Laman

Senin, 16 September 2019

Sejarah Tangerang (39): Kedaung di Sungai Tangerang, Perkebunan Kopi Pertama di Indonesia, 1711; Abraham van Riebeeck


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Sejarah perkebunan kopi di Indonesia sejatinya dimulai dari Kedaung Tangerang. Itu bermula tahun 1711 ketika Abraham van Riebeeck mengintroduksi tanaman kopi dengan menanam kopi di Kedaung, sisi barat sungai Tangerang di hilir benteng (fort) Tangerang. Setelah sukses di Sringsing (baca: Serengseng Sawah), introduksi diperluas ke daerah aliran sungai Semarang. Introduksi inilah yang kemudian kopi dibudidayakan ke wilayah pedalaman di hulu sungai Tangerang/Tjisadane dan hulu sungai Tjiliwong (Buitenzorg dan Preanger) dan di hulu sungai Semarang (Ambarawa).

Abraham van Riebeeck, 1714 (Peta 1902)
Pada tahun 1666 kebijakan pemerintah VOC berubah dari perdagangan yang longgar di (kota-kota) pantai dengan kebijakan baru bahwa penduduk dijadikan subjek, seorang yang berminat botani di Ambiona, Georg Eberhard Rumphius ditugaskan pemerintah untuk menyusun buku botani. Namun buku tujuh valume tersebut tidak tuntas karena Georg Eberhard Rumphius meninggal. Tugas ini kemudian diambil alih oleh Majoor Saint Martin, seorang pahlawan VOC yang berhasil menyelesaikan perselisihan dan membuat perjanjian damai dengan Kesultanan Banten (1684). Atas prestasi ini, Gubernur Jenderal menghadiahkan lahan paling subur kepada Sain Martin di Tjineredan Tjitajam. Namun buku tujuh valume ini juga tidak tuntas sebab Saint Martin meninggal dunia tahun 1886. Lalu tugas ini diambil alih oleh Cornelis Chastelein. Sambil menulis, Cornelis Chastelein membuka lahan di sisi timur sungai Tjiliwong (kini Senen sekitar RSPAD). Pada tahun 1696 Cornelis Chastelein membuka lahan baru di Sringsing dan kemudian di Depok. Pada tahun 1703 ketika Abraham van Riebeeck memimpin ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong dan Preanger bertemu dengan Cornelis Chastelein di Sringsing. Sejak itu pertemanan mereka menjadi lebih dekat. Sementara itu pada tahun 1706 seorang pelukis Prancis, Cornelis de Bruijn berhasil mengabadikan Sringsing dan benteng Tangerang dalam bentuk lukisan.

Lantas bagaimana awal introduksi kopi di Kedaung? Semua tidak berdiri sendiri, tetapi semua terhubung satu sama lain. Semua ada mulanya. Land Kedaung dipilih sebagai tempat pertama introduksi kopi tahun 1711 tentu saja ada alasannya. Yang jelas sejarah kopi di Indonesia dimulai di Kedaung (dekat di hilir Kota Tangerang). Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Majoor Saint Martin

Isaack de St. Martin dan Abraham van Riebeeck adalah dua serangkai yang berperan aktif mengawal (kesultanan) Banten dari Inggris. Itu terjadi pada tahun 1679. Tahun inilah Cornelis Snock mulai membangun pertanian di daerah aliran sungai Tangerang/sungai Tjisadane.

St. Martin, seorang Prancis militer profesional yang menguasai bahasa pribumi. Pada saat terjadi perang saudara di Banten pada tahun 1682 kembali St Martin dikirim ke Banten. Hasilnya memuaskan dengan perjanjian damai pada tahun 1684. Atas prestasi ini St Martin diberi hadiah lahan paling subur di Tjinere dan Tjitajam dan mendapat kedudukan penting di pemerintahan. Abraham van Riebeeck, seorang sarjana adalah anak dari Gubernur Amboinia, Jan van Riebeeck (1665-16??). Pada masa ini, Georg Eberhard Rumphius seorang pedagang utama di Amboinia menaruh minat yang besar terhadap botani dan etnografi.

Isaack de St. Martin memulai karir militer tahun 1662 dengan pangkat letnan. Martin saat itu membantu Rijckloff van Goens yang memimpin ekspedisi ke Malabar (India selatan). Dari Malabar, Rijckloff van Goens membawa St Martin ke Hindia. Pada tahu 1672 St Martin diketahui berpangkat Kapitein yang ditempatkan di Kasteel Batavia. Setelah sukses di Japara, St Martin bersama Abraham van Riebeeck ke Banten tahun 1679. Saat ini yang menjadi Gubernur Jenderal adalah mantan bosnya dulu di Malabar, Rijckloff van Goens (1678-1781). Saat St Martin menerima lahan subur di Tjinete dan Tjitajam yang menjabat Gubernur Jenderal adalah Johannes Camphuys, seorang yang memiliki perhatian pada masalah botani. Sejak inilah St Martin mengusahakan pertanian di Tjinere dan Tjitajam. Minat Georg Eberhard Rumphius di bidang botani yang pernah didukung oleh Gubenrur Jenderal Joan Maetsuycker (1653-1678) kembali mekar. Johannes Camphuys menugaskan Georg Eberhard Rumphius di Amboina untuk memulai menyusun buku botani.

Georg Eberhard Rumphius yang sejak lama sendiri dalam bidang botani, Gubernur Jenderal Johannes Camphuys menugaskan St. Martin sebagai asisten Georg Eberhard Rumphius di Herbarium Amboinense. Georg Eberhard Rumphius di Ambon dan St. Martin di Batavia dapat dikatakan sebagai peletak dasar ilmu pengetahuan di Hindia (baca: Indonesia).

Semasa Rijckloff van Goens menjadi Gubernur Jenderal (1678-1781), St. Martin mengusulkan perlunya sebuah kantor di Batavia untuk urusan yang terkait dengan minatnya yakni di bidang botani dan etnografi. Sejak inilah St. Martin terhubung (secara jarak jauh) dengan Georg Eberhard Rumphius di Ambon.  Inventarisasi St. Martin menunjukkan bahwa dia menyukai dalam hal senjata oriental, tetapi juga dalam tulisan dan manuskrip oriental; juga tanaman langka dan instrumen fisik. Perpustakaannya di Batavia mengisi enam lemari besar. Dia sangat dikenal karena pengetahuan yang tidak biasa dari bahasa Oriental, negara dan bangsa yang sangat berguna untuk penelitian ilmiah. Pada tahun 1686 St Martin bersama Joan van Hoorn diminta Dewan untuk mengekploitasi lahan-lahan di Batavia dan sekitar bersama para pemimpin pribumi. Mendatangkan pekerja dari luar Batavia mulai dilakukan. Joan van Hoorn kelak menjadi Gubernur Jenderal (1704-1709).

Mr. Abraham van Riebeeck

Isaack de St. Martin sudah lama tiada, meninggal dunia tahun 1696 (lihat Daghregister, 14 April 1696). St Martin disebutkan meninggal dunia dalam status lajang. Propertinya di Hindia diambil kembali oleh pemerintah karena ahli warisnya tidak ada yang tinggal di Hindia (begitu peraturannya). Demikian juga Rumphius yang sudah lama buta meninggal dunia pada tahun 1702. Yang masih tersisa adalah Cornelis Chastelein yang lebih banyak perhatiannya untuk urusan pertanian dan botani yang boleh dibilang adakalnya menyendiri di Sringsing dan Depok. Buku botani yang banyaknya tujuh volume warisan Rumphius juga tidak tuntas diselesaikan oleh Saint Martin. Kini, proses penyelesaiannya berada di tangan Cornelis Chastelein.

Abraham van Riebeeck diberi izin memiliki land di Bodjong Manggis dan Bodjoeng Gede. Abraham van Riebeeck juga diberi izin memiliki land di Pondok Poetjoeng (lihat Daghregister 1701). Abraham van Riebeeck dipromosikan menjadi Directeur Generael (lihat Daghregister 26 Mei 1703).

Saat melakukan finishing buku botani tujuh volume ini, pada tahun 1703 Abraham van Riebeeck memimpin ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong. Rute yang dilalui adalah sebagai berikut: Kastel Batavia, Tjililitan, Tandjoeng, Sering Sing, Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong, Bodjong Manggis (dekat Bojonggede), Kedonghalang, Paroengangsana (Tanah Baru Bogor).

Pada saat itu dari pelabuhan Tjililitan dilanjutkan dengan perahu ke hulu sungai Tjiliwong melewati Tandjoeng (kini Pasar Rebo) dan Sering Sing (kini Serengseng Sawah). Sudah barang tentu tim ekspedisi bermalam di real estate Cornelis Chastelein di Sering Sing. Dari Sering Sing perjalanan dilanjutkan melalui Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong dan Bodjong Gede. Tim ini juga melaporkan hasil ekspedisi ke Priangan di Tjiandjoe (melewati Gadok dan Tjisaroea). Besar kemungkinan saat di Bodjong Gede inilah  Abraham Jan van Riebeeck tertarik untuk memiliki land Bodjong Manggis (Bodjoeng Gede). Sebagaimana diketahui land Depok sudah dimiliki oleh Cornelis Chastelein dan land Pondok Terong (Tjitajam) dan land Tjinere masih tercatat atas kepemilikan alm. Saint Martin. Saat ini diketahui land Ragoenan sudah dimiliki oleh Hendrik Lucasz Cardeel (orang yang membangun masjid Banten)..

Tidak lama sepulang dari ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong, Abraham  van Riebeeck ditempatkan sebagai Gubernur di Malabar (tempat dimana dulu tahun 1662 memulai karir militer). Hal ini karena di Malabar terjadi kenaikan eskalasi politik. Sepulang dari Malabar (India Selatan), van Riebeeck tidak lama kemudian menjadi Gubernur Jenderal pada tahun 1709.

Almanak, 1829
Saat menjabat Gubernur Jenderal, Abraham van Reibeeck pada tahun 1710 mengambil inisiatif untuk mengintroduksi tanaman kopi di Hindia. Lalu bibit kopi di datangkan dari Malabar ke Hindia. Penanamannya dimulai di Kedawong tahun 1711. Lalu dari Kedaoeng kemudian menyebar hingga hulu sungai Tangerang/Tjisadane dan hulu sungai Tjiliwong. Inilah awal mula VOC/Belanda memperkenalkan kopi di Indonesia (baca: Hindia). Berdasarkan catatan harian Kasteel Batavia Daghregister 7 September 1712 Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck bersama Cornelis Chastelein berangkat ke land-land yang berada di Krawang. Kunjungan ke hulu sungai Tjitaroem ini diduga dalam rangka untuk memperluas introduksi tanaman kopi.

Program introduksi kopi yang dilakukan oleh Abraham van Reibeeck dan Cornelis Chastelein ini belum sepenuhnya tuntas, dikabarkan Abraham van Reibeeck meninggal dunia pada tanggal 17 November 1713 di Batavia. Berita kematian Abraham van Reibeeck ini sesuai dengan Daghregister 17 November 1713. Sebagai pengganti Abraham van Reibeeck diangkat Christoffel van Swol (1713-1718). Pada tanggal 18 Mei 1714 (sesuai Daghregister) istri alm. Abraham van Reibeeck meninggal dunia.

Cornelis Chastelein tinggal sendiri. Dua tahun kemudian Cornelis Chastelein harus kehilangan putra semata wayang Anthonij Chastelejn pada tanggal 8 Februari. 1715 (sesuai tanggal Daghregister).

Botani dan Kopi

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar