Laman

Selasa, 07 April 2020

Sejarah Air Bangis (10): Era Kemerdekaan di Pasaman; Basjrah Loebis dan Pengakuan Kedaulatan Indonesia di Bukittinggi (1949)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Perang kemerdekaan di Sumatra Barat awalnya di Kota Padang dan kemudian merangsek ke Agam dan Solok-Sawahlunto. Perang di Sumatra Barat juga berlanjut ke Pasaman. Satu tokoh penting dalam perang kemerdekaan di Pasaman adalah Basjrah Loebis, bupati Pasaman (1947-1949). Nama Basjrah Loebis mengingatkan kembali memori dalam pembebasan daerah Rao dan Ophir dari pengaruh Padri yang mana kakeknya Radja Gadoembang turut memainkan peran.

Peta Perang Kemerdekaan RI (1948-1949)
Perang kemerdekaan, melawan Belanda/NICA berada di daerah strategis dimana potensi ekonomi sangat tinggi untuk kepentingan Belanda. Di daerah serupa itu perseteruan antara Republiken dan Belanda/NICA sangat intens. Daerah-daerah tersebut antara lain, Batavia-Djakarta dan sekitar, Buitenzorg-Bogor, Preanger, Semarang dan sekitar, Soerabaya dan sekitar, Sumatra Timur, Padang dan Tapanoeli.

Lantas bagaimana situasi dan kondisi Pasaman pada saat perang kemerdekaan? Tentu saja sangat jarang diperhatikan. Yang kerap di perhatikan adalah era perang Padri dan era perang PRRI. Sebagai bagian dari sejarah Menjadi Indonesia, era perang kemerdekaan di Pasaman termasuk di Air Bangis tetaplah menjadi penting. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Pengakuan Kedaulatan Indonesia di Bukittinggi: Basjrah Lubis

Pada permulaan Pemerintah Republik Indonesia, dalam pembentukan kabupaten Pasaman adalah memisahkan district Bondjol dan memasukkan district Bondjol sebagai bagian dari kabupaten yang baru: Kabupaten Pasaman.

Gambaran arsitektur wilayah di pantai barat Sumatra ini seakan kembali ke era VOC (sebelum rezim Padri) yang mana district Bondjol bukan bagian dari district Agam (Pagaroejoeng-Minangkabau). Namun segera setelah berakhirnya Perang Padri (ditaklukkannya benteng Bondjol), Pemerintah Hindia Belanda memasukkan district Bondjol ke Afdeeling Agam (Residentie Padangsche Bovenlanden). Sementara district Rao en Loeboesikaping, Ophir Districten dan District Air Bangis dimasukkan ke Residentie Padangsche Benelanden.

District Rao en Loeboesikaping, Ophir Districten dan District Air Bangis yang membentuk kabupaten Pasaman adalah tiga lanskap (wilayah) yang dipengaruhi oleh budaya Padang (Melayu), Agam (Minangkabau) dan Mandailing (Batak). Sebagai ‘remote area’ pada era kolonial, Pemerintah Hindia Belanda sangat sulit menentukan tiga wilayah ini dimasukkan ke Residentie mana (pantai-Melayu, pedalaman-Minangkabau atau Tapanoeli-Batak). Oleh karena itu kabupaten Pasaman sangat khas.

Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra (sejak 1826) menetatpkan tiga wilayah remote area ini masuk wilayah Residentie Padangsche Benelanden (Padang-Melayu). Pada tahun 1939 tiga wilayah remote area ini dipisahkan dari Residentie Padangsche Benelansen sehubungan dengan pembentukan residentie yang baru (Tapanoeli) dimana Residen berkedudukan di Air Bangis. Pada tahun 1846 tiga wilayah remote area ini dikembalikan lagi ke Residentie Padangsche Benelanden (setelah secara defenitif nama residentie disebut Residentie Tapanoeli).

Pada tahun 1890 tiga wilayah remote area ini dipecah. Dua distrik yakni Ophir Districten dan District Rao en Loeboesikaping dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden, sementara District Air Bangis secara geografis masuk ke dalam Residentie Tapanoeli (satu lanskap dengan Batahan dan Natal). Dalam hal ini, Distrik Air Bangis menjadi terpisah dengan Residentie Padangsche Benelanden karena Ophir Districten dimasukkan ke Residentie Padangsche Bovenlanden. Distrik-distrik di Ophir Districten adalah Sikarbou, Pasaman, Kinali, Taloe dan Tjoebadak en Simpang Tonang.

Pada tahun 1905 ketika Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra;s Westkust, District Air Bangis dikembalikan lagi ke Residentie Padangsche Benelanden. Lalu dalam perkembangannya, pada tahun 1915 Province Sumatra’s Westkust dilikuidasi dan dua residentie Padangsche ini dilebur menjadi satu residentie dengan nama baru yakni Residentie West Sumatra. Terakhir, pada era permulaan Pemerintah Republik Indonesia (1945), dibentuk kabupaten Pasaman yang terdiri dari tiga wiliayah remote area plus district Bondjol.

Kabupaten Pasaman yang sangat khas ini tidak terlalu menarik perhatian Belanda/NICA pada era perang kemerdekaan (1945-1949) karena banyak faktor: Faktor terpenting karena di kabupaten Pasaman properti-aset Belanda sangat minim. Pemerintah Belanda-NICA lebih fokus di (kota) Padang dan sekitar. Saat ibu kota RI di Jogjakarta diduduki dan para pemimpin RI ditangkap, Bukittinggi dijadikan sebagai ibu kota RI yang baru (PDRI). Namun dalam perkembangannya, Oleh karena kota (benteng) Fort de Kock (Bukittinggi) akhirnya diduduki Belanda-NICA, maka wilayah kabupaten Pasaman digunakan oleh para pejuang RI (Republik) sebagai wilayah gerilya (melawan Belanda-NICA). Hal yang sama juga terjadi ketika kota Sibolga dan kota Padangsidempoean jatuh ke tangan Belanda-NICA, wilayah Mandailing dijadikan sebagai wilayah gerilya oleh para pejuang RI.

Dua wilayah ini (Pasaman dan Mandailing) adalah dua wilayah terpenting di West Sumatra dan wilayah Tapanoeli sebagai wilayah gerilya yang tidak pernah dikuasai oleh Belanda-NICA. Tiga wilayah RI yang terpenting yang tidak berhasil dikuasai oleh Belanda-NICA di Jawa adalah Sukabumi (West Java), selatan Jogjakarta dan utara Jogjakarta. Di wilayah Soekaboemi pejuang RI (di bawah komando Kolonel Abdoel Haris Nasution), di wilayah selatan Jogajakarta perjuangan gerilya dipimpin oleh Kolonel Sudirman dan di utara Jogjakarta gerilya dipimpin oleh Kolonel TB Simatupang.

Satu tokoh pejuang terpenting di wilayah Mandailing pada era perang kemerdekaan ini adalah Radja Rjunjungan Lubis. Sementara satu tokoh pejuang terpenting di wilayah Pasaman adalah Basjrah Lubis. Uniknya, Radja Djunjungan Lubis dan Basjrah Lubis adalah bersaudara kandung, cucu raja Mandailing, Radja Gadoembang (yang juga berperan penting dalam penaklukan benteng Padri di Bondjol). Singkat kata: Akhirnya (kerajaan) Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Proses pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda bermula pada perundingan Roem-Royen di Batavia, Mei 1949. Satu keputusan terpenting perjanjian ini adalah mengembalikan ibu kota RI ke Jogjakarta dan para pemimpin RI kembali ke Jogjakarta. Langkah pertama yang dilakukan Soeltan Jogjakarta adalah mencari Kolonel TB Simatupang di hutan-hutan Banaran (selatan Semarang) untuk menggantikan posisi komandan militer Belanda-NICA di kota Jogjakarta. Setelah itu baru menyusul dari pengasingan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta. Rombongan terakhir yang kembali ke Jogjakarta dipimpin Sjafroedin Prawiranegara (Presiden PDRI).

Setelah kembalinya ibu kota RI (pemulihan Pemerintah RI), tahapan selanjutnya adalah perundingan di Belanda antara kerajaan Belanda dan Pemerintah RI (Konferensi Menja Bundar-KMB). Dalam perundingan di Belanda ini delegasi RI dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta. Sejumlah penasehat disertakan dalam delegasi ini. Dua penasehat terpenting adalah penasehat ekonomi dan penasehat hubungan diplomatik. Penasehat ekonomi adalah mantan pejabat ekonomi di era Belanda (sebelum pendudukan Jepang) adalah Abdoel Hakim Harahap (Resident Tapanoeli). Penasehat diplomatik adalah Profesor Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (pendiri universitas RI pertama di Jogjakarta, Universitas Gadjah Mada) yang saat tengah berlangsung KMB di Belanda berangkat ke Amerika Serikat untuk menghadiri Sidang Umum PBB dengan tugas ganda menjalin komunikasi politik dengan negara lain. Duo Harahap ini kebetulan sama-sama menguasai tiga bahasa: Belanda, Inggris dan Prancis. Selama berlangsungnya proses konferensi, Soeltan Djogja mengutus ajudannya Kapten M Karim Loebis untuk berbicara dengan Perdana Menteri Mohamad Hatta di Belanda. Sebagaimana diketahui komandan intelijen RI di Jogjakarta adalah Kolonel Zulkifli Loebis. Lalu akhirnya di Belanda hasil keputusan KMB diratifikasi: Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Dalam penyerahan kedaulatan Indonesia ini di Den Haag pada tanggal 27 Desember 1949, Perdana Menteri Mohamad Hatta menerima (plakat) dari Ratu Juliana. Tidak ada penyerahan kedaulatan di Jogjakarta, penyerahan kedaulatan dilakukan di Djakarta-Batavia antara Lovin dan Soeltan Jogjakarta. Presiden Soekarno tetap berada di Jogjakarta (wait en see), Dalam penyerahan kedaulatan di Djakarta, Soeltan Jogjakarta didampingi oleh Kolonel TB Simatupang. Sebelum penyerahan kedaulatan pada level puncak, di berbagai tempat juga telah dilakukan penyerahan kedaulatan termasuk di Provinsi Sumatra Barat yang dipusatkan di Bukittinggi. Dalam penyerahan kedaulatan di Bukittinggi yang dihadiri UNCI ini satu dari tiga wakil RI adalah Nasroen, Eny Karim dan Basjrah Lubis (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-12-1949).

Penyerahan kedaulatan Indonesia di wilayah West Java yang dpusatkan di Soekaboemi yang turut dihadiri pihak UNCI (perwakilan tiga negara) dipimpin oleh Kolonel Abdoel Haris Nasution. Sementara di wilayah Sumatra Timur dan Tapanoeli penyerahan kedaulatan yang juga turut dihadiri perwakilan UNCI dilaksanakan di Sipirok. Oleh karena Residen Tapanoeli di Den Haag, maka pihak RI di Sipirok diwakili antara lain Soetan Doli Siregar, Mohamad Diri Harahap dan Radja Djoenjungan Lubis.

Dalam hal ini Basjarah Lubis adalah ‘Bupati Perang’ dari Pasaman dan Eny Karim adalah Wali Kota (Bupati) Perang di Agam. Tentu saja Abdoel Hakim Harahap sebagai Residen Perang di Tapanoeli dan Nasroen sebagai Residen Perang di Midden Sumatra.

Pada pasca pengakuan kedaulatan Indonesia (1949) nama-nama yang disebut di atas adalah pemilik portofolio Republik Indonesia di berbagai level dan bidang. Soekarno menjadi Presiden RI; Mohamad Hatta menjadi Perdana Menteri RIS di Djakarta; Abdoel Hakim Harahap menjadi Wakil Perdana Menteri RI di Jogjakarta; Prof Mr Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D kembali ke kampus (guru besar Universiteit Indonesia); Soeltan Jogjakarta menjadi Menteri Pertahanan RIS dan Safroedin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan RIS, Kolonel TB Simatupang menjadi Kepala Staf Angkatan Perang RI dan wakilnya adalah Kolonel Abdoel Haris Nasution. Eny Karim menjadi pejabat dinggi di Departemen Dalam Negeri, Basjrah Lubis menjadi pejabat tertinggi setingkat bupati di kantor Gubernur Sumatra Utara; Soetan Doli Siregar menjadi Bupati Tapanuli Selatan yang kemudian digantikan oleh Radja Djoenjungan Lubis. Mantan bupati Pasaman (sebelum perang) Darwis Taram menjadi Bupati Lima Poeloeh Kota (di Pajakoemboeh). Dalam perkembangannya diangkat gubernur pertama di Sumatra Tengah Ruslan Muljohardjo dan di Sumatra Utara Abdoel Hakim Harahap.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar