Laman

Selasa, 29 Desember 2020

Sejarah Aceh (29): Sejarah Kesehatan di Aceh dan Pendidikan Kedokteran di Hindia Belanda; Endemik, Epidemik dan Pandemik

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini 

Soal sejarah kesehatan selalu hanya fokus sejarah rumah sakit dan sejarah institusinya. Nyaris tidak pernah diperhatikan sejarah kesehatan penduduk (kesehatan masyarakat). Padahal yang mendasari dibentuknya institusi kesehatan dan sarana-prasarana kesehatan (seperti klinik dan rumah sakit) adalah adanya permasalahan kesehatan penduduk. Dalam hubungan ini sebelumn munculnya prasarana kesehatan peran para dokter diterjunkan ke wilayah endemik atau epidemik. Itulah awal sejarah kesehatan di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Aceh.

Adanya penyakit endemik (seperti malaria) dan epidemik (seperti cholera) di tengah penduduk di berbagai wilayah di era Hindia Belanda menyebabkan pemerintah merancang program pendidikan kedokteran pribumi untuk membantu dokter-dokter Belanda lulusan Eropa. Sejak era VOC hingga era Pemerinta Hindia Belanda (paruh pertama abad ke-19) terjadi banyak kasus epidemik yang tidak hanya menyebabkan banyak korban pribumi juga orang Eropa (Belanda) sendiri. Upaya menekan atau mengentaskan berbagai penyakit pada penduduk dan penyelengaraan pendidikan kedokteran bagi pemuda pribumi juga secara langsung untuk menjamin keselamatan kesehatan orang Belanda sendiri. Tentu saja upaya peningkatan status kesehatan penduduk tersebut juga dimaksudkan agar penduduk produktif (bekerja) agar ekonomi perdagangan memberi kontribusi lebih besar pada tujuan pemerintah (keuntungan finansial).

Okelah, memangg sejarah kesehatan masih diperlukan. Namun dari mana dimulai sejarah kesehatan di Aceh. Yang jelas bukan dari Instansi Kesehatan (IKES) Daerah Istimewa Aceh, juga bukan dari RSUD Meuraxa Banda Aceh, tetntu saja bukan dari Fakultas Kedokeran Universitas Syiah Kuala. Lalu dari mana? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Endemik Epidemik di Atjeh

Pada era Hindia Belanda, sebelum merintis pendidikan bagi penduduk pribui, pemerintah masih terbatas pada penanganan aspek-aspek primer seperti keamanan, pembentukan cabang pemerintahan (pada tingkat lokal), situasi dan kondisi ekonomi perdagangan, pembanguna infrastruktur jalan dan jembatan, pengembangan pertanian dan penanganan masalah kesehatan. Aspek kesehatan mendapat prioritas karena untuk meminimalkan jumlah kematian dan menurunkan tingkat morbiditas. Peningkatan status kesehatan penduduk ini akan meningkatkan produktivitas penduduk dan juga akan meminimalkan risiko orang-orang Eropa (Belanda) terjangkit. Hal itulah mengapa dokter Belanda ditempatkan segera di Atjeh (yang diintegrasikan tugasnya untuk dokter di lingkungan militer).

Untuk membantu dokter-dokter (lulusan Eropa-Belanda), yang bekerja di seluruh Hindia Belanda, pada tahun 1851 Pemerintah mulai menyelenggarakan pendidikan kedokteran bagi lulusan sekolah dasar yang diadakan di rumah sakit militer di Weltevteden (kini RSPAD). Pendidikan kedokteran dua tahun ini setelah lulus, para dokter-dokter muda ini ditempatkan di wilayah endemik dan epidemik. Pada tahun 1854 dua siswa asal Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli) bernama Si Asta dan Si Angan diterima di sekolah kedokteran di Weltevreden (Docter Djawa School). Dua siswa ini adalah siswa yang pertama dari luar Jawa. Pada tahun 1856 Dr Asta ditempatkan di Onderafdeeling Mandailing dan Dr Angan di onderafdeeling Angkola. Pada tahun 1856 dua siswa asal Mandailing en Angkola Dja Doerie dan Dja Boedi diterima di Docter Djawa School. Dr Dja Dorie ditempatkan di Afdeeling Airbangis dan Dr Dja Bodie Sibolga. Demikian seterusnya siswa-siswa asal Mandailing en Angkola diterima secara reguler di Docter Djawa School. Sejak 1858 Afdeeling Mandailing en Angkola praktis sudah surplus dokter (karena dokter yang dibutuhkan di afdeeling tersebut hanya dua orang). Catatan: setiap tahun (angkatan) sekolah Docter Djawa School hanya menerima dengan kapasitas 10 siswa.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Dokter dan Rumah Sakit di Atjeh

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar