang Jepang juga banyak di kota-kota di Indonesia. Paling tidak terdapat konsentrasi orang Jepang di tiga kota: Medan, Batavia dan Soerobaja. Di tiga kota ini terdapat kantor konsulat Jepang.

Sejak 1926 hubungan Parada Harahap dan Soekarno sudah mulai intens. Pertemuan antara Soekarno dengan Parada Harahap semakin sering siring dengan dibentuknya PPPKI tahun 1927. Apakah orang-orang Jepang telah melakukan kontak dengan Parada Harahap dan Soekarno?

Parada Harahap tidak memiliki hutang kepada pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya, Parada Harahap bertahun-tahun ‘dizalimin’ oleh polisi kolonial Belanda dan telah ratusan kali dipanggil ke meja hijau di pengadilan dan tak terhitung pula berapa kali harus masuk penjara. Melawat ke Jepang, sesama Asia jelas jawabannya. Jepang memiliki hutang kepada Parada Harahap (pembongkaran kasus prostitusi Jepang di Medan, 1918).

De Sumatra post, 16-10-1933: ‘Pada 16 Oct. (Aneta). Pemimpin Bintang Timoer, Mr. Parada Harahap berangkat 7 November disertai sejumlah guru pribumi dan pengusaha ke Jepang. Rombongan akan kembali melalui Manila’.[Bataviaasch nieuwsblad, 24-10-1933: ‘Jumlah yang berangkat ke Jepang sebanyak tujuh orang. Tiga wartawan, satu orang guru, satu orang  kartunis, dua pengusaha (Batavia da Solo). Tiga orang diantaranya dari pulau-pulau luar [Jawa]. Sebagaimana kita lihat nanti, mereka itu antara lain: Parada Harahap sendiri plus Abdullah Lubis (jurnalis), Mohammad Hatta (akademisi) dan Samsi Sastrawidagda (guru) serta seorang pengusaha/pedagang batik di Pekalongan.

Jika benar ada hubungan yang tersembunyi antara Jepang dengan para revolusioner Indonesia, lantas siapa yang menjadi penghubung? Apakah J Tsukimoto yang fasis berbahasa Batak? Tsukimoto yang telah lama bermukim di Padang Sidempoean diduga dengan Parada Harahap bersahabat dekat. Parada Harahap pernah memimpin surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean (1919-1922).

Tsukimoto, bukan seorang Tionghoa tetapi seorang Jepang yang telah lama bermukim di Padang Sidempuan. Tsukimoto pemilik perusahaan J. Tsukimoto & Co. Tsukimoto sangat terkenal di Padang Sidempuan dengan nama tokonya ‘Toko Japan’. Pada tahun 1931, Tsukimoto dan Tjioe Tjeng Liong termasuk anggota komisi di Padang Sidempoean dalam membantu korban bencana di Pakantan (Mandailing). Tsukimoto kemungkinan adalah satu-satunya (keluarga) Jepang di Padang Sidempuan. Tsukimoto kemungkinan besar datang (migrasi) dari Medan. Sejak akhir abad kesembilan belas sudah banyak orang-orang Jepang di Medan (yang waktu itu konsentrasi orang Jepang hanya di Singapoera). Tsukimoto kerap terdeteksi mondar-mandir dari Padang Sidempoean ke Medan maupun Batavia.

Parada Harahap adalah tokoh yang unik dalam perjuangan revolusioner: persatuan dan kemerdekaan. Parada Harahap berbeda dengan Soekarno dan Mohammad Hatta, Parada Harahap juga berbeda dengan Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution. Parada Harahap terus menginisiasi persatuan, dan terus konsisten berjuang dengan pena yang tajam. Parada Harahap tidak terlibat langsung dengan partai politik meski Parada Harahap sendiri mendorong sejumlah individu mendirikan partai politik. Parada Harahap tetap di dunia pers, dunianya sejak lama dan dunia pers menjadi medium bagi semua perjuangan anak-anak bangsa. Inilah sebab mengapa pers Jepang menjuluki Parada Harahap sebagai The King of Java Press.

Bataviaasch nieuwsblad, 29-12-1933 (Java in Japan: The King of the Java Press): ‘The King of the Java Press’ telah tiba di Jepang. Dan ada resepsi diberikan, dia dijamu layaknya seorang raja, Mr Parada Harahap dari Bintang Timoer dan partainya dari atas  tampaknya benar-benar melakukan yang terbaik mereka dan dengan demikian sepenuhnya diperlakukan tuan tamu mereka dalam roh, yang merupakan kunjungi lonjakan negara dari Jawa ke Jepang ini, untuk alasan apa pun, sehingga sekuat mungkin untuk mendorong, dan dengan cara lain yang begitu mahal dapat memfasilitasi kontak dengan gerakan masyarakat adat. Misi Perwakilan Comirercial dari Jawa, yang orang-orang ini wartawan koran, termasuk agen batik diizinkan berbicara. Di kapal mereka disambut oleh Mr Shinzaburo Ishiwara, ‘general manager’ dari Ishiwara Sangyo Kaisha Kabushiki Kobe. Berkenaan dengan tujuan kunjungan mereka, pemimpin kelompok, Raja dari Pers Jawa, Mr. Parada Harahap, yang memimpin lima surat kabar Melayu diantaranya Bintang Timoer, berbicara bahwa: ‘Kami datang ke sini untuk melihat-lihat dan menikmati tempat-tempat terkenal keindahan alam dan juga untuk melihat ke pemimpin lingkaran perdagangan dan industry. Kami dapat untuk membantu dengan pembentukan hubungan persahabatan antara masyarakat Jepang dan Jawa. Mr Parada Harahap juga murah hati dengan nasihat yang baik. Ia berpikir bahwa Jepang akan melakukan sendiri benar mengerti populasi millionen di Jawa, yang ingin datang untuk mengenal negara ini dan ini bisa dilakukan dengan bantuan pers cukup baik kemudian ternyata bahwa Mr Parada Harahap siap untuk menyebarkan berita tentang Jepang sebanyak mungkin dan mengatakan masih akan menulis tentang Jepang dalam sebuah buku-hampir tidak bisa membawa semua niat ini, karena ia takut kunjungan singkat hanya selama tiga minggu, ia berpikir ke Jepang untuk memutar kembali waktu berakhir tentang Cherry Blossom dan sebagai anggota dari ‘Indonesia Parliamentary Party’.

De Indische courant, 29-12-1933 (Harahap in Japan: The King of the Java Press): ‘Sudah pergi, sebagai salah satu di kalangan luas di negeri ini, dengan perusahaan dari editor kepala Bintang Timur, ParadaHarahap yang membuat perjalanan ke Jepang, menurut Java Bode. Tampaknya dari majalah Jepang terbaru adalah perusahaan menerima enam ini ke Kobe dengan kehangatan dan kehormatan, yang jauh melebihi pentingnya orang-orang yang bepergian. Bahkan pers - atau tampaknya - telah datang dari pria terkesan. Kita mengatakan tampaknya karena kemungkinan tidak dikecualikan bahwa Jepang berguna mulai kunjungan sebagai kesempatan untuk mengambil di Hindia Belanda, yang mereka dapat menghasilkan saja. The Osaka Mainichi, sebuah majalah yang memiliki sirkulasi tetap terhadap jutaan, ParadaHarahap menggambarkan sebagai ‘Raja pers Java. Dia adalah kepala dari lima surat kabar pribumi, termasuk "Bintang Timur. "Kami ingin membangun antara masyarakat Jepang dan Jawa hubungan baik dan untuk tujuan kita berniat, yang Anda inginkan. Jasa Jawa Pers Jepang akan melakukannya dengan baik untuk membuat dirinya dimengerti oleh jutaan orang baik di Jawa, dan ini mungkin - kami percaya - capai melalui pers. Ada saat ini 240.000 orang Eropa di Jawa dan sebagian besar dari mereka dapat berlibur di Eropa tidak mampu, karena ada hambatan harga tinggi dan perjalanan panjang. Jepang adalah posisi yang sangat menguntungkan untuk menarik pekerja keras Eropa, yang memiliki kebutuhan liburan, untuk dirinya sendiri. Hal ini sangat disayangkan bahwa, meskipun di Jawa banyak yang diketahui tentang politik, ekonomi, kehidupan sosial dan atletik di Eropa, pada saat ketika orang-orang sedikit yang diketahui tentang Jepang dan ini adalah Jepang sendiri dalam ukuran kecil yang bertanggung jawab karena saya takut bahwa itu adalah pertukaran berita tentang kehidupan di Jepang dan Jawa diabaikan. Saya bersedia bertukar berita dengan Jepang seluas mungkin untuk menyebar. Saya berencana untuk menulis buku tentang Jepang. Saya hampir tidak bisa berharap untuk mencapai perjalanan, tujuan saya tapi rencana saya untuk kembali ke Jepang pada saat cherry blossom sebagai anggota dari Indonesia Parliamentary Party’.

Sepulang dari Jepang, Parada Harahap menjadi target polisi/intel Belanda. Parada Harahap dan kawan-kawan tidak langsung ke Batavia, melainkan turun di Tandjoeng Perak Soerabaja. Mengapa? Jika langsung ke Batavia, Parada Harahap dan kawan-kawan akan langsung ditangkap. Di Soerabaja akan merasa lebih aman. Ketua Persatoean Boereh Pelabuhan Tandjong Perak adalah Radjamin Nasution yang juga menjadi anggota dewan kota Soerabaja. Tentu saja di pelabuhan, Parada Harahap dan kawan-kawan disambut oleh Dr. Soetomo.

De tribune : soc. dem. Weekblad, 22-03-1934 Para siswa India. Tentang pesan dari para pelajar Indonesia, dituduh mengelompokkan artikel-artikel paling awal di organ PPPI (Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia - 'organisasi mahasiswa' Indonesia) dapat dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkuasa: Sekarang para penulis artikel itu menentang pemerintah Hindia sudah dikenal. Investigasi sudah berakhir. Makalah diserahkan kepada Jaksa Agung untuk memutuskan tindakan apa yang akan diambil. Penelitian ini tidak hanya dilakuan oleh para profesor yang relevan. tetapi juga dewan editorial yang bertanggung jawab dewan PPPI.

Parada Harahap berangkat ke Jepang pada 7 November, hanya dilirik pers Belanda sebagai berita kecil. Kini, setelah Parada Harahap pulang (tiba si Soerabaja, 13 Januari 1934), pers Belanda matanya mulai terbelalak. Pers Belanda di Indonesia dan di Belanda menjadi heboh. Parada Harahap dianggap mewakili pers pribumi telah menggapai matahari  di timur dan pers Belanda di barat seakan dibelakangi Parada Harahap.

Algemeen Handelsblad, 14-02-1934 (Onze Oost Japans Politike Belansg-Stelling. Meer aandacht gevraagd): ‘Ada juga diantara para pemimpin gerakan masyarakat adat untuk kepentingan Hindia Belanda di Jepang, negara Oriental, begitu luar biasa dalam waktu singkat, Westersch begitu luar biasa mampu untuk berbelanja dan jangan ragu untuk melemparkan dirinya sebagai juara Asia dan masyarakat. Perjalanannya telah menarik banyak minat di kalangan pribumi dan disebut akan, seperti yang telah dilaporkan, waarschijniyk diikuti oleh orang lain. kepentingan para pemimpin pribumi kami untuk Jepang didorong oleh serikat "Kaigai Kyolky Kyokai," serikat membuat propaganda untuk tujuan oleh Jepang, yang berbasis di Hindia. Seorang wartawan Jepang menulis tentang dalam lembar Maleisen, termasuk yang berikut: Serikat yang akan. segera memulai pendirian pesantren untuk kepentingan mahasiswa asing. Persiapan ini sudah hampir selesai. Biaya per bulan per siswa diperkirakan sekitar 50 yen (25 gulden). Ini akan dibangun sekolah menengah pertanian, sekolah perdagangan, sekolah teknik. Pada saat ini, menurut wartawan, satu telah berada di Tokyo beberapa mahasiswa dari Hindia. Pada yang terakhir Pan-Aziëeongres telah berbicara termasuk Sumatera, beberapa Gaoes bahwa kursus dalam bahasa Jepang. Saya minta maaf - demikianlah wartawan, bahwa ada begitu sedikit disebut mahasiswa Hindia, baik untuk kepentingan kemajuan Indonesia seperti untuk memperkuat persahabatan antara negara-negara Asia. Dianjurkan untuk mengirim sebanyak mungkin orang-orang muda ke Jepang. Mengapa hal ini menguntungkan untuk pergi ke Jepang tidak perlu dibahas lebih lanjut. Posisi Jepang di Dunia Dikenal. Mengenai ilmu, seperti astronomi, listrik, kedokteran, teknik, djiudjitsu, dll Jepang adalah No. 1 di dunia! Hindari propaganda ini Hindia tidak bisa meninggalkan acuh tak acuh. Dan meskipun kita tidak tahu bahwa di balik sutra Jepang mengintai kebijakan luar negeri resmi atau tidak resmi, kasus apapun, itu yakin bahwa kepentingan pribumi yang tertarik untuk Jepang, sebuah tahanan politik. Satu dapat sekitar mereka berbicara dan mengatakan bahwa ada interpretasi lain. Kami sangat menghormati tenaga kerja dan warga negara berada di bawah pemerintah pansche dan orang-orang Jepang, tapi di situlah letak bahaya, menyerukan Jepang sendiri dan bagi lingkungannya, bahwa yang terbaik adalah secara terbuka mendiskusikan. Jika Jepang memang untuk perdagangan dengan Hindia Belanda adalah mengembangkan, maka seharusnya tidak menggoda dengan para pemimpin terisolasi vftnjer gerakan masyarakat adat, tapi kehormatan ini  untuk semua sentuhan mengacu pada jalur resmi’.

Setelah situasi mereda Parada Harahap dan kawan-kawan kembali ke Batavia. Tentu saja di Soerabaja ada pembicaraan dengan Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution. Mereka berdua adalah tokoh penting Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang berpusat di Soerabaja. Selain itu, antara Parada Harahap dan Dr. Soetomo sesama pengelola media juga membicarakan banyak hal.

Bataviaasch nieuwsblad, 25-06-1934: ‘Rapat Direksi Koran di Solo. Hampir semua direktur surat kabar pribumi dipenuhi dengan tujuan untuk membangun Asosiasiini didirikan, dengan Dr R. Soetomo, direktur ‘Soeara Oemoem di Soerabaya sebagai presiden, Saeroen, direktur Pemandangan dan Parada Harahap, direktur Bintang Timoer sebagai komisaris’

Dalam perkembangannya di Soerabaja sebagaimana kita lihat nanti, Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution merasa perlu untuk memperbesar PBI. Cara yang mungkin dilakukan adalah menggerakkan Boedi Oetomo berafiliasi dengan partai politik. Lalu muncullah gagasan pembentukan Partai Indonesia Raja.

Dalam pertemuan tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo PBI dan Boedi Oetomo melakukan fusi dan membentuk partai baru yang diberi nama Partai Indonesia Raja yang disingkat Parindra. Ketua terpilih adalah Dr. Soetomo. Untuk kantor pusat Parindra ditetapkan di Soerabaja. Ini dengan sendirinya akan memperkuat Soerabaja sebagai basis perjuangan politik, sebagaimana Bandoeng tahun 1927 dengan dibentuknya Partai Nasional Indonesia (PNI).

Parindra memiliki tujuan yang sama dengan organisasi revolusioner yang lain seperti Partindo dan PNI. Akan tetapi strategi Parindra berbeda dengan mengambil jalan tengah, yakni tetap mengusung demokrasi dan nasionalisme. Dalam hal ini Parindra bersifat pro-aktif: Parindra untuk satu hal cooperative tetapi untuk hal lain non-cooperative. Parindra berjuang lewat parlemen. Hal ini sudah dijalankan oleh Radjamin Nasution di Soerabaja atas sokongan sobatnya Dr. Soetomo (sejak 1931). Prinsip demokrasi parlemen ini juga diamini oleh MH Thamrin di Batavia.

Koran Soerabaijasch Handelsblad yang terbit tanggal 13-05-1938 melaporkan bahwa Radjamin termasuk salah satu kandidat pribumi untuk calon perwakilan dewan pusat dari Soerabaja. Pada saat yang bersamaan sebagaimana diberitakan koran De Indische Courant tanggal 04-06-1938, Radjamin Nasution termasuk salah satu pejabat pemerintah yang naik pangkatnya menjadi Kelas 2 (Eselon 1). Sementara itu, koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 20-07-1938 memberitakan bahwa Radjamin Nasution menjadi salah satu petinggi (sekretaris) Parindra Kota Soerabaja. Selanjutnya diberitakan koran De Indische Courant, 01-08-1938 bahwa Radjamin Nasution menjadi salah satu kandidat dalam pemilihan umum Stadgemeenteraad (Perwakilan Dewan Kota) dari Parindra untuk Volksraad. Surat kabar De Indische courant 30-09-1938 memberitakan nama-nama kandidat anggota Volksraad wakil pribumi dari Parindra dari seluruh Indonesia (West Java, Midden Java, Oost Java, Vorstenlanden (Solo danYogya), Borneo, Celebes, dan Soematra. Nama-nama selain Radjamin dari Parindra, termasuk MH Thamrin (daerah pemilihan West Java/Batavia-C) dan RP Iskaq Tjokrohadisoerjo (daerah pemilihan Oost Java/Soerabaja).

Sebagaimana kita lihat nanti, meski Radjamin Nasution sudah di Volksraad di Pedjambon, namun Radjamin Nasution kerap ‘pulang kampung’ di Soerabaja. Pada bulan April 1940, Radjamin Nasution turba ke Surabaya. Dia berkeliling kota, blusukan ke tempat-tempat tertentu: pasar, pinggir jalan (proyek pembangunan jalan), stasion, terminal dan perkampungan. Radjamin tidak segan-segan mengkritik pegawai kota yang berbangsa Belanda yang tidak becus melaksanakan tupoksinya. Hebatnya, Radjamin blusukan minta langsung didampingi oleh Walikota Fuchter. Walikota bangsa Belanda ini (tentu saja) ‘nurut’ kepada Anggota Volksraad. Sebelumnya, Fuchter adalah seteru Radjamin Nasution di gemeenteraad Soerabaja. Radjamin Nasution yang telak menjadi ‘arek Soerabaja’ sangat galak, tetapi sangat mencintai rakyatnya dan sangat hormat kepada teman-teman.

Dr. Soetomo, sahabat Dr. Radjamin Nasution sejak di bangku kuliah di STOVIA ternyata tidak panjang umur. Dr. Soetomo dikabarkan telah meninggal dunia. Radjamin Nasution bergegas pulang ke Soerabaja. Sebagaimana diberitakan di surat kabar Soerabaja yang terbit tanggal 23-2-1941, Radjamin Nasution berpidato dengan lembut dan hangat dalam upacara pemberangkatan alm. Dr. Soetomo ke pemakaman. Ini untuk yang kedua sababat baik Radjamin Nasution meninggal di Soerabaja. Beberapa tahun sebelumnya (1938) WR Supratman meninggal dunia di Soerabaja. Parada hadir juga turut hadir dalam pemakaman WR Supratman ini, karena WR Supratman tidak hanya pencipta lagu Indonesia Raja yang dikumandangkan di Kongres Pemoeda tahun 1928, WR Supratman adalah ‘anak buah’ terbaik Parada Harahap dalam urusan pers.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Parada Harahap Memindahkan Soekarno dari Flores ke Bengkoeloe, Egon Hakim Kerap Mengunjungi Soekarno di Bengkoeloe: 1938

Soekarno sudah lama di Flores. Soekarno ditangkap pada bulan Agustus 1933 dan kemudian , dan diasingkan ke Flores. Tiba-tiba muncul gagasan Soekarno dipindahkan dari Flores. Bagaimana itu bisa terjadi. Algemeen Handelsblad dan Soerabaijasch handelsblad yang mengutip dari kantor berita Aneta yang melaporkan Soekarno akan dipindahkan dari Flores ke Bengkoeloe. Algemeen Handelsblad, 05-05-1938 menyebutkan Soekarno sendiri yang mengajukan permohonan dipindahkan. Soekarno berdalih bahwa di Bengkulu akan dapat menggunakan pengetahuan teknisnya dengan lebih baik. Pemerintah telah mengabulkan permintaan. Ir. Soekarno tiba hari ini di Soerabaja. Dalam Soerabaijasch handelsblad, 05-05-1938 juga terdapat informasi bahwa Soekarno akan tiba di Tandjoeng Priok tanggal 8 Mei.

Tentu saja permohonan Ir. Soekarno dipindahkan dari Flores ke Bengkoeloe tidak terlalu penting bagi penmerintah Hindia Belanda. Demikian juga polisi/intel Belanda tidak terlalu menghiraukannnya. Sebab situasi politik sedikit agak terkendali, demokrasi melalui parlementer di Volksraad masih aman-aman saja. Tentu saja bagi sebagian pemimpin pribumi permohonan pindah ini dianggap sebagai sikap cengeng Soekarno dan dianggap angin lalu. Akan tetapi, sebaliknya, bagi para revolusioner permohonan Soekarno dipindahkan adalah hal yang sangat strategis. Para revolusioner telah memiliki skenario di belakang proses pemindahan ini.

Ir. Soekarno tentu saja memiliki ‘musuh’ politik. Soekarno diasingkan ke Flores akan menjadi keuntungan bagi lawan-lawan politiknya. Tentu saja masih banyak orang yang peduli dan terus memperhatikan Soekarno (sebagai calon pemimpin bangsa). Dalam hal ini Parada Harahap terus konsisten dalam perjuangan: persatuan dan kemerdekaan.

Sementara itu Mohammad Hatta juga telah diasingkan di Bandaneira setelah sebelumnya berada di Boven Digoel (1934-1937). Parada Harahap dan kawan-kawan pulang dari Jepang bulan Januari 1934. Parada Harahap dan Mohammad Hatta ditangkap. Parada Harahap dianggap tidak terbukti di pengadilan, ini sehubungan dengan keterlibatan Konsulat Jepang di Batavia yang mampu dan bersedia memberikan bukti. Namun Mohammad Hatta tidak bisa bebas karena dikaitkan dengan kasus lain. Lalu Mohammad Hatta diasingkan ke Boven Digoel (lalu dipindahkan ke Bandaneira). Sedangkan Soekarno sejak Agustus 1933 telah ditangkap dan tahun 1934 diasingkan ke Flores. Parada Harahap memimpin tujuh orang Indonesia pertama ke Jepang (termasuk di dalamnya Mohammad Hatta) justru karena dipicu dengan ditangkapnya Soekarno. Parada Harahap telah kehilangan Soekarno dan menyusul kehilangan Mohammad Hatta.  

Parada Harahap dan kawan-kawan telah berhasil memindahkan Mohammad Hatta dan Sjahrir dari Boven Digoel ke Bandaneira. Keinginan Parada Harahap dan kawan-kawan  pemindahan Mohammad Hatta ditujukan ke Sumatra, tetapi pemerintah Hindia Belanda kurang setuju karena Mohammad Hatta dan Sjahrir adalah orang Sumatra. Untuk tetap menjaga keterasingan Mohammad Hatta dipilihlah Maluku di Bandaneira. Kini tinggal memindahkan Ir. Soekarno. Bagaimana caranya? Fakta-fakta terkait dengan pemindahan inilah yang kurang digali oleh para sejarawan.

Parada Harahap dan Mohammad Hoesni Thamrin menyusun skenario pemindahan Ir. Soekarno ke Sumatra. Pilihan tempat bukan ke (pulau) Bangka, tetapi ke Bengkoeloe. Tempat pengasingan ini terkesan terpencil dari mana-mana dan supaya ada kesan Soekarno dilokasir dari teman-temannya di Jawa. Parada Harahap dan MH Thamrin memiliki niat yang lain yang tidak diketahui oleh siapapun. Skenarionya jadi begini: Parada Harahap dan MH Thamrin menginginkan Soekarno tetap bahagia di pengasingan (Bengkoeloe) dan juga tetap terhubungan dengan Parada Harahap dan MH Thmarin. Untuk bisa berinteraksi dengan para pendukungnya perjalanan Ir. Soekarno dibuat singgah di Soerabaja (alasan bertemu keluarga); lalu naik kereta ke Batavia dan kemudian melalui Merak dan Lampoeng hingga ke Lahat dan seterusnya ke Bengkoeloe. Titik-titik persinggahan ini (dalam sududt pandang Parada Harahap dan MH Thamrin supaya ada kemungkinan bertemu dengan Dr. Radjamin Nasution di Soerabaja, MH Thamrin dan Parada Harahap di Batavia; Mr. Gele Haroen dan Mr. Abdoel Abbas Siregar di Tandjong Karang. Selanjutnya selama di pengasingan di Bengkoeloe dimungkinkan mudah dikunjungi oleh Gele Haroen Nasution dan Abdoel Abbas Siregar dari Tandjong Karang dan Mr. Egon Hakim dari Kota Padang. Egon Hakim adalah anak Dr. Abdoel Hakim Nasution wakil wali kota (Loco-Burgemeeter) Kota Padang. Mr. Egon Hakim Nasution adalah menantu dari MH Thamrin. Sementara, Gele Haroen Nasution adalah sepupu dari Egon Hakim. Lantas, siapa Mr. Abdoel Abbas? Parada Harahap adalah ‘tulang’ dari Abdoel Abbas [Kelak, ketika Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi pemimpin (terutama jelang) berakhirnya era Jepang dan awal RI: Parada Harahap, sebagai anggota BPUPKI, Mr. Abdoel Abbas, angggota PPKI dan salah dari tiga pemimpin pertama di Sumatra; Mr. Gele Haroen menjadi Residen Lampoeng; sedangkan Dr. Abdoel Hakim diangkat menjadi Wali Kota Padang]. .

Soerabaijasch handelsblad, 06-05-1938 melaporkan Ir. Soekarno saat transit di Soerabaja. Bersama KPM Steamer Valentijn, Ir Soekarno bersama istrinya, dua anak angkat dan tiga pelayan tiba, pada hari Selasa siang (5 Mei) dan keluarga tersebut pada malam hari ini ke Batavia dalam perjalanan mereka ke Benkoelen. Selama Soekarno berada disini (Soerabaja), Soekarno mencari dan  memesan kamar di pusat kota, sementara istri dan orang-orang lain yang besertanya diijinkan untuk mengunjungi teman-teman dan kerabatnya. Keberangkatan Soekarno dari Soerabaja ke Batavia dilaporkan tiga surat kabar. Bataviaasch nieuwsblad edisi 07-05-1938 Soekarno yang awalnya diberangkatkan dengan kapal ke Batavia tiba-tiba diubah dengan menggunakan kereta api dan dilakukan pada malam hari. Saat keberangkatan dari Soerabaja hanya hanya ada orang tua dan kerabat dekat yang hanya diberikan kesempatan salam perpisahan selama lima belas menit.

Ada dua kesempatan Soekarno bertemu dengan Radjamin Nasution yakni yang pertama pada saat di hotel penginapan. Kesempatan kedua adalah pada saat pengantaran keberangkatan dari Soerabaja menuju Batavia. Soekarno dalam hal ini tentu bukan orang bodoh. Soekarno dan petugas PID yang mengawalnya berbeda level. Soekarno meminta pindah kepada pejabat dengan alasan teknis: membuat peluang bertemu dengan siapa Soekarno menginginkan bertemu. Petugas PID hanya melihat Soekarno bertemu dengan orangtua dan kerabat. Sementara Soekarno sudah barang tentu telah menskenariokan ingin bertemu dengan koleganya. Kolega itu ada di dalam barisan kerabat yang hadir di stasion kereta api Soerabaja. Harus diingat inilah satu-satunya kesempatan bertemu dengan kolega (seperjuangan). Singkat kata: Soekarno bukan saja ingin pindah sendiri dari Ende ke Bengkoelen tetapi juga keinginan para koleganya. 


Siapa beberapa orang yang hadir dalam salam perpisahan di stasion kereta Soerabaja tersebut? Hanya ada kemungkinan Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin. Bahwa Dr. Soetomo kecil kemungkinan hadir. Haagsche courant, 30-05-1938 melaporkan bahwa Dr. Soetomo meninggal dunia hari ini yang diterima dari Aneta yang dirawat selama sebulan di rumah sakit sipil pusat di Surabaya. Dr. Soetomo mengambil alih posisi Soekarno mengenai prinsip non-kerjasama. Berdasarkan berita ini, Dr. Soetomo sudah sakit selama sebulan (sebelum meninggal) dan Dr. Soetomo dianggap non-koperatif (sebagaimana Soekarno). Dr. Radjamin dianggap masih mau bekerjasama. Saat itu Radjamin adalah anggota senior (Wethouder) dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja. Dr. Radjamin (Nasution) teman sekelas Dr. Soetomo di STOVIA. Pertemanan Radjamin dan Soetomo sudah bagaikan keluarga. De Sumatra post, 31-05-1938 menyebut Dr. Soetomo pernah bertugas di Batoebara dan Loeboek Pakam. Sementara Dr. Radjamin juga pernah bertugas di Medan dan Belawan. Pendiri PIB (Partai Bangsa Indonesia) adalah Dr. Soetomo yang mana Dr. Radjamin salah satu pengurus di Soerabaja. PIB kemudian melebur ke Parindra. Dalam pemakaman Soetomo ini akan datang dari Batavia beberapa perwakilan gerakan pribumi, termasuk MH Thamrin (Parindra). Dalam pemakaman Soetomo ini, Dr. Radjamin berpidato atas nama keluarga Dr. Soetomo. Dengan demikian, saat keberangkatan Soekarno ke Batavia diduga kuat Dr. Radjamin (Nasution) hadir. Saat pembentukan PPPKI tahun 1927, Dr. Radjamin yang berdinas di Batavia sebelum dipindahkan ke Soerabaja adalah orang yang diminta Parada Harahap untuk mendekati dan mengubah status quo Soetomo (Boedi Oetomo) untuk bergabung dengan PPPKI. Oleh karena itu, melalui Dr, Radjamin pesan politik Soekarno ke teman-teman seperjuangan sebelum berangkat ke Bengkoeloe. Dalam hubungan ini, di Telok Betong sudah barang tentu Dr. Radjamin telah menelpon Mr. Gele Haroen, seorang advokat terkenal di Lampong yang berkantor di Telok Betong tentang rute perjalanan Soekarno tersebut. Gele Haroen (Nasution) adalah alumni sekolah tinggi hukum di Leiden (kelak menjadi Residen Lampoeng). Singkat kata: proses perpindahan Soekarno dari Ende ke Bengkulu adalah kerja gotong royong diantara koleganya yang dikoordinasikan oleh Parada Harahap. Di parlemen (Volksraad), Parada Harahap akan terus berkomunikasi secara intens dengan MH. Thamrin (mertua Egon Hakim) yang juga akan berkoordinasi dengan tiga anggota Volksraad lainnya kelahiran Padang Sidempoean: Mr. Abdul Firman gelar Mangaradja Soangkoepon, Dr. Abdul Rasjid dan Mr. Dr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Untuk mengingatkan kembali: MH Thamrin dan Parada Harahap adalah pendiri PPPKI (1927) yang berkantor di Gang Kenari, dimana di kantor tersebut Parada Harahap memajang dua foto juniornya: Soekarno dan M. Hatta.

Sebelumnya di dalam berita disebutkan bahwa permintaan Soekarno untuk pindah ke Bengkoeloe didorong oleh MH. Thamrin di Volksraad. Di dalam berita disebutkan MH Thamrin mengatakan bahwa Soekarno menderita di Flores karena malaria, jika Soekarno mati karena serangan malaria tersebut maka Pemerintah akan bertanggungjawab (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1957) [Catatan: surat kabar Java Bode sejak 1952 sudah diakuisisi oleh Parada Harahap].

Upaya menakut-nakuti oleh MH Thamrin ini akhirnya permintaan Soekarno dikabulkan. Perpindahan ini akan memberi manfaat: menjauhkan diri dari area Australia (internasional) ke Sumatra (domestik); mendekatkan diri kepada para koleganya terutama di Sumatra yang besar kemungkinan Jepang akan mendudukinya terlebih dahulu; memiliki kesempatan sepanjang perjalanan bertemu para koleganya. Sebelum perpindahan ini sempat muncul keraguan pejabat tinggi untuk menyetujui perpindahan (De Telegraaf, 21-03-1966). Dan harus diingat bahwa yang terbuka ke publik bahwa perpindahan itu adalah atas permintaan Soekarno dan atas biaya sendiri. Dalam hal ini tentu saja pemerintah Hindia Belanda terkecih. Ini adalah buah pemikiran yang cerdas.  Tegasnya bahwa sangat naif proses perpindahan dari Ende ke Bengkoelen jika dianggap hal sepele dan tidak begitu penting. Ini nyata-nyata kemenangan para revolusioner.

Setelah Soekarno di Soerabaja sempat muncul perjalanan dilanjutkan ke Batavia melalui laut. Akan tetapi terjadi perubahan mendadak. Tentu saja itu menimbulkan pertanyaan. Apa pun yang mendasarinya dan bagaimana keputusannya sehingga perjalanan dengan kereta api malam, tentu hanya para revolusioner yang diuntungkan. Perubahan rute perjalanan tersebut dapat diubah haruslah dikairkan dengan orang yang memiliki pengaruh, baik secara individu maupun secara kolektif. Saat itu orang-orang yang berpengaruh adalah Dr. Radjamin Nasution (wethouder di Soerabaja yang menjadi anggota Volksraad). Di Volksraad sendiri paling tidak masih ada empat anggota Volksraad yang terkoneksi dengan Parada Harahap, yakni tiga anggota Volksraad kelahiran Padang Sidempoean: Mr. Abdul Firman gelar Mangaradja Soangkoepon, Dr. Abdul Rasjid Siregar dan Mr. Dr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Pemindahan Soekarno ini seakan dilakukan secara diam-diam sebagaimana di beritakan di dalam surat kabar, kenyataannya diketahui oleh para revolusioner. Radjamin Nasution, Dr. Soetomo dan MH Thamrin adalah tokoh utama Parindra. MH Thamrin juga besan dari Dr. Abdoel Hakim Nasution, wakil wali kota Padang. Singkat kata: saat pemindahan Soekarno dari Flores ke Bengkoeloe dikelilingi oleh orang-orang Parada Harahap. Tidak ada nama-nama yang terhubung dengan Soekarno dalam proses pemindahan ini, kecuali Parada Harhap dan kawan-kawannya.



Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-05-1938 menambahkan bahwa Soekarno pagi ini telah tiba di Batavia. Pada pukul 11 dengan mobil polisi ke Serang dan malam hari dari pelabuhan Merak (dengan kapal) menuju Oosthaven (Telok Betong?). Dari tempat terakhir ini, dengan kereta api menuju tempat tinggal yang ditunjuk di Benkoelen. Bataviaasch nieuwsblad, 10-05-1938 bahwa Soekarno sekarang telah tiba di bawah pengawasan seorang pejabat penyelidikan politik. Jika Soekarno berangkat dari Batavia tanggal 7 Mei maka keesokan harinya tanggal 8 Mei tiba di Telok Betong. Jika perjalanan ini langsung diteruskan dengan naik kereta ke Lahat dan lalu dilanjutkan dengan mobil ke Bengkoeloe, Soekarno kemungkinan besar sudah tiba di Bengkoeloe tanggal 9 Mei. Dengan demikian benar apa yang dilaporkan Bataviaasch nieuwsblad, 10-05-1938 bahwa Soekarno telah tiba di Bencoelen.



Soekarno selama di Bengkoeloe meski tetap diawasi tetapi masih dapat melakukan aktivitas sosial. Aktivitas yang dilakukannnya diantaranya mengajar dan turut membantu warga untuk membangun atau merenovasi fasilitas umum seperti sekolah dan masjid. Pada situasi inilah Soekarno bertemu dengan seorang gadis bernama Fatmawati. Dalam foto disamping ini pada tahun 1939 di Bengkoelen, Soekarno (di tengah) yang mana pada barisan depan di sebelah kiri anak angkat Soekarno bersama Inggit Garnasih bernama Ratna Djoeami dan di sebelah kanan adalah pacar Soekarno bernama Fatmawati (De tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Orang yang bertanggung jawab atas pembayaran tunjangan bulanan Soekarno adalah LGM Jaquet, aspirant-controleur di Benkoelen (NRC Handelsblad, 28-04-1979).



Soekarno pertama menikah dengan putri Tjokroaminoto, Oetari di Soerabaja. Saat Soekarno di Bandoeng, Soekarno yang tinggal di rumah [Hadji Mohammad] Sanoesi jatuh cinta dengan putrinya, Inggit Garnasih. Oetari diceraikan dan Inggit dinikahi. Inggit yang lebih tua dari Soekarno ikut diasingkan ke Flores dan kemudian ikut ke Bengkoeloe.



Bengkulu adalah segalanya bagi Ir. Soekarno, jauh melebihi penjara Soekamiskin di Bandoeng (1930-1931) dan tempat pengasingan di Ende, Flores (1934-1938). Bengkoeloe adalah suatu skenario, suatu tempat yang indah yang akan selamanya terkesan bagi Soekarno. Pilihan Bengkoeloe sebagai tempat pengasingan Soekarno bukanlah karena sesukahati Soekarno memilih. Bengkoeloe dipilih oleh Parada Harahap.



De Sumatra post, 14-01-1922
Pada tahun 1938 Dr, Hazairin asisten dosen di Rehthoogeschool diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Landraad di Padang Sidempoean. Di kampus ini Dr. Husein Djajadiningrat adalah guru besar. Parada Harahap sudah kenal lama Husein Djajadiningrat sedangkan Hazairin saat menulis desertasinya di Rehthoogeschool melakukan penelitian lapangan di Bengkulu (lulus tahun 1936). Parada Harahap tahun 1927 adalah sekretaris Sumatranen Bond juga sudah lama kenal Hazairin, selain asal satu daerah juga Hazairin adalah anggota Sumatranen Bond ketika memulai kuliah Rehthoogeschool dengan Amir Sjarifoeddin. Parada Harahap dan Hazairin kebetulan keduanya adalah ‘gibol’ yang kerap bermain sepakbola dalam satu tim. Oleh karenanya perpindahan Soekarno dari Ende sangat naif jika itu bersifat random dan juga sangat naif jika tempat yang baru dipilih Bengkulu juga bersifat random. Boleh jadi pengenalan Bengkulu tidak hanya atas deskripsi Hazairin dan boleh jadi Soekarno sudah pernah ke Bengkulu? Sebab Soekarno diduga kerap secara diam-diam ke Tapanoeli. Pada tahun 1932 Ir. Soekarno datang ke Tapanoeli  dalam rangka pembentukan divisi Partai Nasional Indonesia (lihat De Sumatra post, 13-05-1932). Kunjungan Soekarno ke Tapanoeli dapat mudah dipahami, karena besar dugaan atas petunjuk dari Parada Harahap. Tentu saja tidak hanya itu, PNI memiliki basis massa di Tapanoeli dan di Sumatra Barat. Sebagaimana diketahui pemimpin PNI di Sumatra Barat adalah Dr. Abdul Hakim (lihat De Sumatra post, 14-01-1922) dan pemimpin NIP di Tapanoeli adalah Dr. Abdoel Karim. Sebagaimana diketahui juga bahwa pendiri NIP adalah Dr. Tjipto di Bandoeng. Hubungan antara Abdul Hakim dan Abdul Karim dengan Tjipto Mangoenkosoemo adalah teman sekelas di Docter Djawa School. Untuk sekadar diingat kembali bahwa (sejak awal kebangkitan bangsa/pergerakan politik Indonesia) Parada Harahap di Batavia adalah ‘mentor politik’ dari trio revolusioner muda: Soekarno, M. Hatta dan Amir. Dalam fase ini, pada tanggal 29 Desember 1929 sepulang dari Kongres PPPKI ke 2 di Solo, Soekarno ditangkap. Lalu pada tanggal 18 Juni Soekarno diadili di Pengadilan Landraad di Bandoeng dan kemudian didakwa hukuman empat tahun penjara. Namun, akibat adanya pengurangan hukuman, Soekarno dilepas pada tanggal 31 Desember 1931 (lihat De tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Pada hari-hari setelah bebas inilah Soekarno terdeteksi berada di Tapanoeli. Lalu kemudian, pada tanggal 31 Juli 1933, Soekarno ditangkap lagi karena melakukan manuver politik. Kali ini Soekarno tidak diadili namun dengan keputusan Gubernur Jenderal langsung diasingkan ke  Ende, Flores (lihat De tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Sejak diasingkan di Ende, Soekarno kerap dipojokkan oleh pers pribumi. Sebagaimana Parada Harahap yang terus konsisten mengawal karir politik Soekarno, ketika semua surat kabar memojokkan Soekarno, hanya Parada Harahap yang terang-terangan melalui surat kabar miliknya, Tjaja Timoer yang membela Soekarno. Dalam hubungan ini diduga bahwa Parada Harahap adalah pendukung utama dana politik Soekarno termasuk dukungan dana dalam proses perpindahan Soekarno dari Ende ke Bengkoeloe (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 01-05-1940). Oleh karenanya, Soekarno dalam pengasingan (terutama di Bengkoeloe) tidak sendiri alias terasing secara sosial. Soekarno terkawal dengan baik mulai dari Soerabaja oleh Dr. Radjamin Nasution, di Djakarta oleh Parada Harahap dkk, di Telok Betong, Lampoeng oleh Gele Haroen Nasution dan ayahnya Dr. Haroen Al Rasjid serta Mr Abdoel Abbas (Siregar), di Padang oleh Egon Hakim Nasution dan ayahnya Dr. Abdul Hakim, di Solok oleh Eny Karim dan ayahnya Dr. Abdul Karim (Lubis) dan di Padang Sidempoean oleh Mr. Dr. Hazairin (Harahap) dan tentu saja di Medan oleh Adinegoro dkk. Relasi-relasi inilah secara politis nyaris tidak terungkap saat mana Soekarno mengasingkan diri di Bengkoeloe (bukan diasingkan!).


Selama hari-hari Soekarno di pengasingan merasa nyaman dan aman.Soekarno nyaman karena selama berinteraksi sosial dengan menduduk mengalami jatuh cinta (seorang gadis cantik Fatmawati). Soekarno juga aman karena kerap dikunjungi oleh Gele Haroen dari Tandjong Karang dan Egon Hakim dari Padang. Gele Haroen dan Egon Hakim yang bersaudara sepupu adalah sama-sama advocat lulusan dari Uiveriteit Leiden.

Antara Tandjong Karang dan Padang tidak terlalu jauh dalam pelayaran. Di tengah dua kota ini terdapat Bengkoeloe. Saling mengunjungi antar keluarga Gele Haroen dan keluarga Egon Hakim tentu saja tetap terjaga. Dalam perjalanan anatr dua kota inilah Egon Hakim dan Gele Haroen mampir ke Bengkoeloe. Boleh jadi juga dilakukan oleh Parada Harahap jika pulang kampung ke Padang Sidempoean melalui Tandjong Priok menuju pelabuhan Sibolga dan mampir di Bengkoeloe.

Dalam
perkembangannya Radjamin Nasution tengah reses di Volksraad dan pulang kampung di Soerabaja. Saat itu sudah terdengar luas kabar bahwa militer Jepang telah melakukan pemboman di sejumlah wilayah di Indocina. Radjamin Nasution tiba-tiba mendapat surat dari anak perempuannya, seorang dokter yang bersuamikan dokter yang sama-sama berdinas di Tarempa, Tandjong Pinang, Kepulauan Riau. Surat ini ditujukan kepada khalayak dan cepat beredar, karena termasuk berita penting masa itu. Surat kabar Soeara Oemoem yang terbit di Surabaya mempublikasikan isi surat keluarga (anak kepada ayahnya) tersebut menjadi milik public sebagaimana dikutip oleh koran De Indische Courant tanggal 08-01-1942. Berikut isi surat tersebut.

Tandjong Pinang, 22-12-194l.
Dear all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio Tarempa dibom. Kami masih hidup dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Anda tidak menyadari apa yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam hari kami tinggal di dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang harus kami makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan terluka tidak terhitung. Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang bisa kami amankan, telah kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa yang telah kami menabung berjuang dalam waktu empat tahun, dalam waktu setengah jam hilang. Tapi aku tidak berduka, ketika kami menyadari masih hidup.

Hari Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat aku mengepak koper dengan beberapa pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk mengambil banyak. Perjalanan menyusuri harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya diberi waktu lima menit, takut Jepang datang kembali. Mereka datang setiap hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit controller, karena pesawat Jepang bisa kembali setiap saat. Aku tidak melihat, tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat bahwa tidak ada yang tersisa di Tarempa.

Kami mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami merangkak. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak mabuk laut….. Di Tanjong Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi saya punya anak kecil. Dia tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram Kamis 14 Desember supaya menuju Tapanoeli...Saya memiliki Kakek dan bibi di sana…Sejauh ini, saya berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini mengerikan di sini. Semoga saya bisa melihat Anda lagi segera. [Catatan: kakek dan bibinya di Padang Sidempoean; sedangkan orangtua, suaminya Dr. Amir Hoesin Siagian berada di Laboehan Bilik, Labohan Batoe].

Boleh jadi berita itu di satu sisi sangat menakutkan, karena tidak lama kemudian Soerabaja juga dibom oleh militer Jepang. Sementara di sisi lain, kehadiran militer Jepang akan melegakan napas. Selama ini orang Indonesia tertindas oleh pemerintah Hindia Belanda, para politisi dijebloskan ke penjara dan diasingkan.

Militer Jepang telah memilih Radjamin Nasution menjadi pemimpin di Soerabaja (Walikota). Radjamin Nasution dipilih dibandingkan yang lain karena Radjamin Nasution satu-satunya tokoh pribumi di Surabaya yang memiliki portfolio paling tinggi. Sahabat baiknya Dr. Soetomo setahun sebelumnya telah meninggal dunia. Radjamin Nasution selain dikenal sebagai Wethouder (anggota senior dewan kota) yang pro rakyat, Radjamin Nasution juga diketahui secara luas sangat dekat dengan rakyat dan didukung tokoh-tokoh ‘adat’ di Soerabaja. Radjamin Nasution juga berpengalaman dalam pemerintahan Belanda sebagai pejabat tinggi (eselon-1) Bea dan Cukai di Soerabaja. Tentu saja, Radjamin Nasution juga seorang yang cerdas, dokter, lulusan perguruan tinggi, STOVIA di Batavia.

Dalam perkembangannya terlihat reaksi penduduk sangat bersukacita dengan kehadiran militer Jepang dan terusirnya Belanda. Tidak hanya di Soerabaja, di berbagai wilayah militer Jepang kemudian membentuk pemerintahan.

Surat kabar Soerabaijasch Handelsblad yang beberapa minggu terakhir berhenti terbit (karena proses pendudukan Jepang), terbit kembali tanggal 27-04-1942. Disebutkan bahwa Radjamin telah membentuk panitia peringatan ulang tahun Tenno Haika. Panitia terdiri dari, Ketua: Ruslan Wongsokoesoemo, dan sekretaris: Dr Angka Nitisastro. Kegiatan menghormati Raja Jepang itu meliputi berbagai kegiatan, seperti karnaval, hiburan rakyat, dan pertandingan sepakbola. Untuk pertandingan sepakbola dilaksanakan tiga hari 28-30 April 1942 yang diikuti empat klub, yakni: Persibaja (Persatuan Sepakbola Indonesia, Soerabaja), HBS, Tiong Hwa dan Excelsior.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Parada Harahap, Soekarno dan Mohammad Hatta Berkolaborasi dengan Jepang, Amir Sjarifoeddin Harahap dan Sjahrir Menentangnya: 1942

Tanggal 3 Februari 1942 perang benar-benar meletus di Kota Surabaya. Pasukan Jepang selama satu bulan beberapa kali mengebom Kota Surabaya. Koran Soerabaijasch Handelsblad yang menjadi salah satu sumber utama artikel tentang Radjamin ini, lama tidak terbit. Baru terbit kembali pada tanggal 26-02-1942. Dalam terbitan tersebut, dilaporkan terjadi perubahan di Dewan Kota. Radjamin diangkat sebagai Wakil Ketua.

Soekarno berada di Bengkulu sebagai tahanan politik yang diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Soekarno berada di Bengkulu sejak 1938 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-03-1941), tepatnya bulan Mei 1938 (lihat De Indische courant, 31-03-1941). Pada bulan Februari 1942, setelah Palembang diduduki militer Jepang, Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) seperti di Sibolga dan Bengkulu bergerak ke Kota Padang. Soekarno sebagai tahanan politik terpenting, Soekarno dan keluarga turut dievakuasi dan ikut ke Kota Padang

Pada tanggal 8 Maret 1942 pemerintahan Belanda di Indonesia benar-benar takluk tanpa syarat kepada pasukan Jepang di Kalijati-Subang setelah sebelumnya militer Jepang melakukan pendaratan di timur Batavia. Pada tanggal 8 Meret 1942 kekuasaan Gemeente (Pemerintahan Kota) Surabaya berpindah tangan kepada militer (pasukan tentara) Jepang. Lantas Dewan Kota dibubarkan. Namun demikian, pada fase konsolidasi ini, pihak Jepang masih memberi toleransi dua kepemimpinan di dalam kota. Walikota Fuchter masih dianggap berfungsi untuk kepentingan komunitas orang-orang Eropa saja. Sementara walikota di kubu Indonesia dibawah perlindungan militer Jepang ditunjuk dan diangkat Radjamin Nasoetion--Wethouder, mantan anggota senior dewan kota yang berasal dari pribumi.

Sumatra Timur kemudian diduduki lalu Sumatra Barat yang berkedudukan di Fort de Kock diduduki 17 Maret 1942. Jabatan wakil wali kota Kota Padang ini dipegang Abdoel Hakim selama 11 tahun (1931-1942). Pemerintahan militer Jepang di Sumatra yang sebelumnya berpusat di Singapura kemudian dipindahkan tanggal 1 Mei 1943 ke Fort de Kock.

Di Kota Padang dalam situasi tidak menentu (akibat serangan militer Jepang), Pemerintah Hindia Belanda mulai secara bertahap dievakuasi dengan kapal ke Australia. Situasi yang semakin membuat panik, orang-orang Belanda tidak peduli lagi dengan siapa kecuali masing-masing ingin menyelamatkan dirinya. Soekarno di Kota Padang dengan sendirinya tidak terawasi. Saat situasi chaos inilah, Soekarno dan keluarganya diamankan oleh Egon Hakim.

Siapa Egon Hakim? Seorang pengacara di Padang lulus fakultas hukum di Universiteit Leiden. Egon Hakim adalah anak wakil wali kota (burgemeeter) Padang, Abdoel Hakim. Pada era pemerintahan Hindia Belanda hanya ada dua wali kota pribumi, yakni wali kota Padang dan wali kota Batavia, MH Thamrin. Untuk sekadar diketahui, Egon Hakim adalah juga menantu dari MH Thamrin. Abdoel Hakim, ayah Egon Hakim sebelum menjadi wakil wali kota Padang adalah wethouder Kota Padang. Sementara itu di Kota Soerabaja yang menjadi wethouder adalah Radjamin Nasution. Untuk sekadar diketahui saja: Abdoel Hakim Nasution, wethouder Kota Padang dan Radjamin Nasution adalah wethouder Kota Soerabaja. Abdoel Hakim Nasution dan Radjamin Nasution adalah sama-sama kelahiran dan lulusan ELS Kota Padang Sidempoean, satu kampung dengan Parada Harahap. Radjamin Nasution adalah sekelas dengan Soetomo di STOVIA. Sedangkan Abdoel Hakim Nasution adalah sekelas dengan Tjipto Mangoenkosoemo di Docter Djawa School. Saat Dr. Tjipto Mangoenkosoemo mendirikan NIP (Indische Partij). Dr. Abdoel Hakim Nasution adalah Ketua NIP di Residentie West Sumatra dan Dr. Abdoel Karim Lubis adalah Ketua NIP di Residentie Tapanoeli. Dr. Abdoel Karim juga kelahiran dan alumni ELS Padang Sidempoean, yang juga teman sekelas Tipto Mangoenkoesomo dan Abdoel Hakim di Docter Djawa School. Parada Harahap kerap bertemu dengan Dr. Abdoel Hakim dan Dr. Abdoel Karim. Tentu saja Soekarno kerap bertemu dengan Dr. Tjipto Mangoenkosoemo di Bandoeng. Dan, Parada Harahap dan Soekarno kerap bertemu. Ini ibarat, sejarah itu tidak terbentuk secara random (acak), dan juga tidak terbentuk secara tiba-tiba (simsalabim), tetapi perihal yang membuat sejarah terbentuk bersifat sistematis (ada relasi satu sama lain).

Bagaimana Ir. Soekarno ‘diculik’ di Padang dari pengawasan Belanda oleh Egon Hakim dan lalu Ir. Soekarno diamankan di rumah Egon Hakim tentu saja sudah ada skenarionya. Orang yang berada di belakang pengamanan Soekarno di Padang sudah tentu adalah Parada Harahap MH Thamrin, Abdoel Hakim dan Radjamin Nasution.

Diculiknya dan diamankannya Soekarno di Padang adalah kelalaian orang Belanda sendiri. Kelak orang Belanda sangat-sangat menyesalinya karena di Bengkoeloe ada kans untuk membunuh Soekarno (De Telegraaf, 21-03-1966). Sementaa lolosnya Soekarno dari kawalan intel/polisi Belanda di Padang menjadi faktor terpenting berubahnya jalan sejarah Belanda di Indonesia (setelah 350 tahun).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Soekarno, Mohammad Hatta dan Parada Harahap dalam BPUPKI: 1945

Soekarno dan Mohammad Hatta (Presiden dan Wakil), Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin Harahap (Perdana Menteri Pertama dan Kedua): 1945-1948

Mohammad Hatta Meminta Parada Harahap Memimpin Majalah Detik di Bukittinggi: 1948

Parada Harahap Mendirikan Akademi Wartawan dan Memimpin Kopertis: 1952

Soekarno Mengangkat Parada Harahap Memimpin Delegasi Indonedia ke Eropa: 1954

Soekarno,  George Washington van Indonesia Memimpin Delegasi ke Amerika Serikat: 1956

Soekarno dijuluki sebagai George Washington van Indonesia pertama kali diberikan oleh para anggota Indonesia-club di New York tahun 1946 (Limburgsch dagblad, 21-08-1946). Ketua klub Indonesia-club di New York adalah John R. Andu. Saat itu, Indonesia-club di New York akan melakukan pertemuan yang akan dihadiri 200 orang. Pearl Buck, penulis terkenal diundang untuk berbicara. Dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia berupa ucapan selama dibacakan dalam pertemuan di kota kantor PBB tersebut.

Pada tahun 1949 saat pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, RIS pernah mengeluarkan prangko yang menyandingkan nama-nama phalawan Amerika Serikat dengan tokoh-tokoh Indonesia (De Telegraaf, 28-12-1949). Presiden RIS Soekarno disandingkan dengan George Washington dan Mohammed Hatta disandingkan dengan Abraham Lincoln; Hadji [Agoes] Salim dengan Benjamin Franklin; dan Mr Maramis, yang merancang struktur keuangan dari ‘republik’ Indonesia dengan Alexander Hamilton, sekretaris negara keuangan pertama Amerika Serikat pada tahun 1915.

Dalam kaitan kunjungan Soekarno ke Amerika Serikat tahun 1956, De nieuwsgier, 16-05-1956 memberi judul berita George Washington van Azie. De nieuwsgier mengutip ucapan Wellington Long yang pernah turut menghadiri konferensi Asia Afrika di Bandoeng (1955). Wellington Long mengatakan bahwa Presiden AS pertama George Washington. Presiden Soekarno adalah ayah bagi rakyatnya. Dalam konferensi tersebut disebut Wllington Long bahwa Soekarno mengingatkan para hadirin bahwa revolusi Amerika merebut kemerdekaan dimulai dari perang melawan Inggris.

Parada Harahap Wafat, Soekarno dan Hatta Retak: Dwitunggal, Tanggal Tunggal Tinggal Tunggal: 1957

Soekarno dan Mohammad Hatta pada awalnya tidak saling kenal, yang memperkenalkan keduanya adalah Parada Harahap. Kebetulan ketiga orang yang berjauhan ini sama-sama berjiwa revolusioner. Parada Harahap di Batavia, Mohammad Hatta di Belanda dan Soekarno di Bandoeng. Parada Harahap tidak punya utang kepada pemerintah Hindia Belanda, Parada Harahap sejak di Medan 1918 sudah menentang Belanda yang cenderung tidak adil dan eksploitatif. Virus kemerdekaan Parada Harahap inilah yang menular ke tubuh Mohammad Hatta dan Soekarno.

Parada Harahap sudah mengenal baik sejak Mohammad Hatta masih sekolah MULO di Padang. Mohammad Hatta melanjutkan studi ke Batavia dan setelah lulus Handelschool di PHS pada tahun 1921 langsung berangkat studi ke Belanda. Sementara itu, Soekarno tahun yang sama lulus di HBS Soerabaja lalu melanjutkan studi ke THS Bandoeng. Pada tahun 1922 Parada Harahap, editor sura kabar Poestaha (yang didirikan Soetan Casajangan) dan pendiri surat kabar Sinar Merdeka dari Padang Sidempoean hijrah ke Batavia dan tahun 1923 mendirikan surat kabar bersama Dr. Abdul Rivai, Bintang Hindia. Soetan Casajangan dan Dr. Abdul Rivai adalah mahasiswa-mahasiswa awal di Belanda. Pada tahun 1926 di Batavia, Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Timoer, yang di tahun yang sama Mohammad Hatta terpilih menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia di Belanda dan Soekarno (yang baru saja lulus THS) membentuk studi klub di Bandoeng. Saat inilah interaksi Parada Harahap dan Soekarno dimulai melalui berita dan artikel di surat kabar Bintang Timoer. Diduga kuat, Parada Harahap yang saat itu menjabat sekretaris Sumatranen Bond mendorong Soekarno membentuk perserikatan. Dan perserikatan Nasional Indonesia segera terbentuk yang mana sekretaris adalah Soekarno. Posisi Parada Harahap dan Soekarno yang sama–sama sekretaris perserikatan membuat hubungan keduanya semakin intens hingga terbentuknya PPPKI.  

Parada Harahap hanya berpendidikan lulusan sekolah dasar di Padang Sidempoean. Namun Parada Harahap lebih awal terjun ke dunia politik praktis melawan Belanda dibandingkan Mohammad Hatta dan Soekarno. Parada Harahap, sang pemberani yang sudah menjadi jurnalis senior di Batavia memerlukan pemuda yang cerdas (mahasiswa) sebagai sparring partner melawan Belanda dan kemudian mendorong Mohammad Hatta dan Soekarno menjadi pemimpin revolusioner-revolusioner muda. Sejauh ini, hingga terbentuknya PPPKI (1927), Parada Harahap boleh dikata adalah mentor politik praktis Mohammad Hatta dan Soekarno.

De tribune : soc. dem. weekblad, 27-06-1928: ‘Dalam majalah Indonesia Merdeka, organ Perhimpoenan Indonesia Belanda menggarisbawahi peran kebangkitan Sarikat Islam, penetrasi prinsip-prinsip PNI dan juga prinsip-prinsip Perhimpoenan Indonesia dan lainnya yang non-cooperative (terhadap pemerintah Hindia Belanda) serta pengusiran ke Banda dari tokoh tua, Dr. Tjipto Mangoenkusoemo menjadi awal mula munculnya persatuan dengan dibentuknya PPPKI. Saat ini bukan politik pasif Gandhi, tetapi kebijakan yang aktif, yang hanya dapat berlangsung semua bekerja sama dengan mereka yang berada di dalam pemerintahan, di Volksraad, di bidang pendidikan menolak untuk mempersiapkan kemerdekaan nasional oleh aktivitas sendiri melainkan bekerja secara bersama-sama,

Parada Harahap sangat dihormati oleh Mohammad Hatta dan Soekarno. Demikian juga sebaliknya, Parada Harahap sangat menyayangi Mohammad Hatta dan Soekarno. Saking sayangnya, Parada Harahap sebagai kepala kantor yang merangkap sekretaris di gedung PPPKI di Gang Kenari hanya memajang dua foto pemuda yang ditaruh di dinding, yakni foto Soekarno dan foto Mohammad Hatta. Parada Harahap di mata Mohammad Hatta dan Soekarno bukan saudara (Bung), tetapi Mohammad Hatta memanggil dengan sapaan Oom Parada, dan Soekarno dengan panggilan Bang Parada. Mereka hanya beda tipis dalam soal umur (Parada lahir 1899, Soekarno, 1901 dan Mohammad Hatta, 1902). Akan tetapi Parada Harahap lebih (dulu) berpengalaman di dunia praktis. Hingga tahun 1927, Parada Harahap sudah seratus kali (sejak 1918) dimejahijaukan dan belasan kali masuk penjara karena delik pers. Parada Harahap sangat piawai di pengadilan tanpa pengacara. Lebih banyak yang lolos, jika tidak lolos, karena kemampuan finansialnya yang ok cukup membayar denda yang tinggi. Parada Harahap terdeteksi dimejahijaukan tahun 1931. Berikut kutipan di pengadilan.

De Sumatra post, 06-01-1931: ‘Mr Parada Harahap berdiri untuk keseratus kalinya di meja hijau. Kali ini Parada Harahap dipanggil ke pengadilan karena korannya memuat iklan tagihan hutang. Si penagih hutang digugat karena dianggap mencemarkan nama dan juga editor Bintang Timoer, Parada Harahap juga diseret. Ketika dituduhkan [kepada] Parada Harahap ikut bertanggungjawab karena iklan itu menjadi pendapatannya. Parada menjawab: ‘Bagaimana saya bertanggungjawab?’. Polisi mencecar: ‘Anda kan direktur editor?’ [Parada menyahut] ‘Iya betul, tapi saya hanya bertanggungjawab untuk bagian jurnalistik’, jawab Parada Harahap. ‘Bagian administrasi bertanggungjawab untuk iklan’. [Djaksa tidak puas,lalu mendesak] ‘Ah’, kata Sheriff, ‘tanya sekarang, setuju bahwa di koran Anda muncul iklan cabul, apakah Anda akan mengatakan tidak bertanggung jawab?’. [Parada Harahap spontan jawab]. ‘Oh, kalau soal itu tanggungjawab saya’.

Di akhir hayat Parada Harahap, Soekarno (Presiden) dan Mohammad Hatta (wakil Presiden) masih menghargai kejeniusan Parada Harahap dan mengangkat sebagai pimpinan delegasi Indonesia ke 14 negara di Eropa tahun 1954 untuk studi banding yang akan dijadikan sebagai buku repelita Indonesia. Laporan studi banding tersebut ditulis Parada Harahap dan dicetak serta diedarkan secara luas tahun 1955. Buku repelita ini adalah karya (dalam bentuk buku) terakhir Parada Harahap. Buku pertama Parada Harahap diterbitkan tahun 1926 yang merupakan hasil perjalanan jurnalistiknya ke Sumatra dan Semenanjung tahun sebelumnya (1925) yang diberi judul: ‘Dari Pantai ke Pantai’.

Sejak penerbitan buku repelita (1955), Parada Harahap lengser keprabon. Parada Harahap yang berumur 56 tahun pensiun dari segala aktivitas. Parada Harahap memiliki dua putri yang sulung lulus dari Sekolah Tinggi Hukum (Universitas Indonesia) tahun 1957 bersama-sama putri dari Dr. Radjamin Nasution. Pada tahun 1958 Parada Harahap menikahkan putrinya Mr. Aida Dalkit Harahap dengan seorang srjana hukum di Pintoe Padang, Padang Sidempoean. Selesai sudah tugas Parada Harahap untuk negeri dan juga untuk keluarganya. Parada Harahap dikabarkan meninggal di Djakarta tahun 1959.   

Selama ini yang menjadi penengah antara Soekarno dan Mohammad Hatta adalah Parada Harahap. Sejauh itu antara Soekarno dan Mohammad Hatta sangat kuat sehingga disebut dwitunggal. Namun setelah Parada Harahap lengser, hubungan Soekarno dan Mohammad Hatta mulai tidak harmonis.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar