Laman

Jumat, 12 Juli 2019

Sejarah Bekasi (20): Sejarah Cabangbungin, Ibukota Bekasi Tempo Dulu; Sentra Kapas, Kini Terpencil 'Jauh di Mata Dekat di Hati'


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Sejarah itu apa adanya. Sejarah itu tidak membingungkan. Yang membuat kita bingung pada masa ini karena kita tidak mempelajari sejarahnya. Cabangbungin, tempo doeloe (pada era VOC) adalah ibukota wilayah Bekasi. Bingung, bukan? Tapi fakta sejarah memang demikian. Kota Tjabangboengin berada di sisi barat sungai Tjitaroem, yaitu suatu kota di pedalaman yang berada di ‘gerbang jalan tol sungai’ dari pantai menuju kota Tandjoeng Poera (Krawang).

Kecamatan Cabangbungin (Now), kota Tjabangboengin (Peta 1903)
Bagaimana suatu wilayah (kabupaten/kota) berkembang seperti yang sekarang, tidak selalu diawali di tempat yang sekarang, akan tetapi, bahkan berada di suatu tempat yang tidak terduga, suatu tempat yang kini terkesan terpencil. Contoh, Jakarta masa kini, tempo doeloe pusat keramaian berada di balik semak-semak di muara sungai Tjiliwong di dekat pantai. Kota Bandung masa kini berawal dari sebuah kampung (dajeuh) yang menjadi ibukota (hoofdplaats) Bandoeng berada di muara sungai Tjikapoendong di sungai Tjitaroem (sekarang Baleendah). Demikian juga dengan Bekasi pada masa ini, bukan di Bekasi, bukan di Tamboen dan juga bukan di Tjikarang, tetapi di Tjabangboengin. Dari sinilah sejarah awal Tjabangboengin dimulai, sejarah awal Kabupaten Bekasi bermula.

Lantas seperti apa sejarah awal Cabangbungin. Nah, itu dia. Kita semakin penasaran. Sungai Tjitaroem adalah lalu lintas moda transportasi utama melalui pelayaran sungai dari pantai ke pedalaman sejak jaman kuno. Dalam hal ini Tjabangboengin pada era VOC adalah pintu gerbang. Ternyata tidak hanya itu. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, kanal Tjitaroem dibangun sebagai kanal pertama di Bekasi. Kanal ini menjadi ‘jalan tol sungai’. Lagi-lagi, Tjabangboengin debagai pintu herbang (gate). Bagaimana itu semua terjadi? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kanal Tjitaroem, Jalan Tol Sungai di Bekasi

Seperti halnya kota Babelan sebagai pintu gerbang menuju kota Bekasi di daerah aliran sungai Bekasi, kota Tjabangboengin juga menjadi pintu gerbang menuju kota Tandjoeng Poeera di daerah aliran sungai Tjitaroem. Kota Babelan dan kota Tjabangboengin adalah dua kota terdekat dari pantai utara laut Jawa. Dua kota yang menjadi entry point bagi orang Eropa/Belanda ke wilayah pedalaman.

Peta Kecamatan di Kabupaten Bekasi masa ini
Sungai Bekasi sejatinya berhulu di Bogor yang dikenal sebagai sungai Tjilengsi. Di Bantar Gebang, sungai Tjikeas bergabung yang ke hilir disebut Kali Bekasi. Di Kali Bekasi, kota terdekat dari pantai adalah Babelan dan kota terjauh adalah Bantar Gebang. Diantara dua kota ini berada kota Bekasi. Sedangkan sungai Tjitaroem berhulu di Bandoeng. Di Tandjoeng Poera sungai Tjitaroem bergabung dengan sungai Tjibeet. Ke hilir Tandjoeng Poera adakalanya sungai Tjitaroem disebut sungai Krawang. Di sungai Tjitaroem atau sungai Krawang, kota terdekat dari pantai adalah Tjabangboengin dan kota terjauh adalah Tandjoeng Poera. Diantara dua kota ini berada kota Rengas Dengklok.    

Pada era VOC, setelah adanya kebijakan baru untuk menjadikan penduduk sebagai subjek (1667), Pemerintah VOC mulai merintis jalan dari Batavia dan pantai ke pedalaman dengan membangun benteng di daerah aliran sungai Tjiliwong yakni benteng (Fort) Tandjoeng (kini Pasar Rebo) dan Fort Padjadjaran (posisinya kini di Istana Bogor) pada tahun 1687. Lalu kemudian pada tahun 1695 dibangun benteng (fort) Bacassie di muara sungai Bekasi dan benteng (fort) Tandjoeng Poera di pertemuan sungai Tjibeet dengan sungai Tjitaroem. Sejak inilah pedagang-pedagang Eropa/Belanda memasuki pedalaman untuk melakukan perdagangan (sebelum 1667 hanya terbatas di kota-kota pelabuhan atau pantai).

Benteng (fott) Bacassie (Peta 1724)
Pada era inilah muncul kota-kota baru di pedalaman. Di sungai Bekasi pusat Eropa/Belada (kota) berada di Babelan dan Bekasi, sementara di sungai Tjitaroem pusat Eropa/Belada berada di Tjabangboengin dan Tandjoeng Poera. Kota-kota baru ini bermunculan sehubungan dengan pembentukan tanah-tanah partikelir (land). Tanah partikelir pada periode awal yang terkenal adalah land Paviljon yang dimiliki oleh Cornelis Chastelein. Lalu Chastelein membuka land baru di Sering Sing (Serengseng) tahun 1695 dan land Depok tahun 1704. Land Paviljon ini kemudian dibeli oleh Justinus Pink dan kemudian dibeli oleh Gubernur Jenderal Jacob Mosssel (1750-1761) untuk membangun kota yang dikenal sebagai (kota) Weltevreden (Senen/Gambir). Sebelumnya, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743-1750) telah membangun kota Buitenzorg (Bogor).

Jeremis van Riemsdijk membangun kota di Antjol. Dalam perkembangannya Jeremis van Riemsdijk membuka pertanian (dan pabrik gula) di daerah aliran sungai Bekasi di Babelan dan pusat perdagangan di (kota) Bekasi (menjadi Pasar Bekasi). Jeremis van Riemsdijk kemudian menjadi Gibernur Jenderal (1775-1777). Pada saat era Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk ini pada tahun 1776 dibuat peta (jalur) pengembangan land yang baru melalu darat. Rute ini berpusat di Meester Cornelis yang mana ke selatan hingga ke Buitenzorg melali Tandjoeng dan Tjimanggis dan Tjibinong. Rute ke timur menuju ke Tandjoeng Poera melalui simpul interchange di Tjipinang, Poelo Gadong, Bekasi dan Lemah Abang/Tjikarang. Rute ke timur ini memotong banyak sungai termasuk sungai Tjakoeng, sungai Bekasi dan sungai Tjikarang dan sungai Tjitaroem. Meski demikian, rute ke timur masih mengandalkan moda transportasi sungai melalui sungai Bekasi dan sungai Tjitaroem.

Sejak dimulainya pembangunan benteng Bacassie dan benteng Tandjoeng Peora tahun 1695 hingga pemetaan land pada tahun 1776 moda transportasi sungai adalah satu-satunya lalu lintas perdagangan di pedalaman. Pada era inilah (kota) Babelan, Bekasi, Tjabangboengin dan Tandjoeng Poera berkembang pesat. Dalam hal ini (kota) Babelan menjadi pintu gerbang di sungai Bekasi dan sungai Tjilengsi dan (kota) Tjabangboengin menjadi pintu gerbang di sungai Tjitaroem dan sungai Tjibeet. Pada era ini terhitung tiga pabrik gula di pedalaman di sungai Bekasi dan 12 pabrik gula di pedalaman di sungai Tjitaroem sekitar Tandjoeng Poera.

Pada tahun 1818 keluarga Riemsdijk menjual semua land-land di Bekasi (diduga produktivitas pabrik gula di sungai Bekasi telah menurun). Sementara itu pada tahun 1834 indikasi kejayaan (kota) Tjabangboengin masih terlihat sebagai pusat perdagangan (lihat Nederlandsche staatscourant, 09-08-1834).

Kota Tjabangboengin adalah ibukota district, ibukota yang setara dengan ibukota district Bekasi. Kota Tjabangboengin tidak hanya sebagai ibukota district tetapi juga adalah pusat perdagangan yang sekaligus menjadi pintu gerbang di daerah aliran sungai Tjitaroem. Pusat-pusat perdagangan di sungai Bekasi dan sungai Tjitaroem adalah Tjabangboengin, Tjikarang, Kramat, Becassie dan Tjicaoe. Arus perdagangannya ke Batavia dapat dilihat misalnya pada surat kabar Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-01-1856.

Java-bode, 16-01-1856
Land Tjabangboengin sebagai sentra kapas diketahui pada tahun 1859 (lihat Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 01-03-1859). Disebutkan akibat hujan lebat, berbagai sungai telah meluap yang menyebabkan beberapa efek perusakan dan menghilangkan. Tanggul pembatas sungai di Tjiherang dan di Tjikarang Glam telah jebol di berbagai lokasi, menyebabkan sebagian kebun kayu manis di Gentong terkena banjir. Perkebunan utama kapas di (ibukota) district Tjabang Boengin, yang dikelola dengan baik sangat menderita genangan karena tingginya permukaan air. Setahun sebelumnya sungai Bekasi meluap dan membuat pasar Bekasi tergenang (lihat lihat Samarangsch advertentie-blad, 05-02-1858). Keutamaan lain dari Tjabangboengin adalah sentra produksi garam, bahkan tingkat produksinya sudah diakui sejak 1809.

Sejak adanya banjir besar di sungai Tjitaroem muncul tuntutan dari para pemilik land untuk membangun jalan darat dari Batavia ke Tandjoeng Poera. Pemerintah meresponya tetapi terkendala dengan anggaran besar karena harus membangun jembatan di atas beberapa sungai besar. Meski demikian, pemerintah membuat rencana alternatif dengan membangun pelayaran sungai yang lebih lancar dari Tandjoengpoera ke Batavia dengan membangun kanal yang dihubungkan dengan sungai Bekasi (lihat Bataviaasch handelsblad, 29-04-1867).

Kanal Tjitaroem, sungai Gembong dan Kali Bekasi (Now)
Kanal pelayaran ini dibangun dengan menyodet sungai Tjitaroem di hulu dan membangun kanal di sisi barat sungai Tjitaroem ke hilir dimana kanal ini di hilir dan sungai Bekasi dihubungkan dengan sungai Gembong di Babakan. Jarak pelayaran ini menjadi lebih pendek dan jarak tempuh yang singkat jika dibandingkan melalui sungai Tjitaroem. Inilah kanal pertama yang dibangun di Bekasi.

Kanal ini melewati land Tjabangboengin. Dengan demikian land Tjabangboengin di batasi oleh sungai Tjitaroem di sebelah timur dan kanal Tjitaroem di sebelah barat. Dengan adanya kanal Tjitaroem ini, maka pertumbuhan dan perkembangan di kota Tjabangboengin menjadi lebih cepat jika dibandinkan di kota Bekasi. Pada era pembangunan kanal Tjitaroem ini terjadi proses politik yang menimbulkan kerusuhan di land Tamboen pada tahun 1869 yang mana Asisten Residen Meester Cornelis dan Schout Bekasi ikut terbunuh.

Situasi dan kondisi di seputar sungai Bekasi meski proses peradilan dilakukan terhadap perusuh pada tahun 1869, pengendalian keamanan terus ditingkatkan. Oleh karena itu situasi dan kondisi ekonomi dan perdagangan bisa diantisipasi. Fungsi kanal Tjitaroem telah meningkatkan perekonomin di Tandjoeng Poera (Krawang). Tampaknya apa yang terjadi di Bekasi tidak begitu berpengaruh di Krawang (Tandjoeng Poera). Garnizun militer di Tandjoeng Poera (doeloe di era VOC sebagai benteng) mampu menjaga situasi dan kondisi keamanan di daerah aliran sungai Tjitaroem. Jumlah desa yang termasuk district Tjabangboengin adalah 12 buah (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-03-1873).

Setelah sekian lama, pada tahun 1875 di wilayah district Bekasi dimekarkan dengan membentuk onderistrict Tjabangboengin sehingga nama district menjadi Disttrict Bekasi en Tjabangboengin. Dalam hal ini mulai diterapkan pemerintahan pribumi dengan mengangkat seorang demang yang berkedudukan di Bekasi dan seorang demang yang berkedudukan di Tjabangboengin (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-02-1875).

Disebutkan di onderdistrict Tjabangboengin diangkat Mohadjilin menjadi demang dari Tjabang Boengin; Saimbang menjadi juragan dari Land Babelan; Panagara menjadi juragan dari land Bekassi Oost; Entjeng menjadi juragan dari land Telok Poetjoeng. Untuk onderdistrict Bekasi diangkat Achmad Kantor Abdulrachim menjadi demang Bekassi; Anie, yang bertanggungjawab untuk pribumi; Molana Hassan menjadi juragan land Tamboen; Talip menjadi juragan land Poadok Gedeh.  

Demang dalam hal ini adalah pejabat pemerintah untuk memimpin district/onderdistrict yang dibantu oleh beberapa juragan (pengumpul). Pemimpin tertinggi di district Bekasi yang membawahi dua onderdistrit adalah seorang  Schout (seringkat Controleur). Khusus untuk orang Tionghoa memiliki pemimpin sendiri dengan jabatan luitenant/kaptein. Di district Bekasi en Tjabangboengin pada tahun 1883 terdapat tiga luitenant (lihat De locomotief, 30-04-1883). Hingga tahun-tahun ini di district Tjabangboengin terdapat seorang pengawas pemerintah (opziener) seorang Belanda. 

Nama Tjabangboengin atau Tjawangboengin

Tidak jarang penulisan nama tempat tempo doeloe berbeda dengan penulisan nama tempat yang sekarang. Itu semua karena banyak faktor. Dalam hal ini faktor yang kerap muncul adalah soal pelafalan. Yang menjadi pertanyaan adalah nama Tjabangboengin adakalanya ditulis dengan Tjawangboengin (ada perbedaan dalam huruf b pada Tjawang dan huruf w pad Tjabang). Mungkin ini tampak sepele tetapi itu dapat memberi petunjuk pada hal lain.

Sungai Tjibeet (kiri) di sungai Tjitaroem di Tandjoeng Poesra
Bataviasche koloniale courant, 16-03-1810: ’sejumlah lahan (land) yan sebelumnya masuk Regentschap Crawang yang ditambahkan ke Bataviaache Ommelanden adalah sebagai berikut: (1)  Odjoeng Crawang, yang terletak di sudut simpul (hoek) Crawang ke arah timur sepanjang Moara Boengin ke sungai Tjitaroem dan ke Kampong Boegis, di sebelah selatan Kampong Boegis, Soengie Laboe dan Bacassie hingga laut dan di sebelah barat adalah laut, (2) Tjawang Boengin yang terletak di tenggara sebuh persi dan ke utara berbatas laut Moeara Boengin dan sepanjang pantai hingga kampong Papisangan dan ke arah timur jalan dan pantai, sebelah selatan dan barat daya adalah sungai Tjitaroem, (3) Tjokarang terletak di selatan Tjawang  Boengin, sebelah utara sungai Tjitaroem  dan sebelah selatan bertemu jalan besar dari Tjikarang (ke Tandjoeng Poera), (4) Tjoberoe terletak di selatan Tjikarang, sebelah timur sungai Tjibeet dan sungai Tjihoeiren dan sebelah selatan lahan Nambo dan Tjipemingkies milik A Michiels, (5) Soemadangan dan (6) Waro.  

Dalam hal ini nama-nama lahan yang meliputi Oedjong Crawang, Tjawang Boengien, Tjikarang, Tjiberoessa, Samadangan dan Waro dinyatakan secara kondisional dan terpisah yakni dipsahkan dari Regentsachap Krawang dan dimasukkan ke Bataviasche Ommelanden. Hal yang terkait dengan ini kelak kembali terjadi pada tahun 1832 yang dikaitkan dengan pemberontakan petani Cina di Krawang.

Perubahan-perubahan semacam ini sangat lazim ketika pemerintah (Hindia Belanda) mulai mempertegas batas-batas wilayah dalam hubungannya dengan pembentukan pemerintahan di suatu wilayah. Rekomendasi para ahli selalu menjadi bahan pertimbangan pemerintah. Hal yang mirip dengan ini adalah ketika lanskap Singkel dipisahkan dari Residentie Tapanoeli dan lanskap Tamiang dipisahkan dari Oost Sumatra. Bahkan yang paling ekstrim adalah Bengkalis dipisahkan dengan Oost Sumatra yang mana kemudian Bengkalis dimasukkan Residentie Siak dan Oost Sumatra dibentuk sebagai wilayah sendiri. Dalam hal ini wilayah-wilayah yang disebut di atas dipisahkan dari Residentie Krawang

Nama Boengin sendiri dalam hal ini di satu sisi ditulis Tjawang Booengin dan di sisi lain Tjawang Boengin dikaitkan dengan nama Moeara Boengin. Tentu saja Moeara sudah tentu berada di hilir dan Tjawang atau Tjabang berada di hulu. Lantas apakah Cawang dan Cabang memiliki pengertian yang sama?

Pada masa ini terdapat tiga nama tempat yang berkaitan yakni Muara-bungin, Cabang-bungin dan Cawang-bungin. Muarabungin terletak di Tandjung Pakis sedangkan Cawangbungin di (kecamatan) Babelan.

Dalam bahasa Soenda bungin diartikan sebagai delta (tanah sedimentasi). Dalam bahasa Jawa cawang diartikan sebagai cabang dahan (berbentuk V). Oleh karena cawang dan cabang memiliki pengertian yang sama, maka nama cawang dan cabang saling dipertukarkan. Sehubungan dengan nama wilayah (land) Tjawang-boengin dan Tjabang-boengin diduga merujuk pada hal yang sama. Dalam perkembangannya dua nama itu digunakan oleh penduduk sehingga satu lahan disebut Tjawangboengin dan lahan yang lain disebut Tjabangboengin.

Tentu saja nama Tjawang tidak hanya ditemukan di daerah aliran sungai Tjitaroem, juga ditemukan di wilayah daerah aliran sungai Tjiliwong yang berada di selatan Meester Cornelis (kini Jatinegara) di sekitar Bidara Tjina. Land Rustenburg berada di hilir pertemuan sungai Tjililitan dengan sungai Tjiliwong di dekat terminal Cililitan (jalan Dewi Sartika yang sekarang). Landhuis Rustenburg (sebelumnya bernama land Tjililitan) sendiri berada dekat di sisi timur sungai Tjiliwong (yang kini menjadi jalan dari Dewi Sartika ke Taman Makam Pahlawan Kalibata). Land Rustenburg mengacu pada pemilik land dari keluarga Rustenburg untuk menggantikan nama land Tjililitan yang sudah eksis sejak era VOC. Sementara land ini berada persis di hilir pertemuan sungai (tjawang). Nama (kampong) Tjawang diduga sudah ada sebelum terbentuk land land Tjililitan atau land Rustenburg, nama kampong yang mengadopsi nama georafis sungai. Nama land Rustenbrug lambat laun namanya bergeser menjadi land Tjawang. Ini berarti nama land telah berubah dari land Tjililitan menjadi land Rustenburg dan kemudian berganti lagi menjadi land Tjawang.

Pada pertemuan sungai (berbentuk V) kerap muncul nama kampong yang disebut Tjawang atau Tandjoeng. Nama Tandjoeng juga muncul pada lekukan sungai yang melingkar (setengah lingkaran atau lebih). Nama Tandjoeng (kini Pasar Rebo) diadopsi dari lekukan sungai Tjiliwong atau pertemuan sungai Tjidjantoeng dengan sungai Tjiliwong di sekitar Tandjoeng (Pasar Rebo), Sedangkan nama Tjawang berada di wilayah hilir yang merupakan pertemuan (tjawang) sungai Tjililitan dengan sungai Tjiliwong. Muara sungai Tjililitan ini adalah pelabuhan sungai. Pada era VOC sungai Tjidjantoeng yang airnya jatuh ke Tjiliwong di dekat Tandjoeng kemudian dialihkan dengan membangun kanal yang di hilir airnya jatuh ke sungai Tjililitan. Pada masa ini aliran sungai yang masuk ke (tjawang) Tjiliwong di Tjililitan seakan airnya terkesan (hanya) bersumber dari sungai Tjidjantoeng dari Sitoe Tjidjantoeng. Ini memang tidak salah (karena sungai Tjililitan dan sungai Tjidjantoeng telah diintegrasikan pada saat pembangunan kanal). Lambat laun sumber-sumber air sungai Tjililitan menipis (menghilang) dan hanya terhantung dari kanal (sungai) Tjogantoeng. Sebagai tambahan nama Tjawang juga adakalanya dipertukarkan dengan nama Bidara Tjina (misalnya lihat Bataviasche courant, 09-06-1827). Bidara Tjina adalah suatu pasar yang terbentuk yang letaknya tidak jauh dari muara sungai Tjililitan (tjawang). Di sejumlah tempat juga ditemukan nama kampong Tjawang, misalnya kammpong Moeara Tjawang (lihat Bataviaasch handelsblad, 01-02-1860). Sebutan moeara dan tjawang dalam hal ini saling mempertegas. Pada tahun 1904 di dalam surat kabar nama kampong disebut kampong Tjawang Tjililitan Rawadjati (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-08-1904). Pada saat ini tiga area tersebut terletak mengitari area pertemuan sungai Tjililita atau sungai Tjidjantoeng dengan sungai Tjiliwong. Di sebelah hulu Tjililitan, do sebelah hilir Tjawang dan seberang sungai Rawadjati. Selain Moeara Tjawang juga ditemukan nama tempat Aier Tjawang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-12-1912).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

3 komentar: