Laman

Kamis, 22 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (32): Sejarah Bulungan, Tidung dan Malinau; Ibu Kota Kalimantan Utara di Tanjung Selor Kabupaten Bulungan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Utara di blog ini Klik Disini 

Tempo doeloe sangat terkenal Boeloengan dan Tanah Tidung, Boeloengan di daerah aliran sungai Kayan dan Tanah Tidung di daerah aliran sungai Sesayap. Pada era Republik Indonesia dua wilayah ini disatukan menjadi satu kabupaten di provinsi Kalimantan Timur: Kabupaten Bulungan. Kini, kabupaten Bulungan telah dimekarkan kembali dan hasil pemekaran itu plus Kota Tarakan (yang dinaikkan statusnya menjadi Kota tahun 1997) kemudian disatukan dengan membentuk satu provinsi baru: Kalimantan Utara.

Provinsi Kalimantan Utara terbentuk pada tahun 2012 yang terdiri dari kabupaten Bulungan, kabupaten Nunukan, kabupaten Malinau, kabupaten Tana Tidung dan Kota Tarakan. Sebelum pembetukan provinsi Kalimantan Utara, kabupaten Bulungan dimekarkan dengan membentuk kabupaten Nunukan dan kabupaten Malinau pada tahun 1999. Pada tahun 2007 kembali kabupaten Bulungan dimekarkan dengan membentuk kabupaten Tana Tidung. Dala pembentukan provinsi Kalimantan Utara pada tahun 2012 dipilih dan ditetapkan ibu kota di Tanjung Selor (yang juga ibu kota kabupaten Bulungan)..

Lantas bagaimana sejarah Bulungan dan Tana[h] Tidung? Yang jelas dua nama wilayah ini sudah dikenal sejak lama. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, Tanah Tidung (Tidoengsche Landen) berbatasan langsung dengan wilayah yurisdiksi Inggris di Sabah yang disebut British North Borneo. Lalu bagaimana sejarah Bulungan dan Tana Tidung serta Malinau? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Bulungan dan Tidung

Pada tahun 1824 (Traktat London, 1824) batas-batas wilayah yurisdiksi antara Pemerintah Hindia Belanda dan Inggris dipertegas, selain tukar guling antara Bengkoelen dan Malaka juga batas Borneo Utara. Batas-batas itu baru sebatas di daratan. Pulau Sebatik belum disepakati apakah masuk wilayah yurisdiksi Inggris atau Pemerintah Hindia Belanda. Wilayah yurisdiksi Inggris diidentifikasi sebagai Gebied van Soeloe dan wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda diidentifikasi sebagai Tidoengsche Landen.

Pada Peta 1859, dua nama tempat yang penting di wilayah Tidoengsche Landen adalah (kota) Temelingan Djawa dan (kota) Telokipil. Sementara di wilayah Boeloengan nama tempat penting adalah (kota) Boeloengan atau Tandjoeng Pelas (di daerah aliran sungai Kaijan atau Boeloengan). Nama kampong Sesajap berada di daerah aliran sungai Seboewang (yang di hulu disebut sungai Melinau). Pada tahun 1850 Residen Zuid en Oostkust van Borneo yang berkedudukan di Bandjarmasin mengunjungi (kerajaan) Koetai di Tenggarong yang diakhir dengan penandatangan perjanjian. Wilayah-wilayah di utara (Berousche Landen, Boeloengan dan Tidoengsche Landen) adalah wilayah yang terpisah dari kerajaan-kesultanan Koetai.

Meski Koetai, Berau, Boeloengan dan Tidoeng adalah wilayah yusrisdiksi Pemerintah Hindia Belanda, tetapi nyaris tidak pernah ada kehadiran pedagang-pedagang Belanda, tetapi yang lalu lalang di pantai timur Borneo tersebut adalah pedagang-pedagang Inggris. Boleh jadi pedagang-pedagang Belanda masih khawatir karena pada tahun 1825 (pasca Traktat London 1825) seorang pejabat Belanda yang tengah melakukan ekspedisi dan berkunjung ke Koetai terbunuh.

Pada tahun 1827 seorag pedagang Inggris John Dalton berdagang di daerah aliran sungai Koetai (di Samarinda). John Dalton hanya bertahan selama 11 bulan (karena dia merasa terancam dan melarikan diri ke Mamoedjoe (Celebes). Baru setelah tahun 1840, dua pedagang Inggris kembali ke Koetai (GP King dan Joseph Carter). Pada tahun 1844 kapal pedagang Inggris terdampar di pantai Berau yang kemudian dirampas (semacam Tawan Karang di Bali). Hingga tahun 1850 Berau, Boeloengan dan Tidoeng meski secara dejure telah masuk wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda, tetapi secara defacto adalah wilayah yang masih bebas, tidak terikat perjanjian dengan siapapun (independen).

Hingga tahun 1850 Berau, Boeloengan dan Tidoeng meski secara dejure telah masuk wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda, tetapi secara defacto adalah wilayah yang masih bebas, tidak terikat perjanjian dengan siapapun (independen). Pada tahun 1850 Residen Zuid en Oostkust van Borneo JGA Gallois ke Koetai yang didampingi oleh H van de Wall. Pada tahun 1851 pejabat urusan pantai timur Borneo (H von de Wall ) yang berkedudukan di Bandjarmasin kembali datang ke Samarinda untuk menyerahkan dokumen kontrak (antara Pemerintah Hindia Belanda dan Soeltan Koetai) sesuai kesepakatan dengan Residen pada tahun 1850 (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 19-11-1851). Disebutkan, dengan kapal (perang) Doris de Wall dari Samarinda melakukan perjalanan ke Berau. Pada tanggal 1 Juni 1851 tiba di Boeloengan. Pada tanggal 2 Juni  seorang penduduk asli yang diduga datang dari Tidoeng melaporkan mereka telah diperbudak oleh para perampok (bajak laut).

Kapal Doris ini diduga adalah kapal patroli pertama Pemerintah Hindia Belanda yang mengunjungi hingga wilayah Boeloengan. Wilayah ini tampaknya telah menjadi target baru para bajak laut. Sehubungan dengan pembentukan cabangan pemerintahan di Manado (sejak 1826), secara perlahan wilayah sasaran bajak laut di perairan Teluk Tomini telah terusir karena meningkatnya intensitas patroli Makassar ke Ternate dan Manado dan dari Makassar ke Toli-Toli dan Manado. Selain wilayah perbatasan di ujung pantai timur pulau Borneo, juga bajak laut masih beroperasi di selatan pulau Bali dan Lombok. Pulau Balabalagan juga kerap dijadikan tempat persembunyian para bajak laut.

Sehubungan dengan persiapan pembentukan cabang pemerintahan di Koetai dan wilayah Noordoostkust van Borneo (GoenoengTaboer dan Sambalioeng Boeloengan dan Tidoeng) Pemerintah Hindia Belanda mengirim para ahli geografi sosial. Seperti biasanya untuk meningkatkan pemahaman wilayah, pemerintah mengirim ahli ke wilayah yang bersangkutan. Pada tahun 1840 mengirim ahli geologi dan botanis Zung Huhn ke Tapanoeli, lalu pada tahun 1840 Dr Schwaner ke wilayah selatan, barat dan timur Borneo. Pada tahun 1846 mengirim geolog dan botanis Heinrich Zollinger ke Bali dan Lombok. Lalu gilirannya mengirim seorang ahli ke Noordoostkust van Borneo. Sehubungan dengan berakhirnya jabatan Residen Zuid en Oostkust van Borneo JGA Gallois, seperti pejabat lainnya menulis laporan. Dalam laporan ini termasuk tentang wilayah Noordoostkust van Borneo yang dimuat pada Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indiƫ, 1856,

Dalam laporan ini disebutkan bahwa hubungan pangeran Berou dan Boelongan sama sekali tidak bersahabat. Amiril Mohammed Khahar-Oeddin, yang sekarang memerintah Pangeran Bulongan. Lanskap Tidoeng, sebelumnya milik Boelongan di bawah Berou, tetap menjadi wilayah Boeloengan sejak pemisahan Boelongan dari Berao akan tetapi Sultan Goenoeng Teboer menyatakan bahwa saat ini Tidungers terkadang memberikan upeti kepadanya. Para pangeran dari delapan suku Tidung yang berbeda tersebut adalah keturunan Bulongan atau sangat dekat dengan rumah Bulongan dan dikenal sebagai vasal Amiril. Pada saat ini radja-radja yang diakui dan mendapat legitimasi dari pemerintah (yang juga mendapat gaji) adalah sebagai berikut (lihat Almanak 1858): Koetai (sejak Oktober 1850); Goenoeng Taboer (Oktober 1850); Sambalioeng (November 1850); Boeloengan en Tidoeng (November 1850); dan Pasir (1857).

Pada tahun 1858 secara resmi dibentuk cabang pemerintahan Hindia Belanda di Koetai dengan menempatkan Asisten Residen di Samarinda. Sehubungan dengan kehadiran Asisten Residen, persiapan sudah dilakukan sebelumnya dari kantor Residen di Bandjarmasin. Dalam satu laporan tentang perkebangan di pantai timur Borneo hanya mencatat wilayah Koetai, Sambalioeng, Goenoeng Taboer dan Buloengan (lihat Samarangsch advertentie-blad, 07-05-1858). Ini seakan bahwa intensitas perhatian pejabat pemerintah Hindia Belanda baru sebatas wilayah Boeloengan. Juga disebutkan beberapa pedagang disana, termasuk Cina dan Eropa, memiliki keinginan untuk menetap di daerah-daerah itu. Bagaimana dengan Tidoengsche Landen?

Sejak 1859 perhatian Pemerintah Hindia Belanda lebih tertuju tentang perkembangan politik di Bandjarmasin. Ini semakin meningkatnya perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Antarasari dan para pengikutnya. Asisten Residen Koetai GH Dahmen mendapat mendapat beban tambahan untuk membendung pengikut Pangeran Antasari ke wilayah perbatasan Koetai seperti di Boven Doesoen (Muara Teweh). Oleh karena itu, pengembangan wilayah yang seharusnya dilaksanakan oleh GH Dahmen menjadi terhambat. Situasi dan kondisi baru mulai kondusif pada tahun 1864. Namun GH Dahmen pada bulan Juni 1864 diberitakan meninggal di Moeara Teweh. Kekosongan posisi Asisten Residen di Samarinda terbilang lama sehingga proses pembentukan cabang pemerintahan ke Boeloengan dan Tidoeng tetap tidak terealisasi. Meski demikian secara random patroli militer juga dilakukan hingga Boeloengan.

Pada tanggal 16 November 1863 kapal perang Zr Ms de Vecht berangkat ke pantai timur Borneo. Kapal ini memasuki sungai Sesajap kerajaan Tidoeng (lihat Bataviaasch handelsblad, 09-12-1863). Disebutkan bahwa kapal ini menemukan kapal perang yang tidak berbendera tricolor di daerah aliaran sungai Sesajap ini. Tidak disebutkan kapal perang siapa. Boeleh jadi pemilik kapal perang itu adalah milik para pengikut Pangeran Antasari ada yang menyingkir ke sungai Sesajap atau boleh jadi kapal itu adalah kapal para bajak laut.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Malinau

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar