Laman

Senin, 02 Maret 2020

Sejarah Jakarta (106): Sejarah Jembatan Lima, Asal-Usul Jembatan di Fort Vijfhoek (5 Sudut) Jadi Kampong Jembatan Lima


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Asal-usul nama (kelurahan) Jembatan Lima bukan dari lima jembatan yang berjejer sebagaimana ditulis yang dapat dibaca di internet. Itu sangat naif (ngarang). Nama Jembatan Lima bermula dari kebaradaan benteng (fort) Vijfhoek yang jumlah sudut (hoek) sebanyak lima buah. Benteng ini berada di sisi barat sungai Grogol. Dalam perkembangannya ruas sungai Grogol di sekitar benteng Vijfhoek dirapihkan menjadi kanal. Di atas kanal ini di dekat Fort Vijfhoek dibangun jembatan menuju benteng baru (fort Angke). Area di sekitar jembatan Fort Vijfhoek inilah kemudian disebut kampong Djambatan Lima. Jembatan benteng lima sudut (hoek) mereduksi menjadi Jembatan Benteng Lima dan kemudian Jembatan Lima.

Jembatan sungai Grogol di Benteng (Fort) Vijfhoek (1772-1775)
Pasca serangan Mataram ke Batavia (1628), Pemerintah VOC/Belanda mulai memperkuat pertahanan untuk mendukung Kasteel Batavia. Empat benteng pertama dibangun di pulau Onrust (utara/teluk), di muara sungai Antjol (timur), di sisi timur sungai Tjiliwong di Jacatra (kini sekitar Mangga Dua) dan di sisi barat sungai Grogol (Fort Vijfhoek). Benteng ini satu-satunya diantara benteng pendukung ini yang memiliki sudut (hoek) lima buah. Oleh karena itulah diduga menjadi unik benteng ini sehingga diidentifikasi sebagai benteng lima bastion (Fort Vijfhoek). Dalam perkembangan lebih lanjut dalam rangka untuk pengembangan pertanian dibangun benteng-benteng baru Fort Maroenda, Fort Noordwijk (area masjid Istiqlal sekarang), Fort Rijswijk (sekitar Harmoni sekarang) dan Fort Angke (perluasan/pengganti benteng Fort Vijfhoek). Fort Angke dibangun di sisi barat sungai Angke.     

Lantas bagaimana sejarah lengkap Jembatan Lima? Tentu saja itu harus dimulai dari benteng Fort Vijfhoek. Satu pasukan pribumi pendukung militer VOC/Belanda yang pernah bertugas di benteng ini adalah pasukan dari Tambora. Orang-orang Tambora ini membangun kampong di sekitar benteng (kampong Tambora dan kini kelurahan Tambora). Dalam perkembangan selanjutnya banyak peristiwa penting yang terjadi di sekitar Jembatan Lima. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Jembatan di Benteng (Fort) Vijfhoek (Peta 1740 dan Peta 1824)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Fort Vijfhoek dan Fort Angke

Penetapan benteng-benteng berdasarkan resolutie van Gouverneur Generaal en Raden tanggal 12 Mei 1656 antara lain pembangunan benteng di Jacatra, Noordwijk dan Ryswyck. Benteng-benteng ini rancangannya telah dilukis oleh Johannes Listing (1656). Benteng (fort)  Vijfhoek berada di arah barat Batavia yang lokasinya kini di sekitar jalan Pangeran Tubagus Angke. Benteng ini pernah dilukis oleh Johannes Rach (1772-1775).

Pangeran Tubagus Angke adalah seorang pangeran dari Banten yang bekerjasama dengan VOC/Belanda (dalam perang di Tangerang pada tahun 1682). Pangeran Bagoes dari Banten ini ditempatkan tidak jauh dari benteng (fort) Angke (diantara fort Vijfhoek dan fort Angke). Area perkampongan pangeran ini kemudian dikenal sebagai kampong Bagoes. Jalan yang kini dikenal sebagai jalan Pangeran Tubagus Angke merujuk pada nama pangeran dari Banteng (Bagoes) yang bermukim di dekat fort Angke (Angke bukan nama orang tetapi nama sungai dan nama benteng).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar