Laman

Selasa, 03 November 2020

Sejarah Kalimantan (56): Kisah Bajak Laut di Pulau Borneo, Membajak Kerajaan Kecil Kesultanan Besar; Proteksi Militer Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Utara di blog ini Klik Disini

Seperti di perairan dan pulau-pulau lain, operasi bajak laut juga terjadi di perairan dan pantai-pantai pulau Borneo. Siapa yang menjadi bajak laut sulit dipahami. Namun yang jelas jelas operasi bajak laut ini terdapat di seluruh Hindia Timur, semakin jarang kehadiran orang Eropa, intensitas praktek bajak laut ini makin sedikit. Bajak laut tampaknya bersifat trans-nasional. Awalnya target para bajak laut adalah pedagang-pedagang Eropa.

Adanya praktek bajak laut sudah dilaporkan sejak era Portugis (lihat Mendes Pinto, 1535). Kawasan operasinya di laut China, selat Malaka dan pantai selatan Jawa. Praktek bajak laut ini juga semakin kerap dilaporkan pada era VOC (Belanda) bahkan di pantai utara Jawa. Dua kawasan yang enggan dilalui navigasi orang Eropa adalah pantai timur pulau Borneo dan pantai timur pulau Celebes. Praktek bajak laut ini masih terus ada hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Wilayah yang kerap terjadi bajak laut terdeteksi berada di perairan selatan Bali dan Lombok, teluk Tomini, perairan Manado, pantai timur laut Borneo dan selat Karimanta. Terminologi bajak laut sendiri bersifat umum, suatu serangan di laut atau serangan ke daratan (pantai) dari laut. Serangan dari darat ke darat tidak disebut bajak laut, tetapi faktanya berdimensi sama: penyerangan, perampokan bahkan pemerkosaan. Praktek ‘bajak darat’ ini dapat dilakukan secara terbuka oleh satu kerajaan dengan (wilayah) kerajaan lainnya atau secara diam-diam dilakukan oleh oknum (pangeran) dari suatu kerajaan untuk memperkaya diri.

Lantas bagaimana sejarah bajak laut di pulau Borneo? Dapat dibedakan dengan ‘bajak darat’. Wilayah operasi bajak laut ditenkan di banyak tempat, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa bajak laut berpindah-pindah. Pemerintah VOC (dan juga Pemerintah Hindia Belanda) kerap diminta kerajaan atau kesultanan untuk melakukan proteksi (dari bajak laut). Kerjasama ini dapat menjadi awal persekutuan dan prakondisi kolonisasi Pemerintah Hindia Belanda di suatu wilayah tertentu. Bagaimana operasi bajak laut di pulau Borneo? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bajak Laut di Pulau Borneo: Kehadiran Angkatan Laut Belanda

Sejak Pemerintah Hindia Belanda membentuk cabang-cabang pemerintah di pulau Borneo (yang dimulai di Bandjarmasin), kapal perang Pemerintah Hindia Belanda mulai intens ke pantai-pantai selatan pulaui Borneo. Patroli kapal perang tidak hanya berfungsi sebagai layanan keamanan, tetapi juga melakukan tugas-tugas tambahan seperti pengukuran dan pemetaan laut. Fungsi keamanan tidak lagi soal politik dengan Inggris, tetapi lebih pada keamanan teritorial, termasuk soal bajak laut (zeeroovers).

Persetruan Inggris dan Belanda mulai mereda dan semakin kondusif setelah Traktat London 1824. Salah satu dalam pasal di dalam traktat itu adalah soal tukar guling antara Malaka dan Bengkoelen. Pasal lainnya adalah soal penetapan batas-batas yurisdiksi masing-masing termasuk di pulau Boeneo. Di pantai barat berbatas di Tandjoeng Datoe dan di pantai timur berbatas dengan membagi dua pulau Sebatik.

Pada tahun 1840 kapal perang Pemerintah Hindia Belanda Zr. Ms. brik Postillon melakukan patroli dari Bandjarmasing hingga ke sisi Tandjoeng Datoe dan Teluk Serabang (lihat De avondbode : algemeen nieuwsblad voor staatkunde, handel, nijverheid, landbouw, kunsten, wetenschappen, enz. / door Ch.G. Withuys 28-12-1840). Mengapa sampai melewati tapal batas? Disebutkan Teluk Tapong biasanya adalah tempat berkumpulnya para bajak laut. Dari keterangan ini kapal patroli pemerintah ingin meminimalkan adanya gangguan keamanan bagi kerajaan-kerajaan kecil (tempat para pedagang-pedagang Bandjarmasin melakukan transaksi perdagangan).

Di pantai utara pulau Borneo terdapat satu kerajaan yang terbilang besar yakni Broenai. Meski wilayah pantai utara Borneo ini masuk wilayah yurisdiksi Inggris, tetapi aktivitas pemerintah Inggris di Penang (dan Singapoera) masih sangat minim di pantai utara Borneo. Dalam hal ini Broenai masih bersifat independen. Teluk Serabang (yang menjadi sarang bajak laut) berada diantara ibu kota kerajaan Broenai dengan batas yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda di Tandjoeng Datoe.

Pemerintah Hindia Belanda mulai intens di Residentie Manado. Pangkalan militer Pemerintah Hindia Belanda berada di Ternate (eks kedudukan Gubernur Ternate yang meliputi Manado yang dimekarkan menjadi Residentie pada tahun 1826). Pada tahun 1959 kapal perang Pemerintah Hindia Belanda dikerahkan ke teluk Tomini karena ada laporan gangguan bajak laut (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-05-1860).

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-05-1860: ‘…orang-orang yang telah dibebaskan dari tangan bajak laut, telah jatuh dalam kekuasaan mereka setidaknya selama tiga tahun, suatu keadaan yang disamping bukti-bukti lain, menuntut pengurangan pembajakan di Hindia Belanda, sebisa mungkin tindakan yang mengakibatkan relokasi bajak laut ke pulau tetangga Patta dan ke pulau Tawi-Tawi, darimana banyak armada kapal ke berbagai arah mencari mangsa, termasuk di sepanjang pantai barat laut Kalimantan, dari Tandjong Oengsang ke Abeloedu, serta di selatan kepulauan Tandjong Oengsaug telah mendirikan beberapa pemukiman bajak laut Ilano dan Soloksche. Selain itu, Mangindanao tetap menjadi sarang predator yang tidak dapat diperbaiki meskipun ada upaya orang Spanyol untuk membasmi para perampok disana. kejahatan dengan demikian telah pindah ke tingkat tertentu dan masih jauh dari diberantas. Untuk saat ini tidak ada laporan pembajakan yang secara resmi dilaporkan tentang bajak laut terkenal di pantai utara Flóres. Selama bulan Juni 1859, perairan di sekitar pulau Banka dikuasai oleh dua perampok besar, yang tidak hanya meropak beberapa kapal tetapi bahkan mendarat di beberapa titik daratan pulau Banka dengan keberanian yang tidak biasa untuk menjarah. Kapal yang dikirim melawan mereka datang terlambat untuk menghukum mereka karena tidak menerima pesan tepat waktu. Para perampok ini tidak memenjarakan, tapi hanya berusaha menyita barang. Diduga mereka ini relokasi dari pulau Singkep yang termasuk dalam kepulauan Lingga, Sangat sulit untuk mengikuti perampok ini, karena mereka cenderung menyembunyikan identitas dan ketika ada pemerikasaan di lautan mereka cenderung membawa surat-surat resmi. Hanya jika tertangkap basah baru dapat diperlakukan sebagai perampok. Tidak ada yang terdengar kabar sejak kapal Nieuw Zealauud Baru yang dirampok di perairan Moluksche yang telah membunuh para tawanan mereka. Pada tahun 1859 tidak ada operasi terpisah yang dilakukan oleh kapal perang ZM Zeemagt melawan perampok karena keamanan yang lebih besar, daripada yang terjadi sebelumnya, di kepulauan Hindia tidak memberikan alasan untuk melakukannya. Perairan Menado, bagaimanapun selalu dilintasi oleh kapal ini. Mungkin pergerakan kapal uap yang terus-menerus untuk ekspedisi Bone juga menghalangi para perompak. Pangeran Mamadjoe di Celebes dan Rada Taroena di kepulauan Sangir telah diberi kesempatan untuk kembali ke Makassar dan Menado tanpa diminta kepada orang-orang yang melarikan diri dari Solok (kini Soeloe). Para perompak menggambar di peta mereka tempat-tempat dimana mereka akan merompak kapal uap dan oleh karena itu sebagai peringatan bahwa tidak disarankan untuk muncul atau melewati jalur yang ditandai tersebut.

Dalam laporan yang dipublikasikan pada  tahun 1860 ini terindikasi bahwa area potensial untuk perampokan terdapat di banyak tempat. Salah satu yang penting dalam kasus perompakan ini para perampok juga menyandera, seperti pangeran dari Mamoedjo dan radja Taroena (pulau Sangihe) yang diduga sebagai taruhan jika perampok tertangkap basah. Pangeran dan radja ini diduga kuat kapal-kapal mereka yang membawa mata dagangan ke Makassar dan Manado telah dirampok di perjalanan.

Para perampok juga menggunakan siasat dengan menekan radja-radja tertentu untuk membuat surat jalan yang di perairan mereka seolah-olah melakukan pelayaran resmi. Seperti disebutkan kelompok perompaknya ini jumlahnya besar dan memiliki kapal-kapal diduga perompak trans-nasional gabungan perompak dalam dan luar negeri (Hindia Belanda).

Dari laporan tahun 1859 ini terungkap bahwa para bajak laut yang beroperasi di Teluk Tomini dan perairan Manado telah didorong menjauh ke arah pulau Tawi-Tawi. Sebagaimana diketahui pulau Tawi-Tawi berada di arah timur laut pulau Borneo. Sebagaimana disebut di atas batas wilayah yurisdiksi Pemerintah Hindia Belanda berada di Tidoenglanden di pulau Sebatik.

Dari mana asal perompak di lautan ini tidak begitu jelas. Dalam berbagai catatan pada era yang berbeda-beda para bajak laut ini beroperasi di berbagai tempat seperti kepulaua Riau, pulau Celebes, kepulauan Soenda (Bali dan Lombok), Mindanao dan sebagainya. Para bajak laut ini juga ada yang bekerjasama dengan penduduk lokal (partner).

Seperti halnya Broenai di pantai utara Borneo, kehadiran Inggris sangat minim, di kepulauan Soeloe (termasuk Tawi-Tawi) kehadiran Spanyol juga sangat minim (karena kurang harmonis antara Spanyol dengan penduduk Filipina di utara yang Katolik dengan penduduk Filipina di selatan yang Islam (Belanda juga kurang harmonis dengan Atjeh di Sumatra dan hanya pedagang-pedagang Inggris yang lalu lalang). Dengan tekanan angkatan laut Pemerintah Hindia Belanda terhadap para bajak laut, kerajaan-kerajaan di pantau utara Borneo dan kepulauan Soeloe dala posisi tertekan (dari bajak laut). Hal serupa inilah yang dialami sebelumnya oleh kesultanan Bandjarmasing (pantai timur Borneo) dan kesultanan Sambas (pantai barat Borneo).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bajak Laut di Wilayah Lain: Sejak Portugis hingga Era VOC

Orang-orang Belanda sejak awal adalah pelaut yang tangguh dan pemberani. Mereka sudah terbiasa dengan bajak laut. Pada tahun 1619 sepulang dari Hindia Timur, kapal-kapal Belanda menaklukkan para bajak laut di Cabo Verde (lihat Tijdinghe uyt verscheyde quartieren, 22-06-1619). Kembali kapal-kapal Belanda tiba di Belanda dimana di perjalanan menghadapi bajak laut dan beberapa kapal mengalami kerusakan (lihat Tijdinghe uyt verscheyde quartieren, 23-02-1621). Saat ini Belanda sudah mendirikan VOC dan membuat koloni (Batavia) di muara sungai Tjiliwong. Kemampuan mengatasi bajak laut adalah supremasi eksistensi di lautan (yang luas) dalam menjaga misi dagang Belanda.

Dalam catatan yang lebih tua ditemukan dalam laporan-laporan Portugis seperti Barbosa/Tome Pires yang menyatakan bahwa kerajaan Aroe (di Sumatra) memiliki banyak orang Mandarin (Tiongkok) yang disisi luar kerap melakukan perampokan dan ancaman di selat Malaka. Tampaknya bajak laut di jaman lampau adalah normal. Kerajaan dapat memelihara bajak laut. Ini kira-kira dapat diartikan siapa yang kuat dia yang menang. Hal inilah yang menyebabkan kerap terjadi perang antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya. Bukankah antara Portugis dan Belanda saling berperang untuk membentuk koloni di Hindia Timur? Pada saat itu belum ada hukum internasional dan hanya ada perjanjian bilateral (kesepakatan dua belah pihak).

Setelah sekian abad berlalu, bajak laut terus eksis. Untuk mengatasi masalah bajak laut, Pemerintah Napoleon (Prancis) membangun benteng di Gibraltar untuk melayani kapal-kapal dagang dari ancaman bajak laut (lihat  Leeuwarder courant, 23-03-1808). Boleh jadi inilah huku laut pertama. Sementara itu, di Hindia Timur angkatan laut pemerintah pendudukan Inggris terus melakukan patroli untuk mengejar bajak laut di perairan Celebes (lihat  Rotterdamsche courant, 20-12-1814).

Rotterdamsche courant, 28-06-1817: ‘Mengenai hari-hari terakhir ini, saya dapat memberi tahu Anda hal-hal berikut: Para perompak di pantai Jawa dan daerah sasarannya, sekarang sangat keji dalam pembajakan dan pembunuhan; mereka bahkan muncul di selat Sunda, dan telah selama beberapa hari menyerbu kapal kecil dan dengan kejam membunuh semua yang putih di atasnya’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar