Laman

Kamis, 28 Mei 2020

Sejarah Padang Sidempuan (7): Soetan Kasajangan, Pionir Pendidikan Tinggi; Pendiri Indische Vereeniging di Leiden 1908


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Siapa Bapak Pendidikan Indonesia? Yang jelas adalah ada dua sosok putra Indonesia terbaik yang menjadi pionir pendidikan dasar dan yang menjadi pionir pendidikan tinggi. Pendidikan menengah adalah intersection antara pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Sejatinya pionir pendidikan dasar adalah Willem Iskander dan pionir pendidikan tinggi adalah Soetan Kasajangan. Kedua pionir ini sama-sama menempuh pendidikan di Belanda. Willem Iskander berangkat studi ke Belanda pada tahun 1857 dan Soetan Kasajangan berangkat studi ke Belanda pada tahun 1905.

Satie Nasoetion alias Willem Iskander berangkat studi ke Belanda tahun 1857 agar bisa menjadi guru di kampongnya di Mandailing (Afdeeling Mandailing en Angkola). Willem Iskander adalah pribumi pertama ke luar negeri. Setelah lulus dan mendapat diploma guru di Belanda, Willem Iskander kembali ke tanah air dan mendirikan sekolah guru di Tanobato (onderafdeeling Mandailing). Dua diantara muridnya yang pertama adalah Soetan Abdoel Azis (Nasoetion) dan Maharadja Soetan (Tagor Harahap). Pada tahun 1905 Radjioen Harahap gelar Soetan Kasajangan (setelah sebelumnya magang setahun di Belanda) berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan sertifikat Sarjana Pendidikan. Pada tahun 1908 Soetan Kasajangan mendirikan organisasi mahasiswa Indonesia pertama di Leiden. Melalui organisasi ini (kembali) Soetan Kasajangan untuk mengajak putra-putri Indonesia terbaik untuk belajar ke Belanda. Yang merespon semuanya putra. Namun putri Indonesia pertama yang merespon ajakan ini adalah Ida Loemongga yang berangkat studi kedokteran ke Belanda pada tahun 1922.. Ida Loemongga tidak hanya lulus sajana kedokteran (1927) tetapi juga meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran pada tahun 1931. Mr. Soetan Kasajangan adalah putra kedua Maharadja Soetan dan Dr. Ida Loemongga, Ph.D adalah cucu Soetan Abdoel Azis. Willem Iskander adalah kakek buyut Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987).

Willem Iskander adalah pionir pendidikan Indonesia. Lantas mengapa Soetan Kasajangan dianggap sebagai pionir pendidikan tinggi Indonesia? Soetan Kasajangan adalah orang Indonesia pertama yang secara sadar mengklaim pendidikan tinggi sangat diperlukan orang pribumi (baca: Indonesia). Inisiatif Soetan Kasajangan ini didukung oleh Mr. Abendanon (sahabat Pena RA Kartini). Gerakan Soetan Kasajangan inilah yang menyebabkan putra-putri Indonesia dari tahun ke tahun berbondong-bondong studi (perguruan tinggi) ke Belanda. Dalam rombongan ini termasuk Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (tiba di Belanda 1911) dan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang tiba di Belanda bulan Oktober 1913 (lihat Bredasche courant, 03-10-1913). Soetan Kasajangan sendiri pada bulan yang sama kembali ke tanah air setelah menyelesaikan sarjana pendidikan. Mr. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat kelak dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pendidikan RI yang pertama) dan Menteri Pendidikan RI yang kedua adalah Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D, Itulah true story-nya. Untuk menambah pengetahuan dan untuk meningkatkan wawasan sejarah nasional Indonesia, mari kita telusuri kiprah Soetan Kasajangan berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Organisasi Sosial Pertama Indonesia: Medan Perdamaian (1900)

Sepulang dari menunaikan haji ke Mekkah, seorang pensiunan guru di Padang, Dja Endar Moeda sangat peduli dengan pendidikan bangsanya. Satu buah sekolah yang dibangun pemerintah, tidak mampu menampung jumlah penduduk usia sekolah yang ingin bersekolah. Pada tahun 1895 Dja Endar Moeda membangun sekolah swasta di Padang. Sekolah ini sukses.

Sebagai seorang pensiunan guru, Dja Endar Moeda tahu apa yang harus dilakukan. Menulis buku pelajaran sendiri dan membangun perpustakaan sekolah. Dja Endar Moeda juga menulis buku-buku roman (novel) dan mengirik artikel ke majalah-majalah. Salah satu guru di sekolah tersebut adalah putrinya sendiri yang telah mendapat pendidikan Eropa (ELS) dan sedang mengikuti pendidikan di sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock. Putrinya yang bernama Alimatoe’ Saadiah tersebut mengajar bahasa Belanda. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda lahir di Padang Sidempoean tahun 1861 lulus sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean tahun 1884. Kweekschool Padang Sidempoean dibuka pada tahun 1879 sebagai pengganti Kweekschool Tanobato. Salah satu guru Belanda terkenal yang bisa berbahasa Batak di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen. Ayah Charles Adrian van Ophuijsen yang pernah nmenjadi Controleur di Natal adalah pendiri Kweekschool Fort de Kock (1856). Dalam perkembangannya diketahui, guru muda di sekolah swasta di Padang tersebut, Alimatoe’ Saadiah menikah dengan dokter muda, Haroen Al Rasjid yang baru lulus STOVIA pada tahun 1904. Haroen Al Rasjid adalah anak Soetan Abdul Azis (murid pertama Willem Iskander). Putri ‘panggoaran’ dari Dr. Haroen Al Rasjid dan guru Alimatoe’ Saadiah bernama Ida Loemongga adalah perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D).

Pada tahun 1897 sebuah novel baru Dja Endar Moeda ditawarkan kepada Percetakan Winkeltmaatschappij yang juga penerbit surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Barat di Padang. Novel itu oleh penerbit dianggap layak cetak. Namun ternyata, sebaliknya Dja Endar Moeda ditawarkan untuk menjadi editor di surat kabar Pertja Barat. Gayung bersambung. Dja Endar Moeda menerima manfaat ganda: novelnya dicetak dan memiliki job baru sebagai editor surat kabar. Dua tahun kemudian, pada tahun 1899, diketahui bahwa Dja Endar Moeda telah mengakuisisi surat kabar Pertja Barat (termasuk percetakannya). Motto surat kabar Pertja Barat kemudian diubah menjadi: ‘Oentoek Segala Bangsa’ (untuk semua suku/etnik pribumi).

Kini, Dja Endar Moeda tidak hanya memiliki sekolah, juga percetakan (Winkeltmaatschappij) dan surat kabar (Pertja Barat). Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda menerbitkan satu lagi surat kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Tapian Na Oeli. Surat kabar ini ditujukan sirkulasinya di Residentie Tapanoeli. Masih pada tahun 1900, Dja Endar Moeda menerbitkan majalan dwi mingguan yang diberi nama Insulinde. Majalah ini berisi artikel-artikel pembangunan, pemngembangan pertanian dan perihal sosial budaya. Lengkap sudah mimpi Dja Endar Moeda. Seperti dikatakannya, pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya, sama-sama mencerdaskan penduduk (pribumi). Dja Endar Moeda adalah editor surat kabar pertama pribumi dan juga pribumi pertama pemilik surat kabar dan percetakan.

Dalam posisi pribumi terkaya di kota Padang, Dja Endar Moeda menginisiasi pembentukan organisasi sosial di Padang. Organisasi kebangsaan ini diberi nama Medan Perdamaian yang didirikan tahun 1900. Dja Endar Moeda berindak sebagai presidennya. Medan Perdamaian adalah organisasi kebangsaan (Indonesia) yang pertama didirikan. Cabangnya kemudian dibentuk di kota-kota lain di (pantai barat) Sumatra.

Sebagai organisasi kebangsaan, yang juga dengan motto Oentoek Sagala Bangsa tidak membeda-bedakan suku bangsa. Pada tahun 1902 organisasi kebangsaan Medan Perdamaian mengirimkan bantuan senilai f14.000 untuk peningkatan mutu pendidikan di Semarang. Sumbangan dikirimkan melalui Direktur Pendidikan Pantai Barat Sumatra, Charles Adrian van Ophuijsen (mantan gurunya di Kweekschool Padang Sidempoean). Catatan: selama delapan tahun menjadi guru di Kweekschool Padang Sidempoean, lima tahun terkahir menjadi direktur sekolah yang kemudian dipromosikan menjadi Direktur Pendidikan Pantai Barat Sumatra yang berkedudukan di Padang.

Pada tahun 1903 seorang ilmuwan Belanda yang bisa berbahasa Malayu, Dr AA Fokker berkunjung ke Hindia Belanda untuk mempromosikan majalah dwi mingguan berbahasa Melayu, Bintang Hindia yang terbit di Belanda. Dalam rangka lawatan ke Hindia Belanda, selain di Batavia, Fokker juga ke Bandoeng, Padang dan Medan. Fokker adalah advisor majalah Bintang Hindia. Boleh jadi Fokker ingin belajar dari keberhasilan surat kabar Pertja Barat di Padang dan surat kabar Pertja Timoer di Medan. Editor surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Timor yang diterbitkan oleh surat kabar Sumatra Post adalah Hasan Nasoetion gelar Mangaradja Salamboewe. Hasan Nasoetion adalah alumni Kweekschool Padang Sidempoean 1892 (editor pribumi kedua). Pada saar kembali 'Dr AA Fokker ke Belanda, ikut bersamanya tiga orang dari Padang, satu diantaranya Dja Endar Moeda.

Algemeen Handelsblad, 16-07-1903: .'Dr AA Fokker dari Amsterdam yang baru-baru ini berkunjung ke Sumatra mengirimkan tulisan berjudul: Perjalanan ke (pantai) Barat Sumatra. Fokker mengatakan bahwa masih dalam bulan ini ada tiga orang dari Padang datang ke Amsterdam. Satu diantara tiga orang tersebut adalah Dja Endar Moeda. [Koran ini menyebutkan bahwa] anak Batak di Padang ini terkenal dan terampil, adalah editor dua bilah koran (berbahasa) Melayu dan (satu buah) majalah, akan berkesempatan untuk mengunjungi negara kita. Pria ini akrab dengan bahasa kita dan teman baik peradaban kita. Kita sudah lihat--dalam imajinasi kita--sudah ada koloni (pekerja) Melayu di Amsterdam dimana ruang besar (di Belanda) akan mampu memancarkan peradaban jauh ke tanah musim panas abadi di Asia Tenggara (maksudnya Nederlandsche Indie). [Fokker dalam tulisan ini juga menyebut] saat ini tujuh belas Melayu dari Straits (mungkin maksudnya koloni Inggris—Malaya dan Singapura) telah berada di London. Apakah anak asuh (maksudnya pribumi Hindia Belanda) kita, akan segera seperti England? Kami tidak percaya. (Dr AA Fokker: Amsterdam, 6 Juli 1903).

Dua orang yang bersama Dja Endar Moeda tersebut adalah guru senior Soetan Kasajangan dan guru junior Baginda Djamaloeddin bin Mohamad Rasad. Radjioen Harahap gelar Soetan Kasajangan adalah guru sekolah di Padang Sidempoean dan Baginda Djamaloeddin yang belum lama lulus di Kweekschool Fort de Kock bekerja untuk Dja Endar Moeda sebagai asisten editor majalah Insulinde. Dja Endar Moeda tidak lama di Belanda (sekitar tiga bulan termasuk perjalanan bolak-balik), Namun Soetan Kasajangan dan Djamaloeddin Rasad tetap di Belanda (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 26-07-1904).

Provinciale Drentsche en Asser courant, 26-07-1904
Setelah melalui edisi percobaan, majalah dwimingguan Bintang Hindia, secara reguler edisi pertama tahun pertama bulan Januari 1903 terbit. Editornya adalah Clockener Brousson. Pada edisi-edisi awal ini sudah ada kontribusi dari Dja Endar Moeda, Baginda Djamaloeddin dan Soetan Kasajangan. Majalah ini telah menyinari para pemuda pribumi di Hindia Belanda.

Dalam perkembangannya diketahui Dr. Abdoel Rivai, dokter di Bandoeng, alumni Docter Djawa School (kemudian berubah nama menjadi STOVIA tahun 1902) juga menyusul sendiri ke Belanda. Beberapa waktu kemudian, Dr. Abdoel Rivai menjadi editor Bintang Hindia.

Di Belanda sudah ada orang terpelajar yang sudah lebih dahulu tiba. Paling tidak yang pertama adalah Raden Mas Kartono lulus ujian HBS di Semarang (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896) dan kemudian RM Kartono, berangkat ke Batavia untuk test perguruan tinggi (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-07-1896). RM Kartono, anak ketiga Bupati Djepara akan melanjutkan studi Indologi ke politeknik di Delf (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-07-1896). Raden Mas Pandje Sono Kartono dalam kuliahnya gagal (DO). Akan tetapi RA Kartono tidak putus asa dan kemudian mendaftar di universitas lain di Utrech dan diterima di faculteiten der godgeleerdheid enz/Fakultas Teologi (Algemeen Handelsblad, 25-08-1901). RA Kartono adalah abang dari RA Kartini.

Pada bulan Juni 1904 tiba Hussein Djajadiningrat di Belanda untuk melanjutkan studi. Raden Hoessein Djajadiningrat lulus ujian akhir HBS lima tahun di Weltevreden (lihat Soerabaijasch handelsblad, 13-06-1904). Hussein Djajadiningrat segera bergegas untuk melanjutkan studi ke Belanda. Dengan kapal ss Sindoro, pada tanggal 14 Juni berangkat dari Tandjoeng Priok menuju Amsterdam via Padang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1904). Singgah di Marseille dan berangkat lagi tanggal 25 Juli dari Marseille (lihat  Haagsche courant, 27-07-1904).

Setelah cukup lama di Belanda, Soetan Kasajangan pulang ke tanah air untuk mengantar istrinya pulang ke kampong halaman. Sementara Soetan Kasajangan akan kembali ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Soetan Kasajangan dan istri berangkat dari Amsterdam tanggal 5 Juli 1905 dengan kapal Prinses Juliana menuju Batavia. Soetan Kasajangan melanjutkan pelayaran ke Sibolga dan seterusnya ke Padang Sidempoean dengan kereta kuda. Pada akhir tahun 1905 Soetan Kasajangan sudah di Belanda kembali. Salah satu himbauan Soetan Kasajangan yang dimuat di Bintang Hindia, 1905 dapat dibaca pada buku Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950, Harry A. Poeze, Cornelis Dijk, Inge van der Meulen, Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.

De Sumatra post, 08-11-1905
De Sumatra post, 08-11-1905: ‘Kami diberitahu bahwa seorang guru pribumi dari Tapanoeli, yaitu Soetan Kasajangan Soripada, yang telah beberapa lama berada di Belanda, telah memutuskan untuk mengikuti pendidikan di Haarlemsche Kweekschool Voor Onderwijzers untuk mendapatkan sertifikat pendidikan sekolah menengah dan nantinya kembali ke Hindia Belanda untuk mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan’.

Pada bulan Agustus 1906 Soetan Kasajangan sudah melakukan praktek pengajaran di sekolah dasar yang dipimpin oleh G Smelt (lihat Het vaderland, 22-08-1906). Pada bulan Juli 1906 Soetan Kasajangan lulus ujian akte guru sekolah dasar Lager Onderwijs di Rijkskweekschool te Haarlem (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 23-05-1907). Disebutkan di Haarlem, 21 Mei dari lima orang kandidat lulus tiga orang yakni OMA Wijsman dari Zandvoort, MAH van Zoelen dari Haarlem dan Soetan Kasajangan Soripada dari Batoe Na Doea (Hindia Belanda). Berita kelulusan Soetan Kasajangan menjadi sangat heboh di Belanda. Belasan surat kabar memberitakan dan mewawancarainya. Soetan Kasajangan adalah pribumi pertama yang mendapat sertifikat-akte pendidikan sekolah dasar di Belanda. Pada masa ini, akte pendidikan guru sekolah dasar lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Harry A. Poeze, dkk, Gramedia, 2008
Satie Nasoetion alias Willem Iskander pribumi pertama studi di Belanda tiba tahun 1857 berhasil mendapat akte pendidikan guru bantu (hukpacte). Setelah sukses dengan sekolah guru yang didirikannya, Kweekschool Tanobato yang dimulai tahun 1862, pada tahun 1874 Willem Iskander kembali ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan untuk endapatkan akte guru Lager School. Namun sayang Willem Iskander tidak kembali ke tanah air karena meninggal dunia di Belanda tahun 1876.

Keberhasilan Soetan Kasajangan ini juga menjadi heboh di tanah air. Semua surat kabar yang terbit di Jawa dan Sumatra memberitakannya. Satu yang paling penting dari pemberitaan di Belanda dan Hindia Belanda adalah hasil wawancara wartawan surat kabar besar yang terbit di Belanda De Telegraaf yang dimuat pada edisi 03-06-1907 [Catatan: tulisan ini juga dilansir (copy-paste) oleh surat kabar yang terbit di Batavia, Bataviaasch nieuwsblad edisi 02-07-1907].

De Telegraaf, 03-06-1907: ‘R. SOETAN CASAJANGAN SORIPADA

De Telegraaf, 03-06-1907
— V’la une idee!.... 'n Plannetje!.... Wat zou je d'r van zeggen, als ik es 'n retour nam naar de.... Bataklanden !
— Naar de Ba...ba..., wat?...
...„de Bataklanden...., kin, je aardrijkskunde!
....'t volk fascineert me...; ik zou willen studeeren..., reizen..., oh!, óveral..., naar Manukari, Warekori...., wo man alles Leid vergisst.... woder gluckliche Maori seine Schwiegermutter frisst!!...
Bayangkan, Bu, bahwa di pagi hari yang tenang suami Anda dengan sarapan roti gulung dengan secangkir teh. Namun dengan kebingungan Anda justru menuangkan botol cuka di atasnya ...? Tapi pikirkan bahwa itu tidak pernah menjadi keinginan Anda untuk hati nurani yang serius dengan rencananya .... Maka Anda memiliki emosi istri dan kerabat Batakker yang disebutkan di atas, ketika ia pergi ke Holland. Tidak pembaca, ini bukan seorang pangeran  Hindia - seperti yang Anda pikirkan ketika membaca nama panjangnya, tetapi sesuatu yang lebih baik: yaitu seorang lelaki yang melepas topinya kepada Anda dengan rasa hormat spontan! - Karena seminggu yang lalu, seorang penduduk di pedalaman Batak di Haarlem lulus ujian akta guru sekolah dasar Belanda, dan itu, setelah hanya tiga tahun ia menghabiskan waktunya di negara kita! Melihat pabrik pemintalan, berjalan pagi di padang rumput yang berumput dan jalan-jalan Haarlemmer, pelayanmu yang patuh telah menyegarkan diri dengan kenangan paragraf dalam buku geografinya, yang dikhususkan untuk Batakker ... banyak suku ... banyak pertempuran. Hatimu terbuka! Anda melihat mereka, orang-orang berkulit sawo matang dengan gigi hitam dan kerudung berwarna-warni; lincah seperti kucing di antara semak-semak yang keras dan lebat! .... tombak panjang di tangan. Lembing ringan melompati udara. Pisau, pedang senjata eksentrik, berkilau di bawah sinar matahari ... Seorang tahanan perang bertugas sebagai budak, atau dalam vol-au-vent pemenangnya. Kerbau dengan hidung lebar mengendus tanah. Di dalam hutan, seorang pemburu yang sendirian mengintip di sekitar pohon dengan seekor raja harimau: matanya seperti bara yang bercahaya, dan cakarnya mencengkeram batang yang merobek-robek mangsanya! Di rumah-rumah kayu yang dibangun di atas panggung, para wanita menumbuk padi, dan setelah bekerja seharian para pria duduk bercengkrama atau menari dengan musik simbal, klarinet, gitar dan gong...,mereka tidak bernafsu untuk sepak bola untuk saat ini, dan sedang memperlihatkan jimat menyeramkan yang baru diperoleh, dimana beberapa musuh harus berkontribusi sendiri, tapi ... oh, tempora, oh adat istiadat! waktu, peradaban Eropa telah banyak mengubah..., menjadikannya ketika aku memasuki rumah kecil yang bersih di Haarlem di belakang yang bercat biru dan putih...,aku sedang menghadapi ...seorang pria yang benar, berkulit gelap dengan mengenakan jas, yang mempersilahkan saya duduk sabil menunjuk sebuah kursi seperti yang dilakukan oleh orang yang paling beradab di antara orang-orang beradab di Batavia. Dan orang Belanda Amsterdamm dapat mengambil pelajaran dari orang Batakker ini, Duduk dengan tenang di hadapanku, kata Pak Soetan, betapa dia datang untuk mengabdi untuk tujuan mengabdi pada ibu pertiwi, untuk diterapkan ke bahasa Belanda. Pada saat itu, di bawah kepemimpinan yang luar biasa dari Mr Ophuysen, sekarang menjadi profesor di Leiden, ia memperoleh akte guru pribumi dan ditempatkan di daerah asalnya - Batoe Ka Doea. Anak-anak bekerja dengan cepat di bawah bimbingannya, dan dua belas dari mereka lulus ujian transisi mereka untuk memasuki sekolah Etopa (ELS). Anda tahu, kata Pak Soetan, saya tahu dasar-dasar bahasa Belanda, tetapi saya sangat menyukai kata-kata itu, yang tetap menjadi misteri bagi saya, kalimat yang yang sama yang mengubah masa sekarang menjadi bentuk lampau. Dan aku berkata kepada kamu sekali untuk saudaraku, aku harus pergi ke Belanda ...maka orang akan segera melihat betapa besar keinginan pribumi untuk berkembang...Apakah Anda enam puluh? Dia bertanya. Dan sungguh, kita telah berdebat tentang hal itu...selama berbulan-bulan, sebelum aku datang untuk mengejar rencanaku. Jarang sekali terjadi ketika seorang Batakker meninggalkan tanah asalnya, dan ia harus bekerja dengan semua anggota suku keluarganya sebelum ia dapat melaksanakan idenya. Tiga tahun yang lalu, pria berusia tiga puluh tahun itu mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan anak-anak, pertama kali bekerja di Amsterdam selama setahun, dan kemudian dua tahun di sekolah Rijkskweekschool di Haarlem, dimana dia ingin membuka jalan untuk putranya yang tertua, di antara hal-hal lain, Bukankah itu aneh... di Belanda? Tentu saja mengerikan; dan sangat dingin di musim dingin. Makanan berjalan cukup baik ... ayah saya, yang merupakan kepala suatu suku, dulu melakukan kontak dengan orang Eropa ...; Saya telah mencicipi kentang! Dan bagaimana dengan keluarga saya? Pikirkan, tepat sebelum ujian saya, saya tidak tahu apa-apa tentang mereka. Kemudian saya menjadi tidak tenang..., gugup. Tapi ada pesan yang saya ingat! Mereka mengharapkan membuat yang terbaik. Dan tenang seperti saya dulu... tenang! Dengan tangannya yang lentur membuat gerakan tenang, dia duduk di meja di seberangku. Kepala bulatnya, warna kulit cokelat-Melayu, dengan rambut hitam pendek, kuat di atas kerah putih di belakang kacamata lorgnet emas, matanya yang kecil dan penuh wawasan. Kumis tipis di atas mulut lebar, dengan bibir bawah tebal yang agak menonjol. Rencananya untuk masa depan. Nah, pengembangan dan pengembangan lebih lanjut untuk penduduk pribumi begitu dia kembali di Hindia. Ayahnya sudah melakukan banyak hal untuk peradaban Batoe Na Dua, selalu bersikeras mendirikan sekolah. Saya harus melihat foto-foto. Potret rumahnya. Ya, itu dimodernisasi, tidak berdiri di atas tiang panggung seperti rumah-rumah lain dan memiliki atap ubin! Pohon-pohon menjulang tinggi, ada di sekitar halaman dan disamping bendera ada bendera Belanda! - Berikut adalah foto dari seorang saudara, sebagian dengan pakaian barat, seperti yang Anda lihat dan dia juga memakai dasi!! Pendiduk Mohammedanche umumnya tidak menyukainya. Anak Bataksche yang baik di lututnya itu adalah putranya. Ini adalah makam ayahku. Hanya para kepala suku dimakamkan disitu.... Saya bertanya apakah nama panjangnya juga memiliki makna khusus. Soetan adalah nama gelar keluargaku, katanya, dan Soripada adalah nama kakekku, oleh karena kami setiap seorang anak lelaki dinamai menurut nama kakek dan bukan ayahnya. Dan Casajangan? Ya, dan mungkin berpikir itu gila? Casajangan berarti cinta dan kami adalah tiga bersaudara, dan ayahku memberi julukan itu, karena - mulutnya yang lebar tersenyum lembut, - dia sangat mencintaiku......Dengan mata berkaca-kaca saya mengucapkan selamat tinggal kepada saudara lelaki saya dan mereka memberi surat wasiat kapada saya, berharap saya lebih sukses dalam rencananya. Dan sementara teringat dessa, dia berfilsafat tentang kerja, keberanian, dan ketekunan penduduk asli Sumatra ini. Para tetua Batakker memiliki keyakinan yang menaungi jiwa berada di kepala mereka, ini bukti cara intelek mereka. Mungkin beberapa takhayul akan hidup kembali ketika Pak Soetan mengembalikan "mit Preis krrönt" dengan Batoe-Na-Doaa yang dicintainya!

Soetan Kasajangan tidak puas hanya sampai akte guru sekolah dasar (guru untuk sekolah Eropa ELS). Soetan Kasajangan tidak ingin segera pulang ke tanah air. Soetan Kasajangan seperti rencananya semula ingin menjadi sarjana (agar bisa mengajar di sekolah menengah, seperti Kweekschool atau Normaal School). Soetan Kasajangan kemudian mendaftar pada tahun 1907 juga di sekolah keguruan (semacam IKIP pada masa ini).

Soetan Kasajangan sudah menjadi mahasiswa, seperti teman-temannya yang lain seperti RA Kartono dan Hoesein Djajadiningrat. Dr. Abdoel Rivai dan Baginda Djamaloeddin juga mengikuti langkah yang dilakukan Soetan Kasajangan. Dua Tehupelory bersaudara yang datang ke Belanda untuk membantu suatu projek riset juga mengikuti langkah yang dilakukan oleh Dr. Abdul Rivai. Beberapa alumni Docter Djawa School juga mulai menyusul datang ke Belanda seperti F Laoh.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Soetan Kasajangan dan Boedi Oetomo (1908)

Sebagai mahasiswa senior dan berprofesi guru di tanah air, Soetan Casajangan merupakan mahasiswa pertama di luar negeri yang tidak berbicara lagi tentang dirinya sendiri tetapi meningkat tentang soal kebangsaan dan nasib bangsanya sendiri. Bangsa pribumi harus ditingkatkan pendidikannya juga perlu mempelajari bahasa asing (waktu itu bahasa internasional adalah Bahasa Belanda). Menurut Soetan Casajangan, memiliki pengetahuan bahasa asing melalui pendidikan merupakan kunci untuk memperoleh pengetahuan secara luas. Soetan Casajangan memulai memperjuangkan pendidikan untuk bangsanya sendiri melalui perlunya mendidirikan sebuah organisasi mahasiswa. Gagasan pendidirian organisasi mahasiswa ini dapat diwujudkan dengan berdirinya Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang disahkan pada tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Soetan Casajangan menjadi presiden pertama.

De nieuwe vorstenlanden, 01-02-1909
De nieuwe vorstenlanden, 01-02-1909: 'Indische Vereeniging. Di Belanda, telah dibentuk persatuan orang-orang Hindia yang belajar disana, R Soetan Casajangan menulis tentang hal ini di Koloniaal Weekblad sebagai berikut: Tiga tahun lalu saya sudah merencanakan untuk membentuk sebuah sarikat untuk orang-orang Hindia di Belanda. Karena saya terlalu sibuk pada saat itu, saya tidak dapat melaksanakan rencana saya segera. Pada bulan Juni tahun ini [Juni 1908, red], Mr. JH Abendanon datang mengunjungi saya dan bertanya apakah saya pernah berpikir untuk memberikan bantuan kepada orang Hindia. Saya menjawab pertanyaan ini dalam persetujuan dan kemudian dia mendorong saya untuk melanjutkan rencana yang bermanfaat ini. Mengenai hal ini langkah pertama yang saya lakukan meminta salah satu orang Hindia sebagai staf saya, namanya R. Sumitro. Lalu kami mengirim undangan ke semua orang Hindia yang belajar di Belanda untuk menghadiri pertemuan. Pada tanggal 25 Oktober, kami, sebanyak lima belas orang Hindia, berkumpul di tempat saya, di Leiden, dan pertemuan pertama diadakan. Saya meminta Soemitro untuk memimpin pertemuan, R. Hussein Djajadiningrat ditunjuk sebagai sekretaris sementara. Statuta sementara disetujui yang pada prinsipnya berisi dasar Indische Vereeniging yang diputuskan secara prinsip. Kemudian kami melanjutkan untuk memilih pengurus. Pemimpin terpilih: R. Soetan Casajangan Soripada, Sekretaris dan merangkap bendahara  RM Soemitro. Komite terdiri dari R. Soetan CS, RM Soemitro, RMP Sosro Kartono dan R. Hoesain Djajadiningrat yang diangkat untuk menyusun AD dan peraturan lebih lanjut (ART). Pada tanggal 15 November pertemuan kedua diadakan di Den Haag Vereeniging Hindia. Kita dapat membaca AD tersebut sebagaimana surat kabar Bat. Nbld menulis, antara lain, bahwa Vereeniging menyandang nama Indische Vereeniging dan berkedudukan di Den Haag. Tujuannya adalah untuk mempromosikan kepentingan bersama orang Hindia di Belanda dan untuk tetap berhubungan dengan Hindia. Orang Hindia sebagai penduduk asli Hindia Belanda. Vereeniging berusaha mencapai tujuan ini dengan: mempromosikan asosiasi antara orang Hindia di Belanda, mendorong orang Hindia untuk belajar di Belanda. Untuk menjelaskan yang terakhir, peraturan internal (ART) menyatakan: Asosiasi berusaha mendorong orang Hindia untuk belajar di Belanda dengan melakukan hal berikut: dengan memberikan informasi untuk memberikan informasi tentang studi dan tinggal di Belanda, dengan membantu orang-orang Hindia yang baru tiba dan dengan memberikan semua informasi yang mungkin tentang Belanda berdasarkan permintaan. Anggota biasa hanya bisa orang Hindia yang tinggal di Belanda. Kami berharap asosiasi pemuda ini berhasil’.

Organisasi ini menggalang persaudaraan orang Indonesia yang berada di negeri Belanda yang dikemudian hari menjadi cikal bakal Perhimpunan Indonesia (PI) di Eropa. Ketika Indische Vereeniging didirikan pada waktu yang relatif bersamaan didirikan organisasi Boedi Oetomo yang digagas oleh dokter Wahidin Soedirohoesodo. Keutamaan Indische Vereeniging karena cakupannya lebih luas yang berbasis Indonesia (kebangsaan) sedangkan organisasi Boedi Oetomo hanya terbatas di wilayah Jawa dan Madoera saja.

Tunggu deskripsi lengkapnyya

Soetan Kasajangan: Pionir Pendidikan Tinggi

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar