Laman

Minggu, 22 September 2019

Sejarah Bogor (27): Sejarah Ciomas Bogor di Gunung Salak; Apakah Gunung Salak Meletus 1699 dan Mengapa Ada Bunker?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Secara geografis, Ciomas berada tepat di lereng gunung Salak, lereng gunung yang menghadap ke pantai utara. Di bawahnya yang disela sungai Tjisadane terletak kota Bogor (Buitenzorg). Begitu dekat Tjiomas dengan kota Buitenzorg, Hanya sebatas sungai Tjisadane. Namun ternyata tidak banyak sejarah Ciomas yang dapat ditemukan. Lantas apakah ada sejarah Ciomas?

Peta land Tjiomas (1887); Peta Buitenzorg (1914)
Kini nama Ciomas menjadi nama kecamatan di kabupaten Bogor. Tempo doeloe nama kampong Tjiomas di pinggir sungai Tjiomas dijadikan nama land (tanah partikelir). Land Tjiomas ini sangat luas, jauh lebih luas dari land tetangganya land Dramaga. Namun kini land Tjiomas pada masa kini yang dikenal sebagai kecamatan Ciomas hanya memiliki luas terkecil dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciomas kini terdiri dari 10 desa: Ciomas Rahayu, Ciomas, Kota Batu, Laladon, Mekarjaya, Padasuka, Pagelaran, Parakan, Sukaharja dan Sukamakmur.

Tjiomas bagi orang Eropa/Belanda mirip Thomas dan bagi orang Tapanoeli mirip Si Omas. Lalu apakah ada omas (emas) milik Tuan Thomas di sungai Tjiomas? Satu lagi, bahwa disebutkan gunung Salak pernah meletus pada tahun 1699 tetapi tidak sedikit yang meragukan. Lalu apakah gunung Salak memang benar-benar meletus pada tahu 1699? Semua pertanyaan ini menjadi satu dan menjadi pintu masuk yang utama untuk melacak sejarah Ciomas Bogor. Untuk itu, untuk memhami sejarah Ciomas lebih dalam, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Tjiomas: Kota Tua Kota Batu

Nama Tjiomas kali pertama ditemukan dalam publikasi umum pada tahun 1850. Namun nama Tjiomas bukan di Buitenzorg, melainkan sebuah nama district di Residentie Banten (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 22-07-1850). Nama Tjiomas di Buitenzorg, Residentie Batavia baru muncul ke publik pada tahun 1854 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 26-04-1854). Tjiomas di Butenzorg, Residentie Batavia adalah nama sebuah land (tanah partikelir).

Peta 1866
Tjiomas sudah menjadi nama land (tanah partikelir). Kapan pembentukan land Tjiomas tidak diketahui secara jelas. Besar dugaan land Tjiomas dibentuk bersama-sama dengan pembentukan land Tjiampea dan land Dramaga pada tahun 1778. Jauh sebelumnya, lahan-lahan di sisi utara sungai Tjisadane sudah terbentuk sejak era Gubernur Jenderal van Imhoff (1743-1750) seperti land Koeripan, land Tjileubeut, land Bodjong Gede dan land Kedong Badak serta land Bloeboer (Buitenzorg). Lahan-lahan yang berada di sisi selatan sungai Tjisadane seperti land Tjiomas, land Dramaga dan land Tjiampea sebagai perluasan land-land yang baru. Tampaknya land Tjiampea dan land Dramaga lebih dulu dikembangkan daripada land Tjiomas. Land Tjiampea dan land Dramaga dikembangkan lebih lanjut dari arah daerah aliraa sungai Tangerang/sungai Tjisadane yang dimulai dari Tangerang. Sedangkan land Kedong Badak dan Bloeboer (land Kampong Baroe) yang merupakan pusat kota Buitenzorg merupakan perluasan pengembangan land di daerah aliran sungai Tjiliwong dari arah Batavia.

Nama land Tjiomas diduga mengadopsi nama kampong Tjiomas. Di kampong Tjiomas mengalir sungai kecil yang juga disebut sungai Tjiomas. Sungai Tjiomas bermuara ke sungai Tjisindangbarang di kampong Laladon, Sungai Tjiomas dalam hal ini berada di antara sungai Tjisadane dengan sungai Tjisindangbarang. Sedangkan jarak geografis antara kampong Tjiomas (land Tjiomas) dan kota Buitenzorg (eks land Bloeboer) sangat begitu dekat (hanya dibatasi oleh sungai Tjisadane). Catatan tambahan: Ssungai Tjisindangbarang bermuara ke sungai Tjiapoes di kampong Babakan, Dramaga dan sungai Tjiapoes bermuara ke sungai Tjisadane di belakang landhuis land Dramaga (belakang kampus IPB yang sekarang).

Peta land (1867)
Pada tahun 1829 jalan raya antara Buitenzorg dan Djasinga dibangun melalui Dramaga, Tjiampea, Panjawoengan (kini Leuwiliang), Sading Djamboe (kini Leuwisadeng) dan Bolang (kini Cigudeg). sebagai jalan kelas dua (semacam jalan provinsi pada masa ini). Jalan ini dari Buitenzorg melalui jembatan Merah, kampong Panaragan lalu jembatan (baru) di atas sungai Tjisadane dan kemudian jalan menanjak tajam. Pada persimpangan pertama dimana ke arah barat menuju Dramaga dan ke arah timur menuju (kampong) Pantjasan dan Empang (jalan kuno). Tidak jauh dari persimpangan jalan ke arah Empang ini terdapat simpang ke arah selatan menuju kampong Tjiomas (lihat Peta 1900). Dalam hal ini jembatan Tjisadane adalah jalan baru (jalan akses) yang dibangun setelah adanya land (awalnya hanya terbuat dari bambu).    

Land Tjiomas sangat luas sekali. Luasnya dari sisi selatan sungai Tjisadane hingga ke puncak gunung Salak. Batas sebelah selatan land Tjiomas adalah sungai Tjihiedeung (berbatasan langsung dengan land Tjiampea). Batas utara land Tjiomas di sebelah barat sungai Tjisadane adalah tepat berada pada jalan tanjangan jembatan Tjisadane. Sebelah utara jalan adalah land Dramaga.

Kampong Tjiomas (Peta 1900)
Seperti halnya land Tjiomas, Land Dramaga pada masa lampau juga terbilang luas (berbeda dengan persepsi yang sekarang). Land Dramaga berbatasan langsung dengan sungai Tjisadane. Tepat pada sisi jalan sebelah kanan dari arah jembatan Tjisadane termasuk land Dramaga (lihat Peta 1900). Tidak jauh dari persimpangan pertama ke arah barat terdapat sebuah garis lurus ke barat (hingga batas Tjiampea) adalah batas yang menyatakan antara land Tjiomas (di selatan garis) dan land Dramaga ( di utara garis). Garis batas ini pada masa kini diduga yang menjadi asal usul nama gang/jalan Wates. Kampong Goenoeng Batoe sendiri termasuk wilayah land Dramaga. Batas land Tjiomas di sebelah timur adalah sungai Tjibeureum (di sebelah timur Kota Batoe) yang membatasi antara land Tjiomas dan land Tjidjeroek. Pada masa lampau land Dramaga juga adakalanya disebut land Sindangbarang. Namun yang dijadikan sebagai nama wilayah administrasi oleh pemerintah Hinida Belanda adalah nama land Dramaga (dimana terdapat landhuis) dan kerena itu nama Dramaga menjadi lebih populer jika dibandingkan nama Sindangbarang sendiri.  

Siapa pemilik pertama land Tjiomas tidak diketahui secara jelas. Demikian juga siapa pemilik land Dramaga juga tidak diketahui secara jelas. Sedangkan pemilik land pertama land Tjiampea adalah Willem Vincent Helvetius Riemsdijk (anak dari Gubernur Jenderal VOC Jeremias van Riemsdijk, 1775-1777).

Cultuur Maatschappij Tjiomas (1867)
Setelah VOC dibubarkan dan digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, land Tjiampea tatap dimiliki oleh keluarga van Riemsdijk. Sementara land Tjiomas diketahui telah dimiliki oleh Munnick. Sedangkan land Dramaga atau land Sindangbarang diketahui sejak 1812 telah dimiliki oleh Gerrit Willem Casimir van Motman.  

Land Tjiomas dimiliki oleh Munnick. Dalam perkembangan lebih lanjut land Tjiomas diketahui dimiliki oleh JWL de Sturler. Di land Tjiomas kemudian JWL de Sturler diketahui telah mendirikan Cultuur Maatschappij Tjiomas yang keberadaanya sudah diketahui pada tahun 1867.  Pada tahun 1878 putri JWL de Sturler bernama Jeanne Wilhemina Augusta de Sturler meninkah dengan putra WFE Rudolph yang bernama Willem Theodoor Eduard Rudolph (lihat Bataviaasch handelsblad, 16-01-1878). Setahun kemudian putri JWL de Sturler yang bernama FW de Sturler menikah dengan EPC Sol (lihat Bataviaasch handelsblad, 26-03-1879).

Kerusuhan di Land Tjiomas, 1886

Tanah partikelir (land) adalah negara (Tjiomas) dalam negara (Hindia Belanda). Pemilik land (landheer) adalah penguasa di dalam land, menguasai seluruh lahan dan isinya baik yang berada di bawah pemukaan maupun yang berada di atas permukaan tanah. Dalam hal ini penduduk yang tinggal di dalam land juga termasuk. Meski demikian, perjanjiannya, tetapi juga ada batasan tertentu bagi pemilik land yang harus dipatuhi. Salah satunya adalah aturan yang terkait dengan pengelolaan penduduk.

Peta 1854
Hak dan kewajiban pemilik land (yang berlaku sejak era VOC) diantaranya hak memungut pajak (retribusi) setiap pengusahaan lahan oleh penduduk dengan mengenakan tingkat retribusi tertentu untuk lahan sawah, kebun dan ladang/hutan. Hak lainnya adalah layanan penduduk untuk kerja rodi bagi penduduk usia 17 tahun ke atas selama 56 hari dalam setahun baik untuk tujuan pembangunan jalan dan jembatan maupun keperluan bagi pemilik land. Kepemilikan ternak juga dikenakan retribusi. Hak lainnya bagi pemilik land adalah membentuk pemerintahan sendiri dengan mengangkat pemimpin lokal sebagai mandor, polisi atau camat dan mempekerjakannya untuk memungut retribusi dan menjaga kondisi ketertiban dan keamanan. Sementara itu pemilik land memiliki kewajiban untuk membayar pajak (verponding) kepada pemerintah dengan tingkat tertetntu yang ditetapkan oleh suatu komisi. Kewajiban lainya adalah untuk berpartisipasi mendukung pembangunan regional dalam pembangunan jalan dan jembatan serta perawatannya di sekitar land, serta memiliki kewajiban sekunder untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk baik di bidang ekonomi, maupun peningkatan kesehatan dan pengembangan pendidikan. Pemilik land dalam hal ini dapat menjual land maupun menyewakan kepada pihak ketiga (investor lainnya). Peta 1854

Land Tjiomas dibagi ke dalam 11 kemandoran, yakni: Tjiomas, Sawah, Kota Batoe, Tjiloebang, Tjiapoes, Petir, Pasir Angsana, Gadok, Boeniaga, Pasir Eurih dan Kabandoengan (lihat peta Land Tjiomas, 1910). Kemandoran terdiri dari sejumlah kampong yang berdekatan. Kemandoran adalah unit terkecil pemerintahan di dalam land yang setingkat dengan desa di tanah-tanah pemerintah (non-land). Kemandoran ini memiliki dewan yang terdiri dari mandor dengan wakil atau asistennya dan seorang amil atau penghoeloe. Sementara itu, kepala kampung yang juga merangkap sebagai seorang polisi dibayar oleh pemilik land. Semua polisi (kepala kampong) berada di bawah seorang Tjamat yang dibantu oleh dua asisten yang secara keseluruhan  berada di bawah perintah Asisten Residen (Buitenzorg). Tjamat juga memiliki sejumlah polisi yang membantu dan mengarahkan kepala kampong dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Sedangkan untuk petugas pemungut sewa dan retribusi dilakukan oleh 13 orang pedagang Tionghoa yang pekerjaan utamanya sebagai pedagang keliling. Para pemungut sewa dan retribusi ini diberi imbalan oleh pemilik land sebesar f1 hingga f4 tergantung sebaran dan luasnya tempat pemukiman penduduk (lihat R. Broersma. Particuliere landerijen in West-Java. Weltevreden : Albrecht, 1917). Nama-nama kampong yang namanya terus eksis hingga sekarang antara lain: Kota Batoe (paling tidak namanya sudah diberitakan tahun 1854); Tjibalagoeng dan Empang (1856); Tjikaret (1858).   

Pada tanggal 19 dan puncaknya pada tanggal 20 Mei 1886 terjadi kerusuhan di land Tjiomas yang berimbas ke ibu kota (afdeeling) di Buitenzorg. Sebelum terjadi kerusuhan, tiga bulan sebelumnya pada bulan Februari, Tjamat land Tjiomas terbunuh. Lalu setelah kerusuhan sejumlah pemimpin penduduk ditangkap dan banyak yang terbunuh. Kerusuhan ini kemudian dapat dipadamkan setelah pemerintah mengirimkan bantuan militer. Kerusuhan di land Tjiomas sedikit banyak telah mengganggu keamanan regional yang dikhawatirkan meluas ke seluruh wilayah. Dalam hal ini, pemilik land telah memicu munculnya kerusuhan (pemberontakan) dan pemerintah harus memulihkannya. Dalam kaitan inilah hubungan land (negara) dengan pemerintah (negara) Hindia Belanda terlihat nyata dalam praktek dimana land adalah negara dalam negara.

Pada tanggal 20 dan puncaknya pada tanggal 21 Mei 1886 terjadi kerusuhan di land Tjiomas yang berimbas ke ibu kota (afdeeling) di Buitenzorg. Sejumlah pemimpin penduduk ditangkap dan terbunuh. Kerusuhan ini kemudian dapat dipadamkan setelah pemerintah mengrimkan bantuan militer. Kerusuhan di land Tjiomas sedikit banyak telah mengganggu keamanan regional yang dikhawatirkan meluas ke seluruh wilayah. Dalam hal ini, pemilik land telah memicu munculnya kerusuhan (pemberontakan) dan pemerintah harus memulihkannya. Dalam kaitan inilah hubungan land (negara) dengan pemerintah (negara) Hindia Belanda terlihat nyata dalam praktek dimana land adalah negara dalam negara.

Setelah dilakukan penyelidikan yang cermat oleh pemerintah Hindia Belanda ditemukan indikasi bahwa munculnya kerusuhan di land Tjiomas sebagai akibat salah mengelola yang dilakukan oleh administrateur land Tjiiomas. Kebetulan saat itu yang mengelola land Tjiomas adalah anak dan menantu JWL de Sturler. Dua orang ini kemudian diadili melalui proses pengadilan yang mana keduanya dianggap telah melakukan kesalahan. Kesalahan yang dilakukan oleh kedua administrateur land Tjiomas tersebut menyangkut ketidakadilan dalam soal retribusi dan masalah rodi yang menimbulkan keresahan diantara penduduk yang pada gilirannya muncul protes (pemberontakan) dan akhirnya terjadi kerusuhan.

Peta 1924
Kesalahan pengelolaan land sesungguhnya tidak hanya terjadi di land Tjiomas tetapi juga di sejumlah land lainnya seperti mewajibkan rodi bagi penduduk usia di bawah 17 tahun. Hanya saja di land Tjiomas terjadi kerusuhan. Dalam kasus kerusuhan ini di dalam proses pengadilan, para administrateur Land Tjiomas dan pembelanya menuduh ada gerakan Islam yang mendalanginya. Namun semua itu di dalam penyelidikan tidak terbukti. Sebaliknya, di land tetangga, land Dramaga yang dikelola oleh keluarga van Motman selama ini cukup tenang dan nyaris tidak ditemukan gesekan-gesekan. Malah sebaliknya pengelolaan land Dramaga kerap dijadikan sebagai contoh pengelolaan land yang humanis. Pengelola (administrateur) land Dramaga cukup dekat dengan penduduk, para pengelola respek jika terjadi kesusahan bagi penduduk; para pengelola juga menerapkan kebijakan retribusi sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penduduk; pekerjaan rodi di land Dramaga hanya dikenakan 30 hari dari maksimal 56 hari yang ditetapkan oleh pemerintah; para pengelola juga memberikan alternatif bagi penduduk jika tidak bisa rodi dapat membayar dengan uang senilai f2.5. Hal lain yang diterapkan oleh pengelola land Dramaga adalah bahwa margin keuntungan transaksi dagang dengan penduduk tidak terlalu besar. Land Tjiomas, meski bertetangga, merupakan salah satu land yang tidak pernah terkait dengan keluarga van Motman apakah dalam status kepemilikan maupun status penyewaan land Tjiomas.    

Kerusuhan di land Tjiomas pada tahun 1885 adalah kasus khusus yang pernah terjadi di Afdeeling Buitenzorg. Setelah kerusuhan diketahui yang menjadi pemilik maupun administrateur tetap di tangan keluarga JWL de Sturler. Pada tahun 1905 land Tjiomas diketahui tetap dikuasai oleh keluarga JWL de Sturler.

Ny. JWL de Sturler di landhuis Tjiomas (1905)
Kelak satu kasus yang muncul serupa di land Tjiomas adalah keresahan yang dialami oleh penduduk penyewa di land Ragoenan (Afdeeling Meester Cornelis). Kejadian itu terjadi pada tahun 1917. Para petani penggarap melakukan demonstrasi ke dewan di Meester Cornelis. Akibat adanya kesalahan mengelola di land Ragoenan, akhirnya pemerintah pada tahun 1918 mengakuisisi land Ragoenan. Pada tahun 1926 sebanyak 10 land diakusisi oleh pemerintah tetapi tujuannya lebih pada uapaya pengembangan kota atau wilayah urban. Diantara 10 land ini termasuk land Djasinga (ibu kota district Djasinga). Pembelian land Djasinga ini mirip dengan yang dilakukan seabad sebelumnya pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) yang mana pemerintah membeli land Weltevreden untuk dijadikan sebagai ibu kota (stad) pemerintah dan juga membeli land Bloeboer untuk dijadikan sebagai ibu kota Afdeeling Buitenzorg. 

Land Tjiomas, Land Subur Berkah Letusan Gunung Salak

Sebelum ada aktivitas orang Eropa/Belanda di hulu sungai Tjiliwong, pada tahun 1699 terjadi gempa bumi yang dahsyat disebabkan oleh meletusnya gunung Salak. Properti VOC/Belanda di hulu sungai Tjiliwong baru sebatas sebuah benteng yang dibuat pada tahun 1687 (ketika tim ekspedisi VOC dikirim ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh sersan Scipio). Benteng itu menjadi cikal bakal dimana kelak dibangun Istana Bogor (yang sekarang). Semburan bahan batuan dan lumpur/debu vulkanik ini menyebarkan ke area sekitar. Debu vulkanik ini yang menjadi satu faktor penting mengapa land Tjiomas begitu subur, namun menjadi sulit diolah karena banyaknya ditemukan krikil di atas permukaan tanah. Lahan Tjiomas memiliki lempung (tanah liat/silikat) yang sangat signifikan. Sungai-sungai yang banyak cenderung berbatu dan berpasir.

Ada perbedaan hasil analisis apakah gunung Salak meletus atau hanya sekadar gempa besar. Berdasarkan catatan Daghregister, catatan harian Kasteel Batavia pada hari kejadian menyebutkan ada suara gemuruh besar di selatan dan tanah bergoyang keras sehingga orang di jalanan yang tengah jalan berjatuhan. Catatan Daghregister juga mengundikasikan bahwa sungai Tjiliwong begitu terlihat kotoran membawa sampah dari pedalaman. Namun dalam catatan Dagregister tidak ditemukan terminologi letusan vulkanik. Sementara dari catatan orang Inggris, menyebutkan suatu ekspedisi dikirim dari Tangerang untuk memeriksa ke hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane karena gemuruh dan gempa yang mana sungai Tangerang membawa lumpur dan batang-batang pohon dari hulu. Tim ekspedisi ini membutuhkan 19 hari pergi-pulang dan menyatakan bahwa semua permukaan tanah tertutup lumpur di wilayah hulu sungai. Keterangan-keterangan tentang letusan gunung Salak ini tampaknya bersesuaian dengan satu setengah abad kemudian tentang kondisi lahan yang ditemukan di land Tjiomas oleh pemilik land, tanah berlempung, banyak batu krikil di atas permukaan, sungai-singai yang banyak yang berbatu dan berpasir.

Kesesuaian lahan land Tjiomas (kesuburan dan altitid) pada tahun 1868 dintorduksi tanaman kina dan hasilnya dilaporkan cukup memuaskan (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-10-1868).

Java-bode voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1871
Pada awal pembentukan land Tjiomas (era VOC) usaha pertanian yang dilakukan oleh pemilik adalah pertanian tebu untuk menghasilkan gulu. Dalam perkembangannya diintroduksi tanaman kopi. Usaha pertanian kopi terus eksis cukup lama dan pada pasca pendudukan Inggris, tanaman kopi mulai dikombinasikan dengan tanaman teh. Introduksi terakhir adalah tanaman kina. Pada tahun 1871 pemilik land Tjiomas diketahui terus meningkatkan produktivtas tanaman kopi. Ini dapat dilihat pada sebuah iklan yang membutuhkan seorang pengawas yang benar-benar piawai dengan Koffiekultnur dan persiapan serta dengan kegiatan yang bersifat administrasi. Kandidat pengawas yang diinginkan JWE de Sturler adalah orang yang mampu berbahasa Soenda (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-05-1871).

Selain tanaman perkebunan yang diintroduksi oleh pemilik land Tjiomas, penduduk sudah sejak lama mengusahakan pertanian sawah untuk menghasilkan beras, tanaman hortikultura dan tanaman sayur-sayuran. Posisi land Tjiomas yang berdekatan dengan kota (Buitenzorg), produk buah-buahan dan sayur-sayuran membanjiri kota Buitenzorg setiap harinya. Dalam hal ini, land Tjiomas memiliki keunggulan komparitif dibandingkan dengan land-land lainnya karena faktor kesuburan (yang dilengkapi dengan banyaknya sumber air) dan faktor market. Faktor inilah yang diduga mengapa keluarga de Sturler terus mempertahankan land Tjiomas sebagai usaha keluarga.

Ny de Sturler (JF Dinger) dan dua putrinya, 1905
Setali tiga uang, land Dramaga yang dikuasai secara terus menerus oleh keluarga van Motman diduga karena faktor alamiah (kesuburan dan ketersediaan air) dan faktor market. Pada tahun 1850an sudah banyak land di Residentie Batavia yang ditinggalkan oleh keluarga Eropa/Belanda dan satu per satu jatuh ke tangan orang-orang Tionghoa. Akan tetapi tidak demikian dengan land Tjiomas dan land Dramaga. Land Tjiomas (dan land Dramaga) secara turun temurun diusahakan oleh keluarga yang sama. Foto-foto disamping ini adalah Ny de Sturler (JF Dinger) dan dua putrinya (Ny Rudolph dan Ny Sol), 1905

Sebagai pengusaha, JWE de Sturler ingin memaksimalkan potensi yang dimiliki land Tjiomas dengan menyewakan tempat pemandian Kota Batoe (lihat Bataviaasch handelsblad, 15-12-1871). Tampaknya de Sturler ingin menyemarakkan Kota Batoe sebagai tempat rekreasi dan tujuan wisatawan. Sebab sebelumnya di Kota Batoe sudah tersedia losmen. Keberadaan losmen di Kota Batoe paling tidak sudah diberitakan pada tahun 1853 (lihat (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-05-1853).

Bataviaasch handelsblad, 15-12-1871
Di Buitenzorg  sendiri diketahui sudah ada Hotel Bellevue. Hotel ini pada tahun 1853 diberitakan telah diakusisi oleh W. Hamstra (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1853). Hotel ini adalah hotel pertama di Buitenzorg. Pada tahun 1920 beralih kepemilikan dan masih eksis hingga tahun 1932 sebelum ditutup selamanya. Hal ini karena pemilik yang sama telah mengakuisisi hotel Salak. Lokasi Hotel Bellevue (view gunung Salak) tepat berada dimana terdapat Bioskop Ramayana tempo hari. Hotel Salak yang dibangun tahun 1920 masih eksis hingga ini hari.    

Perkebunan kina di land Tjiomas makin lama makin meluas. JWE de Sturler bahkan telah mengiklankan di surat kabar (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1875). Jumlah pohon kini di land Tjiomas sudah mencapai 60.000 batang (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-05-1875). Jumlah ini belum termasuk yang masih berada di dalam pembibitan, yang jumlahnya lebih banyak dari sudah ditanam. Tanaman kina di land Tjiomas kini sudah bersaing dengan tanaman kopi. Produksi kina Tjiomas sudah dipasarkan di apotik-apotik di Batavia.

De locomotief, 26-08-1875
Pada bulan Juli di Buitenzorg dibentuk masyarakat pertanian dan peternakan (Maatschappij van Landbouw en Veeteelt). Sebagai ketua diangkat JWE de Sturler dan sebagai sekretaris Wigman dari kebun raya (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-08-1875). Disebutkan sudah ada sebanyak 33 orang anggota. Organisasi akan melaksanakan pameran setiap tahun. Boleh jadi ide pembentukan masyarakat pertanian dan peternakan di Buitenzorg ini dibentuk karena kerap dilakukan kontes ternah besar. Kontes ini kali pertama diberitakan pada tahun 1870 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-08-1870). Sementara itu belum lama ini di Batavia dilakukan pameran pertanian dimana Sturler ikut berpartisipasi sebagai peserta pameran.

Johan Wilhelm Eduard (JWE) de Sturler boleh dikatakan sebagai pelopor masyarakat pertanian dan peternakan di Hindia. JWE de Sturler yang juga pelopor tanaman kina di Buitenzorg namanya cukup dikenal di seputar (residentei) Batavia. JWE de Sturler juga sukses mengelola land Tjiomas. Untuk sekadar catatan jumlah penduduk di land Tjiomas pada tahun 1876 sebanyak 13.704 jiwa (lihat Bataviaasch handelsblad, 06-11-1876).

JWE de Sturler  juga adalah seorang pembelajar dan inovatif. Introduksi tnaman kina di land Tjiomas awalnya sempat dicela oleh orang tetapi kemudian karena mengelolanya tekun akhirnya berhasil mendapat perhatian pasar di Eropa/Belanda. Nama KF Holle (di Preanger)  dan Sturler (di Buitenzorg) menjadi nama yang kerap disebut dalam pengembangan perkebunan kina. JWE de Sturler juga menginisiasi pembentukan masyarakat pertanian dan peternakan. Ikut dalam pameran dan telah memberikan sumbangan yang berarti dalam koleksi sekolah pertanian di Wageningen. Tidak hanya itu, ternyatra JWE de Sturler juga, meski sudah tua (sudah punya cucu) masih kuliah di sekolah pertanian di Wageningen. Pada bulan Juli 1882 diketahui JWE de Sturler naik kelas ke kelas dua di sekolah pertanian di Wageningen (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-08-1882).Yang satu kelas bersamanya diantaranya HP Tiedeman yang diketahui sebagai asisten direktur kebun raya di Buitenzorg.Yang naik ke kelas tiga diantaranya adalah EL van Limburg Stirum. Sedangkan yang dinyatakan lulus adalah A Doijer dari Soerabaija dan GWC Goedhardt dari Samarang.

Pada bulan Desember 1882 di Buitenzorg dilakukan rapat Masyarakat Balap Buitenzorgsche yang mana direncanakan pada bulan September 1883 akan diadakan pameran besar yang meliputi bunga, tanaman hias, produk dan peralatan pertanian, kuda, ternak dan unggas, bersamaan dengan perlombaan yang akan diadakan pada bulan September 1883 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1882). Ini mengindikasikan untuk kali pertana acara hiburan race yang sudah ada sejak 1860an dikombinasikan dengan hal yang terkait dengan pengembangan pertanian. Selama ini pameran pertanian hanya diadakan di Batavia. Dalam kepanitiaan ini turut serta JWE de Sturler dan para pimpinan dari kebun raya (Dr. JCCW van Nooten, sekretaris kebun raya; Dr. M Treub, direktur kebun raya, HJ Wigman, asisten hortikultura kebun raya). Satu yang penting kemudian bahwa JWE de Sturler dan terunannya baik laki-laki atau perempuan bukan lagi warga biasa, tetapi telah menjadi bagian dari bangsawan Kerajaan Belanda.

Berdasarkan Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 12 Februari 1884, JWE de Sturler dan terunannya baik laki-laki atau perempuan yang sah diangkat menjadi bangsawan (lihat Nederlandsche staatscourant,22-02-1884). Apa sebab yang menjadi diangkat menjadi bangsawan tidak diketahui secara jelas. Namun jika dilihat track-recordnya besar kemungkinan karena JWE de Sturler terbilang sangat aktif dalam pengembangan pertanian di Hindia khususnya di land Tjiomas.  JWE de Sturler juga telah mendapat sertifikat der derde klasse zilver medaille Calcutta International Exhiition 1883-1884 karena keberhasilan perkebunan kina, yang menjadi salah satu kebanggaan warga Belanda di dalam eksibisi tersebut (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 10-11-1884).

Seperti yang telah disebut di atas, pada tahun 1886 terjadi kerusuhan di land Tjiomas yang mana dalam kerusuhan tersebut anak dan menantu JWE de Sturler dinyatakan bersalah. Lantas apa yang menyebabkan anak dan menantu JWE de Sturler dinyatakan bersalah tidak dijelaskan secara terperinci/ Lantas apakah anak dan menantu ini telah menyalahgunakan posisi keluarga atau hanya sekadar kesalahan dalam mengelola dan pengadministrasian land Tjiomas? Kasus di land Tjiomas ini sudah menjadi isu pada tahun 1885 sebagaimana ditemukan dalam surat kabar Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-04-1885.

Keberadaan Bunker di Kampong Pegelaran, Ciomas: Suatu Analisis

Dua tahun lalu (2017), di desa Pagelaran, kecamatan Ciomas, tepatnya di area Pesantren Al Fatah di kampung Kreteg ditemukan sebuah bunker (lorong bawah tanah). Lantas apakah ada kaitan keberadaan bunker ini dengan kerusuhan yang terjadi di land Tjiomas pada tahun 1887. Tentu saja untuk membuktikan adanya relasi tersebut diperlukan penggalian data. Dalam berita yang muncul pada tahun 2017 seorang nara sumber menyebutkan bahwa di area ditemukan bunker tersebut dulunya terdapat sebuah penggilingan padi.

Penggilingan padi di land Tjiomas (Peta 1900)
Pada masa ini area Pesantren Al Fatah di kampong Kreteg, desa Pagelaran tempat ditemukan bunker, berdasarkan Peta 1900 teidentifikasi sebuah penggilingan padi (rijstpelmolen). Posisi GPS penggilangan padi ini tampaknya sesuai dengan area pondok pesantren. Namun yang teridentifikasi jalan (kendaraan kereta kuda) dari landhuis Tjiomas di sekitar tanjakan jembatan Tjisadane hanya sampai ke tempat penggilingan padi di kampong Kretek. Penempatan penggilingan padi di kampong Kretek boleh jadi karena merupakan area persawahan yang luas ke arah selatan maupun ke arah barat kampong Kretek. Satu lagi penggilingan padi di land Tjiomas berada di dekat landhuis Tjiomas (di sisi jalan raya tanjakan).

Lantas kapan dibuatnya bunker di area penggilingan padi di land Tjiomas? Apakah bunker ini dibuat pada era Pemerintah Hindia Belanda, atau jauh sebelumnya pada era VOC, atau apakah bunker itu dibuat pada era pendudukan militer Jepang? Pertanyaan ini tentu saja sulit diketahui. Hal ini karena pembuatan bunker tampaknya bersifat rahasia dan selalu dirahasiakan. Lalu pertanyaan berikutnya untuk kerperluan apa bunker dibuat? Sudah barang tentu untuk kebutuhan pertahanan (persembunyian), tetapi juga dapat digunakan untuk tempat penyimpanan padi/beras.

Peta 1880
Berdasarkan Peta 1880 di kampong Kretek belum ada penggilingan padi. Di land Tjiomas penggilingan padi hanya terdapat di kampong Pasir Koeda. Dalam perkembangannya, seperti tampak pada Peta 1900 penggilingan padi tidak hanya terdapat di Pasir Koeda tetapi juga diidentifikasi di dekat landhuis dan di kampong Kretek. Penggilingan padi di kampong Kretek tampaknya penggilingan padi menggunakan kincir air (menggunakan aliran sungai Tjikretek. Lantas apakah bunker ini awalnya sebagai saluran pembuangan kincir air penggerak penggilingan padi?

Apakah ada relasi pembangunan bunker dengan kejadian-kejadian sebelum kerusuhan di land Tjiomas pada tahun 1885, Tampaknya sangat kecil kemungkinan. Sebab penggilingan padi pada tahun belum ada di kampong Kretek (baru ada di kampong Pasir Koeda). Pada tahun-tahun kerusuhan, kebutuhan bunker untuk pertahanan kemungkinannnya sangat kecil, karena kekuatan militer Belanda sudah cukup kuat saat itu di kota Buitenzorg. Jika hanya untuk membangun bunker, mengapa harus sejauh itu ke kampong Kretek (perkampungan penduduk), lokasi yang keberadaannya jauh dari landhuis. Lagi pula di kampong Kretek properti landhuis Tjiomas hanya sebatas penggilingan padi (properti pemilik land terdapat di sekitar landhuis).

Kemungkinan dibuatnya bunker itu dilakukan pada era pendudukan Jepang. Militer Jepang sangat jamak membuat bunker-bunker di berbagai tempat. Selama penduduk militer Jepang, kesatuan militer Jepang sangat kuat di Bogor. Oleh karena itu mereka tidak memerlukan bunker untuk persembunyian, Lagi pula, dengan melihat struktur bangunan, bunker di Tjiomas ini terbilang bunker kecil. Satu-satunya alasan militer Jepang membangun bunker di Tjiomas hanya untuk kebutuhan untuk ruang tahanan (penjara) bawah tanah. Sebagaimana diketahui selama penduduk Jepang, penjara yang digunakan militer Jepang hanya penjara Paledang (penjara warisan Belanda). Dalam hal ini, militer Jepang membuat bunker di Tjiomas dengan memodifikasi saluran pembuangan air kincir penggerak penggilingan padi peninggalan pemilik land Tjiomas. Jawaban ini tentu saja kurang memuaskan, sebab tidak perlu jauh-jauh ke Tjiomas hanya untuk sekadar membuat penjara bawah tanah. Itu bisa dilakukan militer Jepang di bawah penjara Paledang.

Satu-satunya informasi masa lalu yang dapat menjadi petunjuk adalah suatu informasi yang dapat dibaca pada surat pembaca yang mengomentari artikel CHF Riesz tentang over de aanhangige Tjiomasquaestio en den Assistent Resident van Buitenzorg pada surat kabar Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 08-06-1885. Dalam surat pembaca disebutkan bahwa perlu investigasi besar-besaran di Tjiomas yang diduga dikaitkan dengan tingginya cukai yang diterapkan. Juga di dalam surat pembaca ini terindikasi adanya gudang selama lima puluh tahun ini di selatan land, tempat dimana cukai (padi) dikumpulkan. Namun tahun ini tempat pengumpulan cukai tersebut untuk kali pertama harus dibawa ke Kedong Halang yang jaraknya sekitar 15 pal.

Jika menghitung mundur lima puluh tahun dari tahun 1885 itu berarti keberadaan gudang di selatan land sudah ada sekitar tahun 1835. Lantas mengapa gudang ini tidak dimanfaatkan lagi dan mengapa harus ke Kedong Halang? Surat pembaca itu juga menyatakan belum lama ini ada upaya pembunuhan di Kedong Halang. Apakah ada relasi orang yang diduga dibunuh lalu disembunyikan di dalam gudang di selatan land? Lalu gudang itu ditutup selamanya?  

Dalam berita lain disebutkan bahwa administrateur land Tjiomas adalah Sol. Sebagaimana diketahui menantu pemilik land Tjiomas adalah EPC Sol. Boleh jadi dalam hal ini JWE de Sturler tidak tahu apa-apa soal karena belakangan ini JWE de Sturler lebih sibuk dalam hal pengembangan pertanian secara umum. Dalam perkembangannya di land Tjiomas muncul perselisihan antara penduduk dan mandor yang berakhir dengan terbunuhnya Tjamat.

Perselisihan ini awalnya seorang penduduk dengan alasan tertentu meminta tidak ikut kerja rodi tetapi digantikan orang lain, Namun mandor tidak menolak dan meminta tidak bisa diwakili. Lalu kemudian terjadi kejadian dimana Tjamat terbunuh. Untuk mengatasinya dikirim setengah kompi militer (lihat Soerabaijasch handelsblad, 01-03-1886). Berita lain disebutkan bahwa Asisten Residen Buitenzorg telah dipecat karena kasus ini (lihat Soerabaijasch handelsblad, 01-03-1886). Pembunuh Tjamat di Tjiomas telah ditembak tentara (lihat Soerabaijasch handelsblad, 06-03-1886). Mangapa Asisten Residen dicopot? Ada dugaan bahwa Asisten Residen tidak cepat merespon karena sang Tjamat selama ini dibenci oleh penduduk dan tidak dilakukan tindakan (lihat Soerabaijasch handelsblad, 12-03-1886).

Pertanyaan berikutnya adalah apakah militer dalam hal ini telah melakukan tindakan kekerasan kepada penduduk? Apakah para pemberontak yang ditangkap lalu dijebloskan ke dalam gudang di selatan land? Seperti disebutkan di atas, ketegangan di land Tjiomas tidak berhenti sampai disitu tetapi kemudian terjadi kerusuhan kembali pada tanggal 19 dimana kelompok pemberontak yang terdiri dari 50 orang menyerang pesta bumi di kampong Gadok land Tjiomas dan hari esoknya tanggal 20 Mei 1886 pemerintah yang dibantu satuan militer bentrok dengan 500 orang pemberontak di perbatasan land Tjiomas dan land Tjiampea yang mana terbunuh sebanyak 41 orang dan sembilan orang terluka parah yang semuanya diidentifikasi sebagai penduduk Tjiomas.

Semua perkara-perkara ini telah diselidiki dan telah diberitakan di surat kabar, namun ada satu yang tetap misteri, yakni soal gudang. Apakah gudang ini pada masa ini yang diduga sebagai sebuah bunker? Suatu bekas gudang yang dijadikan sebagai penjara bawah tanah di land Tjiomas?

Demikianlah sejarah singkat Ciomas, suatu land di masa lampau dimana di satu sisi terbentuk pertanian yang maju, tetapi di sisi lain begitu tingginya tekanan yang harus dihadapi oleh penduduk. Tekanan penduduk yang berlebih nmenjadi sebab munculnya kerusuhan di land Tjiomas.


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

1 komentar:

  1. trimakasih atas artikelnya...saya jd tahu sejrah tempat tinggal saya sekrang

    BalasHapus