Laman

Senin, 14 September 2020

Sejarah Manado (30): Mengapa Orang Minahasa Terbanyak di Pulau Jawa Tempo Doeloe? Mengapa Kini Banyak Pulang?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini  

Seberapa banyak orang Minahasa di luar wilayah provinsi Sulawesi Utara pada masa ini?Lalu apakah gambaran migrasi sekarang mencerminkan masa lampau? Migrasi penduduk Sulawesi Utara pada masa lampau terbilang yang terbanyak ke pulau Jawa dibandingkan dari daerah (ernik) lain. Hasil Sensus Penduduk 1920 sebanyak 9.463 penduduk Minahasa di pulau Jawa. Jumlah ini untuk ukuran masa kini sangat sedikit, namun jumlah itu begitu banyak pada satu abad yang lampau.

Pada masa ini, berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 migrasi seumur hidup keluar dari provinsi Sulawesi Utara sebanyak 217.774 jiwa. Migrasi seuur hidup keluar adalah tempat lahir di provinsi Sulawesi Utara tetapi tempat tinggal sekarang berada di luar provinsi. Sementara berdasarkan Survei Antar Sensus (Supas) 2015 jumlah migrasi seumur hidup keluar ini sebanyak 195.544 jiwa. Ada penuruan, suatu indikasi para perantau (migran) banyak yang pulang. Pola menurun juga terlihat pada jumlah migrasi risen yang mana pada tahun 2010 sebanyak 45.473 jiwa dan pada tahun 2015 menjadi sebanyak 35.851 jiwa. Migrasi risen adalah tempat tinggal lima tahun sebelum pencatatan berbeda dengan tempat tinggal saat pencatatan.

Lantas mengapa orang Minahasa banyak merantau, paling tidak untuk tujuan migrasi pulau Jawa? Tentu ada sebab-sebabnya. Antara Minahasa dengan Jawa tidaklah dekat. Oleh karena itu, banyaknya orang Minahasa di Jawa tempo doeloe menjadi sangat menarik untuk dipelajari. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan untuk meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Migrasi Penduduk pada Era VOC: Migrasi Masuk ke Minahasa

Sejarah migrasi di Indonesia (baca: sejak Hindia Timur) dapat dibagi menjadi beberapa era: VOC, Hindia Belanda (termasuk era Inggrsi), era Jepang, era perang kemerdekaan dan era Republik Indonesia. Pada era VOC sudah ada perpindahan penduduk antar tempat, baik karena kerjasama penduduk dengan orang Spanyol, Portugis dan Belanda, juga karena faktor eksisnya kerajaan-kerajaan lokal yang bekerjasama satu sama lain. Kerjasama Kerajaan Ternate dengan kerajaan-kerajaan di semenanjung Celebes (seperti Minahasa, Bolaang Mongondow dan Gorontalo) menjadi satu faktor orang Ternate migrasi ke semenanjung dan sebaliknya seperti orang Manado dan Gorontalo banyak yang bermukim di Ternate.

Perpindahan penduduk pada era tersebut tidak dapat dianggap spontan (sukarela) tetapi lebih pada kepentingan perdagangan dan pemerintahan (terutama pertahanan). Hal itulah mengapa ada orang Ternate daan Jawa di Manado pada fase awal. Di Batavia sendiri orang pendatang terutama berasal dari Bali dan Melajoe. Orang Ambon, Ternate, dan Tambora serta Bima dan Banda juga munyusul di Batavia. Lalu kemudian disusul oleh orang Boegis dan Makassar.

Sebagaimana, orang Batak, orang Bali dan orang Minangkabau, orang Minahasa bukanlah pelaut. Oleh karena itu, orang Minahasa jarang secara sukarela berpindah ke tempat lain. Sebaliknya orang Ternate, Boeton, Mandar, Makassar dan Boegis sebagai pelaut banyak yang menetap di tempat jauh dari asalnya bahkan hingga Timor, Bali, Lombok, Borneo, Sumatra dan sememanjung Malaka. Banyaknya orang Bali di Batavia karena faktor kebutuhan tenaga kerja dan tentara untuk Pemerintah VOC. Kerjasama orang Belanda dengan Radja(-Radja) Bali sudah terbentuk sejak kedatangan orang Belanda pertamakali pada tahun 1597 yang dipimpin Cornelis de Houtman.

Orang-orang Belanda yang dipimpin admiral van Broek pada tahun 1605 berhasil mengusir orang Portugis dari Amboina dan menyebabkan adanya poros Belanda (VOC) Bali, Timor, Banda dan Amboina. Seeakin menguatnya VOC, orang Portugis keudian terusir dari Ternate (yang mana sebelumnya orang Portugis mengusir orang Spanyol). Poros Belanda (VOC) dari Amboina diperluas ke Ternate. Pada saat inilah posisi (kwerajaan) Ternate sangat di kawasan semenanjung Celebes. Dalam hal ini migrasi di semenanjung Celebes lebih dominan migrasi masuk. Sementara penduduk di semenanjung masih terbatas di seputar di kawasan (pantai dan perairan), sedangkan penduduk Minahasa hanya terbatas di pedalaman (berinteraksi dengan penduduk di pantai-pantai dalam berdagang).

Orang-orang Minahasa yang baru mulai terbuka (karena kedatangan dan intensitas misionaris-zending) pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda secara bertahap mulai ada yang menetap di luar wilayah terutama di Ambon. Kehadiran orang Minahasa di Ambon dan Ternate terutama untuk urusan pendidikan (zending) dan pemerintahan. Saat itu, pintu masuk ke Minahasa terutama di tiga pelabuhan utama: Kema, Manado dan Amoerang. Tiga pelabuhan ini tidak hanya membuka isolasi penduduk Minahasa tetapi juga secara cepat terjadi pertumbuhan ekonomi (perdagangan) dan perkembangan sosial (keagamaan dan pendidikan). Era ini terjadi pada era kehadiran misionaris Nicolaas Graafland (sejak 1851). Dengan modal pendidikan inilah kemudian orang Minahasa memiliki akses yang kuat pada (pejabat-pejabat) Pemerintah Hindia Belanda yang memicu penduduk orang Minahasa mulai bertempat tinggal jauh dari tempat asal. Sistem pendidikan Pemerintah Hindia Belanda meneruskan sistem pendidikan yang dikelola zending.

Orang Minahasa yang berpindah ke luar wilayah ini terutama setelah sekolah guru (kweekschool) di Tondano mengahasilkan guru-guru. Sekolah guru di Tondano dibuka pada tahun 1873. Para guru-guru ini banyak yang mengisi kekosongan guru di Amboina, Ternate dan wilayah-wilayah semenanjung (di luar wilayah Minahasa). Guru-guru misionaris asal Minahasa juga banyak yang dikirim ke luar wilayah bahkan ke Jawa (untuk mebantu pusat zending Belanda dan cabang-cabangnya).

Sejak dimekarkannya Residentie Ternate dengan membentuk Residentie Manada (1834) wilayah semenanjung yang berpusat di Manado semakin cepat berkembang, tidak hanya dalam bidang pemerintahan tetapi juga dalam bidang perdagangan (dengan adanya introduksi koffiecultuur). Pelabuhan Kema dan pelabuhan Manado menjadi terhubung dengan pelayaran antara pulau (yang berpusat di Batavia). Keteraturan jadwal pelayaran ke dua pelabuhan ini dengan pelabuhan-pelabuhan di tempat lain memungkinan arus migrasi (masuk dan keluar) semakin deras. Orang-orang Minahasa yang telah memiliki pendidikan dasar menjadi lebih mudah adaptif ketika ditempatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda maupun kantor zending ke wilayah lain. Pemerintah Hindia Belanda mulai merekrut orang Minahasa sebagai tentara.

Terjadinya ketidakstabilan politik khususnya di Bali dan Lombok menjadi pemicu bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk merekrut tentara dari semenanjung Celebes khususnya dari wilayah Minahasa. Pasukan-pasukan pribumi pendukung militer Pemerintah Hindia Belanda yang sebelumnya dari Bali digantikan dari wilayah Minahasa dan sekitar. Pada awal Pemerintah Hindia Belanda mulai banyak konflik di Bali dan Lombok, tentara asal Bali semakin sulit diperoleh. Pada situasi inilah didatangkan dari Minahasa terutama pada era Perang Jawa (1825-1830), banyak tentata yang berasal dari Minahasa yang membantu pasukan Pemerintah Hindia Belanda dan sejak saat itu gelar militer di wilayah Minahasa diberikan kepada beberapa kepala suku. Pasca Perang Jawa, pasukan pribumi yang berasal dari Jawa juga mulai direkrut dan telah menggantikan pasukan yang secara historis banyak dari Amboina, Banda, Ternate, Boegis dan Makassar serta wilayah Melajoe. Khusus dari Amboina dan pulau-pulau di selatannya Noesa Laoet, Saparoea dan Haroekoe tetap dipertahankan. Hal ini terjadi karena situasi dan kondisi di Jawa lebih kondusif pasca Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) sementara suhu politik semakin meningkat di Zuid Celebes (Makassar dan Boegis). Pasukan dari Ambon tetap eksis (karena di wilayah Amboina terbilang kondusif setelah perang Pattimura (1817). Hal itulah mengapa tentara asal Amboina dan sekitar tetap eksis di kesatuan militer Pemerintah Hindia Belanda (bahkan hingga detik-detik pengakuan kedaulatan Indonesia (1950).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sensus Penduduk 1920: Migran Minahasa Terbanyak di Jawa

Pola migrasi telah beberapa kali berubah sejak era VOC. Pemerintah VOC mengubah pola migrasi dengan merekrut penduduk untuk kebutuhan tenaga keraja dan tentara. Pada era Pemerintah Hindia Belanda terutama pada awal tahun 1900an pemerintah merekrut banyak penduduk pribumi dari Minahasa, Ambon, Timor dan Oeliasser (Noesa Laoet, Saparoea en Haroekoe). Minahasa dan Timor tampaknya telah menggantikan posisi Boegis-Makasar dan Bali. Faktor inilah yang menyebabkan salah satu sebab utama mengapa orang Minahasa di Jawa sebelum tahun 1920.

Tentu saja orang-orang Minahasa di Jawa tidak hanya tentara atau eks tentara tetapi juga para pemuda yang bersekolah dan orang-orang Minahasa yang bekerja di lingkungan cabang-cabang zending di Jawa. Namun jumlah yang berprofesi sebagai tentara menjadi jumlah yang signifikan. Jumlah perekrutan tentara dari Minahasa secara perlahan berkurang sehubungan dengan perekrutan tentara oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan wilayah (Residentie).

Menurut hasil sensus penduduk 1930 pola migrasi telah berubah. Untuk wilayah Celebes, arus migrasi yang signifikan justru dari Makassar ke Manado (lihat gambar; Volkstelling 1930 = Census of 1930 in Netherlands Indie, 1936). Arus besar terjadi dari Jawa ke Sumatra Timur. Untuk tujuan migrasi Sumatra Timur juga terdapat arus migrasi yang besar dari Tapenoeli. Dari Sumatra Barat menuju Sumatra Timur cukup signifikan.

Migrasi dari Jawa juga cukup signifikan menuju Lampoeng. Migran yang menuju Lampong juga datang dari Pelembang. Migran dari Makassar tidak hanya menuju Manado tetapi juga menuju Kalimantan Timur, Jambi dan menuju Sumatra Timur. Migran dari Makassar juga cukup signifikan menuju Maluku dan Papoea. Dalam hal ini hanya tiga daerah yang terbilang sangat signifikan melakukan migrasi pada tahun 1930an yakni dari daerah asal Jawa, Tapanoeli dan Makassar (Zuid Celebes).

Jumlah migran semasa hidup penduduk Minahasa di Jawa tampaknya telah mengalami penurun yang mana pada hasil sensisi penduduk 1920 sebanyak 9.463 jjiwa hanya sebanyak 7.740 jiwa pada hasil sensus penduduk 1930.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar