Laman

Sabtu, 05 Desember 2020

Sejarah Singapura (16): Sejarah Perak, Kedah dan Perlis; Sejarah Perkebunan Karet Terkenal di Batak Rabit, Sungai Perak

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini 

Sebelum Kota Perak yang sekarang berkembang, penduduk asal Sumatra (Mandailing dan Angkola) sudah bermukim di pedalaman di hulu sungai Perak. Ibu kota Perak sendiri yang waktu itu masih bernama Kwala Perang berada di pantai (muara sungai). Penduduk asal Mandailing dan Angkola juga sudah bermukim di hulu sungai Klang di kampong Kwala Loempoer. Pada saat itu ibu kota Selangor masih berada di Kwala Selangor (di pantai di muara sungai Selangor). Nama tempat utama di  muara sungai Klang adalah Klang.

Nama Malaya sudah lama dikenal. Hal itulah nama kota Malaya ini kemudian menjadi nama semenanjung (Malaya). Orang-orang Moor menyebutnya dengan Malaka dan orang Portugis menulisnya sebagai Malaca. Dalam laporan Mendes Pinto (1545) mencatatan nama-nama sungai si sekitar Malaka, antara lain Salangor, Quedam, Parles dan Sambilan. Tiga nama yang pertaa diduga kuat kini bernama Selangor, Kedah dan Perlis, tiga nama sungai (tempat) yang sudah lama adanya. Sedangkan nama pulau (sungai) Sambilan diduga kuat telah berganti nama menjadi Perak (Ferah). Nama Ferah atau Perak diduga merujuk pada nama pulau di tengah lautan (pulau Vera). Pada era VOC (Belanda), nama-nama tempat semuanya berada di pantai. Sementara itu di seberang lautan di pulau Sumatra penduduk sudah bermukim di pedalaman di daerah hulu sungai Beroemoen (Kerajaan Aroe) yang kemudian penduduknya dikenal sebagai Mandailing dan Angkola. Seperti halnya pada era VOC orang-orang Boegis, pada era Hindia Belanda sebagian besar penduduk Mandailing dan Angkola eksodus (karena Perang Padri 1805-1838) ke Semenanjung Malaya (juga dalam hal ini penduduk Minangkabau). Eksodus ini masih berlanjut pada era Koffiestelsel (1840-1875). Mereka yang sudah di Semenanjung Malaya (Inggris) kemudian bermigrasi dari pantai ke pedalaman (seperti hulu sungai Klang dan hulu sungai Perak).

Lantas bagaimana sejarah Perak, Kedah dan Perlis? Tentu saja sudah banyak ditulis. Namun narasi sejarah tidak pernah berhenti selagi fakta dan data baru ditemukan. Salah satu yang menarik dalam hal inilah terdapatnya nama (kampong) Batak Rabit di daerah aliran sungai Perak. Nama kampong ini diduga sebelumnya bernama Batoe Rabit. Namun setelah munculnya perkebunan karet (1900an) nama Batoe Rabit bergeser menjadi Batak Rabit. Lalu apakah penduduk kampong ini berasal dari Mandailing dan Angkola? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah internasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Perak, Kedah dan Perlis

Nama-nama Kedah dan Perlis sudah lama dikenal (sejak era Portugis). Nama Perak baru dikenal kemudian karena nama sebelumnya adalah Sambilang. Nama Perak diduga muncul pada era VOC (Belanda) dimana dalam catatan Kasteel Batavia dicatat akta perjanjian (dengan) VOC (lihat Daghregister, 12 Juni 1680).

Sejak Portugis menduduki kota pelabuhan Malaka tahun 1511, harus berakhir pada tahun 1643 ketika Belanda (VOC) menaklukkan Portugis di Semenanjung Malaya. Oleh karena Portugis menaklukkan Malaka, penduduk Malaka terus menaruh kurang simpati kepada orang-orang Portugis. Dengan kehadiran tuan yang baru di Malaka situasi dan kondisi di semenanjung Malaya berubah drastis. Kerajaan-kerajaabn kecil yang berada (di pantai-pantai) di Semenanjung Malaya membuka diri dengan membuat perjanjian (kontrak) dengan VOC yang berpusat di Batavia (kini Jakarta). Salah satu kerjasama VOC dengan (kerajaan) Perak.

Kedah melakukan kerjasama dengan VOC jauh sebelum Perak. Nama Kedah di dalam catatan Kasteel Batavia (dicatat sebagai Queda) paling tidak sudah disebut pada tahun 1659 (lihat Daghregister 2 Mei 1659). Disebutkan dalam catatan ini bahwa hubungan VOC dengan pangeran Kedah terkendali dan VOC sejauh ini puas.

Hubungan baik antara VOC dan Kerajaan Kedah mulai bermasalah. Bergasarkan Daghregister 16 Februari 1680 nakhoda Juriaen Vrijhoff ditahan oleh kerajaan Kedah. Lalu dalam perkembangannya nakhoda tersebut dilepaskan dan tiba di Malaka (lihat Daghregister, 10 April 1680). Setelah hubungan VOC dan Kedah renggang diduga menjadi faktor mengapa VOC bekerjasama dengan kerajaan Perak. Besar dugaan bahwa kerajaan Kedah dan kerajaan Perak tidak akur selama ini.

Hubungan tidak harmonis antara VOC dan kerajaan Kedah, telah dimanfaatkan (atau sebaliknya)  Inggris yang coba menemukan pos perdagangan di selat Malaka. Inggris sudah beberapa dasawarsa membuka pos perdagangan di Natal dan Tapanoeli (Mandailing dan Angkola). Oleh karena Atjeh tidak memberi izin, tampaknya Inggris beralih ke selat Malaka dan akan melakukan kerjasama dengan Kedah. Kehadiran kapal Inggris di Kedah dicatat pada Kasteel Batavia pada tahun 1773 (lihat Daghregister 16 Maret 1773).

Upaya Inggris untuk membuka pos perdagangan di selat Malaka diduga tidak hanya sekadar karena faktor hubungan yang renggang antara VOC dan kerajaan Kedah tetapi lebih dari itu. Pada tahun 1772 seorang sarjana botanis Inggris Charles Miller dikirim dari Calcutta untuk menyelidiki pedalaman Tapanoeli. Charles Miller melakukan ekspedisi ke Angkola hingga Padang Lawas di Batangonang. Besar dugaaan bahwa hasil laporan Charles Miller ini yang mengarahkan Inggris membuka pos perdagangan di selatan Malaka (kerajaan Kedah). Dengan demikian akan dimungkinkan perdagangan Inggris di Sumatra (Angkola dan Mandailing) terhubung antara pantai barat dan pantai timur Sumatra (coast to coast). Inggris tampaknya ingin membuka front dengan Belanda (di Malaka). Dalam perkembangannya, untuk memback-up pos-pos perdagangan Inggris di Sumatra dan Semenanjung Malaya, skuadron British East India Company di Madras pada tahun 1781 dialihkan ke pantai barat Sumatra (di Bengkoelen). Inggris tampaknya ingin membuka hub baru untuk tetap menjaga hubungan pusat Inggris di India (Calcutta) dengan orang-orang Inggris di Australia dan China (Hongkong).

Inggris mulai memainkan peran di selat Malaka setelah menjalin kerjasama dengan Queda (Kesultanan Kedah) yang mana pada tahun 1786 Inggris telah membuat koloni (pos perdagangan permanen) di pulau (pulau) Penang.

Sebelum Inggris membangun pos perdagangan di pulau Penang, VOC mengalami kekacauan di Semenanjung Malaka. Pada tahun 1784 pusat perdagangan VOC di Malaka diserang. Kerajaan-kerajaan Melayu Selangor, Djohor dan Riau menyerang Malaka pada tahun 1784. Dengan kekuatan yang didatangkan dari Batavia berhasil membebaskan Malaka. Sebagai hukuman, VOC menyerang Selangor dan merebutnya. VOC kemudian menyerang Riau dan Radja Riau terbunuh (lihat Hollandsche historische courant, 12-03-1785). Sejak itu VOC membangun benteng di Tandjoeng Pinang (pulau Bintan). Boleh jadi melihat ekspansi VOC ini di Selangor, Semenanjung Malaya (Selangor) menjadi faktor tambahan Inggris menyegerakan membangun pulau Penang. VOC (Belanda) mulai mendapat tekanan (dari Inggris) di Selat Malaka.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Batoe Rabit atau Batak Rabit

Pada tahun 1794 Prancis menganeksasi Kerajaan Belanda di Eropa. Imbasnya terjadi di Hindia Timur, militer Prancis merebut Batavia (dan kemudian menduduki seluruh Jawa). Kesulitan Belanda ini juga dimanafaatkan oleh Inggris dengan merebut Amboina, Banda, Manado dan Borneo. Praktis VOC yang kehilangan induk (kerajaan Belanda) hanya menyisakan Ternate. VOC yang sedang tertatih-tatih akhirnya dibubarkan pada tahun 1799. Tamat VOC.

Pada tahun 1800 dibentuk Pemerintah Hindia Belanda di bawah kekuasaan Prancis. Pada saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda di tangan Daendels, pada tahun 1811 Inggris menyerang Batavia dan menduduki seluruh Jawa. Raffless eks Gubernur Bengkoelen yang berada di pulau Penang diperintahkan untuk memimpin dengan kabatan Luitenant Generaal. Meski Inggris sempat mendapat perlawanan di Bali dan Djogjakarta, secara teoristis seluruh Hindia Belanda sudah dikuasai oleh Inggris (minus Ternate).

Pada saat Inggris konsentrasi di Jawa, wilayah-wilayah lainnya kurang terurus alias adanya kevakuman kekuasaan di berbagai wilayah termasuk di pantai barat Sumatra (Tapanoeli dan Padangsche). Saat inilah kaum Padri menekan penduduk yang mengakibatkan sebagian penduduk Mandailing Angkola dan penduduk Minangkabau eksodus ke Semenanjung Malaya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar