Laman

Senin, 04 November 2019

Sejarah Sukabumi (29): Sejarah Musik di Sukabumi; Societetit Soekamanah dan Gamelan Parakan Salak ke Belanda, 1883


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sukabumi dalam blog ini Klik Disini

Sukabumi tidak hanya melahirkan banyak musisi, Sukabumi juga memiliki sejarah musik tersendiri. Musik tradisi dan musik modern berdampingan di Soekabomi pada masa lampau. Untungnya, orang-orang Eropa/Belanda di Soekaboemi juga menyukai musik tradisi. Salah satu jenis musik tradisi Soekaboemi adalah gemelan. Para musisi musik tradisi gamelan yang tergabung dalam Gamelan dari Parakan Salak, Soekaboemi sudah manggung di Belanda tahun 1883.

Lagu Senja di Sukabumi (Album 4 Nada, 1980)
Lagu berjudul Senja di Sukabumi yang dibawakan oleh groep band 4 Nada dapat membuat orang jatuh cinta. Saya suka lagu ini ketika masih SMP di kampong. Itu karena teringat paman nun jauh di Sukabumi. Akhirnya lagu ini, saya recall kembali ketika menulis artikel ini. Yang ada muncul kerinduan. Tentu saja tidak hanya lagu Senja di Sukabumi, juga masih ada lagu yang berjudul Ini Rindu yang dibawakan oleh Farid Hardja.
.
Lantas seperti apa sejarah musik di Sukabumi? Nah, itu dia. Tentu saja soal ini belum pernah ditulis. Sambil mendengar kembali lagu Senja di Sukabumi ada baiknya sejarah musik Sukabumi mulai ditulis agar penulis-penulis musik di Sukabumi dapat melanjutkannya.Mari kita mulai dengan menelusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Musik Tradisi Gemelan

Musik tradisi gamelan, kali pertama keberadaannya dicatat pada tahun 1827 (lihat Bataviasche courant, 17-01-1827). Di dalam berita tersebut disebutkan sebagai berikut: ‘kami baru saja memasuki gerbang ketika para penari dan pemain ang[k]long, yang telah menemani kami tepat waktu, mengucapkan selamat datang kepada kami dengan teriakan nyaring, dan kemudian digantikan oleh penari yang baik, yang memainkan senar dan musik gamelan, salendro dan pelog, menyanyikan lagu-lagu melodi mereka, sementara di bawah pondok (panggung) kecil, tampak menari dengan cara biasa, tanpa merasakan indra mereka, mereka mempersiapkan sosok-sosok yang ramah. Nyanyiannya, kadang-kadang harmonis, tetapi kebanyakan soundnya keras dan tidak menyenangkan bagi (telinga) orang Eropa..’.

Bataviasche courant, 17-01-1827
Catatan musik ini boleh jadi yang pertama untuk musik tradisi Indonesia (baca: Hindia Belanda). Memperhatikan konteks beritanya, musik tradisi tersebut dimainkan di daerah Soenda. Ini juga diperkuat dalam penggunaan alat musik angklung. Gamelan di daerah Soenda juga disebut degung. Dalam permainan musik ini juga terindikasi adanya penggunaan senar yang boleh jadi alat musik ini adalah kecapi. Dalam penggambaran musik gamelan (degung) ini juga dinyatakan dalam sistem nada salendro (tujuh nada) dan pelog (lima nada dalam satu oktaf). Dalam permainan musik ini juga ada indikasi bahwa musik dan tarian dipentaskan bersamaan (simultan).

Catatan pegelaran pertunjukan musik dan tarian yang pertama di Indonesia ini saya menduga  itu di (kota) Tjiandjoer. Dikatakan sebagai pencatatan musik tradisi pertama, karena sumber-sumber Belanda tertua seperti catatan harian Kasteel Batavia (Daghregister, 1659-1807) tidak satu pun ditemukan kata muzijk (musik) dan fluit (suling), bahkan untuk kata gong, gamelan, angklung, gondang sekali pun tidak muncul. Tentu saja juga tidak ditemukan dalam buku atau laporan kuno seperti dokumen Marcopolo, Mendes Pinto, de Baros dan jurnal Cornelis de Houtman. Dengan demikian, kontak pertama orang Eropa/Belanda dengan musik tradisi (Indonesia) yang tercatat terjadi pada tahun 1827 di Tjiandjoer.

Siapa yang disambut dengan musik dan tarian di Tjiandjoer diduga terkait dengan kunjungan Komisaris Jenderal, Generaal Majoor Holsman yang berkunjung ke Preanger tanggal 31 Desember 1826 (lihat Bataviasche courant, 03-01-1827). Dalam berita ini juga disebutkan saat kepulangan Komisaris Jenderal, Residen Preanger mengantarkan sampai ke perbatasan Buitenzorg. Saat itu ibu kota Residentie Preanger berada di Tjiandjoer. Kunjungan wakil pemerintah pusat ini ke Tjiandjoer diduga sehubungan dengan pembebasan dua land (tanah partikelir) di Residentie Preanger, yakni land Tjipoetri (kini sekitar Cipanas) dan land Soekaboemi (di district Goenoeng Parang). Dua land ini diakuisisi (dibeli) oleh pemerintah dari de Wilde tahunn 1823 dan kemudian dua land ini diserhakan kepada Bupati (Regent Tjiandjoer). Saat itu wilayah Regentschap Tjiandjoer masih termasuk tujuh distrik (yang kemudian menjadi onderafdeeli Soekaboemi).

Sejarah pencatatan musik tradisi (gamelan) dapat dikatakan dimulai tahun 1827 dan pencatatan itu kali pertama di Tjiandjoer. Dalam hubungan ini, dari tempat ini (Tjiandjoer) pada tahun 1827 menjadi pintu masuk (gate) untuk mempelajari sejarah musik di Soekaboemi. Namun yang menjadi pertanyaan, grup musik (tradisi) gamelan dari mana yang manggung di Tjiandjoer saat kedatangan Komisaris? Apakah dari Tjiandjoer sendiri, Soekaboemi? Atau didatangkan dari Bandoeng atau Sumadang? Patut diduga kontribusi pemusik dari Soekaboemi hadir apakah dalam seksi gamelan, angklung, kecapi atau tariannya.

Setelah sekian lama tidak ditemukan catatan musik tradisi, pada tahun 1846 TJ Willer di dalam laporannya menulis tentang musik tradisi. Musik tradisi Batak di Mandailing dicatat oleh TJ Willer. Disebutkan TJ Willer pertama kali melihat musik tradisi Batak dihadirkan ketika ada satu keluarga mengalami musibah yang mana sesepuh mereka meninggal dunia (tidak disebutnya dimana apakah di Mandheling, Angkola atau Pertibie). Kehadiran musik ini disebutnya untuk mengusir begu. Selanjutnya TJ Willer mendeskripsikan musik tradisi tersebut sebagai berikut: ‘Akhirnya muzijk bergabung di sini (dalam suatu kemalangan). Para pemain bermain satu melodi yang tidak menyenangkan yang diiringi oleh (alat perkusi) drum, banyak variasi dalam drum dari segi ukuran ditambah dengan kekuatan gong, untuk membuat suara mengusir roh jahat dan instrumen begitu melengking di udara. Ini kita bisa menyebut satu mandolin Batak yang juga berasal dari instrumen lainnya. (Lebih lanjut Willer menguraikan) perihal instrument musik tradisi Batak tersebut sebagai berikut: Musik instrumental berpusat pada pasangan drum dengan ukuran yang berbeda, yang biasa tergantung di dalam rumah seorang pamoesoek (radja). Juga tampak gong dan simbal. Sebuah gong besar menjadi bagian dari kekayaan radja. Seroeneh of hobo; rabab of viool (biola), dari nama menunjukkan asal asing; asopi of mandoline, yang terbuat dari wadah kayu, dengan sisi lebar bawah dan sisi sempit ke  atas, leher seperti gitar, di sentuhan dibelah dua dan disediakan sekrup, string kawat, hanya dua jumlahnya, yang dimainkan dengan pena. Dibanding instrumen lain, asopi tampak banyak daya invention dengan kesempurnaan, bahwa alat ini bisa diragukan atau justru alat yang mungkin berasal (asli) Batak. Alat lainnya berupa fluite yang disebut sordam dan oejoep-oejoep; juga gendang boeloe (bamboo), dimana kulit seperti dipotong menjadi string yang dengan kedua ujung tetap melekat pada ujung bamboo yang disangga dengan kayu agar string tegang dan alat itu digunakan dengan tongkat kecil. Musik tersebut mengiringi tarian, dan harus diakui bahwa Batak dengan semangat sejati seni, dimana ras ini cukup piawai paduan suara baik laki-laki maupun perempuan. Mereka kerap terlihat menari oleh lima atau enam gadis-gadis muda yang diantaranya adalah seorang pemuda dengan gerakan pendek. Pertunjukkan mereka sangat jarang terlihat karena memang tidak pernah diadakan dalam upacara publik, sehingga orang Eropa jarang memiliki kesempatan untuk melihatnya. Manortor atau tarian yang bersemangat yang saya tahu paling penuh perhatian dari banyak orang. Gambaran ini seperti tarian yang lama dari Skotlandia, gerakan pendek, sangat cepat dan agak kaku tidak seperti dalam gerakan tarian Jawa maupun Bali. Di dala Batak permainan menghibur dengan pantomim. Saya beberapa kali hadiri ini sudah cukup efektif untuk kepentingan rakyat karena begitu sedikit hiburan yang dimiliki. Namun hal itu perlu dilakukan rehabilitasi agar hiburan di Batak ini cukup tersedia, tapi dengan dominasi penganut agama Mahomedaansche sudah sangat jauh berkurang kegiatan pertunjukannya’.

Catatan musik tradisi dari Tjiandjoer dan Tapanoeli ini telah menambah pemahaman kita tentang sebaran musik tradisi. Catatan musik tradisi di Mandailing en Angkola ini merupakan catatan tertua tentang keberadaan musik (tradisi) di daerah Batak di wilayah Tapanoeli. Seperti halnya catatan musik tradisi tahun 1827 tentang keberadaan (ensambel) musik gamelan, angklung dan kecapi, diberitakan karena bagian tak terpisahkan dari berita dimana dilakukan suatu penyambutan pejabat, hal itu juga yang terdapat dalam laporan Asisten Residen Mandailing en Angkola TJ Willer ((1840-1845).

Laporan Asisten Residen TJ Willer ini dipublikasikan pada tahun 1846 dengan judul: 'Verzameling der Battahsche Wetten en Instellingeb in Mandheling en Pertibie, Gevolgd van een Overzigt van Land en Volk in die Streken' yang dimuat di dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1846. TJ Willer berakhir masa jabatannnya sebagai asisten residen di Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli). Laporan TJ Willer ini semacam laporan pertanggungjawaban Walikota atau Bupati pada masa ini di hadapan anggota dewan setiap tahun atau ketika berakhirnya masa kepemimpinannya. TJ Willer memasukkan perihal musik tradisi di dalam laporan karena musik tradisi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penduduk. Sudah barang tentu tidak setiap Asisten Residen memasukkan perihal musik tradisi di dalam laporannya karena setiap daerah yang memiliki musik tradisi, intensitasnya berbeda-beda sehingga musik tradisi tidak dianggap penting di dalam laporan pertanggungjawaban yang dibuat. Musik tradisi di Afdeeling Mandailing en Angkola dianggap sangat penting, karena itu TJ Willer memasukkannya di dalam laporan. Setali tiga uang dengan berita yang disarikan oleh wartawan Bataviasche courant pada edisi 17-01-1827. Dalam kunjungan komisaris ke Tjiandjoer, unsur musik dan tarian cukup menonjol dan ditinjolkan dalam berita.

Keberadaan musik tradisi gamelan di Soekaboemi paling tidak diketahui pada tahun 1871 (lihat De locomotief, 15-06-1871).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Musik Modern di Soekaboemi

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar