Laman

Senin, 04 Januari 2021

Sejarah Aceh (41): Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Wilayah Aceh; Era Kolonial Belanda Berakhir Sudah

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini 

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Djakarta 17 Agustus 1945, gong terakhir yang dibunyikan di Atjeh. Itu berarti era kolonial Belanda berakhir sudah di seluruh wilayah Atjeh. Sebagaimana diketahui dalam pelayaran Belanda kedua yang juga dipimpin Cornelis de Houtman pada tahun 1599 tewas di kota (pelabuhan( Atjeh. Sejak itu, meski ada pasang surut perdamaian kedua belah pihak, tetapi perseteruan terus berlangsung hingga pendudukan militer Jepang tahun 1942. Proklamasi kemerdekaan Inondonesi penegasan era kolonial Belanda berakhir sudah di seluruh wilayah Atjeh.

Dalam Perang Pasifik yang dilancarkan oleh Kerajaan Jepang, setelah militer Jepang membombardir kilang minyak di Tarakan dan Plajoe, Palembang, akhirnya Pemerintah Hindia Belanda yang berpusat di Jawa (Batavia) menyerah. Secara tekni era kolonial Belanda di Indonesia berakhir. Pada era penduduk militer Jepang penduduk Atjeh, seperti di wilayah lain, mulai berbenah karena pemimpin lokal dilibatkan dalam (sistem) pemerintahan yang baru. Perang Pasifik yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dengan mengebom kota Hirosima dan Nagasaki, giliran Jepang yang menyerah kepada Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris. Dalam keadaan vakum inilah pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Djakarta.

Lantas serupa apa detik-detik Proklamasi Keerdekaan Indonesia di Atjeh sejak berakhirnya era kolonial Belanda dan semasa pendudukan militer Jepang serta pada era Perang Kemerdekaan? Tentu saja sudah ada yang menulisnya. Namun mengapa penduduk Atjeh sangat bersemangat menyambut Proklamasi Kemerdekaan dan begitu heroik (lagi) dalam mempertahankan kemerdekaan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Era Kolonial Belanda Berakhir Sudah: Pendudukan Militer Jepang

Invasi Jepang sudah berada di pintu gerbang Indonesia. Warga Kota Soerabaja telah mengetahuinya ketika putri Radjamin Nasution, seorang dokter yang tengah bertugas di Tarempa, Riauw bersama suaminya (yang juga seorang dokter: Dr Amir Hoesin Siagian) mengirim surat ke Soerabaya yang dimuat surat kabar Soeara Oemoem yang dikutip oleh Indische Courant, 08-01-1942.

Tandjong Pinang, 22-12-194l.

Dear all. Sama seperti Anda telah mendengar di radio Tarempa dibom. Kami masih hidup dan untuk ini kita harus berterima kasih kepada Tuhan. Anda tidak menyadari apa yang telah kami alami. Ini mengerikan, enam hari kami tinggal di dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang harus kami makan kadang-kadang hanya ubi. Tewas dan terluka tidak terhitung. Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah. Apa yang bisa kami amankan, telah kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa pakaian. Apa yang telah kami menabung berjuang dalam waktu empat tahun, dalam waktu setengah jam hilang. Tapi aku tidak berduka, ketika kami menyadari masih hidup.

Hari Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat aku mengepak koper dengan beberapa pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk mengambil banyak. Perjalanan menyusuri harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya diberi waktu lima menit, takut Jepang datang kembali. Mereka datang setiap hari. Pukul 4 sore kami berlari ke pit controller, karena pesawat Jepang bisa kembali setiap saat. Aku tidak melihat, tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat bahwa tidak ada yang tersisa di Tarempa.

Kami mendengar dentuman. Jika pesawat datang, kami merangkak. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat kejadian dengan menggunakan sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak mabuk laut….. Di Tanjong Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi saya punya anak kecil. Dia tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram Kamis 14 Desember supaya menuju Tapanoeli...Saya memiliki Ompung dan bibi disana…Sejauh ini, saya berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini mengerikan di sini. Semoga saya bisa melihat Anda lagi segera.

Pemboman di Tarempa itu tampaknya para pilot angkatan udara Jepang salah menafsirkan bahwa kota itu masuk wilayah Singapoera yang sedang dibombardir. Tarempa (saat itu) adalah ibu kota district (kepulauan) Natuna, Afdeeling Binatng, Residentie Riau. Sebab serangan militer Jepang, sejatinya baru dimulai pada tanggal 11 Januari di kota Tarakan dan kota Kakas, Minahasa (lihat Dordrechtsche courant, 14-01-1942). Kota Tarakan adalah kota minyak dan kota Kakas di danau Tondano adalah lapangan terbang salah satu markas militer Hindia Belanda. Dua kota ini menjadi garis terdepan wilayah Hindia Belanda dari jalur navigasi penerbangan dan pelayaran dari Jepang. Berita dari Tarakan dan Kakas ini segera menyebar di seluruh Hindia Belanda hingga ke Atjeh, bahwa Perang Pasifik di wilayah Indonesia telah dimulai.

Bahwa Perang Pasifik hanya menunggu waktu, karena Indochina, Malaya daa Singapoera sudah mulai dibombardir di pusat-pusat komando Inggris. Komandan Teritorial Atjeh en OnderhoĆ³righeden en Sumatra’s Ooskust Majoor Generaal GFV Gosenson telah melakukan persiapan sesuai amanat negara dalam perang atau de regeling op den staat van oorlog en beleg (Indisch Staatsblad 1939 No 582). Dengan peraturan Komando Teritorial yang diterbitkan di Medan tanggal 8 Desember 1941 No. 20 bahwa pasukan-pasukan di Pangkalan Brandan, Paseh, Atjeh en OnderhoĆ³righeden dan Sumatra’s Ooskust untuk bersiap bekerjasama dan membantu jika diperlukan untuk kepentingan pembelaan negara (lihat De Sumatra post, 02-01-1942).  Medan dan Kota Radja begitu dekat dengan Semenanjung dimana perang sudah berlangsung.

Negeri Belanda sendiri sejak Mei 1940 sudah diduduki oleh militer Jerman (keluarga raja telah melarikan diri ke Inggris). Jerman dan Jepang sama-sama fasis (ada hubungan kerjasama). Koran-koran (berbahasa) Jerman mulai membahas peluang bisnis di Indonesia, boleh jadi karena Jepang akan segera mengambilalih Indonesia dari (Pemerintah Hindia) Belanda. Deutsche Zeitung in den Niederlanden, 07-01-1942 mengulas potensi ekonomi bagian utara (pulau) Sumatra sebagai bagian berkembang paling baik, pelabuhan Padang terhubung dengan Medan dan Kota Radja yang dapat dilalui dengan mobil tanpa kesulitan. Seperti yang diduga, akhirnya di wilayah Atjeh, Kota Radja dan Sabang diduduki militer Jepang (lihat Dagblad van Noord-Brabant, 14-03-1942).

Dagblad van Noord-Brabant, 14-03-1942: ‘Menurut layanan berita Inggris, pasukan Jepang telah muncul di delta Irawadi. Otoritas sipil (Inggris) di situ diminta untuk evakuasi. Pasukan Jepang, yang telah mendarat di Laboehanroekoe, di utara Sumatera, melanjutkan perjalanan mereka tanpa menemui perlawanan, dan pagi ini menduduki Medan, ibu kota Sumatera, tanpa perlawanan. Berdasarkan Pangkalan Angkatan Darat Jepang, 13 Maret sebagaiana dikutip dari Domei bahwa Pasukan Jepang, yang telah mendarat di suatu titik di pantai utara Sumatera, di Koetaradja. titik kunci puncak barat laut pulau itu, juga divisi Jepang mendarat tanpa perlawanan kemarin di Pulau Weh yang terletak di ujung utara Sumam dan menduduki kota Sabang’. Dalam berita berikutnya yang dikutip surat kabar Amigoe di Curacao : weekblad voor de Curacaosche eilanden, 17-03-1942 disebutkan bahwa pendudukan lapangan terbang di Kota Radja di ujung utara Sumatera dilaporkan oleh surat kabar ‘Yomiuri’ yang mengatakan bahwa pasukan Jepang mendarat di dekatnya pada hari Kamis dan melucuti garnisun militer Hindia Belanda sebanyak 600 orang. Juga dilaporkan di London bahwa pertempuran sengit masih terjadi di Sumatera, terutama di sekitar Danau Toba, dimana pasukan Sekutu dengan tank ringan merugikan pihak Jepang’.

Pendudukan Kota Radja termasuk lapangan terbang dimana terdapat garnisun militer Hindia Belanda dan Kota Sabang di pulau Weh, praktis kekuatan militer Hindia Belanda di Atjeh lumpuh. Dua kota ini begitu penting, dimana di Kota Radja terdapat lapangan terbang dan di Sabang terdapat pelabuhan samudra. Itu berarti kekuasaan Hindia Belanda dapat dikatakan sudah berakhir sudah.

Pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda di lapangan terbang Kalidjati, Soebang menyerah kepada pasukan militer Jepang. Sehari sebelumnya pihak militer Hindia Belanda meminta genjatan senjata untuk perundingan. Panglima Imamura dan Gurbernur Jenderal van Tjarda yang turut dihadiri Panglima Hindia Belanda Jenderal Ter Poorten ditandatangani penyerahan. Keesokan harinya diumumkan di radio. Tamat sudah era kolonial Belanda di Indonesia (Hindia Belanda).

Berita dari Kalidjati pada tanggal 9 Maret, menjadi anti klimaks perlawanan militer Hindia Belanda terhadap militer Jepang. Berita ini tentu saja sudah di dengar di Medan, Kota Radja dan Sabang. Hal itulah ketika militer Jepang menduduki lapangan terbang Kota Radja dan kota Sabang nyaris tidak ada perlawanan dari militer Hindia Belanda. Setelah Indonesia sepenuhnya diduduki milter Jepang dari Sabang hingga Merauke, maka Panglima Imamura yang bermarkas di Saigon relokasi ke Singapoera. Lalu selanjutnya pemerintahan di Indonesia dibentuk dengan mengundang Ir Soekarno ke Singapoera untuk membicarakan banyak hal dengan Panglima Imamura.

Ir Soekano dan Drs Mohamad Hatta menjadi ketua dan wakil dari pihak Indonesia (Pusat Tenaga Rakyat atau Putera). Dua wali kota di dua kota besar diangkat. Di Kota Soerabaja diangkat sebagai Wali Kota Soerabaja Dr Radjamin Nasution dan di Kota Djakarta diangkat sebagai Wali Kota Djakarta Dahlan Abdullah. Untuk urusan media (cetak dan radio) dikoordinasikan oleh Parada Harahap. Dalam hal ini Parada Harahap membawa rombongannya sendiri antara lain Adam Malik, Mochtar Lubis, Sakti Alamsyah Siregar dan BM Diah (putra Atjeh). Untuk sekadar diketahui bahwa pada tahun 1933 ketika Ir Soekarno diadili di Bandoeng dan akan diasingkan, Parada Harahap, pemimpin surat kabar Bintang Timoer di Batavia memimpin tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang. Mereka berangkat pada tanggal 2 November 1933. Mereka inilah orang Indonesia pertama ke Jepang. Dalam rombongan tersebut termasuk pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan, seorang guru di Bandoeng Mr Sjamsi Widagda, Ph.D dan Drs Mohammad Hatta (yang belum lama tiba di Indonesi setelah selesai studi di Belanda). Nama-nama pasukan Parada Harahap di media itu kelak diketahui Adam Malik sebagai pemimpin kantor berita Antara, Mochatar Lubis pendiri surat kabar Indonesia Raja (di Djakarta), Sakti Alamsyah Siregar pendiri surat kabar Pikiran Rakyat (di Bandoeng) dan BM Diah pendiri surat kabar Merdeka (di Djakarta).

Selama era pemerintahan militer Jepang, tidak ada yang terinformasikan di Atjeh. Sebagaimana di Jawa dan khususnya di Djakarta, para pemipin pribumi mengambil bagian dalam pemerintahan, sesuatu yang tidak didapat pada era kolonial Belanda.

Pada awal tahun 1945, pemerintah pendudukan militer Jepang mulai menyiapkan yang berkaitan dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Lalu dibentuk Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ir Soekarno, Drs Moahammad Hatta dan Parada Harahap termasuk di dalamnya. Selanjutnya setelah BPUPKI berakhir dibentuk badan baru untuk penyusunan perihal bernegara seperti dasa negara dan undang-undang dasar yang disebur Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir Soekarno dan wakilnya Drs Mohamad Hatta. Parada Harahap tidak lagi ikut dalam kepanitiaan ini, tetapi digantikan oleh Mr Abdoel Abbas Siregar. Satu wakil yang berasal dari Atjeh adalah Mr. Mohammad Hasan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perang Kemerdekaan dan Pengakuan Kedaulatan Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar