Laman

Selasa, 09 Juli 2019

Sejarah Bekasi (17): Sejarah Pendidikan di Bekasi, Sejak Kapan Dimulai? Normaal School Menuju Universitas Negeri Bekasi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Satu pertanyaan penting tentang sejarah Bekasi adalah sejak kapan penduduk Bekasi mendapatkan pendidikan. Pertanyaan ini sangat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya jika itu soal masa lampau (sejarah). Sejarah pendidikan di suatu wilayah boleh dikatakan sejarah kualitas penduduk di wilayah. Dalam hal ini, wilayah Bekasi di satu sisi sangat dekat dengan Batavia (kini Jakarta), tetapi pertanyaannya, apakah sedekat itu penduduknya akrab dengan pendidikan?

Kweekschool Sidempoean, Dir. Normaalschool, Meester Cornelis
Pada masa ini Kota Bekasi pada khususnya telah mulai menjajaki perlu adanya universitas negeri di Bekasi (PTN). Ini jelas satu langkah besar, tetapi tentu saja tidak mudah dan banyak faktor penghambat. Satu upaya, meski belum terwujud, dengan sendirinya sudah menjadi bagian dari sejarah pendidikan di Bekasi. Semangat untuk mendirikan universitas negeri di Bekasi adalah semangat pendidikan itu sendiri. Sejauh ini sudah ada universitas di Bekasi yakni Universitas Islam 45 Bekasi (UNISMA) yang cikal bakalnya telah dirintis sejak tahun 1982 sebagai Akademi Pembangunan Desa (APD). Namun UNISMA tidak cukup.    

Lalu pertanyaan berikutnya adalah sejak kapan adanya sekolah di Bekasi? Untuk sekadar diketahui, saat ini Kota Bekasi adalah kota metropolitan yang telah memiliki ratusan sekolah dasar negeri dan puluhan sekolah menengah pertama dan juga puluhan sekolah menegah atas. Tentu saja itu semua dimulai dari awal. Jika akhirnya begini, lalu begitu seperti apa awalnya? Satu yang penting Mr Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan membangkitkan semangat penduduk Bekasi untuk mendapatkan hak bersekolah. Untuk itu mari kota telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Prinsip Pendidikan dan Sekolah Pertama di Bekasi

Wilayah Afdeeling Bekasi, bukanlah lahan kosong, tetapi tanah dan air dengan penduduk yang secara statistik cukup padat. Sebaliknya, penduduk Bekasi terbilang sebagai penduduk terawal berinteraksi dengan orang asing (Eropa, Tionghoa dan Arab). Tentu saja yang terpenting, penduduk Bekasi memiliki satu kelebihan jika dibanding dengan penduduk di wilayah yang lain yakni akses mudah dan cepat ke pusat pendidikan di Batavia (ibukota pemerintahan kolonial Belanda). Akumulasi keutamaan penduduk di wilayah Bekasi seharusnya menjadi keunggulan komparatif dengan wilayah lain. Namun semua itu menjadi ‘gelap gulita’ ketika kita berbicara tentang pendidikan penduduk.

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868: ‘Mari kita mengajarkan orang (di  pulau) Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli (pribumi) dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’.

Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa di (pulau) Jawa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa(.Belanda)… lalu stadsblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’.

Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘Kndisi pendidikan pribumi di (pulau) Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Hindia Belanda)’.

Hingga tahun 1870 belum ditemukan suatu keterangan yang menyatakan di Afdeeling Bekasi sudah terdapat sekolah. Kenyataan ini tampaknya bersesuaian dengan berita-berita yang dapat dibaca pada surat kabar sebelumnya. Persoalan pendidikan di Bekasi bukan sendiri, tetapi gambaran umum yang terjadi di seluruh pulau Jawa. Para pegiat pendidikan kala itu, terang-terangan menyindir pemerintah dan juga melecut penduduk pribumi. Pendidikan adalah pendidikan. Para pegiat pendidikan tidak pandang bulu: Mereka mendukung yang benar dan mengkritisi yang salah. Moralitas manusia (apapun warna kulitnya) adalah inti prinsip pendidikan itu sendiri. Para pegiat pendidikan, sejauh ini, meski mereka adalah bagian dari orang-orang kolonial, mereka tetap konsisten dengan ide (prinsip) pendidikan itu sebagai elemen universal.

Seperti halnya para penyiar agama (Islam) atau para misionaris (Kristen) menyebarluaskan moral agama (ketuhanan), para pegiat pendidikan juga memperluas jangkauan pendidikan. Mereka pegiatan pendidikan ini adalah orang-orang humanis yang berbeda dengan rekan sebangsanya yang cenderung rasial. Meski mereka ini berada di dalam kelompok orang-orang kolonial Belanda tetapi dari sudut pandang penduduk pribumi, mereka para pegiat pendidikan ini harus dipandang sebagai pejuang kemanusiaan. Pemerintahan Hindia Belanda pada hematnya tidak tutup mata tentang pendidikan bagi pribumi, tetapi upaya yang dilakukan sangat lamban. Masalah inilah yang diserang oleh para pegiat pendidikan. Para pegiat pendidikan melihat kenyataan pendidikan penduduk pribumi masih jauh dari normanya.

Orang Belanda di satu sisi memiliki adagium penjajah adalah penjajah, di sisi lain para pegiat pendidikan merujuk pada gagasan pendidikan bahwa pendidikan adalah pendidikan. Setelah kelompok rasialis alva sekian abad, para pegiat pendidikan Eropa/Belanda baru menyadari bahwa apa yang mereka lakukan tidak ada artinya jika dibandingkan dengan normanya. Mereka terkejut ketika Inspektur Pendidikan Hindia Belanda ( A van der Chjis) melaporkan ke publik telah menemukan fakta kenajuan pendidikan di wilayah Mandailing en Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan). Chjis tidak membayangkan sebelumnya.

Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa, murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.

Setelah isu pendidikan ini mengemuka (hingga tahun 1870), lalu seperti apa perubahan yang terjadi di wilayah Bekasi. Sulit membayangkan. Hal ini karena baru-baru ini telah terjadi kerusuhan di Bekasi. Terhadap pelaku kerusuhan proses peradilan masih berlangsung. Namun demikian ada peluang akan terjadi peningkatan pendidikan bagi penduduk pribumi di wilayah Bekasi. Ini sehubungan dengan sekolah guru (kweekschool) Bandoeng sudah menghasilkan lulusan. Para lulusan sekolah guru di Bandoeng cepat atau lambat akan berdampak positif pada pendidikan di Bekasi.

Sesungguhnya introduksi pendidikan modern (aksara Latin) belum lama di Afdeeling Mandailing en Angkola. Itu baru dimulai tahun 1851 (saat mana sekolah guru dididirkan di Soerakarta). Asisten Residen AP Godon dan atas partisipasi pemimpin lokal memperkerjakan seorang guru di Afdeeling Mandailing en Angkola. Dua siswa lulusan dari angkatan pertama ini diterima di sekolah kedokteran di Batavia tahun 1854. Lulusan berikutnya, ketika sekolah guru didirikan di Fort de Kock (sekolah guru kedua), Si Sati dari Afdeeling Mandailing dan Angkola justru berkeputusan melanjutkan sekolah guru ke Belanda tahun 1857. Ternyata Si Sati alias Willem Iskander berhasil di Belanda dan kembali ke Mandailing tahun 1861 dan mendirikan sekolah guru di Tanobatoe tahun 1862. Pada tahun 1864 ketika sekolah guru Tanobato ini belum menghasilkan lulusan, kualitasnya sudah tersiar di surat kabar. Berita itu berdasarkan laporan Gubernur Sumatra’s Westkust. Pegiat pendidikan Preanger merespon positif dengan mendirikan sekolah guru di Bandoeng yang dibuka tahun 1866 (sekolah guru keempat). Setelah pendirian sekolah guru di Bandoeng inilah Inspektur Pendidikan Hindia Belanda Mr van der Chijs ke Afdeeling Mandailing en Angkola untuk melihat kemajuan sekolah guru yang didirikan Willem Iskander. Laporan perjalanan Mr van der Chijs publikasikan di surat kabar. Isi laporan ini menjadi heboh di (pulau) Jawa. Mulailah bermunculan kritik dari para pegiat pendidikan terhadap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan.  

Adanya kegiatan pendidikan di wilayah Bekasi baru terdeteksi pada tahun 1917. Hal ini sehubungan terbitnya beslit penempatan seorang guru kelas dua untuk sekolah umum pemerintah bagi pribumi di Bekasi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-01-1917). Yang dimaksud guru kelas dua adalah untuk membedakan dengan guru kelas tiga. Guru kelas dua berarti merujuk pada sekolah yang lamanya sekolah adalah dua tahun (sekolah yang hanya mendidik siswa hingga dua tahun).

Sekolah untuk orang Eropa/Belanda dibedakan dengan sekolah untuk orang pribumi dan orang Tionghoa. Sekolah dasar untuk orang Eropa/Belanda disebut Europeechs Lager School (ELS), sementara untuk pribumi disebut Openbare Inlandsche School. ELS didirikan di tempat-tempat utama (hoofdplaats) dimana ditemukan banyak orang Eropa/Belanda. Jika di suatu tempat tidak ada ELS, orang-orang Eropa/Belanda cenderung memberi pelajaran sendiri kepada anak-anak mereka atau menggaji guru-guru Eropa dalam pelajaran privat atau mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah berasrama. Dimana terdapat sekolah ELS berbeda dengan apa yang kita bayangkan pada masa ini. Di Tjibadak terdapat sekolah ELS, sementara di Soekaboemi tidak ada (lihat De Preanger-bode, 25-12-1918). Sekolah ELS terdekat dari Bekasi terdapat di Meester Cornelis. Untuk orang Tionghoa juga mendirikan sekolah sendiri, jika tidak ada sekolah para orang tua yang mampu mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah berasrama. Sejak 1890 pemerintah juga membuka slot untuk siswa pribumi (umumnya adalah anak-anak pemimpin lokal atau pejabat (pegawai) pemerintah.   

Selain sekolah yang didirikan oleh pemerintah, di suatu kota atau kampong juga ditemukan sekolah yang dibangun swadaya oleh masyarakat (sekolah swasta). Namun hal itu tidak mudah karena keterbatasan jumlah guru lulusan sekolah guru (kweekschool). Sekolah yang ada di Bekasi, seperti yang diberitakan tahun 1917 adalah sekolah dasar pemerintah (dua tahun).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar