Laman

Kamis, 23 Januari 2020

Sejarah Kota Sibolga (5): Huta Tapian Na Oeli (Tapanoeli) Nama Residentie; Tempat Singgah di Jalur Kuno Angkola-Barus


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Sibolga dalam blog ini Klik Disini

Asal usul nama Tapanuli berasal dari sebuah kampong Tapanuli. Area kampong tua Tapanoeli tempo doeloe kini masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Nama Tapanoeli juga tempo doeoe kerap ditulis sebagai Tapian Na Oeli. Besar dugaan Tapanoeli adalah singkatan dari Tapian Na Oeli atau sebaliknya nama kampong Tapian Na Oelie disingkat menjadi Tapanoeli. Nama Tapanoeli sudah eksis sejak era Inggris (sebelum Pemerintah Hindia Belanda).

Aek/Hoeta Tapian Na Oeli (Peta 1906)
Nama Tapian Na Oeli juga diabadikan oleh Dja Endar Moeda menjadi nama surat kabar miliknya yang diberi nama (surat kabar) Tapian Na Oeli/ Surat kabar ini Tapian Na Oeli berbahasa Melayu terbit di Padang 1900. Sasaran dan oplah tertinggi surat kabar ini di wilayah Residen Tapanoeli. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, sepulang dari Mekkah mendirikan sekolah swasta di Padang tahun 1895. Dja Endar Moeda adalah alumni sekolah guru (Kweekschool) di Padang Sidempoean tahun 1884. Mengapa Dja Endar Moeda, kelahiran Padang Sidempoean menamakan surat kabarnya dengan nama Tapian Na Oeli boleh jadi karena ada hubungan spesial.

Hoeta Tapian Na Oeli adalah nama suatu kampong tempo doeloe, tepat berada di jalur jalan kuno (Angkola-Baroes) suatu jalan rintisan orang-orang Angkola di jaman kuno. Bagaimana huta Tapian Na Oeli menjadi ibu kota Inggris (Tapanoeli) tentu saja masih menarik untuk diperhatikan. Pada Peta 1945 nama kampong (hoeta) Tapian Na Ooeli ini masih eksis, Apakah kampong (huta) Tapanoeli ini masih ada dan dikenal hingga ini hari? Siapa peduli. Namun huta Tapian Na Oeli tetaplah huta Tapian Na Oeli. Untuk lebih peduli sejarah, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Aek Tapian Na Oeli dan Hoeta Tapian Na Oeli

Dari namanya Tapian Na Oeli adalah kampong orang Batak, bukan kampong orang yang berasal dari Silindoeng, tetapi dari Angkola. Kampong ini berada di jalur kuno antara Angkola-Baroes. Nama kampong ini dipopulerkan oleh orang-orang Inggris dengan sebutan Tapanoeli (pelafalan dari Tapian Na Oeli). Satu alasan yang kuat nama kampong itu menjadi populer di era Inggris karena terbilang kampong paling besar di sekitar teluk.

Kampong/Hoeta Tapanoeli (Peta 1838)
Baros (Baroes) adalah kota kuno, kota yang diduga sudah eksis sebelum adanya kitab suci. Kota Baros terkenal di Laut Merah sebagai kota yang menjadi pusat pedagangan kamper (kapur barus). Produksi kamper banyak di Angkola. Sesuai azas, penduduk mendahului perdagangan, maka penduduk Angkoa penghasil kamper harus lebih dulu eksis dari pada kota pelabuhan (kamper). Jalan darat antara Angkola dan Baros inilah kemudian berkembang menjadi jalur sutra di se kitar teluk. Pada jalur inilah kemudian terbentuk huta/aek Tapian Na Oeli. Kapan kampong (huta) ini terbentuk sulit diketahui (karena tidak ada data). Data satu-satunya adalah sumber Inggris (pada era Inggris di teluk) sudah mencatat nama Tapanoeli. Sebelum terbentuk Pemerintah Hindia Belanda di teluk, pada Peta 1838 hanya satu nama tempat yang diidentifikasi di sekitar teluk yakni (kampong/huta) Tapanolij (teks Belanda, teks Inggrissebagai Tapanooly).

Sebagai kampong (paling) besar, berada di jalur perdagangan, Tapanoeli tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan baru. Orang-orang Angkola yang sebelumnya meneruskan mata dagangannya ke Baroes diperpendek hanya hingga Tapanoeli.

Hoeta Tapian Na Oeli (tanda bintang) jaman Now
Hoeta Tapian Na Oeli atau Tapanoeli yang sudah eksis sejak jaman lampau pada dasarnya masih eksis hingga ini hari sebagai nama kecamatan di kabupaten Tapanuli Tengah, yakni Kecamatan Tapian Na Oeli. Kecamatan ini terdiri dari beberapa desa dan satu kelurahan. Desa Tapian Nauli I, III dan IV dan Kelurahan Tapian Nauli II diduga kuat adalah kampong (hoeta) Tapian Na Oeli tempo doeloe. Nama Tapian Na Oeli direduksi Inggris menjadi Tapanoeli.

Bagaimana kampong Tapanoeli berkembang menjadi pusat perdagangan diduga kuat karena faktor Inggris (yang telah merelokasi pos perdagangan mereka dari Baros ke teluk). Orang-orang Inggris membangun pos perdagangan di Pulo Pontjan Ketjil. Area perairan antara Pulo Pontjan Ketjil (laut) dan hoeta Tapian Na Oeli (sungai) kemudian disebut Tapanoeli.

Peta 1753
Pada era Pemerintah Hindia Belanda. pusat pemerintah tidak dipilih di Pulau Pontjan Ketjil (eks Inggris) tetapi lebih memilih di dekat kampong (huta) Tapanoeli. Berdasarkan Almanak 1821, ibu kota wilayah Pantai Barat Sumatra (Sumatra’s Westkust) ditetapkan dengan menempatkan seorang Asisten Residen di kampong (hoeta) Tapanoeli. Hal ini dilakukan pengaruh Inggris di Bengkoelen dan Padang masih kuat. Setelah adanya perjanjian antara Inggris-Belanda pada tahun 1824 (tukar guling antara Bengkoelen dengan Malaka) yang dikenal Tractact London) ibu kota Sumatra’s Westkust oleh Pemerintah Hindia Belanda dipindahkan dari Tapanoeli ke Padang.

Nama Tapanoeli sendiri sudah diidentifikasi sebagai salah satu nama kampong tertua paling tidak sudah terdapat pada Peta 1753 (era Inggris). Dalam peta tersebut sejumlah kampong (hoeta() diidentifikasi yakni Tapanoeli, Siboeloean, Badirie, Pinangsori, Soenkoeang dan Batang Natal, Lalu setelah perjanjian antara Belanda-Inggris tahun 1824 wilayah Sumatra’s Westkust dibagi ke dalam tiga Residentie: Bengkoeloe, Padang dan Air Bangis. Wilayah Mandailing dan wilayah Tapanoeli masuk residentie Air Bangis. Namun dalam perkembangannya seiringan dengan perlawanan Padri terhadap Belanda di satu sisi Residentie Bengkoeloe dipisahkan dan di sisi lain dibentuk residentie baru sehingga wilayah Province Sumatra’s Westkust terdiri dari Padang Benelanden, Padang Bovenlanden dan Air Bangis (lihat Peta 1835). Setelah berakhirnya perlawanan Padri, mulai dibentuk residentie baru yakni Residentie Tapanoelie pada tahun 1840. Residentie Tapanoeli terdiri dari Afdeeling Mandailing en Angkola, Afdeeling Natal, Afdeeling Padang Lawas dan Afdeeling Sibolga (termasuk Baroes). Tentu saja wilayah Silindoeng dan Toba belum dimasukkan ke Residentie Tapanoeli.

Peta 1835
Nama Sibolga baru teridentifikasi dalam peta pada tahun 1835. Seperti kampong-kampong yang terdapat pada Peta 1835 kampong-kampong yang terdapat di dekat kampong (hoeta) Tapanoeli adalah hoeta Pagaran Ri dan hoeta Lamboeng. Untuk sekadar diketahui nama huta Pagaran Ri (Angkola Dolok) dan huta Lamboeng (Angkola Djoeloe) adalah dua kampong (hoeta) yang cukup dikenal di Angkola. Boleh jadi dalam hal ini, huta Tapanoeli, huta Pagaran Ri dan huta Lamboeng adalah daerah migrasi orang-orang Angkola. Dalam hal ini perkampongan-perkampongan tersebut yang berada di jalur jalan kuno tersebut merupakan persinggahan yang boleh jadi sudah eksis sejak jaman kuno.

Pada era Perang Pertibi melawan Tuanku Tambusai (Portibi, Padang Lawas) pada tahun 1838-1839, Pemerintah Hindia Belanda meningkatkan kampong/hoeta Tapanoeli sebagai garnisun militer. Antara Tapanoeli dengan Portibi dibangun satu pos militer di lereng gunung Lubuk Raya (sekitar Sitinjak sekarang). Ketika nama wilayah diresmikan sebagai Residentie Tapanoeli pada tahun 1943, ibu kota residentie dipindahkan dari (kampong) Tapanoeli ke suatu kota baru yang dibangun di dekat kampong Sibolga. Kota ini ditabalkan namanya sesuai nama kampong terdekat yakni Sibolga.

Jembatan (rambin) di Batangtoroe (lukisan Rosenberg, 1840)
Satu yang penting di jalur perdagangan kuno (yang bergeser menjadi jalur pergerakan militer) adalah jembatan suspensi (rambin terbuat dari rotan) di aek Batang Toroe, Jembatan ini diduga adalah salah satu jembatan kuno. Jembatan ini cukup panjang. Sehubungan dengan pembangunan kota Sibolga, juga dibangun pelabuhan baru. Namun untuk perdagangan langsung ke Angkola, Pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan pembantu di Loemoet (melalui jalur sungai). Oleh karena itu sekitar tahun 1850an Loemoet sempat dijadikan sebagai ibu kota Onderdistrict Angkola (Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli). Pada saat itu jembatan suspensi dari rotan di atas sungai (aek) Batang Toroe ditingkatkan dengan menggunakan kabel telegraf. Pada tahun 1860an pelabuhan Djaga-Djaga dibangun, suatu pelabuhan yang berada diantara pelabuhan Sibolga dan pelabuhan Leomoet.

Pada era Perang Batak melawan Sisingamangaradja (sejak 1875), ibu kota Residentie Tapanoeli (pemerintahan sipil) dipindahkan dari Sibolga ke Padang Sidempoean. Kota Sibolga hanya dijadikan pusat militer. Sehubungan dengan intensitas lalu lintas yang tinggi (arus perdagangan dan arus militer), jembatan suspensi dari kabel telegraf di atas sungai Batang Taroe ditingkatkan dengan membangun jembatan permanen (yang terbuat dari baja dan kayu). Jembatan Batang Toroe ini selesai dibangun pada tahun 1883.

Jembatan Batang Toroe (selesai 1883)
Sejak selesainya jembatan Batang Toroe, arus penduduk Angkola ke Sibolga, Padang dan Batavia semakin ramai. Sebelumnya, penduduk Angkola ke Padang (ibu kota Province Sumatra’s Westkust) melalui Panjaboengan, Kotanopan, Rao dan Fort de Kock. Dari Loemoet ke Djaga-Djaga/Sibolga dilakukan dengan perahu dan kemudian dilanjutkan ke Padang dengan kapal layar (atau sekali sebulan dengan kapal uap dari pelabuhan Sibolga).

Sejak ekspedisi pertama tahun 1875 ke Bataklanden, wilayah Silindoeng dimasukkan ke Residentie Tapanoeli dengan menempatkan Controleur Baron van Hoevel di Taroetoeng. Controleur ini aktif dalam ekspedisi ke wilayah Toba pada tahun 1878. Lalu kemudian Baron van Hoevel digantikan oleh LC Welsink pada tahun 1880. Pada tahun 1882 wilayah Toba dimasukkan menjadi Residentie Tapanoeli, Pada tahun 1883 LC Welsink menjadi Controelur di onderafdeeling Toba (Balige), sementara di onderafdeeling Silindoeng adalah Van Dijk (di Taroetong). Welsink menjadi seteru Sisingamangaradja. Setelah berhasil mengusir Sisingamangardja ke luar wilayah Tapanoeli (Onderafdeeling Toba) pada tahun 1890 LC Welsink menjadi Asisten Residen di Afdeeling Silindoeng en Toba sejak 1890 berkedudukan di Taroetoeng. Pada tahun 1898 LC Welsink diangkat sebagai Residen (masih ber ibu kota di Padang Sidempoean).

Residentie Tapanoeli sejak 1905 telah dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust.
Ibu kota Residentie dipindahkan (kembali) dari Padang Sidempoean ke Sibolga pada tahun 1907 (1 Januari). LC Welsink berakhir masa jabatannya sebagai Residen Tapanoeli tahun 1908 karena meninggal dunia. Ini berawal dari sakit yang dialaminya. Ketika dibawa berobat ke Padang dan Batavia meninggal di tengah perjalanan di sekitar Air Bangis.

Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda: Surat Kabar Berbahasa Melayu Tapian Na Oeli

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar