Laman

Kamis, 07 Juni 2018

Sejarah Kota Medan (73): Abdul Moerad, Editor Daulat Ra'jat; Anak Sibolga Diantara Anak Medan Amir Sjarifoeddin dan Sjahrir


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini 

Salah satu tokoh revolusioner yang nyaris tidak pernah ditulis sejarahnya adalah Abdul Moerad. Namanya tenggelam diantara dua nama besar ‘Anak Medan’ Amir Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir. Abdul Moerad dari usia lebih senior seumuran dengan anak Medan lainnya Parada Harahap. Abdul Moerad adalah alumni STOVIA dan kepala editor Daulat Ra'jat, organ partai Pendidikan Nasional Indonesia. Abdul Moerad sebagai penanggung jawab Daulat Rakjat termasuk sejumlah revolusioner Indonesia yang dibuang ke Digoel. Dalam kabinet Sjahrir I, Menteri Keamanan Rakjat adalah Amir Sjarifoeddin, sedangkan posisi Abdul Moerad adalah Wakil Menteri Keamanan Rakjat.

Daulat Ra’jat No. 39 Tahun 2 (10 Oktober 1932)
Tokoh-tokoh revolusioner ‘Anak Medan’ ini sangat besar kontribusinya dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Abdul Moerad kelahiran Sibolga, Parada Harahap kelahiran Padang Sidempoean dan Amir Sjarifoeddin kelahiran Medan. Soetan Sjahrir lahir di Padang Pandjang (ayahnya berasal dari Koto Gadang, Agam dan ibunya berasal dari Kota Natal, Tapanoeli).

Lantas, siapa sesungguhnya Abdul Moerad? Tidak ada yang pernah menulis sejarah Abdul Moerad. Wikipedia sudah memberi laman bagi Abdul Moerad tetapi tidak ada deskripsi. Itu artinya, nama Abdul Moerad sangat penting, tetapi tidak ada yang berhasil menulis sejarahnya. Untuk itu, ada baiknya sejarah Abdul Moerad ditulis. Sebab Abdul Moerad adalah pejuang kemerdekaan yang namanya pantas diabadikan. Mari kita lacak.

STOVIA dan ‘Anak Sibolga’

Abdul Moerad diterima di sekolah kedokteran (STOVIA) di Batavia tahun 1916. Pada tahun 1919 Abdul Moerad naik kelas dari kelas dua ke kelas tiga tingkat persiapan (De Preanger-bode, 05-06-1918). Teman sekelas Abdul Moerad antara lain Aminoeddin Pohan, Moerad Lubis dan Oesman Saleh. Adik kelas mereka yang naik dari kelas satu ke kelas dua adalah Abdoel Moenir (Nasution) dan Diapari Siregar. Abdul Moerad naik kelas dan dipromosikan ke tahun pertama tingkat medik tahun 1919 (De Preanger-bode, 27-05-1919). Tahun 1923 Abdul Moerad dan Aminoeddin Pohan naik dari kelas empat ke kelas lima (Bataviaasch nieuwsblad, 12-05-1923). Abdul Moerad dipromosikan mengikuti program Indisch Art tahun 1928 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 09-25-1928). Yang juga dipromosikan selain Abdul Moerad adalah Diapari Siregar dan Djabangoen (Harahap).

De Sumatra post, 20-05-1926
Saat libur kuliah Abdul Moerad pulang kampung bersama teman-temannya anak Tapanoeli melalui pelabuhan Belawan. Pada saat pulang kampung tahun 1926 Abdul Moerad Tandjoeng satu kapal dengan (mahasiswa STOVIA lainnya) Gindo Siregar, Amir Hoesin (Siagian), Diapari Siregar, Aminoedin Pohan, Soeleiman Siregar, Pang Siregar, Moh. Mahjoedin Loebis. Moh. Ildrem (Siregar) dan (mahasiswa Rechthoogeschool) Abdul Abbas (Siregar) serta (mahasiswa Veeartsenschool) Alibasa Harahap (De Sumatra post, 20-05-1926). Abdul Moerad juga pulang kampung tahun 1928  dan tiba di pelabuhan Belawan (De Sumatra post, 16-05-1928). Dalam manifes kapal, selain Abdul Moerad terdapat nama-nama teman-temannya antara lain Moerad Lubis dan istri, Mohammad Ildrem (Siregar), Mohammad Hasan dan Casmir Harahap. Mohammad Ildrem dan Casmir Harahap adalah mahasiswa STOVIA dan Mohammad Hasan adalah mahasiswa Rechts Hoogeschool. Yang melanjutkan studi ke Belanda adalah Diapari Siregar, Gindo Siregar, Mohamad Hasan, Aminoedin Pohan dan Mohamad Ildrem. Dr. Aminoedin Pohan melanjutkan studi ke tingkat doktoral dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1932 dan kemudian mendirikan rumah sakit Padang Sidempoean 1934. Kelak, Dr. Abdul Moerad menjadi Wakil Menteri Keamanan Rakyat (1945) yang mana sebagai Menterinya adalah Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. T. Mohamad Hasan dan Abdul Abbas dua diantara tiga anggota PPKI yang kemudian Mr. Mohammad Hasan menjadi Gubernur Sumatra (1945) dan Mr. Abdul Abbas Siregar menjadi Residen Lampoeng (1945), Residen Sumatra Timur (1947) dan Ketua Republiken Tapanoeli di Padang Sidempoean (1949). Dr. Gindo Siregar Gubernur Militer Sumatra Utara (1947). Mohammad Ildrem (salah satu pendiri dan guru besar fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara (1952) dan Dr. Aminoedin Pohan, Ph.D menjadi guru besar (Profesor) di Universiteit Indonesia (1951).

Bataviaasch nieuwsblad, 20-10-1930
Abdul Moerad lulus ujian kandidat pertama di Geneeskundige Hoogeschool tahun 1930 (Bataviaasch nieuwsblad, 20-10-1930). Sebagaimana diketahui sejak 1924 nama STOVIA telah berubah menjadi sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool) dan tahun 1927 Recht School menjadi sekolah tinggi hukum (Rechts Hoogeschool). Sekolah tinggi teknik di Bandoeng didirikan tahun 1920 dan namanya sejak awal adalah Technisch Hooge School.

Pada tahun 1927 Amir Sjarifoeddin termasuk salah satu mahasiswa yang lulus penerimaan di Rechts Hoogeschool. Amir Sjarifoeddin setelah lulus ELS di Medan tahun 1921 melanjutkan studi sekolah menengah di Leiden dan Haarlem. Setelah lulus tahun 1927 kembali ke tanah air dan mendaftar di Rechts Hoogeschool. Amir Sjarifoeddin pada tahun-tahun awal di ELS Sibolga. Lulusan ELS Sibolga antara lain Diapari Siregar, Casmir Harahap dan SM Amin Nasution. Abdul Moerad sudah barang tentu lulusan ELS Sibolga. Lulusan ELS umumnya masuk ke HBS (lima tahun) di Medan. Siswa ELS yang mengikuti jejak Amir Sjarifoeddin langsung studi sekolah menengah ke Belanda adalah Egon Hakim (Nasution) tahun 1924. Ayah Egon Hakim adalah dokter di Padang, sementara ayah Amir Sjarifoeddin adalah djaksa di Sibolga, sedangkan ayah Abdul Moerad adalah kepala sekolah di Sibolga dan ayah SM Nasution kepala sekolah di Mandailing.   

Jong Sumatranen di Sibolga

Saat Abdul Moerad sudah kuliah di Batavia, Parada Harahap pulang kampung ke Padang Sidempoean tahun 1919. Sebelumnya Parada Harahap adalah editor surat kabar Benih Mardeka di Medan. Parada Harahap diangkat sebagai editor setelah sebelumnya Parada Harahap menulis hasil investigasinya tentang perlakukan kejam para plnaters terhadap para koeli di perkebunan di Deli yang menerapkan poenale sanctie dan mengirimkannya ke surat kabar Benih Mardeka yang terbit di Medan. Atas perbuatannya, Parada Harahap yang menjabat sebagai krani di sebuah perusahaan perkebunan dipecat. Lalu Parada Harahap hijrah ke Medan, awalnya ingin melamar sebagai wartawan malahan jabatan editor yang diberikan.

Pada tahun 1919 Parada Harahap mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Surat kabar ini dari namanya saja sudah bersifat radikal. Motto surat kabar Sinar Merdeka memperjuangkan keadialan dan kemajuan bangsa. Parada Harahap adalah Ketua Jong Sumatranen wilayah Tapanoeli. Surat kabar Sinar Merdeka ini didirikan setelah Parada Harahap pulang dari kongres pertama Jong Sumatranen di Padang. Pada saat kongres 1919 Parada Harahap adalah pemimpin delegasi Tapanoeli. Demikian juga pada kongres Jong Sumatranen yang kedua di Padang tahun 1921 Parada Harahap memimpin delegasi. Pembina Kongres Jong Sumatranen baik yang pertama maupun yang kedua adalah Dr. Abdoel Hakim (ayah Egon Hakim). Mohammad Hatta juga ikut menghadiri kongres yang pertama (masih siswa MULO di Padang) dan juga kongres yang kedua (siswa handelschool di Prins Hendrik School di Batavia). Jong Sumatranen didirikan di Batavia Desember tahun 1917 setelah sebelumnya di Belanda tanggal 1 Najuri 1917 didirikan organisasi Sumatra Sepakat oleh Sorip Tagor (Harahap) dan kawan-kawan. Ketua Jong Sumatranen adalah T. Mansoer dan Wakil Ketua adalah Abdoel Moenir Nasution (mahasiswa-mahasiswa STOVIA). Ketua Panitia Kongres Jong Sumatranen di Padang tahun 1919 adalah Mohammad Amir. Sorip Tagor adalah alumni dan asisten dosen di Veartsen School di Buitenzorg. Pada tahun 1913 Soetan Casajangan setelah selesai kuliah di Belanda pulang ke tanah air dan menjadi guru di sekolah Eropa (ELS) di Buitenzorg (sebelum dipromosikan ke Kweekschool di Fort de Kock). Pada tahun ini Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah pendiri perhimpunan pelajar Indonesia (Indisch Vereeniging) di Belanda tahun 1908. Sekretaris Indisch Vereeniging adalah Husein Djajadiningrat. Perhimpunan ini kelak berbah nama menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI) yang mana ketuanya pada periode 1924-1930 adalah Mohammad Hatta.  

Abdul Moerad, mahasiswa STOVIA yang baru naik ke kelas satu tingkat medik tahun 1919 sudah barang tentu bertemu dengan Parada Harahap di kongres Jong Sumatranen yang pertama (1919) dan yang kedua (1921) yang diadakan di Padang. Kongres Jong Sumatranen saat itu adalah pertemuan bergengsi diantara para pemuda dan pelajar di Sumatra. Ini suatu reaksi terhadap dukungan kuat pemerintah kepada Boedi Oetomo dan euforia Jong Java (organ Boedi Oetomo) yang didirikan dua tahun sebelumnya, termasuk anggotanya Soekarno. Munculnya pendirian Sumatra Sepakat di Belanda dan Jong Sumatranen di Batavia karena terdapat kesenjangan yang lebar antara (pembangunan) Jawa dan Sumatra. Namun dalam perkembangannya pada tahun 1927 organisasi-organisasi daerah ini kemudian bersatu di dalam PPPKI (Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia).

Setelah kongres Jong Sumatranen yang kedua (1921) Mohammad Hatta berangkat studi ke Belanda. Sementara Parada Harahap pada tahun 1922 hijrah ke Batavia. Pada tahun 1923 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi (yang pertama) yang diberi nama Alpena (dengan merekrut WR Supratman sebagai editornya). Pada akhir tahun 1925 Parada Harahap melakukan perjalanan jurnalistik ke semua kota-kota di Sumatra dan Semenanjung. Hasil jurnalistik ini dibukukan dan diterbitkan di Batavia tahu 1926. Buku ini dicetak oleh percetakan Bintang Hindia dengan judul Dari Pantai ke Pantai. Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat kabar yang lebih radikal yang diberinama Bintang Timoer. Pada tahun 1927, Parada Harahap sebagai sekretaris Sumatranen Bond mempelopori pendirian induk organisasi-organisasi kebangsaan yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Pembentukan PPPKI ini diadakan di rumah Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D. Ketua PPPKI diangkat MH Thamrin dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Dalam pembentukan ini terdiri dari Sumatranen Bond (Parada Harahap), Boedi Oetomo (Dr. Soetomo), Kaoem Betawi (MH Thamrin), Pasoedan, Perhimpoenan Nasional Indonesia (Ir. Soekarno) dan lainnya. Dalam pembentukan ini  juga dihadiri oleh Soetan Casajangan dan anggota Volksraad (Alimoesa Harahap dari dapil Tapanoeli dan Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon dari dapil Oostkust Sumatra). Alimoesa Harahap adalah kakak kelas Sorip Tagor di Veartsen School Buitenzorg dan Mangaradja Soangkoepon adalah eks anggota Indisch Vereeniging di Belanda. MH Thamrin kelak menjadi besan Dr. Abdoel Hakim (Parada Harahap mempertemukan Mr. Egon Hakim dengan putri MH Thamrin).

Parada Harahap tidak hanya sudah kenal dengan Abdul Moerad dan Mohammad Hatta tetapi juga Parada Harahap sudah mengenal Soekarno sebelum PPPKI terbentuk pada bulan Juli 1927. Ir. Soekarno yang baru lulus kuliah di Technisch Hoogeschool, anggota Stieclub di Bandoeng kerap mengirim tulisan ke surat kabar Bintang Timoer (pimpinan Parada Harahap). Pertemuan Parada Harahap dan Soekarno semakin intens sejak berdiri PPPKI yang berkantor di gedung PPPKI di Gang Kenari (tidak jauh dari rumah MH Thamrin). Di kantor/gedung PPPKI ini hanya tiga foto yang dipajang Parada Harahap di dinding: Diponegoro, Soekarno dan Mohammad Hatta.

Pada akhir tahun 1927 Soekarno atas nama Perhimpoenan Nasional Indonsia atas persetujuan PPPKI (Parada Harahap) melakukan pertemuan besar di Bandoeng. Dari pertemuan ini satu yang penting adalah terjadi perubahan sifat organisasi PPPKI dari organisasi kebangsaan menjadi organisasi politik. Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia berubah menjadi Perhimpoenan Partai-Partai Politik Kebangsaan Indonesia. Singkatan namanya tetap sama: PPPKI. Agenda utama tahun PPPKI setelah pertemuan Bandoeng pada tahun 1927 adalah mengadakan Kongres PPPKI di Batavia (yang diitegrasikan dengan Kongres Pemuda). Ketua Panitia Kongres PPPKI diangkat Dr. Soetomo dan panitia Kongres Pemuda lalu dibentuk: Ketua, Soegondo (PPPI), Sekretaris Mohammad Jamin (Jong Sumatranen Bond) dan Bandahara Amir Sjarifoeddin (Jong Bataksch Bond). Mereka bertiga ini adalah mahasiswa Rechts Hoogeschool dimana Mr. Husein Djajadiningrat, Ph.D sebagai dosen). MH Thamrin juga adalah seorang pengusaha dan Parada Harahap adalah ketua pengusaha pribumi (semacam Kadin masa ini) di Batavia. Kadin ini menjadi sponsor penyelenggaraan Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda (junior). Kongres PPPKI diadakan tanggal 30 September dan Kongres Pemuda diadakan tanggal 28 Oktober 1928. Dalam kongres pemuda, selain Mohammad Jamin dan Amir Sjarifoeddin sudah barang tentu hadir SM Amin Nasution, Diapari Siregar dan Abdul Moerad. Parada Harahap mengundang Mohammad Hatta berbicara di Kongres PPPKI, namun karena kesibukan di Belanda tidak bisa hadir tetapi mengutus Ali Sastroamidjojo mewakili PI. Organisasi PI yang dipimpin Mohammad Hatta sejatinya berkongres di Kongres Pemuda, tetapi Parada Harahap justru menempatkan PI (Mohammad Hatta) di Kongres PPPKI. Di sinilah peran Parada Harahap ‘membesarkan’ Soekarno dan Mohammad Hatta. Satu hal bahwa di dalam Kongres Pemuda ini dikumandangkan lagu Indonesia Raya karya WR Supratman (anak buah Parada Harahap). PPPI sendiri adalah singkaatan dari Persatoen Peladjar-Peladjar Indonesia, suatu organisasi pelajar yang bersifat nasional (seperti halnya PI di Belanda). PPPI kemudian mengambil tempat sebagai kantor di gedung PPPKI di Gang Kenari.

Partai Nasional Indonesia: Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia

Setelah Kongres PPPKI tahun 1928 Perhimpoenan Nasional Indonesia dari organisasi kebangsaan berubah menjadi organisasi politik dengan nama Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada Kongres PPPKI di Solo akhir tahun 1929 Soekarno kembali hadir. Namun selesai kongres ini Ir. Soekarno ditangkap atas tuduhan Ir. Soekarno dan kawan-kawan dari partai PNI dituduh akan melakukan penggulingan pemerintah Hindia Belanda. Lalu kemudian, sementara Ir. Soekarno dan kawan-kawan di penjara mengikuti proses peradilan di Bandoeng. Ir. Soekarno akhirnya dihukum penjara.

Dalam ketidakhadiran Soekarno, PNI telah hancur. Partai ini secara resmi dibubarkan (pada saat Kongres kedua PNI 25 April 1931). Sebagai gantinya didirikan Partai Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Sartono. Parada Harahap sebagai kepala kantor PPPKI tentu sangat menyesalkan tindakan Sartono sementara Soekarno berada di penjara. Parada Harahap lalu mengajak Mohammad Jamin dan Amir Sjarifoeddin membicarakan soal nasib PNI. Bataviaasch nieuwsblad, 02-05-1931 melaporkan PPPI melakukan pertemuan publik di Gedoeng Permoefakatan (PPPKI) di gang Kenari dengan tema ‘beschouwingen betreffende het PNI vonnis (Pertimbangan Mengenai Keputusan PNI). Salah satu pembicara adalah Parada Harahap.

Saat PNI dibubarkan, ternyata tidak semua eks PNI bergabung dengan PNI pimpinan Mr. Sartono. Kelompok ini menyebut diri sebagai Golongan Merdeka. Lalu golongan ini mulai berpikir menerbitkan media pada bulan September 1931. Media pergerakan ini diberi nama Daulat Ra’jat yang dipimpin oleh Abdul Moerad.

Saat ada pemberitaan bahwa hukuman Soekarno dikurangi, Parada Harahap seakan ingin mempersiapkan ruangan bagi Soekarno di gang Kenari. Namun apa yang terjadi, Parada Harahap kaget melihat kantor PPPKI. De Indische courant, 27-11-1931 (De nationalist Hatta):’Di antara pemimpin cemerlang, Hatta, seorang Sumatra, dianggap oleh banyak kalangan, setelah Ir Soekarno sebagai yang paling sesuai sebagai pemimpin Inlandsch baik saat ini maupun masa datang. Di dalam gedung pertemuan permufakatan di gang Kenari, potret Ir. Soekarno dan Diponegoro telah dipajang bertahun-tahun, diambil dari dinding dan disembunyikan di bawah. Tindakan ini telah membawa banyak keributan di antara penduduk pribumi, bahkan wartawan Parada Harahap di majalahnya menulis dalam ‘Surat Terbuka’ telah menginformasikan bahwa, saat melihat tempat pajangan telah kosong, air mata menangis dan pelaku  diduga telah melakukan tindakan kejahatan keji ini dan akan dicari di kalangan partai. Mr. Sartono menyangkal semua itu tindakan partainya dan menolak untuk menaruh sendiri potret itu (kembali) ke tempat asalnya. Dan sekarang bahkan potret Hatta telah berdebu di bawah meja’

Golongan merdeka ini kemudian yang diinisiasi oleh Sjahrir dan kawan-kawan menjadi partai Pendidikan Nasional Indonesia. Ini terjadi pada tanggal 25-27 Desember 1931 dalam sebuah konferensi yang diadakan di Jogjakarta dengan Soekemi sebagai ketuanya. Daulat Ra’jat yang dimpin oleh Abdul Moerad dengan sendirinya menjadi organ partai Pendidikan Nasional Indonesia. Sementara itu, hukuman Soekarno benar-benar dikurangi dan Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931. Parada Harahap sumringah, karena tidak hanya Soekarno yang dibebaskan, tetapi Mohammad Hatta juga dikabarkan akan pulang ke tanah air bulan September 1932, Parada Harahap adalah orang yang merasa pertama kehilangan Soekarno selama di penjara. Parada Harahap merasa tidak cukup dengan hanya Mohammad Hatta. Parada Harahap masih konsisten membutuhkan Soekarno.

Nama Sjahrir muncul di Bandoeng pada tahun 1931 (Het volk: dagblad voor de arbeiderspartij, 18-02-1931). Sjahrir ikut dalam gerakan protes terhadap pemerintah Hindia Belanda yang mengkampanyekan buruh untuk melawan pemerintah dan menyampaikan rasa simpatik kepada eks pemimpin PNI yang telah menyuarakan melawan imperialis dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Soetan Sjahrir setelah lulus sekolah di Bandoeng berangkat studi tahun 1929 ke Belanda. Pada tahun 1931 Soetan Sjahrin pulang tetapi tidak kembali ke Belanda. Soetan Sjahrir adalah pengurus PI periode 1930 dengan posisi sebagai Wakil Ketua.   

Setelah keluar dari penjara, sempat tidak terdengar nama Soekarno. Parada Harahap lalu kemudian ‘memanggil’ kembali Ir. Soekarno. Inilah ‘panggilan’ kedua Parada Harahap kepada Soekarno, Panggilan pertama adalah ketika Soekarno di Algemeene Studieclub untuk membentuk organisasi kebangsaan: Perserikatan Nasional Indonesia.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-04-1932  (Ir. Soekarno en zijn Wederoptreden): ‘Tunggu tindakan saya’. Ini pernyataan mahasiswa pribumi Ir. Soekarno yang telah secara khusus meminta untuk meluangkan waktu belajar tentang partai yang nantinya apakah akan memilih atau apakah harus tetap di belakang layar, sebagaimana dikonfirmasinya di Bintang Timoer. Ir. Soekarno telah menulis surat kepada editor Bintang Timoer yang diterbitkan kemarin, yang menunjukkan bahwa Soekarno bahwa mereka (siswa) tengah mempelajari ‘teori gerakan rakyat’. Saya perlu untuk belajar teori, karena saya ingin mengambil tindakan. Selanjutnya Soekarno menulis: "Ketika saya lagi kemauan politik yang aktif? Aku tahu itu saja. Aku hanya pada jawaban rakyat. Segera itu akan terlihat bahwa orang itu sendiri, yang sekarang aku ekspor. Saya tidak ingin bermain. Dengan nasib rakyat, politik bagi saya adalah bukan olahraga tapi masalah serius, yang membuat saya hidup.  Soekarno meminta kepada Mr Parada Harahap, editor Bintang Timoer komentar, ‘Ir. Soekarno bukan seseorang yang berasal untuk Rakyat?’.

Rupanya Soekarno tengah belajar dan memikirkan apakah berikutnya terlibat langsung dengan partai atau hanya berada di belakang layar. Dalam tulisan Soekarno dan komentar Parada Harahap yang dimuat di Bintang Timoer tampak bahwa Soekarno masih berpolitik dan Parada Harahap terus mendorongnya tetap aktif.

Soekarno lalu menetapkan tanggal 1 Juli untuk batas penentuan baginya untuk memilih partai, yakni Partai Indonesia atau Pendidikan Nasional Indonesia (De Indische courant, 20-06-1932). Ini adalah hari yang ditentukan oleh Ir Soekarno untuk memutuskan masuknya ke dalam beberapa organisasi politik pribumi. Beberapa media memprediksi Soekarno akan memilih PI, bukan PNI. Jika Soekarno memilih PI, diharapkan bahwa PNI akan hancur berantakan, karena kemudian para pendukung Ir. Soekarno akan meluap ke Partai Indonesia. Ini juga menunjukkan bahwa ada sedikit peluang bagi Muhammad Hatta yang dikabarkan dalam waktu dekat akan kembali ke Indonesia.

Sementara itu Soetan Sjahrir terus melakukan propaganda menyuarakan Pendidikan Nasional Indonesia. Dalam suatu pertemuan besar di gang Kenari, PNI berbicara tentang politik dan ekonomi. dan krisis. Pemimpin pertemuan tersebut seorang mahasiswa Soetan Sjahrir yang kembali dari Belanda (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-03-1932). Dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang berlangsung di Bandung, Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia menggantikan Soekemi.

Ketua partai Pendidikan Nasional Indonesia cabang Batavia diangkat Abdul Moerad. Sebelumnya di Partai Indonesia (pimpinan Sartono) yang menjadi ketua cabang Batavia adalah Amir Sjarifoeddin sementara Mohammad Jamin menjadi ketua cabang Soerabaja. Ketiga orang ini sangat dekat dengan Parada Harahap.

Suhu politik yang semakin memanas, sementara Sukarno yang belum memanas telah terjadi pembereidelan sejumlah majalah dan surat kabar, termasuk Bintang Timoer, milik Parada Harahap. Bahkan Soeloeh Indonesia Moeda juga turut dibreidel yang baru seumur jangung. Majalah ini diterbitkan kembali oleh Soekarno sebagai nama lama. Dalam edisi pertama terlihat anggotanya semua adalah intelektual dari PNI lama: Dr. Soetomo dan Mr Thamrin sampai Mohammad Hatta dan Soewardi Soerjaningrat. Nama-nama karakter sekunder, seperti Maskoen, Gatot dan Soepriadinata tidak bisa menemukan tercantum. Berita ini menyebutkan majalah Ir. Soekarno ini bukanlah majalah untuk massa. Saat ini hanya untuk elit namun pada gilirannya akan melaukan perubahan kecil kecil untuk masyarakat umum.

De Sumatra post, 13-06-1932 (Verboden periodieken en bladen): ‘Pihak berwenang militer pada kenyataannya hampir seluruh rakyat pribumi ditempatkan pada daftar hitam, diduga melarang. Lembar dan majalah yang dilarang adalah sebagai berikut: Persato'an Indonesia, Simpaj, Sediotomo, Aksi, Indonesia Moeda, Balai Pemoeda Bandoeng, Garoeda, Garoeda Smeroe, Garoeda Merapi, Sinar Djakarta, Indonesia Merdeka, Impressa, Soeloeh Indonesia Moeda, Keng Po, Sim Po, Warna Warta, Sinar Terang, Indonesia Raja, Soeara Merdeka, Daulat Ra'jat, Banteng Indonesia, Panggoegah Ra'jat, Banteng Ra'jat, Darmo Kondo, Haloean, Kaperloean Kita, Mustika, Pahlawan (dengan pcmoeda Kita), Soeara Kita, Priangan Tengah, Soeara Oemoem, Soeara Oemoem Jav. Editie, Sipatahoenan, Medan Ra'jat, Fikiran, dan Ir. Soekarno Djeung Pergeraken Ra'jat. Seperti dapat dilihat, media tersebut meliputi media berbahasa Melayu yang pribumi maupun yang Chineesch. Di antara majalah yang bisa dibaca Bintang Timoer (Parada Harahap) dan Siang Po, baik yang muncul di Batavia, maupun majalah Fikiran (anggota dewan Dr Ratu Langi) di Manado adalah tabu. Majalah lainnya yang organ nasionalis, yang semua link bahkan dicap sebagai berhaluan revolusioner’.

Pembreidelan adalah senjata polisi/pemerintah kolonial Belanda untuk membungkam pers melalui pasal pers dalam undang-undang. Soal pembreidelan sudah lama ada. Yang pertama diketahui adalah surat kabar berbahasa Belanda (Sumatra Niuewsbald) milik Dja Endar Moeda di Padang tahun 1907, kemudian Pewarta Deli (pimpinan Dja Endar Moeda) di Medan 1911 dan Medan Prijaji di Batavia (pimpinan Tirto Adi Soerjo) tahun 1912. Kemudian juga surat kabar Benih Merdeka di Medan (1918) dan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempuan (1922). Kedua surat kabar yang disebut terakhir dulunya digawangi oleh (editor) Parada Harahap. Dalam hal ini Parada Harahap tidak kaget dengan pembreidelan. Setelah Sinar Merdeka dibreidel di Padang Sidempoean, tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke Batavia.

Soekarno yang sudah jarang naik panggung, Parada Harahap mempertemukan Soekarno dalam suatu pertemuan PPPI. Pertemuan himpoenan organisasi pemuda/pelajar ini akan diadakan pada tanggal 17-19 September. Soekarno akan berbica terntang ‘Mencari Koneksi Asing’ (De Sumatra post, 16-09-1932). Sementara itu, Mohammad Hatta sudah berada di tanah air. Pada bulan November 1932, Mohammad Hatta dilaporkan berduet dengan Sjahrir di dalam pertemuan publik di Megelang. Mohammad Hatta akan berbicara tentang kelebihan perdagangan, dan Sjahrir tentang prinsip partai (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 17-11-1932). Mohammad Hatta juga pada tanggal 9 dan 10 Februari di Semarang untuk menyelenggarakan konferensi darurat PPPKI. Mohammad Hatta bertindak sebagai penasehat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 31-01-1933).

Revolusioner Indonesia Berangkat ke Jepang

Pemerintah tidak hanya melakukan pembreidelan pers pribumi, juga menangkap para pemimpin dan kader-kader politik yang bersifat radikal. Penangkapan terhadap kader-kader politik tersebut diasingkan ke Digul. Meski demikian, para revoluioner tidak ada takutnya. Ini juga telah dialami Parada Harahap yang masuk penjara, setelah keluar penjara kembali lagi dan masuk bui lagi.

Setelah sekian lama Soekarno tidak aktif, mulai mengaum lagi. De Sumatra post, 24-02-1933 memberitakan bahwa di Tjilentah [Bandoeng] Ir. Soekarno ikut berbicara di dalam suatu pertemuan publik Partai Indonesia yang dihadiri 3.000 orang. Dalam pembukaan pertemuan itu lebih dahulu dinyanyikan lagu Indonesia Raja. Setelah dibuka oleh ketua PI dilanjutkan dengan orasi para pembicara. Pembicara kedua tampil Amir Sjarifoeddin (ketua PI Batavia) Menurut Amir imperialisme adalah bahan bakar dari gerakan nasional. Tentu saja kebijakan Nasionalisme dan imperialisme tidak bisa bekerja bersama, jadi non-cooperative juga harus menjadi pondasi perjuangan. Non-cooperative, bagaimanapun, tidak berarti duduk kosong, karena PI berusaha untuk membangkitkan kesadaran nasional. Kebebasan hanya dapat diperoleh oleh orang-orang, itulah sebabnya aksi massa diperlukan. Pembiacara terakhir adalah Ir. Soekarno. Menurut Soekarno imperialisme dan kapitalisme adalah lagu lama. Kebebasan adalah jembatan mencapai kesejahteraan. PI mengedepankan demokrasi dalam politik dan ekonomi. Gerakan nasional adalah bersumber dari perut orang-orang yang berderak-derak. Mengenai aksi massa, bahwa PI akan dapat menghadirkan 60 juta orang ke Indonesia Merdika. Pertemuaan berakhir pada pukul 12 sesuai batasa polisi.

Pertemuan di Bandoeng inilah, untuk kali pertama Soekarno tampak di panggung setelah keluar dari penjara. Pertemuan di Bandoeng ini juga untuk kali pertama Amir Sjarifoeddin berbicara di panggung politik.

Melihat dinamika politik yang tengah berlangsung, Parada Harahap berkoordinasi dengan Radjamin Nasution di Soerabaja (De Indische courant, 27-04-1933). Lalu Federasi ‘Kaoem Boeroeh Indonesia’ menyelanggarakan konferensi di Soerabaia dari 4 hingga 7 Mei. Soekarno yang agak jarang mendapat panggung diundang sebagai pembicara. Pembicara lainnya adalah Dr. Soetomo. Meski Parada Harahap sebagai ketua pengusaha pribumi (semacam Kadin) di Batavia, juga turut dalam konferensi ini. Dalam suasana May Day ini empat tokoh revolusioner bertemu di Soerabaja dalam satu panggung: Parada Harahap, Soekarno, Soetomo dan Radjamin Nasution.

Setelah pertemuan publik PI di Bandoeng, Soekarno kembali hadir sebagai pembicara pada sejumlah pertemuan yang lain. Sejak itu, nama Soekarno berada dalam top list yang dicap polisi/intel sebagai agitator. Ir. Soekarno akhirnya ditangkap. Dalam perkembangannya Ir. Soekarno diberitakan telah mendapat sinyal dari pemerintah agar Soekarno diasingkan (De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 03-08-1933). Parada Harahap kembali akan kehilangan Soekarno. Untuk tetap menjaga marwah revolusi, Parada Harahap dari gang Kenari mengundang PPPI untuk melakukan diskusi publik terkait dengan kasus Soekarno. PPPI menyelenggarakan pertemuan publik pada tanggal 3 September di Djatibaroe dan gang Kenari (De Sumatra post, 01-09-1933). Sebagaimana diketahui Djatibaroe adalah lokasi percetakan Bintang Hindia (milik Parada Harahap). Sebelumnya Parada Harahap telah menulis di surat kabar Bintang Timoer.

Haagsche courant, 03-08-1933: ‘Het oordcel van de ‘Bintang Timoer’, Batavia, 3 Agustus. (Aneta). Dalam sebuah editorial Bintang Timur menjelaskan berikut peristiwa baru-baru ini, bahwa penangkapan Ir. Soekarno adalah suatu keprihatinan karena pembatasan hak untuk menghadiri pertemuan, hal itu sehubungan dengan PI dan PNI. Bintang Timoer menganggap bahwa gerakan nasionalis menuntut korban, Namun demikian, hak-hak mereka dapat diterapkan untuk setiap saat diinginkan, sehingga penangkapan Ir. Sukarno meski harus diasingkan kita harus tetap tenang. Bintang Timoer menyebut pembatasan hak untuk menghadiri pertemuan, bahkan itu juga terjadi di Volksraad adalah kemunduran serius dan berharap bahwa Pemerintah akan memberikan kembali hak yang diberikan sepenuhnya sebagaimana yang terdapat dalam Konstitusi’.

Parada Harahap juga kemungkinan akan lebih kehilangan lagi karena Mohammad Jamin (ketua Partindo Soerabaja) dan Amir Sjarifoeddin (ketua Partindo Batavia) juga dalam pembahasan pemerintah untuk diasingkan (Arnhemsche courant, 04-08-1933).

Mohammad Jamin dan Amir Sjarifoeddin adalah sekretaris dan bendahara panitia Kongres Pemuda 1928. Setelah keduanya lulus Rechthoogeschool, langsung terjun ke partai politik (Partai Indonesia). Mohamamad Jamin adalah adik dari Djamaloeddin alias Adinegoro. Sepulang Adinegoro studi jurnalistik dari Eropa, Parada Harahap mempekerjakannya sebagai editor Bintang Timoer (1929). Namun belum genap setahun, datang Abdullah Lubis dari Medan untuk membantu Pewarta Deli karena para editornya mengundurkan diri karena mendirikan surat kabar. Antara Parada Harahap dan Abdullah Lubis terjadi kesepakatan dan Adinegoro dipindahkan ke Pewarta Deli di Medan. Parada Harahap sendiri pernah menjadi editor Pewarta Deli pada tahun 1918.

Pemerintah Hindia Belanda yang dijalankan oleh para intel dan polisi terus mengawasi pergerakan nasional. Pemerintah Hindia Belanda terus melakukan tekanan. Mahasiswa ditangkapi, pemimpin partai juga ditangkap, semua pers pribumi dibreidel. Pertemuan publik juga telah dilarang. Pers Belanda juga terus menyoroti pers pribumi. Parada Harahap telah lama menjadi target pers Belanda. Meski demikian, Parada Harahap tetap berbicara dengan pena yang tajam dan pikiran yang jerni dalam mengorganisasikan para revolusioner Indonesia. Tidak ada lagi hal yang aman dan nyaman dengan Belanda. Parada Harahap (kembali) memikirkan nama (bangsa) Jepang sebagai partner (yang baru). Belanda sudah menjadi masa lalu dan tetap melancarkan prinsip non-kooperative, Jepang adalah masa datang dengan prinsip kooperative.Parada Harahap tidak memiliki hutang kepada pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya, Parada Harahap bertahun-tahun ‘dizalimin’ oleh polisi kolonial Belanda dan telah ratusan kali dipanggil ke meja hijau di pengadilan dan tak terhitung pula berapa kali harus masuk penjara. Melawat ke Jepang, sesama Asia jelas jawabannya. Jepang memiliki hutang kepada Parada Harahap (pembongkaran kasus prostitusi Jepang di Medan, 1918). Parada Harahap akan memimpin tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang, diantaranya Abdullah Lubis (jurnalis di Medan), Mohammad Hatta (akademisi) dan Samsi Sastrawidagda (guru di Bandoeng).

De Sumatra post, 16-10-1933: ‘Pada 16 Oct. (Aneta). Pemimpin Bintang Timoer, Mr. Parada Harahap berangkat 7 November disertai sejumlah guru pribumi dan pengusaha ke Jepang. Rombongan akan kembali melalui Manila’.[Bataviaasch nieuwsblad, 24-10-1933: ‘Jumlah yang berangkat ke Jepang sebanyak tujuh orang. Tiga wartawan, satu orang guru, satu orang  kartunis, dua pengusaha (Batavia da Solo). Tiga orang diantaranya dari pulau-pulau luar [Jawa].

Bataviaasch nieuwsblad, 29-12-1933 (Java in Japan: The King of the Java Press): ‘The King of the Java Press’ telah tiba di Jepang. Dan ada resepsi diberikan, dia dijamu layaknya seorang raja, Mr Parada Harahap dari Bintang Timoer dan partainya dari atas  tampaknya benar-benar melakukan yang terbaik mereka dan dengan demikian sepenuhnya diperlakukan tuan tamu mereka dalam roh, yang merupakan kunjungi lonjakan negara dari Jawa ke Jepang ini, untuk alasan apa pun, sehingga sekuat mungkin untuk mendorong, dan dengan cara lain yang begitu mahal dapat memfasilitasi kontak dengan gerakan masyarakat adat. Misi Perwakilan Comercial dari Jawa, yang orang-orang ini wartawan koran, termasuk agen batik diizinkan berbicara. Di kapal mereka disambut oleh Mr Shinzaburo Ishiwara, ‘general manager’ dari Ishiwara Sangyo Kaisha Kabushiki Kobe. Berkenaan dengan tujuan kunjungan mereka, pemimpin kelompok, Raja dari Pers Jawa, Mr. Parada Harahap, yang memimpin lima surat kabar Melayu diantaranya Bintang Timoer, berbicara bahwa: ‘Kami datang ke sini untuk melihat-lihat dan menikmati tempat-tempat terkenal keindahan alam dan juga untuk melihat ke pemimpin lingkaran perdagangan dan industry. Kami dapat untuk membantu dengan pembentukan hubungan persahabatan antara masyarakat Jepang dan Jawa. Mr Parada Harahap juga murah hati dengan nasihat yang baik. Ia berpikir bahwa Jepang akan melakukan sendiri benar mengerti populasi millionen di Jawa, yang ingin datang untuk mengenal negara ini dan ini bisa dilakukan dengan bantuan pers cukup baik kemudian ternyata bahwa Mr Parada Harahap siap untuk menyebarkan berita tentang Jepang sebanyak mungkin dan mengatakan masih akan menulis tentang Jepang dalam sebuah buku-hampir tidak bisa membawa semua niat ini, karena ia takut kunjungan singkat hanya selama tiga minggu, ia berpikir ke Jepang untuk memutar kembali waktu berakhir tentang Cherry Blossom dan sebagai anggota dari ‘Indonesia Parliamentary Party’.

Sepulang dari Jepang, Parada Harahap menjadi target polisi/intel Belanda. Parada Harahap dan kawan-kawan tidak langsung ke Batavia, melainkan turun di Tandjoeng Perak Soerabaja. Mengapa? Jika langsung ke Batavia, Parada Harahap dan kawan-kawan akan langsung ditangkap. Di Soerabaja akan merasa lebih aman. Ketua Persatoean Boeroeh di pelabuhan Tandjong Perak adalah Radjamin Nasution yang juga menjadi anggota dewan kota Soerabaja. Tentu saja di pelabuhan, Parada Harahap dan kawan-kawan disambut oleh Dr. Soetomo. Parada Harahap dan kawan-kawan tiba di Soerabaja tanggal 13 Januari 1934. Pada hari yang sama mereka mendapat kabar bahwa Soekarno diberangkatkan ke pengasingan. Di Flores.

Setelah situasi mereda Parada Harahap dan kawan-kawan kembali ke Batavia. Tentu saja di Soerabaja ada pembicaraan dengan Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution. Mereka berdua adalah tokoh penting Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang berpusat di Soerabaja. Selain itu, antara Parada Harahap dan Dr. Soetomo sesama pengelola media juga membicarakan banyak hal. Perlu diingat disini: Ketika Parada Harahap menggagas pendirian PPPKI, awalnya Boedi Oetomo enggan bergabung (karena merasa sudah besar). Parada Harahap meminta bantuan Dr. Radjamin Nasution agar Dr. Soetomo  berlapang hati ikut bergabung dengan PPPKI (Radjamin Nasution dan Soetomo adalah bersahabat dekat sejak kuliah di STOVIA). Pada kongres PPPKI tahun 1929 di Solo bahkan Ir. Soekarno memohon agar Boedi Oetomo berpartisipasi aktif untuk perjuangan nasional. Setelah PNI didirikan Soekarno tahun 1928, pada tahun 1931 Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution mendirikan partai Persatoean Bangsa Indonesia (PBI). Untuk memperbesar partai PBI, Dr. Soetomo mengajak Boedi Oetomo bergabung lalu fusi ini melahirkan parati baru yang disebut Partai Indonesia Raya (Parindra). Pada tahun 1938 Radjamin Nasution, anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja terpilih menjadi anggota Volksraad mewakili Parindra di dapil Kota Soerabaja. Itulah kebesaran hati Dr. Soetomo, semangat dan keseriusan Ir. Soekarno, kerelaan dan ketulusan Dr. Radjamin Nasution dan inisiatif pro-aktif Parada Harahap dalam merajut bangsa secara bersama-sama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.  

Ketua Editor Daulat Ra’jat dan Boven Digoel

Belum lama berada di Batavia, Parada Harahap ditangkap intel/polis Belanda di Batavia. Untuk meringankan tuntutan kepada Parada Harahap, konsulat Jepang memberikan kesaksian. Akhirnya Parada Harahap tidak terbukti melakukan pelanggaran lalu dibebaskan. Namun Mohammad Hatta ditangkap karena alasan lain. Pada tanggal 25 Februari 1934 ditangkap dengan tuduhan yang dikaitkan dengan isi propoganda di media Daulat Ra’jat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1934). Bersamaan dengan penangkapan Mohammad Hatta ini, sejumlah pengurus PNI juga ditangkap. Jumlahnya sebanyak 40 orang dan dilakukan penggeledahan di 50 rumah di lima kota (Batavia, Bandoeng, Chirebon. Djogjakarta dan Soerabaja). Mohammad Hatta ditangkap di tempat tinggalnya di Gang Kebon Djeroek No 37 Sawah Besar. Mohammad Hatta lalu digelandang ke markas besar Polisi untuk dilakukan interogasi awal dan lalu kemudian ditahan di penjara di Struiswijk (kini penjara Salemba di jalan Percetakan Negara).

Daulat Ra’jat terbit 10 hari sekali. Alamat administrasi Struiswijkstraat dan alamat redaksi di Gang Lontar. Daulat Ra’jat sebagai organ parati Pendidikan Nasional Indonesia menjadi sarana komunikasi, penerangan dan propaganda kepada para kader-kader di berbagai tempat. Para penulis adalah Abdul Moerad, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir dan lainnya. Partai Pendidikan Nasional Indonesia mengandalkan organ Daulat Ra’jat untuk pengkaderan dan propaganda jika dibandingkan Partai Indonesia (Partindo) yang tetap mengikuti model induknya yang telah dibubarak (PNI) dengan cara penggalangan massa baik dalam forum tertutup maupun pertemuan publik.

Bataviaasch nieuwsblad, 26-02-1934
Penggeledahan djuga dilakukan di Gang Lontar, Kramat dimana kantor Partai Nasional Indonesia cabang Batavia. Ditempat ini tinggal Ketua Cabang Batavia, Abdul Moerad dan tempat ini juga kantor media Daulat Ra’jat. Namun karena Abdul Moerad bukan pengurus pusat setelah ditangkap kemudian dilepas. Akan tetapi dalam perkembangannya Abdul Moerad ditangkap. De Indische courant, 12-11-1934 melaporkan bahwa Mohammad Hatta, Bondam, Abdul Moerad dan Sajoeti akan dikirim ke Digoel. Namun dalam perkembangannya Abdul Moerad tidak diasingkan ke Digoel. Sedangkan Mohammad Hatta dan sejumlah pengurus partai Pendidikan Nasional Indonesia berdasarkan resolusi tanggal 16 November 1934 harus diasingkan. Mohamamd Hatta diberangkatkan ke Boven Digoel pada bulan Januari 1935. Selanjutnya dalam sidang yang dijalani Abdul Moerad hanya dikenakan hukuman sembilan bulan penjara.

Soerabaijasch handelsblad, 25-03-1935 Ketua editor Daulat Ra’jat organ partai Pendidikan Nasional Indonesia Abdul Moerad diajukan ke pengadilan Landraad Batavia untuk hasutan karena pria itu ada di majalah 30 Agustus 1934 sebuah artikel sekitar enam bulan lalu tujuh kolom dimana ia mendorong masyarakat untuk mengganggu sebanyak mungkin dan menggulingkan otoritas disini di Hindia. Setelah interogasi yang ekstensif, yang memakan waktu beberapa jam, terdakwa dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara, dengan pengurangan waktu yang dihabiskan dalam penahanan preventif

Setelah para pengurus partai Pendidikan Nasional Indonesia berada di pengasingan, para kader tidak berdiam diri. Perjuangan terus dilakukan. Organ partai, Daulat Ra’jat juga tetap dijalankan dengan cara sangat hati-hati. Setelah para tokoh-tokoh Indonesia melancarkan protes dan melakukan negosiasi yang dilakukan oleh Parada Harahap dan teman-teman di Volksraad, Mohammad Hatta pada bulan November 1935 dipindahkan dari Digoel ke Banda. Selanjutnya, Abdul Moerad dan kawan-kawan ditangkap, lalu diasingkan ke Boven Digoel.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-09-1939: ‘Abdul Moerad diasingkan ke Boven Digoel. Sesuai dengan rpasal 8 Konstitusi Hindia Belanda kepada Soepiman alias Martosepoetro, Soeparman alias Moerdjoto, Partoatmodjo alias Sarimin, Bernawi Latif, Bambang Sindhu alias Mochtar, Simoeh alias Toekijat dan Abdul Moerad untuk kepentingan perdamaian publik akan dikirim ke tempat pengasingan di Boven Digoel’

Partai Sosialis Indonesia: Soetan Sjahrir, Amir Sjarifoeddin dan Abdul Moerad

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 dibentuk pemerintahan yang bersifat presidensial. Dalam susunan kabinet ini diperlukan nama Amir Sjarifoeddin untuk lebih menetralisir keberadaan Soekarno dan Mohammad Hatta yang cooperative kepada Jepang. Untuk itu Soekarno bernegosiasi dengan militer Jepang untuk dibebaskan Amir Sjarifoeddin dari kamp tahanan militer Jepang di Malang. Akhirnya Amir Sjarifoeddin dibebaskan dan slot yang diberikan sebagai Menteri Penerangan ditempatinya.

Kosmetik kabinet anti Jepang tidak cukup dengan hanya menaruh Amir Sjarifoeddin dalam kabinet. Presiden Soekarno lalu mengeluarkan maklumat pada tanggal 3 November 1945 bahwa sistem pemeritahan presidensial diubah menjadi sistem pemerintahan parlementer. Perdana Menteri ditujuk Soetan Sjahrir. Lalu kabinet terbentuk pada tanggal 14 November 1945 yang mana Amir Sjarifoeddin sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan juga masih merangkap sebagai Menteri Penerangan. Abdul Moerad diposisikan sebagai Wakil Menteri Keamanan Ra’jat Lalu partai-partai melakukan konsolidasi dan partai baru dibentuk pada bulan Desember 1945 yang disebut Partai Sosialis Indonesia. Ketua partai baru ini adalah Soetan Sjahrir dan Wakil Ketua Amir Sjarifoeddin (fusi partai yang didirikan Soetan Sjahrir dan partai yang didirikan Amir Sjarifoeddin).

Kabinet baru ini lalu mendapat tantangan dari TKR dan dari oposisi. Kelompok oposisi ini terutama dari kelompok Tan Malaka. Tekanan yang terus menyudutkan kabinet Sjahrir akhirnya tidak tahan lalu mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Namun Soekarno mengangkat kembali Soetan Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan menyusun kembali kabinet baru yang diumumkan pada tanggal 12 Maret 1946. Dalam kabinet baru ini nama Abdul Moerad tidak ada lagi. Untuk posisi Menteri Pertahanan tetap dijabat oleh Amir Sjarifoeddin. Sejak itu nama Abdul Moerad tidak pernah terdeteksi lagi.

Para oposisi ini terbagi dua golongan besar. Yang pertama adalah golongan pejuang bersenjata, termasuk TKR yang menginginkan hilangnya penjajajah terutama Belanda/NICA yang berada di belakang sekutu/Inggris. Golongan ini termasuk laskar-laskar yang dibentuk masyarakat maupun organisasi. Golongan yang kedua adalah para penganut paham 100 persen merdeka (tanpa ada prinsip kerjasama dan tanpa ada pengaruh asing). Kelompok yang menonjol dari golongan ini adalah kader-kader Tan Malaka seperti Chaeroel Saleh, Adam Malik dan lainnya. Sementara itu di pihak pemerintah sudah mengingkari UUD 1945 yang memajukan sistem parlementer dan terkesan ada kecenderungan pemerintah (kabinet) untuk melakukan kerjasama dengan Belanda. Tuntutan dari golongan-golongan oposisi ini semakin keras lebih-lebih dua perjanjian yang dilakukan Linggarjati dan Renville) semakin tidak menguntungkan (republik) Indonesia. Sedangkan kelompok yang berkiblat ke Tan Malaka menginginkan Republik Indonesia 100 persen.

Abdul Moerad telah berpartisipasi aktif dalam ikut memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Boleh jadi Abdul Moerad mengundurkan diri dari kabinet (Sjahrir) karena sudah tidak kuat dengan meningkatnya umur, ketika tekanan terhadap pemerintahan yang baru dibentuk makin hari makin kencang dari berbagai pihak baik dari luar (Belanda/NICA) maupun dari dalam (pihak oposisi). Yang jelas Abdul Moerad telah ikut berjuang. Dr. Abdul Moerad Tandjoeng adalah kerabat dekat Ir. Akbar Tandjoeng.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar