Laman

Senin, 04 Mei 2020

Sejarah Bogor (44): Ciwaringin, Tempo Doeloe Disebut Kedongdalam di Sungai Tjiwaringin; Kampong Tertua di Bogor?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Ciwaringin boleh saja berada di pinggir kota di era Buitenzorg (era kolonial Belanda). Namun dengan memperhatikan sejarah awal, kampong Ciwaringan sejatinya adalah kampong tertua di kota Buitenzorg. Sebelum nama kampong Batoe Toelis muncul, nama Ciwaringin sudah disebut sebagai sebuah kampong dengan nama Kedongdalam. Tetangga kampong Kedongdalam adalah kampong Kedongwaringin.

Pada masa ini di Kota Bogor ada suatu area yang disebut Gedung Dalam di kelurahan Sukasari. Nama Gedung Dalam saling tertukar dengan sebutan lainnya Gedong Dalam, Kedung Dalam dan Kedong Dalam. Nama Sukasari sebelumnya bernama Bantar Pete. Lebih jauh ke masa lampau, sebelum munculnya nama kampong Bantar Pete sudah ada nama kampong Kedongdalam dan kampong Kedongwaringin. Dua nama kampong ini berada di daerah aliran sungai Tjiwaringin. Di dalam wilayah administrasi Kota Bogor, Ciwaringin, Kedong Waringin dan Sukasari masing-masing adalah kelurahan.

Lantas bagaimana (kampong) Ciwaringin dapat dikatakan sebagai kampong tertua di Bogor? Itulah pertanyaannya. Mungkin pertanyaan ini terkesan sepele dan mengada-ada. Tapi, itu pula tantangannya. Atau pertanyaannya dibalik. Apa nama kampong tertua di Bogor? Di internet ada yang mengklaim: kampong Sindang Barang di desa Pasir Eurih. Okelah. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Nama Kampong Ciwaringin

Pada ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang kedua tahun 1701 ada dua nama kampong yang diidentifikasi tepat berada di dalam kota Bogor yang sekarang. Dua nama kampong tersebut adalah Kedongdalam dan Kedongwaringin. Nama-nama kampong lain yang diidentifikasi berada di sisi utara sungai Tjiliwong, seperti Bantar Banteng, Bantar Kemang, Baranang Siang, Babakan, Pondok Sempoer, Kampong Baroe dan Kedonghalang. Dua nama kampong lainnya yang diidentifikasi di sisi selatan sungai Tjiliwong adalah kampong Katoelampa dan kampong Tadjoer.

Nama-nama tempat yang menggunakan terminologi babakan dan bantar mengindikasikan nama kampong berada di sisi sungai (besar) Tjiliwong. Sementara yang menggunakan terminologi pondok dan kedong menunjukkan adanya tempat tinggal satu atau dua buah saja. Nama-nama kampong yang terbilang besar adalah Kampong Baroe, kampong Kedong Halang dan kampong Katoelampa. Kampong Baroe adalah tempat kedudukan bupati Tanoedjiwa. Luitenant Tanoedjiwa diangkat Pemerintah VOC sebagai pemimpin setempat dengan perjanjian (plakat) sebelum ekspedisi pertama dilakukan pada tahun 1687.

Nama kampong Kedongdalam dan kampong Kedongwaringin muncul antara tahun 1687 dan tahun 1701. Dua nama kampong yang berada di sisi selatan sungai Tjiliwong di arah barat. Sebagaimana diketahui pada tahun 1699 gunung Salak meletus dan terjadi gempa besar. Dua nama kampong ini sama-sama disebut kedong, suatu tempat dimana terdapat pondok orang yang membuka lahan baru.

Satu-satunya sungai di area ini kelak disebut sungai Tjiwaringin. Di daerah aliran sungai tersebut kedua kampong yang baru tersebut berada. Kampong (pondok) yang berada di arah dalam disebut Kedongdalam dan kampong (pondok) di sisi luar disebut Kedongwaringin. Pada Peta 1701 yang dibuat oleh Michiel Ram dan Cornelis Coops dua kampong (pondok) ini ditandai sebagai rute perjalanan (pulang) mereka dari kampong Katoe[Kotta]lampa (yang kemudian bermalam di Seringsing, tempat dimana Cornelis Chastelein membuka lahan).

Wilayah yang menjadi ‘kekuasaan’ bupati Kampong Baroe adalah area antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane sampai batas tertentu di sebelah timur dan di sebelah barat. Batas-batas wilayah ini kemudian disebut Land Bloeboer. Area di sisi utara sungai Tjiliwong disebut Land Kedonghalang; sementara area di sebelah barat land Bloeboer adalah Land Tjileboet; sedangkan area di sebelah timur adalah land Tjidjeroek (Tjiawi). Kampong Kedongdalam dan kampong Kedongwaringin berada di Land Bloeboer.

Kampong-kampong lama di Bogor
Bupati Kampong Baroe mengembangkan persawahan di land Bloeboer. Pada tahun 1703 Pemerintah VOC memberi izin kepada Abraham van Riebeeck untuk mengusahakan lahan di Bodjongmanggis yang berbatasan langsungf dengan lahan Bloeboer dari bupati Kampong Baroe (lahan ini kelak menjadi land Bodjonggede dan land Tjileboet). Dalam perkembangannya sejumlah persil lahan dijual oleh bupati Kampong Baror. Pada tahun 1745 Gubernur Jenderal van Imhoff membangun villa di salah satu persil land Bloeboer (land Campon Baroe). Sejak adanya villa van Imhoff, land Bloeboer berkembang pesat.

Kapan nama kampong Kedongdalam berubah menjadi Tjiwaringin tidak diketahui secara pasti. Nama kampong Kedongwaringin masih tetap eksis (hingga hari ini). Pergantian nama kampong Kedongdalam menjadi kampong Tjiwaringin mengikuti nama sungai tempat dimana kedua kampong (pondok) awal ini berada. Kampong Kedongdalam (Tjiwaringin) berkembang lebih pesat jika dibandingkan kampong Kedongwaringin. Perkembangannya semakin nyata ketika sungai Tjiwaringin ditingkatkan dengan mengintegrasikan pembangunan kanal Tjipakantjilan pada tahun 1777.

Dalam laporan ekspedisi yang dilakukan Jacob Cornelis Matheus Radermacher pada tahun 1777 penggalian kanal dari Pantjasan (belum dikenal nama Empang). Kanal ini akan diintegrasikan dengan hulu sungai Pesanggrahan. Dari persambungan ini dilakukan ke sungai Tjliliwong. Keterangan ini dapat diartikan sebagai pembangunan kanal Paledang (kanal sungai Tjipakantjilan) dengan membuat bendungan di sungai Tjisadane. Oleh karena disebutkan bahwa akan diintegrasikan dengan hulu sungai Pesanggrahan maka kanal tersebut menuju kampong Tjiwaringan yang kemudian dibendung untuk pengairan sawah di land Kedong badak jatuh ke sungai Tjiliwong.  Kanal Paledang ini menghubungkan kanal sungai Tjipakantjilan dari Bondongan dan sungai Tjisadane ke sungai Tjiwaringin. Tampaknya dengan adanya kanal Paledang ini, sungai Tjiwaringin tamat yang namanya tertutupi oleh nama besar sungai Tjipakantjilan.

Nama kampong Tjiwaringin menggantikan nama kampong awal (Kedongdalam) terjadi jauh sebelum pembangunan kanal Tjipakantjilan (yang dimulai pada tahun 1776). Kapan nama kampong disebut Tiwaringin tidak diketahui secara pasti. Ada jarak 70 tahun antara nama kampong Kedongdalam dicatat kali pertama 1701 dengan munculnya nama kanal Tjipakantjilan menggantikan nama sungai Tjiwaringin.

Nama kampong Tjiwaringin dan nama kampong Tjikeumeuh bertetangga. Dua kampong ini mengikuti nama sungai (atau sebaliknya sungai mengikuti nama kampong). Nama sungai Tjikeumeh masih tetap eksis hingga ini hari. Setelah ada kanal Paledang menuju hulu sungai Pesanggrahan, kanal ini disodet di kampong Panaeagan dengan membangun kanal ke arah barat (land Tjilendek). Pada tahap berikutnya cabang kanal ini diodet lalu dialirkan melalui kampong Tjikeumeuh yang diintegrasikan dengan sungai Tjikeumeuh. Namun yang terjadi, kelak nama kampong Tjikeumeuh yang hilang (tamat) tetapi nama sungai Tjikeumeuh sendiri tetap eksis (yang menjadi hulu dari sungai Angke). Nama kampong Tjikeumeuh ditutupi oleh nama kampong yang baru kampong (desa) Menteng.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Batas Kota Buitenzorg

Area sekitar villa van Imhoff di Land Bloeboer kemudian disebut Buitenzorg. Nama Buitenzorg semakin populer seiring dengan semakin banyaknya orang-orang Eropa-Belanda yang membeli persil-persil lahan di land Bloeboer untuk bertani atau sekadar untuk tempat tinggal (tempat istirahat). Pada era Pemerintah Hindia Belanda, persil-persil lahan di land Bloeboer dibeli oleh pemerintah untuk dijadikan kota pemerintah(an).

Empat wilayah persawahan di land Bloeboer (1822)
VOC dibubarkan pada tahun 1799. Kerajaan Belanda mengakuisisi semua properti VOC dan kemudian membentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Persil-persil lahan yang dibeli oleh pemerintah tersebut terjadi pada era Gubernur Jenderal Daendels. Ada beberapa persil lahan yang tidak berhasil dibeli karena pemiliknya tetap mempertahankannya. Area tersebut antara lain persil Bantar Pete dan persil Kedongbadak. Persil Bantar Pete menjadi Land Bantar Pete (kemudian berganti menjadi Land Soekasari); persil Kedongbadak menjadi Land Kedongbadak.

Area land Bloeboer yang masih tersisa yang dimiliki bupati Kampong Baroe kemudian juga dibeli oleh pemerintah dengan pembayaran konpensasi sebesar f2.000 (suatu nilai uang yang besar saat itu, lebih-lebih bagi seorang pribumi. Dengan pembelian persil-persil lahan dan sisa Land Bloeboer, Daendels telah mengembalikan unit land Bloeboer secara utuh sebagaimana awalnya lahan yang dikuasai oleh bupati Kampong Baroe yang pertama (Luitenant Tanoedjiwa).

Batas-batas lahan pemerintah (land Bloeboer) berada di antara sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane dimana batas di barat bersebelahan dengan land Tjilendek dan land Tjileboet. Batas wilayah (pemerintah) Buitenzorg ini termasuk kampong Tjiwaringin dan kampong Kedongwaringin.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kanal Tjipakantjilan dan Sungai Tjiwaringin: Kampong Tjiwaringin

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar