Laman

Rabu, 23 September 2020

Sejarah Manado (39) Sejarah Kebandaraan Sulawesi Utara Dimulai di Kakas; Bandara Mapanget Menjadi Bandara Sam Ratulangi

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini 

Pada masa ini di provinsi Sulawesi Utara terdapat sejumlah lapangan terbang atau bandar udara (bandara) baik yang berskala nasional, internasional maupun berskala perintis. Yang tertua adalah bandara Sam Ratulangi yang dulu disebut lapangan terbang Mapanget dan yang terbaru adalah bandar udara perintis di pulau Miangas. Semua itu bermula dari satu satu, yakni lapangan terbang di Kakas (Minahasa).

Bandara terbesar di provinsi Sulawesi saat ini adalah bandara (internasional) Sam Ratulangi yang berjarak 13 kilometer di sebelah timur laut dari kota Manado. Pada awalnya bandara Sam Ratulangi ini dikenal sebagai lapangan terbang Mapanget. Lapangan terbang lainnya di provinsi Sulawesi Utara masa ini adalah lapangan terbang di Bolaang (Kabupaten Bolaang Mongondow; bandara Melonguane (kabupaten Kepulauaan Talaud); bandara Siau (kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro); bandara Indonesia (nasional) Naha (kabupaten Kepulauaan Sangihe); dan bandara yang baru yang berada di pulau Miangas (kabupaten Kepulauan Talaud).

Bagaimana sejarah kebandaraan di provinsi Sulawesi Utara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Seperti disebut di atas, bermula di Minahasa (Kakas). Mengapa? Lalu mengapa dibangun bandara baru di Mapanget untuk menggantikan Mapanget? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Lapangan Terbang Kakas di Minahasa

Manado, Kema dan Amoerang di Semenanjung Sulawesi adalah pelabuhan-pelabuhan kuno, bahkan sudah disinggahi oleh kapal-kapal dagang sejak era Spanyol dan Portugis. Namun untuik soal kebandaraan terbilang baru di Indonesia (baca: Hindia Belanda). Untuk wilayah Hindia Belanda bagian timur baru dimulai pada tahun 1937 (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 23-01-1937). Disebutkan untuk pengawasan udara yang lebih baik di Groote Oost (baca: Indonesia Timur), lapangan udara akan didirikan di Boeton, Makassar, Ambon dan New Guinea yang juga akan digunakan oleh penerbangan sipil.

Pada hari Jumat tanggal 21 November 1924 pesawat Foker F-VII mendarat di lapangan terbang Polonia Medan. Itu berarti pesawat pertama Belanda yang berangkat dari Amsterdam pada tanggal 1 Oktober telah tiba di Hindia (menempuh 15.899 Km dalam 20 hari terbang; sisia hari untuk istirahat dan perbaikan). Panitia Penerbangan Hindia Belanda langsung mengirim telegram ke Ratu Wilhelmina dan sang Ratu langsung mengirim ucapan selamat. Ucapan selamat juga disampaikan kepada tiga penerbang dan langsung mendapat bintang (lihat De Zuid-Willemsvaart, 25-11-1924). Disebutkan para penerbang itu adalah Commandant van der Hoop, Luitenant van Woerden Poelman dan mekanik van den Broek. Hanya dua penerbang yang tiba di Hindia, Luitenant van Woerden Poelman ditinggal di India (Inggris) untuk diganttikan oleh penerbang Hindia Belanda yang lebih memahami wilayah Hindia Belanda. Pada hari Sabtu pesawat F-VII berangkat ke Singapura dan keesokan harinya ke Muntok (Bangka) dan hari Senin dilanjutkan menuju Batavia. Itulah kisah awal penerbangan di Hindia Belanda. Dalam hal ini sudah teridentifikasi lapangan terbang yang telah dibangun, di Medan, Muntok (Bangka) dan Batavia (Tjililitan).

 

Sebelumnya sudah ada beberapa lapangan terbang dibangun untuk keperluan militer seperti di Kalidjati (Soebang). Keberadaan lapangan terbang militer di Bali paling tidak sudah diketahui pada tahun 1920 yang terletak di Singaradja (lihat De locomotief, 24-04-1920). Lapangan terbang ini adakalanya digunakan oleh Inggris jika pesawat-pesawatnya dari Singapoera ke Australia. Lapangan terbang yang berada di Tjililitan, Andir, Muntok, Palembang, Telok Betong, Semarang dan Soerabaja dan Medan awalnya dibangun untuk kebutuhan militer. Lapangan-lapangan terbang inilah yang kemudian diperluas dengan menambah panjang landasan pacu untuk kebutuhan penerbangan sipil. Lapangan terbang militer juga sudah ada dibangun di Balikpapan (pengamanan kilang minyak). Lapangan terbang militer juga sudah dibangun di Tarakan, Donggala, Kampoengbaroe. Menado, Poso serta Ambon dan Koepang.

Setelah banyaknya penerbangan militer (angkatan laut) Hindia Belanda mulai dioperasikan penerbangan sipil yang diselenggarakan maskapai Belanda. Penerbangan sipil tersebut awalnya sangat terbatas dan berjarak pendek, dari Batavia ke Bandoeng (lapangan terbang Andir), ke Telok Betong dan Semarang. Kemudian penerbanga sipil ini diperluas hingga ke Soerabaja. Terselenggaranya penerbangan sipil ini karena sudah ada lapangan terbang militer yang digunakan oleh maskapai tersebut.

Pesawat terbang sudah dikenal lebih awal daripada adanya bandara di berbagai tempat di Hindia Belanda. Pesawat terbang itu menjadi bagian dari skuadron militer (angkatan laut) yang secara reguler mengunjungi sejulah pelabuhan di Hindia Belanda. Pesawat terbang itu berada di kapal induk yang dapat diturunkan ke air (perukaan laut( lalu diterbangkan untuk mengitari sekitar kawasan dimana kapal induk itu berada. Lalu pesawat terbang itu kembali mendarat di dekat kapal yang kemudian ditarik oleh kapal pengiring lalu diderek kembali ke atas kapal. Hal ini sering dilakukan di pelabuhan Ampenan (Lombok), pelabuhan Amboina, pelabuhan Makassar dan pelabuhan Kema (Manado). Pada tahun 1935 sudah pernah dicoba penerbangan sipil dari Soerabaja ke Makassar tetapi tidak berlanjut dan baru mulai dioperasikan pada tahun 1937. Lapangan terbang Makassar berada delapan belas kilometer ke arah Maros.

Pengoperasian penerbangan sipil (KNILM) dari (pulau) Jawa kemudian diperluas ke Sumatra dari Batavia ke Medan dengan membangun lapangan terbang penghubung di Palembang dan Padang serta Pekanbaroe. Untuk wilayah Indonesia Timur pembangunan bandara baru digagas sehubungan dengan suhu politik dan kemungkinan meletusnya perang Pasifik. Pembangunan bandara tahun 1937 akan digunakan untuk kebutuhan sipil dan juga militer seperti yang disebut di atas yakni Makassar, Boeton dan Amboina.

Jalur penerbangan sipil pertama di Indonesia Timur pertama kali dioperasikan pada bulan September 1937 antara Soerabaja dan Makassar (lihat Soerabaijasch handelsblad, 21-09-1937). Penerbangan pertama ini dengan jumlah penumpuang sebanyak delapa orang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-09-1937).

Segubungan dengan persiapan pengoperasian penerbangan sipil di Makassar (dari Soerabaja), dewan kota (gemeenteraad) Manado mulai membahasnya untuk memperluas jalur Soerabaja dan Makassar ke (residentie) Manado (lihat De Indische courant, 03-08-1937). Dalam pembahasan ini mencakup pengoperasian jalur dan juga pembangunan bandara (seipil). Lapangan terbang militer sudah ada di Manado (sering digunakan oleh militer angkatan laut). Namun untuk kebutuhan sipil, lapangan terbang Manado tersebut tidak layak dan harus ditentukan dimana lapangan terbang baru dibangun. Lapangan terbang sipil ini kemungkinan dihubungan dengan Tarakan dan Manila. Pihak maskapai sudah diberitahukan kepada dewan tentang persyaratan lapangan terbang yang akan dibangun (lihat Algemeen Handelsblad, 10-08-1937).

Persyaratan yang ditentukan maskapai tampaknya sulit bagi kota (Gemeente) Manado, karena tidak ada lokasi yang sesuai dan yang sesuai justru berada di luar Gemeente Manado. Jika itu yang terjadi Wali Kota Manado tidak dapat bersikap aktif karena sudah menjadi otoritas wilayah yang lebih tinggi (Wali Kota hanya terlibat secara tidak langsung).

Pembangunan lapangan terbang baru di Semenanjung Sulawesi, sesuai persyaratan maskapai yang tidak bisa dipenuhi Gemeente Manado akhirnya lokasi yang sesuai ditentukan di Minahasa (Kakas). Pertimbangan yang memperkuat posisi di Kakas karena pasukan cadangan militer berada di Minahasa. Keberadaan lapangan terbang di Kakas akan sendiirinya akan mempercepat dengan komando militer yang sangat diperlukan. Posisi GPS dimana lokasi lapangan terbang akan dibangun mulai dicari. Dala jangka pendek ingin mengutamakan perlindungan udara sipil, namun dalam jangka panjang itu harus menjadi koneksi udara antara Jawa dan daerah penting di Sulawesi Utara.  Pada saat ini Nanking telah dibom dua kali hari ini oleh pesawat Japang (lihat Haagsche courant, 22-09-1937).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lapangan Terbang Mapanget di Manado

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lapangan Terbang Perintis di Naha, Bolang, Siau, Melonguane dan Miangas

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar