Laman

Minggu, 14 Juli 2019

Sejarah Bekasi (22): Sejarah Kampung Tugu di Cilincing, Prasasti Tugu Batoe Toemboe di Kali Tjakoeng; Dulu Bekasi, Kini Jakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Nama kampong Toegoe tempo doeloe sama pentingnya dengan land Tjilintjing dan sungai Tjakoeng. Akan tetap tidak hanya itu. Juga cukup populer nama kampong kecil yang disebut kampong Batoe Toemboe (tidak jauh dari kampong Toegoe). Di kampong Batoe Toemboe di pinggir sungai Tjakoeng di land Tjilintjing ini ditemukan sebuah batu bersurat yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Tugu. Nama kampong disebut Batoe Toemboe besar dugaan diadopsi dari batu prasasti tersebut. Sedangkan Tjakoeng artinya katak (lihat  Bataviaasch nieuwsblad, 15-05-1909). Ca, kung!

Kampong Batoe Toemboe di land Tjilintjing (Peta 1902)
Di kampong Toegoe ditemukan populasi penduduk yang dikaitkan dengan Portugis. Mereka beragama Kristen dan piawai dalam musik keroncong. Di kampong Toegoe juga terdapat gereja tua. Batu bersurat (prasasti) yang berada di kampong Batoe Toemboe kemudian dipindahkan ke landhuis Tjilintjing. Kampong Batoe Toemboe tidak jauh dari kampong Toegoe. Kedua kampong ini berada di land Tjilintjing, suatu tanah partikelir (land) yang mana landhuis berada di pinggir sungai Tjilintjing di dekat pantai. Nama kampong Batoe Toembo tidak terkait dengan nama kampong Toegoe. Nama kampong Batoe Toemboe diadopsi dari keberadaan batu bersurat (prasasti), sedangkan nama kampong Toegoe diadopsi dari batu tapal batas (paal). Nama kampong Toegoe ditemukan di banyak tempat, tetapi nama kampong Batoe Toemboe hanya ada di daerah aliran sungai Tjakoeng di land Tjilintjing.

Lantas bagaimana itu semua terhubung? Pertanyaa ini membutuhkan penjelasan selengkap mungkin. Satu hal yang penting di dalam Prasasti Tugu di Batoe Toemboe adalah tentang keberadaan sungai Candrabhaga dan kanal Gomati. Apakah sungai Candrabhaga adalah sungai Tjakoeng dan kanal Gomati adalah kanal Soenter? Lantas apa hubungannya kampong Toegoe di land Tjilintjing dengan kampong Toegoe di land Tjimanggis? Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. 

Landhuis di land Tjilintjing (Peta 1902)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Tjilintjing (Peta 1902)

Land Tjilintjing: Kampong Toegoe, Sungai Tjilintjing dan Sungai Tjakoeng

Land Tjilintjing sudah terbentuk sejak era VOC. Akses menuju land ini daei laut melalui sungai Tjilinting. Landhuis berada di sisi selatan sungau Tjilintjing (catatan: sungai Tjilintjing sebelum bermuara ke laut berada pada posisi sejajar dengan garis pantai). Land terdekat dari land Tjilintjing ke arah Batavia adalah land Antjol (milik Jeremis van Riemsdijk). Di dalam land Tjilintjing ini sudah ada nama kampong Toegoe.

Tjilinting, Toegoe dan Batoe Teomboe (Peta 1825)
Nama kampong Toegoe diadopsi dari tanda batas (paal). Dalam catatan awal sungai yang melintas di kampong Toegoe ini disebut sungai Toegoe. Nama sungai ini paling tida tercatat di dalam Keputusan tentang Batas wilayah Stad en Voorsteden tanggal 12 Maret 1828 No 17. Dinyatakan bahwa wilayah Ooster District di sebelah timur berbatasan dengan sungai Toegoe (lihat Javasche courant, 18-03-1828). Ini berarti nama tanda menjadi nama kampong dan nama sungai. Nama Toegoe juga ditemukan di tempat lain seperti di dekat Tjisaroea (lihat Javasche courant, 10-11-1829).

Akses menuju perkampongan Toegoe ini melalui sungai Toegoe dari laut. Namun dalam perkembangannya nama sungai Toegoe ini disebut sebagai sungai Tjakoeng. Hal ini karena di hulu sungai Toegoe sudah ada nama kampong Tjakoeng. Orang asing (dari pantai) sungai yang sama menyebut sungai Toegoe dan orang pedalaman (penduduk asli) menyebutnya sungai Tjakoeng.

Kampong Toegoe, Pasar Rengas dan kampong Batoe Toemboe
Kampong mana yang lebih dulu ada apakah kampong Toegoe atau kampong Tjakoeng tidak diketahui secara jelas. Bagi penduduk asli besar dugaan nama sungai Tjakoeng lebih dulu ada jika dibandingkan dengan nama kampong. Dalam bahasa orang asli (pribumi) tjakoeng adalah katak (lihat  Bataviaasch nieuwsblad, 15-05-1909). Itu berarti sungai Tjakoeng adalah sungai Katak. Dengan merujuk pada bahasa, tjakoeng=katak, maka nama sungai lebih awal jika dibandingkan nama kampong. Oleh karena itu, nama kampong atau nama sungai Toegoe adalah baru, sementara nama sungai Tjakoeng lebih tua, tetapi nama kampong Tjakoeng belum tentu lebih tua dari nama kampong Toegoe. Perbedaan nama sungai di hilir dan di hulu adalah jamak. Misalnya sungai Bekaisi di hilir tetapi di hulu disebut sungai Tjilengsi; idem dito sungai Tjitaroem di hulu, di hilir kerap disebut sungai Krawang.

Dalam perkembanganya, akses jalan darat dibangun dari Batavia ke landhuis Tjilintjing. Jalan darat ini dari Batavia melewati land Antjol dan land Tandjoeng Priok lalu menuju land Tjilintjing dengan membangun jembatan di atas sungai Tjilintjing. Jalan darat ini hanya sampai batas landhuis Tjilintjing. Akses dari landhuis Tjilintjing ke kampong Toegoe melalui jalan setapak. Sedangkan akses dari kampong Toegoe ke kampoeng Batoe Toemboe selain melalui jalur sungai juga dengan jalan setapak. Land Tjilintjing secara umum adalah kawasan rawa-rawa. Karena itu moda transportasi antar kampong di wilayah land Tjilintjing hinggga ke kampong Soekapoera dilakukan dengan transportasi air.

Batavia (Peta 1625)
Di hulu sungai Toegoe atau sungai Tjakoeng ini juga sudah terbentuk land Tjakoeng. Land Tjakoeng ini diakses dari land Poeloe Gadong. Di land Tjakoeng ini terdapat sejumlah kampong antara lain kampong Tjakoeng dan kampong Petoekangan. Di daerah aliran sungai Tjakoeng (sungai Toegoe) dalam hal ini terdapat nama-nama kampong yang boleh jadi berkaitan seperti Batoe Toemboe, Soekapoera dan Patoekangan. Lantas apakah nama-nama kampong ini merujuk pada suatu kerajaan di masa lampau? Yang dalam hal ini Batoe Toemboe adalah ibukota kerajaan dan Soekapoera adalah tempat suci?

Land Antjol (Peta 1740)
Pada analisis sebelumnya (lihat artikel Sejarah Berkasi No. 4 dan No. 15) dua nama sungai Candrabhaga dan sungai Gomati disebut di dalam Prasasti Tugu. Dalam artikel tersebut, dua sungai yang dimaksud dalam prasasti tersebut diduga adalah sungai Bekasi di Bekasi (sungai Candrabhaga) dan sungai Tjipankantjilan (sungai Gomati) di Bogor. Namun dalam artikel ini sungai Candrabhaga diinterpretasi sebagai sungai Tjakoeng di Tjilintjing dan kanal (sungai) Gomati adalah kanal sungai Soenter (dari Poelo Gadoeng hingga Mangga Doea). Semua itu, meski masih misteri tetapi terbuka untuk ruang analisis untuk menemukan nama dua sungai yang disebut dalam Prasasti Tugu.

Soekapora, Batoe Toemboe dan Sungai Soenter

Prasasti Toegoe membuat kita terus sibuk, karena pesan di dalam batu bersurat tersebut hingga kini belum terpecahkan. Dimana letak sungai Candrabhaga dan dimana posisi sungai Gomati masih menjadi teka-teki. Meski kejadiannya sudah sangat kuno, pesan di dalam batu bersurat itu sangat jelas, karena pesan dalam bahasa dan aksara cukup jelas telah terukir dalam medium abadi (batu).

Dalam Prasasti Tugu, yang dibuat pada paruh abad ke-5, disebutkan bahwa telah ‘dilakukan penggalian di sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut’ dan juga disebutkan telah dibuat ‘saluran baru dengan air jernih bernama sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur (12 Km)’. Penggalian sungai Candrabhaga dapat diinterpretasi sebagai kebutuhan navigasi pelayaran; sedangkan pembangunan saluran baru dapat diinterpretasi sebagai pembangunan kanal untuk  kebutuhan air bersih dan irigasi.

Jika kita berasumsi bahwa sungai Candrabhaga adalah sungai Tjakoeng, maka Batoe Toemboe (tempat dimana ditemukan batu bersurat/prasasti) adalah ibukota dan Soekapoera adalah kota suci. Penggalian dimulai dari kota suci Soekapoera melewati ibukota (Batoe Toemboe) hingga mendekati laut di (muara) Tjilintjing.

Sungai Tjakoeng berhulu di Tjimanggis. Sungai Tjakoeng berada di antara sungai Sunter dan sungai Tjikeas. Sungai Tjikeas berhulu di Bogor dan sungai Sunter berhulu di Tjibinong [Sungai Tjikeas dan sungai Tjilengsi bertemu di Bantar Gebang yang ke hilir membentuk Kali Bekasi]. Titik persinggungan terdekat antara sungai Sunter dan sungai Tjakoeng berada di dua area yakni di Pondok Rangon dan antara dua tempat: Tjakoeng dan Poelo Gadoeng.

Sungai Tjipinang dari sisi barat bertemu sungai Sunter di Tjipinang (Klender). Sungai Sunter mengalir terus ke hilir melalui Poelo Gadoeng. Sungai Sunter  mengalir ke arah barat laut ke laut di sekitar Antjol. Sementara itu sungai Boearan dari sisi barat bertemu sungai Tjakoeng di Tjakoeng. Sungai Tjakoeng mengalir ke arah timur laut ke laut (di Tjilintjing). Apakah ini asal muasal Noord-West menjadi Barat laut; Noord-Oost menjadi Timur laut? Setelah pertemuan sungai Boearan dengan sungai Tjakoeng ke hilir juga disebut sungai Toegoe. Sungai Tjakoeng atau Soengai Toegoe ini ke hilir melalui Petoekangan, Soekapoera, Batoe Toemboe (Toegoe) dan Rengas. Hal serupa ini juga terjadi setelah pertemuan sungai Tjilengsi dan sungai Tjikeas ke arah hilir disebut Kali Bekasi. Sebagaimana sungai Toegoe dan sungai Tjakoeng, sungai Tjilengsi dan Kali Bekasi juga saling dipertukarkan.

Kampong Tjakoeng (landhuis Tjakoeng) berada pada posisi garis lintang yang sama dengan kampong Poeloe Gadoeng (landhuis Poeloe Gadoeng). Sungai Tjakoeng bertemu dengan sungai Tjilintjing di (muara) Tjilintjing. Sungai Tjilintjing mengalir dari arah barat di sekitar Lagowa dan Tandjoeng Priok. Sungai Tjilintjing adakalanya disebut sungai Lagowa. Sungai Tjilintjing sendiri merupakan anak sungai dari sungai Sunter.

Dalam pembuatan kanal Gomati yang panjangnya sekitar 12 Km, itu haruslah diinterpretasi bahwa kanal yang dimaksud berbentuk (mendekati) garis lurus. Lantas apakah ada peta-peta lama yang mengindikasikan suatu sungai yang sepintas tekesan bentuk garis lurus? Dalam hal ini sungai yang berbentuk garis lurus harus diinterpretasi sebagai kanal (sungai buatan). Kanal kuno inilah yang bisa diduga sebagai kanal Gomati. Apakah kanal kuno itu adalah kanal Sunter?

Pemerintah VOC/Hindia Belanda sangat piawai membangun kanal. Mereka berpengalaman di Eropa/Belanda. Kanal pertama yang dibangun adalah kanal di Soenda Kalapa. Kanal untuk keperluan navigasi ini dibangun pada era Coen. Kanal ini kemudian disebut kanal Kali Besar. Sejak itu dibangun kanal-kanal yang lebih kecil di sekitar benteng (kasteel) Batavia.

Kanal besar berikutnya yang dibangun pada era VOC adalah kanal menyodet sungai Tjiliwong dengan membangun kanal ke arah barat yang airnya dialirkan masuk ke sungai Kroekot (jalan Veteran/Juanda  yang sekarang). Kanal ini kemudian dibelokkan ke utara dengan membangun kanal melalun Molenvliet menuju sungai Tjiliwong di kota (kanal ini pada masa ini adalah kanal di jalan Gajah Madan/Hayam Wuruk yang sekarang). Kembali sungai Tjiliwong disodet ke arah timur malalui jalan Pasar Baru dan jalan Gunung Sahari yang sekarang dan kemudian dialirkan kembali ke sungai Tjiliwong. Lalu setelah itu sungai dimatikan ke arah hilir dari tempat sodet (kemudian kelak di atas eks sungai Tjiliwong itu dibangun rel kereta api dari Stasion Juanda ke stasion Mangga Doea.

Pada era Gubernur van Imhoff (1743-1750) bendungan Katoelampa ditingkatkan dan membangun kanal baru (slokkan) dari Tjiloear ke hilir sepanjang jalan utama antara Batavia-Buitenzorg. Bendungan Katoelampa adalah bendungan kuno di era Kerajaan Pakwan-Padjadjaran) dan kanalnya melalui kampong Tjiloear. Nama kampong Tjiloear diduga mengadopsi kanal yang airnya keluar dari sungai Tjiliwong (Tjiloear). Satu kanal lagi yang diduga kanal kuno adalah kanal diantara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane melalui kerajaan Pakwan/Padjadjaran. Kanal ini kemudian disebut sungai Tjipakantjilan. Kanal ini pada era van Imhoff ditingkatkan dengan membangun kanal terusan ke Kedong Badak melalui Paledang.

Peta sketsa rencana kota Batavia (Peta 1625)
Masih pada era VOC teridentifikasi sebuah kanal yang bermula dari sungai Soenter di Poelo Gadoeng garis lurus melalui kampong Kalappa Gading, kampong Soenter dan kemudian masuk ke sungai Tjiliwong di sekitar Mangga Doea. Kanal Soenter ini ini sudah teridentifikasi pada sketsa rencana kota oleh Jan Pieterszoon Coen tahun 1625. Identifikasi kanal ini berada di sisi timur sungai Tjiliwong. Dari sudut pandang VOC saat itu (1625), sejatinya tidak membutuhkan kanal ini. Kanal ini di dalam peta hanya sebagai penanda alam seperti halnya penanda sungai Tjiliwong. Peta 1625 ini adalah peta (sketsa) tertua tentang kota Batavia.

Kanal Soenter tampak sejajar dengan sungai Tjiliwong (Peta 1740)
Pada Peta 1740 kanal Soenter ini sudah teridentifikasi dengan jelas sebagai suatu kanal di sisi timur sungai Tjiliwong. Sekali lagi, dari sudut pandang VOC saat itu (1740), sejatinya tidak membutuhkan kanal ini, apalagi kanal ini sangat panjang dan arahnya ke kota. Tempat tinggal orang Eropa/Belanda terjauh baru sampai (fort) Antjol. Kanal ini diduga adalah kanal kuno (sebelum kedatangan Belanda/VOC). Kanal ini kemudian ditingkatkan VOC (seperti tampak pada Peta 1740) untuk kebutuhan navigasi (sesuai arah kanal dari area kota ke hulu di Poelo Gadoeng). Kanal yang ditingkatkan ini, sekali lagi, diduga kuat adalah kanal kuno yang boleh jadi kanal yang dimaksud di dalam Prasasti Tugu (sungai Gomati). Besar kemungkinan kanal kuno ini di jaman kuno untuk mengalihkan debit air sungai Soenter agar bahaya banjir berkurang ke arah yang berlawanan (katakanlah Batoe Toemboe). Jika merujuk pada Kerajaan Taroema Negara (Prasastu Tugu), kanal Soenter adalah kanal kuno yang jauh lebih tua pembuatannya jika dibandingkan dengan kanal Tjiloear dan kanal Tjipakantjilan di hulu sungai Tjiliwong (era Pakwan Padjadjaran), Sungai Soenter dari Poelo Gaoeng ke arah hilir menuju laut lambat laun mati (tidak berbekas). Salah satu sisi cabang sungai Soenter di dekat laut yang masih eksis adalah sungai Tjilintjing atau sungai Lagowa.

Pada era Gubernur Jenderal Jacob Mossel (1750-1761) untuk mengurangi banjir di Batavia pada saat pembangunan istananya di land Paviljoen yang kemudian disebut Weltevreden (kini Senen) sungai Tjiliwong disodet di sekitar Kwitang dengan membangun kanal melalui jalan Kwitang dan jalan Suprapto yang sekarang (Cempaka Putih) terus ke kanal Sunter. Di Muara kanal Kwitang ini di kanal Sunter terbentuk kampong Sunter (sekitar danau Sunter yang sekarang).

Pemerintah Hindia Belanda, pada era Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811) meningkatkan kembali bendungan Katoelampa dan slokkan. Untuk mendukung debit air ke hilir sungai Tjikeas disodet dan di alirkan ke kanal baru (slokkan) hingga mencapai Batavia (masuk kembali ke sungai Tjililitan di sekitar Tjawang). Dalam perkembangannya kanal slokkan ini diperkuat dengan menyodet sungai Soenter di Tjimanggis sehingga kanal tidak hanya sampai Tjawang tetapi hingga menuju kota (Weltevreden/Senen). Kanal dari Tjawang ini melalui Meester Cornelis (kini Jatinegara), Pal Meriam, Paseban, Sentiong dan kemudian Senen. Kanal ini di Senen kemudian diintegrasikan dengan kanal Kwitang (hingga menuju kanal Soenter). Sejak ini kanal Kwitang dari sungai Tjiliwong di Kwitang ditutup.  

Lalu pada tahun 1857 muncul permintaan para pemilik land partikelir di Tandjoeng Poera (Krawang) untuk membangun jalan dari Batavia ke Krawang. Namun pemerintah kesulitan anggaran lalu alternatifnya adalah membangun kanal. Kanal pertama yang dibangun adalah menyodet sungai Tjitaroem lalu membangun kanal ke arah Moeara Gemboeng lalu diintergrasikan dengan sungai Bekasi.  Palayaran sungai dari Tandjoeng Poera (Krawang) menjadi lebih singkat. Kanal kedua dibangun untuk memperluas jalur pelayaran sungai/kanal dengan meningkatkan sungai Tjakoeng dengan membangun kanal dari muara sungai Tjilintjing dan muara sungai Tjakoeng hingga ke Tjakoeng (pertemuan sungai Tjakoeng dan sungai Boearan). Kanal ketiga yang dibangun adalah membangun kanal dari Moeara Antjol garis lurus menuju kanal Goenoeng Saharie. Dengan adanya tiga kanal ini maka jalur pelayaran telah ditingkatkan mulaui dari Tandjoeng Poera/Tjikarang melalui Kali Bekasi dan mulai dari Tjakoeng melalui kanal Tjakoeng/Tjilintjing untuk menuju Batavia (via kanal Antjol/Goenoeng Sahari).

Dalam pembangunan kanal Antjol (diintegrasikan dengan kanal Goenoeng Sahari), kanal Soenter terpotong (kanal antara Poeloe Gadoeng dengan Mangga Doea). Untuk menekan debit air dari kanal Soenter ke kanal baru (Antjol/Goenoeng Sahari), kanal Soenter (arah ke barat laut) dialihkan dari kampong Sonter (danau Soenter) dengan membangun kanal (arah utara) ke pantai Antjol melalui kampong Doeri. Kanal Sonter antara kampong Soenter dengan kanal Goenoeng Sahari/Antjol lambat laut mengecil (mati). Dalam hal ini kanal Soenter kuno dari Poeloe Gadoeng telah mematikan sungai Soenter yang asli, dan kemudian kanal Soenter Baroe telah dimatikan di hilir dari kampong Soenter (danau Soenter) ke Mangga Doea. Kanal Antjol/Goenoeng Sahari dan kanal pengganti kanal Soenter dari kampong Soenter ke kanal Goenoeng Sahari (kanal panti Antjol) ini diperkirakan telah selesai pada awal tahun 1860an. Kanal Soenter kuno semakin memendek. Dalam perkembangan berikutnya nanti kanal Sonter kuno ini semakin pendek lagi dan hanya sampai di Kalapa Gading. Dari Kalapa Gading kanal Soenter kuno dibelokkan ke utara dengan membangun kanal baru menuju laut di Lagowa (Kampong Kodja).

Kanal Gomati di dalam Prasasti Tugu diduga kuat adalah Kanal Soenter kuno. Pada era modern (Pemerintah Hndia Belanda) kanal Soenter ini telah memendek pada awal tahun 1860an (hanya tersisa antara Poeloe Gadoeng dengan kampoeng/danau Soenter). Pada akhir era kolonial Belanda Kanal Soenter kuno semakin pendek lagi dan hanya sampai Kelapa Gading. Kanal Soenter kuno di masa lampau di era Kerajaan Taroema Negara diduga menjadi jalan tol sungai dari Poelo Gadoeng menuju (pelabuhan) Soenda Kalapa di muara sungai Tjiliwong. Apakah jalan tol sungai ini yang disebut dalam Prasasti Tugu sebagai kanal/sungai Gomati? Bukankah jarak dari Pulo Gadung ke Sunda Kelapa jaraknya sekitar 12 Km?

Pada waktu yang relatif bersamaan dengan pembangunan kanal Tjitaroem/Kali Bekasi, kanal Tjilintjing/Tjakoeng dan kanal Antjol/Goenoeng Saharie adalah pembangunan kanal di sebelah barat Batavia. Kanal tersebut adalah kanal Angke. Namun tidak lama kemudian dibangun kanal Kroekoet. Kanal ini menyodet sungai Kroekot di sekitar Pendjompongan lalu membangunan kanal melalui Tanah Abang terus ke barat laut menuju sungai (kanal) Angke. Lalu baru tahun 1918 kembali membangun kanal yakni Bandjier Kanal Barat. Kanal ini menyodet sungai Tjiliwong di Manggarai dengan membangun kanal ke arah barat melalui (perumahan) Menteng menuju kanal Kroekoet di Djatie/Tanah Abang.

Pada era Republik Indonesia juga dilakukan pembangunan kanal. Kanal pertama adalah Kanal Kalimalang. Pembangunan kanal ini dimulai tahun 1957 dari bendungan Kali Bekasi menuju Tjawang. Dalam pembangunan kanal ini diintegrasikan dengan pembangunan jalan di sisi kanal (jalan Kalimalang). Sisa air kanal Kalimalang ini di area Tjawang dibelokkan ke timur menuju sungai Boearan/sungai Tjakoeng menuju rawa Malang (kanal Tjakoeng/Tjilinting) ke laut. Karena itulah kanal ini disebut Kanal Kalimalang (antara Kali Bekasi dan Rawa Malang). Pada tahap kedua pembangunan kanal ini (kanal Kalimalang Timur) dilakukan pada tahun 1960an untuk kebutuhan sumber pengolahan air bersih di Djakarta yang mana  air bersih dari bendungan Tjoeroek di Poerwakarta disalurkan ke kanal Kalimalang dengan membangun kanal dari Tjoeroek ke Bekasi. Kanal kedua adalah kanal Tjikarang/Babelan. Kanal ini mengalihkan sungai Tjikarang dengan membangun kanal yang bermuara ke sungai Bekasi di Babelan. Dari Babelan sungai Bekasi dialihkan dengan membangun kanal dari Babelan menuju laut. Kanal ketiga adalah Banjir Kanal Timur (BKT) dengan menyodet sungai Tjiliwong di Tjawang yang dialirkan melalui kanal yang dihubungkan dengan kanal Kalimalang. BKT ini tidak melewati kanal Buaran tetapi menuju ke timur dan bermuara ke laut di Maroenda (sebelah timur Tjilintjing).    

Jika benar kanal/sungai Gomati adalah Kanal Soenter kuno, maka sungai Tjakoeng/sungai Toegoe adalah sungai Candrabhaga. Titik singgung terdekat antara sungai/kanal Soenter dengan sungai Toegoe/sungai Tjakoeng adalah jarak antara kampong Tjakoeng dengan kampong Poeloe Gadoeng. Oleh karena itu, sangat masuk akal nama sungai Candrabhaga dan kanal Gomati diabadikan secara bersama-sama di dalam batu bersurat (Prasasti Tugu). Dua situs ini begitu penting saat itu bagi kerajaan Taroema Negara yang dipimpin oleh Poernawarman. Dua situs ini adalah urat nadi perdagangan.

Batoe Toemboe dan Toegoe

Warga pemukim di kampong Toegoe sudah sejak lama diketahui beragama Kristen. Mereka ini boleh dikatakan mirip dengan warga pemukim di Depok. Pemerintah manganggap warga Kristen di kampong Toegoe dan kampong Depok diwacanakan dimasukkan sebagai golongan Eropa/Belanda (lihat Javasche courant, 10-10-1829). Dasar pertimbangannya hanya satu, meski mereka termasuk penduduk pribumi atau campuran, karena bergama Kristen (yang umumnya dianut oleh orang Belanda).

Gereja Toegoe, 1930
Pemukim kampong Toegoe adalah eks interniran Portugis dari Malaka yang dibawa oleh Belanda dan diasingkan ke Batavia dengan menetapkan lokasi penampungan di wilayah hulu sungai Tjakoeng. Bagaimana eks Portugis ini beragama Kristen tidak diketahui secara jelas, sebab orang Portugis umumnya adalah Katolik. Hal ini berbeda dengan pemukim yang berada di kampong Depok yang merupakan eks pekerja landheer Cornelis Chastelein yang mewarisi land Depok milik Cornelis Chastelein yang kemudian membentuk komunitas Kristen (sejak 1714).  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Toegoe dan Depok

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar