Laman

Minggu, 04 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (5): Sejarah Kalimantan Utara Ibu Kota Tanjung Selor di Bulungan; Pulau Tarakan Pulau Nunukan Pulau Sebatik

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Utara di blog ini Klik Disini 

Pada jaman kuno (pada era Portugis) wilayah Kalimantan terbagi dalam tiga bagian besar karena posisi tiga nama tempat (kota) yang cukup berpengaruh di seputar pulau Kalimantan. Tiga nama tempat berpengaruh ini yang membesarkan tiga kerajaan yang kemudian sangat berpengaruh yakni Boernai, Soekadana dan Bandjermasin. Meski nama pulau ini sudah disebut penduduk asli sebagai Kalimantan, tapi orang-orang Portugis mengidentifikasinya dengan nama Borneo (lapal orang Portugis terhadap Boernai). Orang-orang Portugis yang berpusat di Malaka terhubung secara intens dengan (pelabnhan) Boernai. Gambaran ini masih tercermin pada era Belanda (VOC dan Pemerintah Hindia Belanda) yang berpusat di Batavia.

Pada akhir VOC (Belanda) dan pada fase transisi (Prancis, Inggris dan Belanda) pulau Kalimantan sudah terpolarisasi menjadi hanya dua wilayah: utara dan selatan. Bagian utara menjadi wilayah yurisdiksi Inggris dan wilayah selatan menjadi wilayah yurisdiksi Belanda. Setelah pendudukan Inggris atas Jawa dan Maudara (1811-1816) wilayah Hindia Timur secara keseluruhan kembali ke Belanda. Namun masih ada yang dianggap mengganjal antara Inggris dan Belanda. Lalu dilakukan perundingan pada tahun 1824 dengan kesepakatan tukar guling antara Bengkoelen (Inggris) dan Malaka (Belanda) yang dikenal sebagai Tractat London 1824. Dengan demikian batas-batas yurisdiksi antara Inggris dan Belanda clear en clean. Belanda (VOC) merampas Malaka dari Portugis tahun 1643. Sedangkan Inggris mencengkeram Bengkoelen sejak tahun 1778. Catatan: pembagian pulau Papoea tidak dipersoalkan antara Inggris (timur) dan Belanda (barat). Belanda juga tidak mempersoalkan sisa Portugis di (pulau) Timor. Lalu sistem pemerintahan dimulai. Inggris membentuk cabang pemerintah di Brunei yang mencakup wilayah Kalimantan Utara dan Belanda membentuk cabang pemerintahan di Bandjarmasin (selatan dan timur Kalimantan) dan kemudian dibentuk di Pontianak (barat Kalimantan).

Lantas bagaimana sejarah awal (provinsi) Kalimantan Utara? Nah itu dia tadi. Pulau Borneo atau Kalimantan yang telah menjadi bipolar (utara Inggris dan selatan Belanda). Pusat Belanda yang awalnya di Bandjarmasin dimekarkan ke arah barat (Pontianak). Sisa selatan-timur yang (masih) berpusat di Bandjarmasing pada awal Republik Indonesia dimekarkan di timur (Koetai-Samarinda). Masih pada era Republik Indonesia ini, (provinsi) kembali Kalimantan Selatan dimekarkan dengan membentuk (provinsi) Kalimantan Tengah. Lalu yang terakhir Kalimantan timur dimekarkan dengan membentuk (provinsi) Kalimantan Utara dengan ibu kota di Tanjung Selor. Dengan demikian lengkap sudah pembagian wilayah (pulau) Borneo atau Kalimantan. Dalam garis continuum inilah kita melihat sejarah Provinsi Kalimantan Utara, nama yang dulu milik Inggris namun tidak dipakai karena terbentuknya Brunei, Sarawak dan Sabah, Nama Borneo Utara atau Kalimantan Utara dihidupkan kembali ketika provinsi Kalimantan Timur dimekarkan (2013). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan, maka sejarah Kalimantan Utara kita mulai dari permulaan di masa lampau. Okelah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bulungan; Pulau Tarakan, Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik

Inggris pada dasarnya bukan tandingan Belanda (bahkan sejak era VOC). Pesaing kuat Inggris adalah Prancis, namun pengaruh Prancis di Hindia tidak berpengaruh lama. Prancis hanya pernah menguasai pantai barat Sumatra di Air Bangis (era VOC) dan pendudukan Jawa dan Madura yang berlangsung singkat (1795-1811). Sedangkan Inggris dan Belanda, langsung tidak langsung konflik kepentingan berlangsung sepanjang masa. Terakhir soal Bengkoelen dan Malaka yang akhirnya berujung pada perundingan tukar guling antara Malaka dan Bengkoelen (Traktat London 1824). Meski demikian, secara psikologis persaingan terus ada terutama di wilayah pantai timur Sumatra dan pantai timur Borneo (Kalimantan). Di Kalimantan bermula pada tahun 1881.

Sebelum munculnya kasus pantai timur Kalimantan, sudah sejak 1850an keributan-keributan kecil muncul antara Belanda dan Inggris. Ini bermula pasca tukar guling antara Bengkoelen dan Malaka (1824). Wilayah yurisdiksi Ingrris cepat tumbuh dan berkembang terutama di Penang, Malaka dan Singapoera. Sejalan dengan itu hubungan tiga kota ini dengan kota-kota di pantai timur China semakin intens. Pada fase inilah bagian utara Borneo atau Kalimantan yang masuk yurisdiksi Inggris mendapat berkah, diperhatian dan mengalami pertumbuhan yang baik. Sebalijknya, selepas dari Malaka, perhatian Pemerintah Hindia Belanda seakan terfokus di Bengkoelen yang telah diintegrasikan pantai barat Sumatra. Pantai timur Sumatra plus kepulauan Riaow, yang berada tepat di depan halaman Inggris (Semenanjung Malaka) seakan wilayah tak bertuan. Tuannya, Belanda hanya fokus di Jawa dan pantai barat Sumatra serta Palebang plus Kalimantan bagian selatan di Bandjarmasin. Boleh jadi kepulauan Riau dan pantai timur Sumatra sedikit diabaikan Belanda karena mulai sibuk di Celebes. Pemerintah Hindia Belanda tanpa berhenti berperang mulai dari Perang Jawa di Djogjakarta (1825-1830), Perang Padri di pantai barat Suatra (1833-1838) dan Perang Celebes di Sulawesi yang suhunya semakin tinggi pada tahun 1850an.

 

Sejak 1824 kehadiran Pemerintah Hindia Belanda di kepulauan Riau dan pantai timur Sumatra sangat minim jika tidak ingin dikatakan nihil. Sebaliknya wilayah-wilayah ini menjadi surga bagi para pedagang-pedagang Inggris. Bahkan para pedagang-pedagang Inggris tidak malu-malu melakukan kontrak-kontrak perdagangan dengan para pemimpin lokal. Wilayah ini dari Batavia yang jauh tanpa terawasi, menjadi wilayah yang begitu bebas bagi pedagang-pedagang Inggris yang berbasis di Singapoera, Malaka dan Penang. Ketika tiga kota-kota di Semenanjung Malaka ini menjadi makmur, baru orang-orang Belanda khususnya di Batavia menyadari telah kecolongan. Lalu muncul perang pers antara Belanda (pers di Batavia dan dan pers di Singapoera). Pers Belanda menuduh penguasa Inggris di semenanjung tidak bermoral (karena mengeksploitasi perdagangan di Riaow dan Sumatra’s Oostkut), sebaliknya pers Singapoera menuduh Pemerintah Hindia Belanda tidak peduli kehidupan penduduk di Riaouw dan pantai timur Sumatra. Sejak 1850an, saat masih berlangsungnya Perang Celebes inilah Pemerintah Hindia Belanda mulai mengoptimalkan ekonomi dan perdagangan kepulauan Riau dengan mebentuk cabang pemerintahan di Tandjoengpinang (Bintan) tepat berada di hadapan Singapopoera, Nah, lho!

 

Namun pedagang-pedagang Inggris adalah pedagang kelas dunia. Lebih agresif jika dibandingkan dengan pedagang-pedagang Belanda (yang cenderung jago kandang). Pedagang-pedagang Inggris tidak hanya di Semenanjung (Penang, Malaka dan Singapoera) tetapi juga banyak terdapat di pantai barat Sumatra dan Jawa. Bahkan di Lombok terdapat pedagang Inggris yang sukses (sejak 1833) yakni GP King, Setelah dibentuknya cabang peerintaan di kepulauan Riau (yang juga dengan sendirinya memperkuat cabang pemerintahan di Pontioanak) para pedagang-pedagang Inggris di kepualuan Riaou terusir seiring dengan mulai masuknya investor-investor baru dari Jawa khususnya Batavia. Namun, pedagang-pedagang Inggris bergeser dan lebih intens ke pantai timur Sumatra mulau dari Siak hingga ke Deli. Kembali terjadi perang pers antara Belanda dan Inggris. Tentu saja tidak ada permasalahan antar pemerintah, yang ribut adalah antara sipil yang bergerak di dunia perdagangan dan pers (swasta). Menurut pers Belanda kembali kecolongan di pantai timur Sumatra. Lalu pada tahun 1863 Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang pemerintahan di Bengkalis, Laboehan Batoe, Tangdjong Balai, Batoebara dan Deli. Dua tahun keudian pada tahun 1865 pedagang Belanda (Nienhuus) mulau inves di ujung pantai timur Sumatra di Laboehan Deli (tepat berhadapan dengan Penang). Nah, lho! Nienhuys dengan pertanian tembakau cepat berkembang. Lalu bagaimana dengan pedagang-pedagang Inggris di pantai timur Sumatra? Tidak mungkin ke Atjeh (yang masih independen). Padang-pedagang Ingrris yang bukan jago kandang tetap bertahan di pantai timur Sumatra dan bersaing secara sehat dengan pedagang-pedagang Belanda yang banyak berdatangan dari Batavia. Celakanya, produk yang dihasilkan di kepulauan Riau dan pantai timur Sumatra baik oleh pedagang-pedagang Inggris  maupun Belanda justru mengalir ke Penang, Malaka dan Singapoera. Ongkos ke Batavia terlalu mahal. Nah, lho!. Bahkan pedagang GP King di Lombok tidak lagi meneruskan mata dagangannya ke Batavia tetapi justru Singapoera. Belanda kembali kecolongan.

 

Pemerintah Hindia Belanda merespon pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di pantai timur terutama di Deli dengan memperbesar kapasitas cabang pemerintahan di Deli dengan meningkatkannya dari fungsi Controleur menjadi Asisten Residen (1879). Kapasitas ini terus ditingkatkan sehubungan dengan terhubungnya pantai timur Sumatra (Laboehan Batoe) dengan wilayah (residentie) Tapanoeli (Padang Lawas). Pada tahun 1886 mulai muncul desakan dari pengusaha-pengusaha di Deli (yang sudah beribukota di Medan) untuk menindahkan kedudukan Residen dari Residentie Oost van Sumatra dari Bengkalis ke Medan. Desakan itu segera terlaksana pada tahun 1887 Medan menjadi ibu kota Residentie Oost van Sumatra. Sejak saat inilah Inggris dan Belanda head to head di kawasan selat Malaka. Pedagang-pedagang Belanda sudah berada di atas angin. Nah, lho!

Pasca peningkatan status peerintahan di Deli (dari Controleur menjadi Asisten Residen 1879) saat hegemoni para pedagang-pedagang (swasta) Belanda mencuat di pantai timur Sumatra khususnya di Deli (yang semakin meluas ke Serdang dan Simaloengoen), pada saat inilah sebagian pedagang-pedagang Inggris membuka jalan di wilayah yurisdiksi sendiri dengan mengembangkan pantai utara Borneo di titik utama: Sarawak, Broenai dan Sabah yang terhimpun dalam Persatuan Pedagang Inggtrsi Borneo Utara. Sementara jauh sebelumnya cabang Pemerintah Hindia Belanda sudah dibentuk di Pontianak dan Samarinda, tetapi pedagang-pedagang (investor Belanda) belum begitu banyak yang tertarik.

Adanya perhimpinan perdagangan Inggris di Borneo Utara kembali pers Belanda di Jawa (Batavia, Semarang dan Soerabaja) gaduh, tetapi tidak dalam rangka menyerang penguasa (pers) Inggris di Sememanjung tetapi soal kebijakan pemerintah dalam urusan Kaliantan Barat dan khususnya Kalimantan Timur. Yang muncul dala pers Belanda adalah perasaan psikologis yang takut kecolongan lagi di pulau Kalimantan ketika pedagang-pedagang swasta Inggris mulai banyak yang intens di Borneo Utara (wilayah yurisdiksi sendiri). Kekhawatiran pers Belanda semakin menjadi ketika diketahui pedagang-pedagang Inggris sudah beroperasi hingga Residentie Manado dan Residentie Ternate (yang juga terhubung dengan Papoea Nieuwginie yang menjadi wilaya yurisdiksi Inggris).

Pada tahun 1881 seorang peneliti Belanda L van Nieuwkulijk melakukan survei lapangan di wilayah Kalimantan Timur dan mempublikasikan leporannya yang dimuat pada Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1882 dengan judul Exploitatie door Nederlanders van de Noord-Oostkust van Borneo. Kajian ini mendapat perhatian yang luas dan menjadi rujukan pers Belanda. Dalam laporan ini juga terungkap berbagai hal yang terkait dengan sejarah pantai timur Kalimantan. Dari sinilah penulisan sejarah Kalimantan Utara dapat dimulai.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Samarinda; Antara Balikpapan dan Tarakan

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pemekaran Kalimantan Timur Membentuk Kalimantan Utara

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar