Laman

Senin, 24 Agustus 2020

Sejarah Manado (5): Sejarah Pendidikan, Kweekschool Tondano (1873) dan Tanobato (1862); Guru Elias Kandou dan J Ratoelangi

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini

Sejarah pendidikan di Residentie Manado, sesungguhnya sudah berlangsung lama. Guru-gurunya adalah lulusan sekolah guru yang diselenggarakan oleh zending di Ambon (dibuka pada tahun 1834). Lalu dalam perkembangannya Pemerintah Hindia Belanda kurang memadai untuk kebutuhan pemerintah. Oleh karena itu sekolah guru zending di Ambon ditutup pada tahun 1864. Namun pemerintah tidak segera membangun sekolah guru yang baru. Dampaknya, pendidikan di Residentie Manado seakan mati suri.

Berdasarkan Keputusan Raja Belanda tanggal 30 September 1848 Pemerintah Hindia Belanda akan mulai menyelenggarakan pendidikan bagi pribumi di sejumlah tempat. Sebelumnya sudah ada inisiatif mendatangkan guru-guru dari Belanda termasuk kepala sekolah dan mahasiwa yang akan turut membantu. Untuk lebih memperbanyak guru di Soerakarta pada tahun 1851 didirikan sekolah guru (kweekschool) yang dipimpin oleh Dr. Palmer van den Broek. Pada tahun 1856 atas saran Buddingh, Asisten Residen JAW van Ophuijsen di Fort de Kock mendirikan sekolah guru (kweekschool). Pada tahun 1857 seorang lulusan sekolah dasar di Panjaboengan, onderafdeeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli Si Sati [Nasoetion] melanjutkan studi ke Belanda untuk mendapatkan akta guru dan lulus tahun 1860, Pada tahun 1861 guru muda tersebut Si Sati alias Willem Iskander pulang ke kampong halaman dan pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato, onderafdeeeling Mandailing. Pada tahun 1865 Kweekschool Tanobato diakui pemerintah dan kemudian diakuisisi sebagai sekolah guru negeri ketiga di Hindia Belanda.

Lantas bagaimana kelanjutan penyelenggaraan pendidikan di Residentie Manado? Yang jelas pendidikan di Residentie Manado bukan terletak pada semangat belajar anak-anak dalam bersekolah, melainkan sistem pendidikan yang diterima mereka kurang memadai. Meski sekolah-sekolah zending sudah lama ada, tetapi kenyataannya, jika tidak ingin dikatakan tidak ada artinya, tidak dapat diperbandingkan dengan sekolah-sekolah yang belum lama diselenggarakan pemerintah di beberapa tempat. Okelah itu, satu hal dan hal lain yang lebih penting adalah bagaimana selanjutnya. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sejarah Awal Pendidikan di Residentie Manado

Pendidikan di Manado awalnya berkiblat ke Ambon. Pendidikan di Amboina lebih berkembang seorang guru muda yang dikirim oleh misionaris di Belanda. Guru muda tersebut adalah BNJ Roskott yang tiba di Hindia tahun (Javasche courant, 10-12-1834).

Pada rapat Buitengewone en Algemeene Vergadering van het Nederlandsche Zendeling-Genootschap tanggal 21 Juli di Rotterdam, Roskott dianggap telah berhasil mengelola sekolah guru (kweekschool) di Ambon (Algemeen Handelsblad, 24-07-1843). LJ an Rijn yang pernah berkunjung ke Hindia menyebut sekolah guru di Ambon cukup memuaskan (Leeuwarder courant, 23-11-1847). Hampir semua guru sekolah di Ambon adalah lulusan sekolag guru Ambon yang dipimpin oleh Roskott. Pemerintah mengangkat Roskott sebagai pengawas sekolah di Ambon yang juga mencakup Haroekoe dan Saparoea (Rotterdamsche courant, 23-07-1853). Pada saat BNJ Roskott memulai aktivitasnya di Ambon, struktur pemerintahan di (kepulauan) Maluku adalah sebagai berikut: Gubernur berkedudukan di Ambon. Masing-masing asisten Residen untuk memimpin Saparoea en Haroekoe dan Hila en Larikke. Di Boeroe dan Ceram masing-masing ditempatkan pejabat yang lebih rendah. Di Banda dan Ternate masing-masing ditempatkan seorang Residen. Untuk urusan pendidikan sub-komisi pendidikan ditempatkan masing-masing di Amboina, Banda dan Ternate. Sekolah dasar pemerintah (Govt. Lager School) terdapat masing-masing di Amboina, Banda dan Ternate. Mereka yang bersekolah di sekolah dasar tersebut adalah anak-anak Eropa/Belanda dan para pemimpin lokal. Saat itu jumlah orang Eropa/Belanda di Residentie Amboina sebanyak 270 orang; di Residentie Banda sebanyak 290; dan di Residentie Ternate sebanyak 72 orang.

Residentie Ternate termasuk wilayah Manado. Guru-guru yang dididik di sekolah guru misionaris di Ambon ini kemudian mengalir ke wilayah Manado. Pemerintah juga mulai mendirikan sekolah di tempat dimana kehadiran misionaris kurang intens seperti di kota-kota pantai yang juga terdapat penduduk beragama Islam, seperti di (kota) Manado. Adanya sekolah pemerintah (negeri) di kota Manado paling tidak sudah diketahui tahun 1845 (lihat  Javasche courant, 27-08-1845). Disebutkan pada hari Senin tanggal 30 Juni 1845, ujian umum siswa Sekolah Dasar Pemerintah diadakan di Manado, di hadapan subkomite pendidikan dan banyak orang tua, wali, atau kerabat terdekat siswa,

Namun, NBJ Roskott sebagai bagian dari misi (Nederlandsch Zendeling Genootschap/NZG) pendidikan bagi pribumi mengalami reduksi (hanya terbatas untuk kepentingan misi). Meski demikian, kehadiran NBJ Roskott di Ambon telah menaikkan level pendidikan ke tingkat (tahapan) yang lebih tinggi. Akan tetapi persoalan baru muncul ketika Pemerintah Hindia Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan bagi pribumi di sejumlah tempat di Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Raja, tanggal 30 September 1848. Sebelumnya sudah ada guru-guru swasta dari Belanda. Guru-guru yang didatangkan pemerintah juga dari Belanda, selain guru juga termasuk kepala sekolah dan siswa-siswa dari Belanda.

 

Untuk lebih memperbanyak guru di Soerakarta pada tahun 1851 didirikan sekolah guru (kweekschool) yang dipimpin oleh Dr. Palmer van den Broek.  Sementara itu untuk penyelenggaraan sekolah dasar, jumlah tenaga yang didatangkan dari Belanda pada tahun 1854 sudah mencapai 102 orang yang terdiri dari 57 guru dan 16 kepala sekolah plus 29 siswa sekolah guru di Belanda. Jumlah ini terus meningkat pada tahun 1855 yang mana guru menjadi 60 orang dan kepala sekolah 30 orang (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 21-11-1856). Ada indikasi dengan meningkatnya jumlah guru, jumlah siswa Belanda yang diperbantukan dikurangi. Guru-guru dari Belanda ini disebar di sejumlah tempat termasuk di luar Jawa seperti Kalimantan, Palembang, Padangsch dan Mandailing en Angkola.

 

Pada tahun 1856 atas saran Buddingh, Asisten Residen JAW van Ophuijsen di Fort de Kock mendirikan sekolah guru (kweekschool). Penyelenggaraan sekolah dasar sudah dilakukan sejak 1846 oleh Residen Steimez di Residentie Padangsch Bovenlanden. Dengan demikian pada tahun 1856 sudah terdapat dua sekolah guru negeri dan satu sekolah guru yang dikelola misionaris di Ambon (dengan kepala sekolah Roskott).

Pada tahun 1864 sekolah guru misionaris di Ambon harus ditutup (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-11-1870). Banyak faktor penyebabnya. Pemerintah berupaya untuk mengambil alih pendidikan pribumi yang selama ini ditangani oleh misi yang dipimpin NBJ Roskott karena levelnya yang rendah jika dibandingkan dengan yang diselenggarakan pemerintah (di tempat lain di luar Ambon). Faktor lainnya, beban yang harus ditanggung misionaris tidak sepadan dengan yang dibutuhkan, banyaknya guru yang tidak mendapat gaji (sementara guru-guru pemerintah mendapat gaji) menjadi kurang bersemangat yang pada gilirannya siswa dan orangtua merasa tidak puas. Tentu saja karena penduduk Residentie Ambon (Ambon, Haroekoe, Saparoea) juga banyak yang beragama Islam.

Pemerintah dan gereja (misi) dibedakan dan berbeda tujuan. Pemerintah Hindia Belanda tidak membeda-bedakan apapun bagi penduduk, termasuk pendidikan. Islam, Kristen dan pagan sama pentingnya bagi pemerintah. Yang diutamakan pemerintah adalah siapa yang mau membangun jalan dan jembatan apapun keyakinannya. Perbedaan dua misi ini (Pemerintah vs NZG) telah membuka perhatian bahwa pendidikan di Ambon tidak berbeda jauh jika dibandingkan dua ratus tahun sebelumnya. Diskusi dan polemik juga muncul diantara orang-orang Eropa/Belanda di Hindia Belanda.

Pendidikan di Ambon juga termasuk di Manado dianggap sangat terbatas (untk kepentingan misi) dan mutunya dianggap tidak memadai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hubungan ini, meski yang terawal dalam pendidikan, pendidikan di Manado justru baru memulai pendidikan babak baru. Sementara itu pendidikan di tempat lain mutunya sudah sangat maju.

Pada tahun 1862 Si Sati [Nasution] alias Willem Iskander yang baru pulang studi pendidikan guru di Belanda membuka sekolah guru di Tanobato, Afdeeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli, Province Sumatra’s Westkust. Si Sati pada tahun 1857 berangkat ke Belanda untuk menempuh pendidikan guru di Harlem. Pada tahun 1860 Si Sati dinyatakan lulus dan mendapat akte guru. Pada tahun 1861 Si Sati alias Willem Iskander pulang ke kampong halaman di Panjaboengan. Pada tahun 1864 sekolah guru (kweekschool) yang didirikan Willem Iskander mendapat pengakuan yang kemudian diakuisisi pemerintah sebagai sekolah guru negeri yang ketiga di Hindia Belanda.

Pendidikan di Manado bukan terletak pada semangat belajar anak-anak dalam bersekolah, melainkan sistem pendidikan yang diterapkan. Sistem yang diterapkan tidak sejalan dengan standar minimal pengelolaan pendidikan. Meski sekolah-sekolah di Ambon sudah lama ada, tetapi kenyataannya, jika tidak ingin dikatakan tidak ada artinya, tidak dapat diperbandingkan dengan sekolah-sekolah yang belum lama diselenggarakan pemerintah di beberapa tempat.

Pada tahun 1854 seorang pemimpin lokal di Minahasa mengajukan permintaan satu siswa untuk mengikuti pendidikan kedokteran docter djawa school di Batavia. Hal ini karena atas permintaan pemimpin lokal, dua siswa di Afdeeeling Mandailing en Angkola diterima di sekolah kedokteran docter djawa school. Permintaan dari Minahasa tersebut ditolak karena tidak memenuhi syarat. Sementara itu dua siswa yang diterima Si Asta dan Si Angan ternyata kemudian diketahui adalah siswa pertama yang diterima di docter djawa school dari luar Jawa. Dua siswa ini sukses dalam pendididkan mereka dan endapat gelar dokter djawa. Dr Asta adalah kakak kelas Willem Iskander di Panjaboengan, onderafdeeling Mandailing. Saat itu ada dua sekolah pemerintah yang dibangun di Afdeeeling Mandailing en Angkola, satu buah di Panjaboengan dan satu lagi di Padang Sidempoean, onderafdeeeling Angkola. Dr Angan adalah lulusan sekolah pemerintah di Padang Sidempoean.

Sejak sekolah guru NBJ Roskott telah ditutup ternyata tidak otomatis pendidikan langsung diambil alih pemerintah. Pemerintah tampaknya kebingungan sendiri. Di Province Amboina (termasuk di Manado), bukan satu, dua buah sekolah, tetapi malahan jumlahnya sudah ratusan dan siswanya ribuan. Meski sudah tersedia infrastruktur dasar (sekolah-sekolah), persoalannya adalah sarana yang kurang memadai dan kualifikasi (kompetensi) guru yang tidak sesuai untuk standar pemerintah.

Sementara sekolah guru baru ada tiga di Soeracarta, Fort de Kock dan Tanobato dan kemudian pada tahun 1866 baru didirikan di Bandoeng. Tentu saja lulusan sekolah guru yang ada tidak mencukupi bahkan untuk kebutuhan untuk wilayah dimana sekolah guru itu berada.

Situasi dan kondisi di Ambon (termasuk Manado), jelas itu sulit bagi pemerintah karena harus mangangkat dan menggaji guru yang sangat banyak di (residentie) Ambon. Belum lagi pengadaan buku dan ATK yang tentu saja harus dihitung sebagai biaya. Akibatnya pendidikan di Ambon terabaikan. Boleh jadi levelnya sekarang telah berada di bawah era NBJ Roskott. Pendidikan di Ambonia menjadi sebuah dilema.

Untuk sekadar perbandingan lainnya. Di Residentie Tapanoeli belumlah banyak sekolah seperti di Ambon (termasuk Manado). Jumlah sekolah di Residentie Tapanoeli pada tahun 1851 baru dua buah (satu buah di onderfadeeling Mandailing dan satu buah di onderafdeeling Angkola). Seperti diutarakan di atas, tahun 1854 sudah dua siswa yang lulus tes dan diterima di Docter Djawa School di Batavia. Pada tahun 1860 di Afdeeling Mandailing en Angkola sudah terdapat enam sekolah negeri. Dari lulusan sekolah negeri inilaj pada tahun 1862 ketika Willem Iskander mendirikan sekolah guru (kweekschool).

Kegiatan pendidikan di Ambon dan Manado mati suri. Sesungguhnya masih berjalan, tetapi diselenggarakan seperti pada era NBJ Roskoot. Akan tetapi lama kelamaan mutunya semakin menurun. Intervensi pemerintah belum ada. Polemik di surat kabar muncul. Maluku dan Manado yang terbilang awal dalam pendidikan, seakan ketinggalan ketika penduduk yang berpendidikan dibutuhkan oleh pemerintah dan dunia swasta yang semakin berkembang.

Peranan misi (NZG) di Ambon dan Manado telah lama berlangsung, dan sekolah guru ditutp tahun 1864, sebaliknya kegiatan pendidikan yang diselengarakan misi (Rheinische Missionsgesellschaft/RMG).di Siloendoeng (Nord Tapanoeli) justru baru mulai. Para misionaris yang dipimpin oleh Ludwig Ingwer Nommensen terkesan kurang menerima kehadiran pemerintah. Akibatnya, pendidikan di Silindoeng en Toba (Nord Tapanoeli) lebih intens oleh RMG dan pendidikan di Mandailing en Angkola (Zuid Tapanoeli) lebih intens oleh pemerintah. Singkatnya: apa yang sudah berlalu di Ambon, sebaliknya di Silindoeng en Toba baru memulainya.

Rencana pemerintah baru muncul tahun 1870 yakni untuk meningkatkan pengadaan guru akan dibuka sekolah guru (kweekschool). Pada tahun 1873 dibuka sekolah guru di Tondano dan setahun kemudian dibuka di Ambon tahun 1874. Sekolah guru pemerintah ini memang dari awal dimaksudkan untuk menggantikan sekolah guru yang telah lama dirintis oleh NBJ Roskott..

Rencana pemerintah dalam bidang pendidikan tahun 1870 pada intinya dua hal: Pertama, peningkatan jumlah guru dengan memperbanyak sekolah guru (kweekschool). Setelah sekolah guru diselenggarakan sebanyak empat buah (Soeracarta, sejak 1851; Fort de Kock, 1856; Tanobato, 1862, Bandoeng, 1866) akan disusul pembukaan sekolah guru di Tondano, Ambon, Probolinggo, Banjarmasin dan Makassar. Kedua, peningkatan kualitas sekolah dan kualitas guru. Terdapat tiga sekolah guru yang akan ditingkatkan, yakni Kweekschool Soeracarta ditutup dan akan dibangun sekolah guru yang lebih besar di Magelang; Kwekschool Tanobato ditutup dan sebagai penggantinya akan dibuka sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean (ibukota Afdeeling Mandailing en Angkola); Kweekschool Bandoeng yang sudah memiliki gedung yang baik hanya untuk meningkatkan kualitas gurunya.

 

Oleh karena itu, tiga guru muda segera dikirim studi ke Belanda, yakni Barnas Lubis dari Tapanoeli yang akan ditempatkan di Kweekschool Padang Sidempoean yang akan dibuka pada tahun 1879; Raden Soerono guru di Soeracarta akan ditempatkan di sekolah guru yang baru di Magelang; dan Ardi Sasmita, guru di Madjalengka yang akan ditempatkan di Bandoeng. Ketiga guru ini dipimpin oleh Willem Iskander, yang mana di Belanda sambil membimbing guru muda juga mengikuti pendidikan untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Willem Iskander akan ditempatkan sebagai Kepala Sekolah di Kweekschool Padang Sidempoean. Penutupan Kweekschool Tanobato bersamaan dengan persiapan keberangkatan Willem Iskander studi (yang kedua) ke Belanda. Willem Iskander dan tiga guru muda berangkat dari Batavia pada bulan April 1875. .

Kweekschool Tondano (1873): Elias Kandou dan J Ratoelangi Studi ke Belanda

Kweekschool Tondano dan Kweekschool Ambon mulai menghasilkan lulusan dan diangkat menjadi guru. Setelah tiga tahun mengajar di Allang, JH Wattimena dikabarkan akan pergi ke Belanda untuk studi lebih lanjut (lihat Nederlandsche staatscourant, 12-07-1881). Dalam berita ini, JH Wattimena tidak sendiri juga ME Anakota. Disebutkan ME Anakota guru kelas 1 di Hative dan JH Wattimena, guru kelas 1 di Allang (Residentie Amboina). Mereka berdua studi ke Belanda atas biaya pemerintah (semacam beasiswa).

Di Belanda mereka berdua di sekolah guru di Amsterdam yang dipimpin oleh D. Hekker. Anakotta dan JH Wattimena memenuhi syarat kelas 3 untuk lanjut ke kelas empat atau kelas lima di sekolah guru Belanda (guru lisensi/akta Belanda). JH Wattimena selama mengikuti pendidikan tidak menemukan kesulitan. Pada tahun 1884, JH Wattimena dikabarkan lulus sekolah guru di Amsterdam dan mendapat akta guru Lager Onderwijs (LO) (lihat Algemeen Handelsblad, 07-04-1884). Disebutkan dari 14 kandidat yang diuji oleh Universiteit Amsterdam empat siswa dinyatakan lulus, salah satu diantaranya JH Wattimena (dari Amsterdam). Sementara itu, ME Anakotta tidak berumur panjang, ME Anakotta meninggal selama pendidikan karena penyakit paru-paru di Amsterdam. Ini menambah daftar guru-guru yang meninggal di Belanda. Tiga guru muda yang dulu tahun 1874 meninggal satu per satu selama pendidikan. Willem Iskander yang telah menyelesaikan pendidikannya, sebelum pulang ke tanah air juga dikabarkan meninggal di Amsterdam.

Setelah semua urusan beres di Belanda, JH Wattimena kembali ke tanah air. Dalam manifes kapal yang diberitakan Algemeen Handelsblad,  06-09-1884 terdapat nama JH Wattimena. Kapal Prins van Oranje yang ditumpangi JH Wattimena berangkat dari Amsterdam menuju Batavia pada tanggal 6 September 1884. Di Batavia, JH Wattimena sudah barang tentu menghadap Gubernur Jenderal, sebagaimana dulu tahun 1861 Willem Iskander menghadap Gubernur Jenderal sepulang dari Belanda. Tidak lama kemudian, sebelum kapal yang membawa JH Wattimena tiba di Ambon sudah keluar beslitnya untuk ditempatkan sebagai guru di Kweekschool Ambon (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-11-1884). Setelah tiba kembali di Ambon, selesai sudah perjuangan Johannes Hendrik Wattimena menempuh studi, jauh ke negeri Belanda.   

Ada jarak waktu yang cukup jauh selama 24 tahun ketika Willem Iskander mendapatkan akta guru pada tahun 1860 dengan tahun 1884. Dalam rentang waktu tersebut sudah dikirim guru muda; Banas Lubis, Sasmita, Soerono. Namun ketiga tidak kembali karena meninggal dunia. Setelah itu, sebelum ME Anakota dan JH Wattimena tiba di Belanda, dua guru pernah dikirim yakni Ardi Sasmita (bukan guru yang meninggal) dan Si Hamsah tetapi keduanya gagal dan harus kembali ke tanah air. Baru kemudian disusul lagi dua guru muda yakni ME Anakotta dan Wattimena. Namun hanya JH Wattimena yang lulus dan kembali ke tanah air. Anakota meninggal di Amsterdam. Di luar Willem Iskander, pemgiriman guru pada tahun-tahun permulaan semuanya gagal: empat meninggal dunia, satu gagal dan satu berhasil sebagian (Ardi Sasmita).

Pada tahun .....setelah kepulangan JH Wattimena, dua lulusan sekolah guru di Tondano melanjutkan pendidikan ke Belanda. Dua guru muda tersebut adalah Elias Kandouj dan J. Ratulangi. Mereka berdua dikirim studi ke Belanda atas biaya negara. Mereka di Belanda berada di bawah pengasuhan guru Kepala Sekolah di Amsterdam, D. Hekker.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar