Laman

Rabu, 05 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (27): Sejarah Kesehatan di Bali; Dr Julius Jacobs dan Putra Pertama Bali Kuliah di Docter Djawa School (1885)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Sebelum Anak Agung Made Djelantik studi kedokteran ke Belanda dan rumah sakit Sanglah Denpasar didirikan, satu siswa pertama asal Bali diterima di sekolah kedokteran Docter Djawa School di Batavia pada tahun 1885. Pengiriman putra Bali pertama melanjutkan sekolah kedokteran tidak lama setelah Dr Julius Jacobs berkeliling Bali untuk urusan vaksinasi. Lulusan sekolah Docter Djawa School yang bertugas di Bali sudah sejak lama ada (khususnya di Boeleleng).

Anak Agung Made Djelantik mengawali pendidikannya di Denpasar di sekolah berbahasa Belanda Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Setelah lulus melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke MULO (Meerleetgebreid Langer Orderwijs) di Malang dan diteruskan ke Jogjakarta (Algemene Middlebare School). Lulus dari Jogjakarta Anak Agung Made Djelantik melanjutkan studi kedokteran ke Belanda pada tahun 1938. Pada tahun 1946 Anak Agung Made Djelantik meraih gelar dokter di Gemente Uiversitet Amsterdam. Rumah sakit Sanglah di Denpasar mulai dibangun pada tahun 1956. Rumah sakit ini diresmikan pada tanggal 30 Desember 1959 dengan kapasitas 150 tempat tidur. Pada tahun 1962 rumah sakit Sanglah bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Univesitas Udayana. Dr. Anak Agung Made Djelantik adalah salah satu pendiri Universitas Udayana.

Lantas bagaiana sejarah pengembangan kesehatan di Bali? Nah, itu dia. Sejauh ini kurang terinformasikan. Yang jelas sejarah kesehatan di Bali seiring dengan penempatan dokter-dokter di Bali. Satu dokter yang penting adalah Dr Julius Jacobs, dokter yang mengusulkan agar siswa Bali yang lulus dikirim ke Batavia untuk melanjutkan sekolah kedokteran. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Dr Julius Jacobs dan Dr N van der Tuuk

Pasca Perang Bali (1846-1849), Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan dengan menempatkan seorang Asisten Residen di afdeeeling Boeleleng dan seorang Controleur di afdeeling Djembrana. Dua afdeeeling ini berada di bawah Residentie Besoeki (dan kemudian Residentie Banjoewangi). Pada masa awal pemerintahan sempat terjadi pemberontakan di wilayah (district Bandjar) pada tahun 1868. Peberontakan ini segera dapat dipadamkan.

Setelah pemberontakan Banjar, situasi semakin kondusif di afdeeling Boeleleng dan afdeeling Djembrana. Dalam kesempatan pertama ini misionaris (Katolik) memasuki afdeeeling Boeleleng. Namun tidak lama kemudian misi Protestan juga ingin masuk Bali. Sehubungan dengan itu, seorang ahli bahasa Dr HN van der Tuuk dikirim ke Bali untuk mempelajari dan menyusun kamus bahasa Bali, yang sudah barang tentu dimaksudkan untuk menerjemahkan Injil dalam bahasa Bali. Herman Neubronner van der Tuuk pada tahun 1870 diketahui telah berada di Bali (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 22-08-1870). Disebutkan van der Tuuk tinggal di Boelèlèng. Catatan: ibu kota afdeeeling Beoleleng berada di Boeleleng tempat dimana Asisten Residen berkedudukan; dan ibu kota afdeeling Djembrana di Negara (tempat kedudukan Controleur).

Tidak lama setelah kehadiran HN van der Tuuk di Boeleleng, Bali, terbit Surat Keputusan Menteri Koloni bertanggal 13 Juni 1871 yang diterima di Buitenzorg pada tangga 19 Agustus 1871 yang berisi tentang pendirian sekolah pribumi (inlandsche School) di Boeleleng, pulau Bali Residentie Banjoewangi (lihat Bataviaasch handelsblad, 23-08-1871). Disebutkan dalam surat ini sekolah ini akan dibuka pada tanggal 7 Januari 1872. Sekolah ini akan dipimpin seorang guru (onderwijzer) dengan gaji f600 per tahun dan dibantu seorang calon guru (kweekwling) dengan gaji f120 per tahun dan sebesar f200 setahun untuk pembelian perlengkapan sekolah. Surat ini diumumkan oleh Sekretaris Jenderal di Buitenzorg.

Gagasan pendirian sekolah pemerintah diduga kuat karena usul dari Dr HN van der Tuuk, Ph.D melalui pusat Zending (yang enugaskan van der Tuuk) di Belanda. HN van der Tuuk sendiri berpengalaman di Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli) bahwa pendidikan bagi penduduk sangat berhasil (sejak 1849). NH van der Tuuk di Tapnoeli selama tujuh tahun (1850-1857). Boleh jadi usul NH van Tuuk ini muncul karena melihat dan mengabarkan ke pusat Zending bahwa misionaris Katolik telah mendirikan sekolah.

Persiapan pembukaan sekolah pemerintah di Boeleleng baru rampung pada akhir tahun 1873 dan baru dibuka pada tahun 1874. Yang diangkat menjadi guru adalah Hiranta (lihat Bataviaasch handelsblad, 14-02-1874). Disebutkan berdasarkan Direktur Onderwijs. Eeredienst en Nijverheid diangkat sebagai guru pemerintah di sekolah pribumi di Boeleleng, Hiranta, seorang lulusan sekolah guru (kweekschool) di Bandoeng. Pada tanggal 29 April 1874 sekolah pemerintah di Boeleleng resmi dibuka (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-06-1874). Disebutkan jumlah siswa sebanyak enam orang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu (lihat Algemeen Handelsblad, 25-07-1874). Sementara itu dokter djawa yang ditempatkan di Boeleleng belum menetap (dan berada di Bali selama epidemik kolera).

Dalam laporan Dr R van Eck yang terbit pada tahun 1878 sudah ada indikasi bahwa petugas kesehatan (dokter djawa) telah ditempatkan di Bali. R van Eck mengumpulkan datanya pada tahun 1874 dan 1875. Dr R van Eck, Ph.D di dalam laporannya banyak mengulas tentang kesehatan masyarakat dan berbagai penyakit yang ditemukan di Bali. Kesehatan masyarakat ini diperinci ke dalam berbagai aspek seperti bahan makanan, penyiapan dan pola makan; lingkungan pekarangan dan sintasi dan soal kebersihan rumah. R van Eck juga tidak lupa mengulas soal peredaran dan konsumsi opium di tengah masyarakat.

 

Dalam sebuah surat yang dikirimkan Dr R van Eck dari Boeleleng yang kemudian dimuat redaktur Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie pada edisi 27-05-1875 disebutkan bahwa jumlah siswa sekolah sebanyak 16 orang. Jika tidak ada yang DO, pada tahun kedua pendirian sekolah ini telah bertambah sebanyak 10 siswa baru. Disebutkan orang Bali sudah melihat dan merasakan manfaat sekolah. R van Eck juga mencatat bahwa di Boeleleng terdapat 64 ribu penduduk asli dan tiga ribu orang pendatang. Menurut perkiraan R van Eck terdapat tiga atau empat ribu orang meninggal karena penyakit kolera. Wabah kolera ini disebut R van Eck sudah berhasil dientaskan. R van Eck menyatakan bahwa pada masa ini tidak ada yang lebih baik daripada penempatan beberapa dokter-jawa yang sesekali berkeliling dari desa ke desa,

Kapan dokter djawa mulai ditempatkan di Bali secara permanen? Tidak diketahui secara pasti. Pada saat Dr R van Eck di Bali dalam suatu studi pengembangan pertania pada tahun 1875 dokter djawa belum ditempatkan secara permanen di Boeleleng, Bali. Pada saat kehadiran Dr. Julius Jacobs pada tahun 1882 juga tidak ada indikasi dokter djawa sudah ditempatkan di Boeleleng, Bali.

Dr NH van der Tuuk, Ph.D tahun 1871 ditugaskan ke Bali untuk studi bahasa Bali; sementara Dr R van Eck, Ph.D ditugaskan ke Bali untuk studi penduduk dan pengembangan pertanian di Bali; sedangkan Dr Julius Jacobs ditugaskan ke Bali untuk studi tentang pengembangan kesehatan masyarakat. Sebelum mereka ini, sejumlah peneliti sudah ada yang mengunjungi Bali. Satu yang terpenting adalah Heinrich Zollinger tahun 1846 dalam studi geologi dan botani. Laporan Zollinger yang terbit tahun 1847 adalah laporan terawal yang terbilang komprehensif tentang (pedalaman) Bali.

Dalam kunjungan Dr Julius Jacobs, seperti dapat dibaca dalam laporannnya yang terbit pada tahun 1883, telah bertemu dengan Dr HN van der Tuuk sebelum melakukan perjalanan keliling pulau Bali. HN van der Tuuk yang sudah berada di Bali selama 11 tahun telah berperilaku layaknya penduduk asli (Bali). Kapan saja secara bebas orang Bali dari berbagai tempat mengunjungi dan bertanya tentang banyak hal termasuk soal penyakit, ketidakpuasan terhadap pejabat (terutama pejabat lokal) dan lain sebagainya. Dr HN van der Tuuk di mata orang Bali seakan guru, tempat untuk bertanya.

Tidak lama setelah kehadiran Dr. Julius Jacobs di Bali muncul berita di surat kabar yang terbit di Semarang De locomotief edisi 04-08-1884 melaporkan bahwa seorang putra Bali telah mengikuti pendidikan kedokteran Docter Djawa School di Batavia. Disebutkan pada bulan Mei 1884 satu siswa diterima, yang terakhir dari Bali yang melengkapi jumlah siswa pada tahun ajaran 1883/84 menjadi 63 siswa, termasuk 44 orang Jawa, 6 orang Ambon, 5 orang Melayu, 7 orang pribumi Kristen dan 1 orang Bali. Namun siapa nama putra Bali itu tidak disebut, hanya disebut seorang Brahmana. Oleh karena cabang Pemerintah Hindia Belanda baru terbatas di afdeeeling Boeleleng dan afdeeeling Djembrana dan orang tua dari siswa itu secara ekonomi, diduga kuat adalah seorang anak bangsawan di Boeleleng. Nama yang berpengaruh di Boeleleng adalah marga Djelantik.

Lantas, kapan dokter djawa mulai ditempatkan di Bali secara permanen? Penempatan dokter djawa di Boeleleng, Bali diduga antara tahun 1882 dan 1886. Ini dapat dibaca pada surat kabar Bataviaasch handelsblad edisi 13-11-1886 yang mengutip berita Soerabajah Handelsblad yang memberitakan bahwa Dr HN van der Tuuk telah diserang seseorang pada malam hari diperjalanan ke rumahnya yang mengakibatkan luka berat yang kemudian mendapat pertolongan segera dari seorang dokter djawa. Berita ini telah menjelaskan sendiri bahwa di Boeleleng sudah ada dokter djawa yang ditempatkan.

Bataviaasch handelsblad, 13-11-1886: ‘Pada malam, antara pukul 9 dan 10, van der Tuuk pulang, setelah mengunjungi beberapa teman yang disebutnya. Hampir tiba di rumahnya, dia tiba-tiba dipukul dari belakang dengan tjalo (parang). Dua luka menimpanya dengan senjata itu. Satu di antara tulang belikat dan tulang belakang, yang lain di antara dua tulang rusuk kanan bawah dan tulang belakang. Pukulan terakhir mematahkan senjata dan bilahnya jatuh ke tanah. Van der Tukk terkejut. Pada awal kebingungan dia percaya bahwa dia telah dilempar dari jauh dengan botol. Dia menoleh untuk melihat apakah dia bisa mendeteksi pelaku, tetapi dengan kekecewaannya dia hanya memperhatikan calon pembunuh yang membuat kakinya dan tidak bisa dikenali dalam kegelapan. Kemudian van der Tuuk memasuki rumahnya dan disana melihat bagaimana dia dipukuli. Hamba-hambanya segera mengeluarkan suara teriakan yang segera orang-orang Eropa berdatangan. Segera Residen pergi ke rumah van der Tuuk, dimana dia menemukannya, mandi darah dan berbaring di tempat tidur. Bantuan medis segera ditawarkan sebanyak mungkin dan perawatan diambil untuk keperawatan yang efektif, yang tentu saja menyisakan sedikit yang diinginkan. Keesokan paginya warga mencari pelaku. Pada pukul tiga hari itu, seorang penduduk asli ditemukan duduk di sisi sungai agak jauh dari kota, dengan penampilan yang mencurigakan, lalu ditangkap dan dibawa ke hadapan Residen; diajukan pertanyaan, tetapi dia menolak. Lalu si tertuduh itu dibawa ke rumah van der Tuuk ke tempat tidurnya. Sang tertuduh mengakuberasal dari Abang Karangasem. Ketika ditanya apa yang mendorongnya untuk melukai van der Tuuk, dia menjawab bahwa dia melakukan ini sendirian, untuk bercanda. Diyakini bahwa pelaku setengah gila, tetapi ada kemungkinan juga ada sesuatu yang lain di baliknya. Bagaimanapun, saa ini luka Van der Tuuk baik-baik saja dan dia akan segera berjalan lagi. Residen tersebut sangat dipuji atas kebijakan dan keterampilan yang membuat kasus ini tidak membuat rusak persaudaraan dan peduli dengan dokter yang dipanggilnya. Itu adalah docter djawa yang telah merawat van der Tuuk setelah apa yang disebut cedera. Harus ditulis bahwa setiap keraguan harus dikemukakan mengenai fungsi yang berguna dari para dokter pribumi tersebut, seperti yang dikemukakan baru-baru ini. Dari Boeleleng tertulis: Untuk meyakinkan keluarga dan banyak teman serta kenalan van der Tuuk, dapat dipastikan bahwa, meskipun banyak kehilangan darah, berkat perawatan yang tenang dan menyeluruh dari docter djawa, yang layak menerima kata-kata pujian, dibantu oleh sifat kuat van der Tuuk, pasien dapat menikmati istirahat yang sangat diinginkan segera setelah luka dijahit. Sekali lagi, telah terbukti sangat bermanfaat bagi individu jika, di tempat-tempat dimana perawatan medis oleh orang Eropa, orang dapat meminta bantuan docter djawa seperti Raden Prawiro Admodjo, yang memiliki pengalaman belajar yang cukup, dan oleh ketenangannya, konsultasi yang tenang dan pengetahuan praktis telah terbukti beberapa kali dalam kasus-kasus serius, orang yang tepat terutama disini, dimana luka-luka, ketidakpedulian orang-orang ketika menggunakan parang atau serangan oleh harimau sering terjadi. Demi kepentingan umum dan juga dalam mendorong obat-obatan penduduk asli, akan diinginkan bahwa pemerintah penemptann docter djawa melalui gaji yang lebih baik atau persen yang besar’,

Docter djawa yang pertama di Bali tersebut adalah Dr Raden Prawiro Admodjo. Penempatan dokter ini tampaknya dilakukan bersamaan dengan pengiriman siswa asal Bali untuk engikuti pendidikan kedokteran ke Batavia. Bagaimana penempatan dokter ini dan pengiriman siswa untuk studi kedokteran diduga kuat karena peran Dr Julius Jacobs, dokter yang diutus pemerintah pusat (Batavia) untuk melakukan studi pengembangan kesehatan dio Bali.

De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-09-1887: ‘Boeleleng merasa paling tidak menyenangkan bahwa dokter djawa, satu-satunya pembantu medis yang memilikinya dan yang sangat dihargai penduduk, telah dipindahkan ke Malang. Dia sangat percaya diri di Bali dan sangat senang dengan pengetahuan kedokterannya;.

Dr Raden Prawiro Admodjo adalah dokter satu-satunya di pulau Bali dan masih terbatas di Boeleleng dan Djembrana. Namun dokter yang pernah menolong HN van der Tuuk dan yang sangat dihargai oleh orang Bali telah dimutasi ke Malang. Orang Bali khususnya di Boeleleng telah kehilangan diokter yang baik.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dr Anak Agung Made Djelantik dan Rumah Sakit Sanglah

Sejauh ini belum ditemukan keterangan tentang putra Bali yang dikirim ke sekolah kedokteran Docter Djawa School di Batavia pada tahun 1884.Apakah siswa tersebut gagal dalam studi? Tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa sekolah kedokteran Docter Djawa School sangat ketat dalam seleksi dan sangat teruji untuk meluluskan siswanya. Tidak seperti sekolah guru (kweekschool), Docter Djawa School hanya satu. Pada tahun 1884 sekolah guru terdapat di berbagai tempat antara lain di Padang Sidempoean (Tapanoeli), Fort de Kock (Padangsche), Bandoeng (Priangan), Soeracarta dan Probolinggo. Sekolah kedokteran hanya ada di Batavia.

Sekolah kedokteran Docter Djawa School didirikan pada tahun 1851 (yang dapat dikatakan cikal bakal Universitas Indonesia). Tempat pendidikannya berada di rumah sakit militer di Weltevreden (kini RSPAD Jakarta). Jumlah siswa tiap tahun hanya sekitar 10 orang. Pada tahun 1854 dua siswa asal afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli Si Asta dan Si Angan diterima di Docter Djawa School. Dua siswa ini adalah siswa pertama yang berasal dari luar Jawa. Setelah lulus kuliah tahun 1856 Dr Asta ditempatkan di onderafdeeling Mandailing dan Dr Angan ditempatkan di onderafdeeling Angkola (ibu kota di Padang Sidempoean). Sejak itu secara periodek siswa asal Mandailing en Angkola. Jumlah dokter asal Mandailing Angkola sangat banyak dan ditempatkan di berbagai tempat di Hindia (di afdeeling Mandailing en Angkola hanya dibutuhkan dua orang dokter saja).

Pada tahun 1888 docter djawa yang baru ditempatkan di Boeleleng untuk menggantikan dokter djawa sebelumnya. Dokter pertama di Boeleleng adalah Dr Raden Prawiro Admodjo. Dokter yang baru ditempatkan di Boeleleng itu pada tahun 1888 adalah Dr J Emor (asal Minahasa). Sejak kehadirannya di Bali, Dr Emor tetap di Bali hingga pensiun. Pada tahun 1930 Dr J Emor dirayakan penduduk Boeleleng untuk ulang tahun yang ke-70 Dr Emor.

De Indische courant, 28-11-1930: ‘ Dokter Emor 70 tahun. Senin, 24 November, Bapak J. Emor merayakan ulang tahunnya yang ke 70 disini (Singaradja). Dalam acara ulang tahun itu dokter regional, Dr. Weck memberi kata sambutan, Pembicara berikutnya adalah I Goesti Poetoe Djelantik, Anak Agoeng van Boeleleng yang berbicara pada ulang tahun itu atas nama pemerintah kota Bali (Singaradja. Afdeeeling Boeleleng)). Pembicara terakhir adalah ketua perkumpulan Societeit Boeleleng, Bapak Oranje yang dia ingat, antara lain, bahwa Dr. Emor adalah anggota societeit selama 30 tahun dan anggota kehormatan selama 12 tahun terakhir. Dokter Emor telah berada di Bali selama lebih dari 42 tahun usianya. Tahun 1876 J Emor memulai pendidikan kedokteran di Batavia. Segera setelah lulus, pada tanggal 27 Juni 1884, pada usia 24 tahun, J Emor diangkat menjadi dokter pemerintah dan ditempatkan di Depok. Pada tahun 1885 ia dipindahkan ke rumah sakit beri-beri di Buitenzorg, dimana 5.000 penderita dirawat setiap hari. Pada tahun 1887 ia dipindahkan dari Buitenzorg ke penjara wanita di Soerabaja, lalu kemudian pada Februari 1888 ia ditempatkan di Boeleleng (Bali), dimana ia kini masih tinggal. Pada Oktober 1894 ia untuk sementara diperbantukan di Lombok, bekerja untuk ekspedisi Lombok dan kemudian ditempatkan lagi di Boeleleng. Pada tahun 1922 ia mengambil cuti domestik ke Menado, sedangkan pada bulan Agustus tahun yang sama ia ditempatkan di Den Pasar (Zuid Bali) yang merupakan tempat terakhirnya bertugas. Saat ia meninggalkan wilayah itu pada bulan April 1923, dia telah 39 tahun mengabdi dan pensiun dan kemudian menetap di Singaradja hingga ini hari. Dr J Emor masih memiliki klinik kecil disini’. Catatan: di Lombok juga ada seorang dokter djawa yang pengabadiannya mirip dengan Dr J Emor di Bali yakni Dr Raden Soedjono (kini nama rumah sakit di Selong, Lombok Timur).

Di pulau Bali, khususnya di afdeeeling Boeleleng dokter djawa sudah silih berganti. Untuk wilayah yang lebih luas seperti residentie (perwakilan pemerintah pusat) dijabat oleh dokter lulusan Eropa (Belanda). Pada tahun 1930 posisi itu dijabat oleh seorang Belanda Dr Weck. Pada tahun 1930 sudah banyak pribumi yang bergelar dokter setara Eropa (lulusan Eropa-Belanda) dan bahkan sudah ada beberapa yang meraih gelar Ph.D.

Docter Djawa School di Batavia hingga tahun 1875 lama pendidikannya tiga tahun. Kemudian sesudahnya menjadi lima tahun. Pada tahun 1890 lama studi menjadi tujuh tahun. Lulusan terakhir docrer djawa school adalah Tjipto Mangoenkoesoemo yang bersamaan lulus dengan dua dokter asal Padang Sidempoena yakni Dr Abdoel Hakim Nasution dan Dr. Abdoel Karim Harahap pada tahun 1905. Sejak 1892 status docter djawa school ditingkatkan dengan laa pendidikan sembilan tahun yang namanya diubah pada tahun 1902 dengan nama STOVIA. Lulusan pertama STOVIA antara lain Dr Soetomo, Dr Radjamin Nasution dan Dr Sjoeib Proehoeman. Beberapa dokter djawa yang berpengalaman melanjutkan studi ke Belanda yang mana lulusan pertama di Eropa antara lain Dr Abdoel Rivai, Dr Laoh dan Dr Tehupelory. Pada tahun 1918 Dr Soetomo dan Dr Sardjito (alumni STOVIA) melanjutkan studi kedokteran ke Belanda. Setelah itu alumni-alumni STOVIA banyak yang melanjutkan studi ke Belanda seperti Dr Sjoeib Proehoeman, Dr Achmad Mochtar dan Dr Aminoedin Pohan. Satu perempuan muda tahun 1922 setelah lulus HBS Prins Hendrik School di Batavia langsung elanjutkan studi kedokteran ke Belanda yang bernama Ida Loemongga Nasution (tidak melalui STOVIA seperti yang lainnya). Setelah selesai program sarjananya di Belanda (dokter setara Eropa) Dr. Soetomo kembali ke tanah air di Soerabaja. Sementara Dr Sardjito, Dr Sjoeib, Dr Aminoedin tidak segera pulang setelah lulus dokter tetapi melanjutkan ke tingkat doktoral dan mendapat gelar doktor (Ph.D). Ida Loemongga Nasution adalah perempuan pribumi pertama studi ke Belanda dan meraih gelar dokter di Universiteit Utrecht pada tahun 1927 dan kemudian melanjutkan program doktoral dan meraih gelar Ph.D di bidang kedokteran pada tahun 1930 di Universiteit Amsterdam. Dr Ida Loemongga Nasution, kelahiran Padang Sidempoean adalah perempuan Indonesia pertama bergelar Ph.D, ayahnya adalah seorang dokter lulusan Docter Djawa School pada tahun 1902. Dr Ida Loemongga telah menambah daftar sarjana kedokteran dan bergelar Ph.D asal Mandailing en Angkola (sejak 1905 diganti namanya menjadi afdeeling Padang Sidempoean, Tapanoeli) yang sudah lebih dulu berhasil adalah Dr Sjoeib Proehoeman (Rangkuti), Dr Achmad Mochtar (Lubis) dan Dr Aminoedin Pohan. Pada tahun 1938 Dr Sjoeib Proehoeman, Ph.D yang sebelumnya kepalda dinas kesehatan Residentie Tapanoeli, pada tahun 1938 dipindahkan sebagai kepala dinas kesehatan Residentie Riaouw ke Soerabaja untuk mengepalai laboratorium Soerabaja yang kemudian merangkap sebagai kepala dinas kesehatan di Residentie Soerabaja (seentara koleganya yang berasal dari kampong yang sama Dr Achmad Mochtar sebagai kelapa laboratorium di Semarang. Pada tahun 1938 Dr Radjamin Nasution menjadi anggota Volksraad dari dapil Oost Java (kelak menjadi wali kota pertama Kota Soerabaja).

Pada tahun 1939 dari namanya pasti orang Bali diberitakan lulus ujian tingkat pertama (tingkat persiapan) di fakultas kedokteran di Amsterdam (lihat  Haagsche courant, 22-06-1939). Disebutkan di Universiteit van Amsterdam sejumlah mahasiswa dinyatakan lulus dan berhak mendapat gelar dokter dan sejumlah mahasiswa dinyatakan lulus tingkat pertama yang diantaranya adalah A.A.M Djelantik. Dari sekitar 50 yang lulus tingkat pertama hanya Djelantik yang pribumi (Indonesia). Marga Djelantik di Bali tidak asing dan sangat terkenal, berasal dari Singaradja, Boeleleng.

AAM Djelantik lulus tingkat sekolah menengah pada tahun 1937 seperti yang diberitakan surat kabar yang terbit di Semarang, De locomotief edisi 10-06-1938. Disebutkan ujian akhir AMS-B (kini juran IPA) di Jogjakarta. Berdasarkan peraturan 19 Januari 1919, ijazah AMS-B disamakan dengan ijazah HBS 5 tahun. Dari 12 siswa kandidat dinyatakan 12 orang lulus. Pada peringkat pertama adalah Anak Agoeng Madé Djelantik dengan nilai rata-rata 8,53. Nama-nama lainnya adalah Hoo Ie Tiong, Tan Kwie Iet, M. Goenadi, ACCh. Mulder, CJL Wattimena, RWA ​​Dezentje, Tan Hian Bing, Moh. Samhoedi, EJR Poublon dan A Ch. van Rijn. Gagal satu kandidat. Catatan: di Jogjakarta AMS, sementara di Semarang ada HBS. Anak Agoeng Madé Djelantik tidak lama kemudian berangkat ke Belanda (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-08-1938). Disebutkan kapal Ms Christiaan Huygens berangkat dari Batavia tujuan Amsterdam pada tanggal 3 Agustus 1938. Dalam manifest Anak Agoeng Madé Djelantik akan turun di Amsterdam. Orang pribumi yang satu kapal dengannya adalah OK Boestami, Goesti Pangeran Ngabehi, Hasan Harahap gelar Soetan Pane Paroehoem dan anak, KPH Soerjoeatmodjo,  PA Soerjosoemarno dan JL Waworoentoe. Catatan: Soetan Pane Paroehoe adalah salah satu dari tujuh pribumi notaris di Hindia Belanda. Soetan Pane Paroehoem lulus diploma notaris pada tahun 1927 sementara notaris pertama adalag Raden Soewandi lulus 1920. Kelak, Notaris Soewandi pebuat akta pendirian Universitas Indonesia 1950 dan Soetan Pane Paroehoem pembuat akta pendirian Universitas Sumatra Utara (1952).

Anak Agoeng Madé Djelantik boleh jadi adalah putra terbaik pertama Bali yang studi ke Eropa (Belanda). Saat ini, adik-adiknya dan sepupu-sepupunya juga tercatat di sekolah MULO dan AMS di Jawa. Anak Agoeng Madé Djelantik menjadi semacam lokomotif baru yang berasal dari Bali. Di Belanda, Anak Agoeng Madé Djelantik akan melanjutkan studi di sekolah kedokteran (di Amsterdam). Segera setelah tiba di Amsterdam, sebelum memulai perkuliahan Anak Agoeng Madé Djelantik berkunjung ke wali kota Amsterdam. Why?

De Maasbode, 12-09-1938: ‘Jumat malam, Soeltan Pontianak yang pada saat ulang tahu Ratu di negeri kita, berkunjung ke Bussum yaitu ke Wali Kota LJJ Caron, mantan gubernur Celebes yang pada tahun-tahun sebelumnya menjadi Controleur di Pontianak. Bapak. Caron juga menerima tamu lainnya dari Hindia hari ini, seorang pangeran Hindu dari Bali Anak Agoeng Goestie Madé Djelantik yang akan belajar kedokteran di Amsterdam dan sekarang tinggal bersama  Bapak Caron selama beberapa hari. Pada tahun 1929, Bapak Caron adalah Resident Bali dan dengan demikian mengenal sang pangeran’. Catatan: LJJ Caron, menjadi gubernur Celebes (1929-1933). Setahun sebelumnya, AFP Siregar lulus HBS di Medan afdeling-B (jurusan IPA sekarang). Disebutkan pada tahun 1937, AFP Siregar dinyatakan lulus ujian akhir (eindexamen). Setelah lulus sekolah HBS, AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan berangkat ke Batavia untuk selanjutnya melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negeri. Dari Batavia, yang terdaftar di dalam manifest MO Parlindoengan dengan menumpang kapal Indrapoera berangkat dari Batavia tanggal 28 Juli 1937 menuju Marseile (Prancis). Dari kota pelabuhan ini, Parlindoengan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Delft. MO Parlindoengan diterima di fakultas teknik jurusan teknik kimia. Kelak Ir, MO Parlindoengan pada tahun 1950 menjadi direktur Peroesahaan Sendjata dan Mesioe (kini PT PINDAD).

Anak Agung Made Djelantik di Belanda tentu saja tidak sendiri, Meski sang anak bangsawan Boeleleng ini telah saling kenal dengan Wali Kota Asmterdam (LLJ Caron), namun di Belanda sudah sangat banyak pemuda pribumi yang bersekolah dan kuliah. Paling tidak di Belanda masih eksis organisasi mahasiswa Indonesia yang disebut Perhimpoenan Indonesia (PI). Ketua PI sejak tahun 1938 ini adalah Parlindoengan Lubis yang dibantu oleh sekretataris Sidartawan (asal Madoera) dan bendahara Moehamad Ildrem Siregar. Parlindoengan Lubis dan Moehamad Ildrem Siregar sama-sama di fakultas kedokteran Universitas Amsterdam. Parlindoengan Loebis sendiri belum lama lulus ujian yakni pada bulan Januari, 1938 (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 09-02-1938), Seperti disebut di atas, pada tahun 1930 di kampus Amsterdam ini Ida Loemongga Nasution meraih gelar Ph.D di bidang kedokteran.

Perhimpoenan Indonesia sudah didirikan sejak tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging. Pendiri organisasi ini adalah Rodjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, kelahiran Padang Sidempoean. Pada tahun 1922 Dr Soetomo dan kawan-kawan mengubah namanya menjadi Indonesiasche Vereeniging. Lalu pada tahun 1924 Mohamad Hatta dan kawan-kawan mengubah namanya lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia. Sekarang, Perhimpoenan Indonesia dipimpin oleh Dr. Parlindoengan Lubis dan kawan-kawan.

Sudah barang tentu Anak Agung Made Djelantik di dalam komunitas Indonesia di Belanda akan lembih berkembang lagi rasa nasionalismenya. Perhimpoenan Indonesia termasuk salah satu kawah candradimukan dalam soal pemikiran berbangsa. Dr. Soetomo dan Drs Mohamad Hatta dapat dikatakan adalah produk Perhimpoenan Indonesia. Seperti diketahui Drs Mohamad Hatta pada tahun 1939 ini masih berada di pengasingan di Banda setelah sejak 1934 ditangkap di Batavia dan kemudian diasingkan ke Digoel lalu dipinahkan ke Banda. Sementara Dr Soetomo belum lama ini meninggal di Soerabaja.

Di Belanda Anak Agung Made Djelantik terus meelihara hobbinya dengan baik. Anak Agung Made Djelantik sejak di AMS Jogjakarta ikut menekuni permainan olah raga anggar. Di kampusnya di Amsterdam ikut klub anggar dan berpartisipasi dalam lomba antar universitas (lihat Algemeen Handelsblad, 01-03-1940). Anak Agung Made Djelantik masih terdeteksi ikut dalam pertandingan anggara tahun 1941 (lihat Algemeen Handelsblad, 16-05-1941). Selain Anak Agung Made Djelantik, mahasiswa Indonesia yang aktif bermain olah raga di Belanda adalah seorang anak (kelahiran) Depok bernama FKN Harahap. Dalam suatu pertandingan, FKN Harahap pernah mengalahkan pecatur terkenal Belanda Dr Max Euwe (kelak menjadi juara catur dunia).

Pada tahun 1941 Perang Pasifik telah mendekati Indonesia, demikian juga hawa Perang Dunia di Eropa semakin memanas. Hindia Belanda akhirnya diduduki oleh militer Jepang dan Pemerintah Hindia Belanda menyerah pada bulan Maret 1942. Hal yang sama juga dialami negara Belanda yang telah diduki oleh Jerman. Dr Parlindungan Lubis yang anti fasis termasuk yang ditangkap intelijen Jerman dan kemudian Dr Parlindungan Lubis dijebloskan ke kamp konsentrasi NAZI.

Pada awal pendudukan militer Jerman di Belanda perkuliahan sempat terganggu namun di bawah kekuasaan Jerman perkuliahan tetap berjalan. Sudah barang tentu Anak Agung Made Djelantik tetap meneruskan kuliah. Anak Agung Made Djelantik diberitakan lulus ujian kandidat di Gemeente Universiteit (lihat Christelijk sociaal dagblad voor Nederland De Amsterdammer, 06-06-1941). Semua mahasiswa Indonesia tidak ada yang pulang karena selaa penduduk Jepang, hubungan Indonesia dan Belanda terputus. Beberapa mahasiswa Indonesia yang berhasil menyelesaikan kuliahnya antara lain: Drs. Tan Goan Po, meraih doktor (Ph.D) di Universiteit Rotterdam tahun 1942 (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 25-11-1942); Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo di universitas yang sama di Rotterdam tahun 1943 juga meraih gelar Ph.D dalam bidang ekonomi (lihat Algemeen Handelsblad, 13-03-1943). Juga di Universiteit Utrecht Mr. Masdoelhak Nasution juga meraih gelar Ph.D dalam bidang hukum (lihat Friesche courant, 27-03-1943).

Pada tahun 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tidak lama kemudian para pejuang Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun tidak lama kemudian terjadi perang kemerdekaan yang mana ketika tentara Sekutu-Inggris tengah melucuti militer Jepang dan membebaskan para interniran Eropa-Belanda di Indonesia, orang-orang Belanda datang di belakang Sekutu-Inggris dan kemudiaan dibentukan Pemerintahan NICA yang dipimpin oleh Dr HJ van Mook. Kekuatan Belanda-NICA semakin kuat dan akhirnya Pemerintah Republik Indonesia memindahkan ibukota ke Jogjakarta sejak awal tahun 1946. Pada fase inilah Anak Agung Made Djelantik menyelesaikan studinya di Amsterdam. Setelah dinyatakan lulus dan karena sudah ada hubungan komunikasi antara Belanda dan Indonesia, Anak Agung Made Djelantik juga segera pulang kampong (membawa istri orang Belanda).

Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-09-1946: ‘Dr. AA Made Djelantik. Pada tanggal 11 ini tiba di Koeta AA Made Djelantik, putra kedua pemimpin Karangasem, didampingi istri muda Hollandsche.. Dr. Djelantik baru saja lulus di Belanda dan sekarang, setelah absen selama delapan tahun, dengan cuti sekitar dua bulan di Bali, kemudian Dr. Djelantik akan kembali ke Belanda untuk mengikuti program doktoral dua tahun lagi dengan mengambil topik bedah dan penyakit dalam, setelah itu ia berniat menetap di Bali dan khususnya arus politik yang berkaitan dengan hubungan politik antara Belanda dan Indonesia’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar