Laman

Senin, 26 April 2021

Sejarah Filipina (23): Manuel Quezon Jadi Presiden Filipina Semasa Amerika Serikat; Ir. Soekarno, George Washington Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Filipina dalam blog ini Klik Disini

Dr. Jose Rizal di Filipina dan Sanusi Pane di Indonesia memiliki banyak kesamaan dalam berjuang melawan kolonialisne, dan demikian pula Manuel Quezon di Filipina dan Ir. Soekarno di Indonesia memiliki banyak kesamaan dalam berjuang melawan kolonialisme. Namun tentu saja ada perbedaan antara Manuel Quezon yang dianggap sebagai Presiden Filipina pertama dan Ir.Soekarno sebagai Presiden Indonesia pertama. Manuel Quezon menjadi Presiden dalam bingkai Persemakmuran Amerika Serikat, Ir. Soekarno sebagai Presiden Indonesia pertama pernah dijuluki sebagai  George Washington van Indonesia.

Seperti halnya pejuang Dr. Jose Rizal meninggal tahun 1896 sebelum lahirnya Sanusi Pane 1905. Manuel Luis Quezón y Molina lahir 19 Agustus 1878 dan pada tahun 1935 diangkat sebagai Presiden Filipina (dalam persemakmuran Amerika Serikat). Manuel Quezón adalah Presiden Senat pertama yang terpilih menjadi presiden, presiden pertama yang terpilih melalui pemilihan nasional dan presiden pertama yang terpilih kembali (untuk masa jabatan kedua) dan kemudian jabatannya diperpanjang karea situasi Perang Pasifik. Manuel Luis Quezón meninggal 1 Agustus 1944 pada era Pendudukan Militer Jepang. Sebelum terjadi pendudukan militer Jepang, Manuel Luis Quezón melarikan diri dan mendirikan pemerintahan pengasingan di Amerika Serikat. Sementara itu pada saat Pendudukan Militer Jepang, Ir. Soekarno bekerjasama. Setahun meninggalnya Manuel Luis Quezón di Amerika Serikat, Ir. Soekarno kemudian pada bulan Agustus 1945 Ir. Soekarno menjadi Presiden Indonesia pertama. Pada tahun sebuah klub Indonesia di New York menjuluki Presiden Soekarno sebagai George Washington van Indonesia. Pada saat kunjungan Soekarno ke Amerika Serikat 1954, Presiden Soekarno kembali dijuluki sebagai George Washington van Indonesia. Di dalam negeri, Manuel Quezón dikenal sebagai Bapak Bahasa Nasional.

Lantas bagaimana sejarah Manuel Quezon di Filipina? Sudah barang tentu telah ditulis, tetapi sejauh data baru ditemukan narasinya tidak pernah berhenti. Yang jelas bahwa ada perbedaan bentuk perjuangan Dr. Jose Rizal dan bentuk perjuangan Manuel Quezon. Lalu bagaimana Manuel Quezon dan Soekarno berjuang pada tahun-tahun yang bersamaan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Manuel Quezon Berjuang di Filipina, Meninggal di Amerika Serikat

Sejak kehadiran Amerika Serikat di Filipina (1898), secara perlahan pengaruh Emilio Aguinaldo dikeberi yang mana Amerikan Serikat meningkatkan statusnya di Filipina yang sebelumnya sebagai ‘pengawas’ pemerintahan yang baru di Filipina menjadikan rakyat Filipina sebagai subjek. Perjanjian Paris antara Spanyol dan Amerika Serikat diratifikasi (1900) yang mana selanjutnya Filipina berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat (dengan menempatkan Gubernur Jenderal di Filipina). Dengan sendirinya republik Filipina dilikuidasi dan tamat sudah perjuangan Emilio Aguinaldo (karena harus mengambil sumpah setia kepada Amerika Serikat).

Transisi Spanyol kepada Amerika Serikat berakhir tahun 1902. Namu tentu saja tidak mudah bagi Amerika Serikat menerapkan kebijakannya karena di satu sisi Amerika Serikat tidak punya pengalaman sebagai penjajah dan di sisi lain rakyat Filipina masih menginginkan kemerdekaannya. Hal itulah mengapa para investor Amerika Serikat enggan berinvestasi di Filipina karena para investor tidak memiliki ekspektasi jangka panjang yang jelas. Pemerintah Amerika Serikat di Filipina dalam dilema.

Pada tahun 1911 salah satu tokoh Filipina Manuel L Coezon (komisaris pribumi di pemerintahan Amerika Serikat di Filipina) muncul ke permukaan yang tetap mengusung kemerdekaan Filipina dengan dalih Filipina akan terus terancam dari invasi Jepang jika Amerika Serikat tetap bertahan di Filipina (lihat De Nederlander, 18-05-1911).

Kebangkitan Asia mulai bersemai di berbagai wilayah. Di Tiongkok tokoh politik Sun Yat Sen mempelopori persatuan nasional dengan berdirinya Republik Tiongkok pada tahun 1911 dengan partanya Kuomintang yang mana Sun Yat Sen menjadi pejabat presiden pada tahun 1912, dan presiden pada tahun 1923-1925. Hal yang sama juga terjadi persatuan nasional di Burma dan India. Sedangkan persatuan nasional (seluruh koponen bangsa) hanya terasa di Sumatra dan di Belanda. Pada tahun 1911, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan berpidato di hadapan para pakar dan peminat Indonesia di Belanda. Dalam forum yang diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

 

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

 

..saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan pribumi).

 

Kutipan pidato Soetan Casjangan pada tahun 1911 tersebut dikutip dan dilansir sejumlah surat kabar di negeri Belanda dan di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda di Negeri Belanda dan orang-orang Belanda di Hindia Belanda dengan sendirinya menjadi paham mengetahui problem dan harapan yang disampaikan oleh Soetan Casajanagan. Soetan Casajangan diundang sebagai tokoh senior di Indische Vereeniging (Perhipunan ‘mahasiswa’ Hindia). Soetan Casajangan saat berpidato belum lama lulus mendapat gelar sarjana pendidikan. Soetan Casajangan sendiri adalah mahasiswa pribumi kedua di Belanda yang tiba di Belanda tahun 1905. Pada tahun 1908 Soetan Caajangan mempelopori dibentuknya persatuan mahasiswa pribumi di Belanda dengan nama Indische Vereeniging yang kemudian secara aklamasi Soetan Casajangan diangkat sebagai Presiden Indische Vereeniging. Indische Vereeniging di Belanda pada tahun 1908 berbeda dengan Boedi Oetomo di Jawa yang juga didirikan pada tahun 1908. Boedi Oetomo hanya terbatas pada persatuan di Jawa, Madura dan Bali. Sedangkan Indische Vereeniging bersifat nasional (seluruh Indonesia-Hindia Belanda). Indische Vereeniging kelak pada tahun 1924 oleh Mohamad Hatta dkk diubah namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia.

Pedapat Manuel L Coezon yang dilansir surat kabar di Belanda, De Nederlander edisi 18-05-1911) memberika jawaban ketika ditanya: ‘Cara terbaik untuk menghentikan pembicaraan lebih lanjut tentang kemungkinan perang dengan Jepang adalah agar Amerika Serikat segera mendeklarasikan kemerdekaan Filipina karena kelemahan kekuatan militer Paman Sam di Asia’.

Manuel L Coezon, seorang Filipina yang mewakili Kepulauan Washington(baca: Filipina) sebagai Komisaris Asli, ditanya apakah dia hidup dalam rumor perang yang berulang: ‘Tidak ada negara di dunia yang berani memprovokasi perang dengan Amerika Serikat jika tidak memiliki koloni di Timur Jauh ini. Semua perjalanan dan pergerakan angkatan laut Amerika Serikat untuk mempertahankan persatuan di Filipina tidak akan memiliki kekuatan untuk berhasil mempertahankan Filipina dari serangan Jepang. Pengeluaran ribuan juta dolar akan diperlukan untuk bala bantuan guna membantu pulau-pulau itu maju dan mengamankan serangan semacam itu. Beberapa orang berpendapat bahwa jika Jepang telah mengambil pulau-pulau itu, Amerika Serikat pada akhirnya dapat merebutnya kembali. Ini mungkin benar, tetapi kemudian Filipina akan menjadi tempat Perang Dunia II dan penduduknya akan menjadi korban, karena kerusakan besar harta benda tidak dapat dicegah. Itu akan menghancurkan kemakmuran negara saya selamanya. Dalam kasus ini, Amerika Serikat memiliki kewajiban moral untuk mengamankan Filipina dari bahaya ini, karena kehormatan perhimpunan dijanjikan untuk kemakmurannya dan oleh karena itu cara teraman bagi Amerika Serikat untuk mengakhiri pembicaraan perang adalah dengan menjadikan pulau-pulau itu sebagai republik netral. Tanpa Filipina, tanpa; mata rantai lemah dalam rantai militer ini, Amerika Serikat dapat dengan mudah menjaga dirinya sendiri. Dan harus diingat bahwa rantai tidak lebih kuat dari mata rantai terlemahnya. Jika pulau-pulau di Amerika Serikat (baca: Filipina) dipisahkan, kemungkinan perang akan diminimalkan.

Ketika Manuel L Coezon ditanya lebih lanjut apakah dia mengharapkan kemerdekaan dari Partai Demokrat (partai yang berkuasa di Amerika Serikat saat itu), Manuel L Coezon menjawab: ‘Iya, dengan antusias, ‘karena dalam platform nasional terbaru partai itu berjanji untuk mengambil langkah definitif untuk memberikan kemerdekaan kepada Filipina. Satu hal yang pasti, semakin lama kasus ini ditunda, semakin sulit pula melepaskan pulau-pulau itu (Filipina). Semakin banyak modal Amerika Serikat diinvestasikan di pulau-pulau (Filipina), semakin kuat argumen akan menjadi untuk kebutuhan kita sendiri, untuk melindungi kepentingan Amerika Serikat’.

Apa yang menjadi isi pidato Soetan Casajangan di Belanda dan apa yang dapat dibaca pada surat kabar di Belanda tentang pendapat Manuel L Coezon meski berbeda konteks tetapi keduanya memiliki esensi yang sama: kemandiriang bangsa, melepaskan diri dari keterikatan bangsa asing (penjajah Belanda dan Amerika Serikat). Soetan Casajangan dan Manuel L Coezon pada saat Tiongkok telah mendapatkan kemerdekaannya, keduanya menyampaikan opini secara santun dan diplomatis.

Persatuan nasional (nasionalisme) bangsa Asia sesungguhnya telah tejadi sahut-sahutan diantara para pemimpinnya dalam konteks mulai membangun bangsa sendiri dan mulai melepaskan diri dari (ketergantungan) bangsa asing (penjajah) Inggris di Tiongko dan India, Spanyol di Filipina dan Belanda di Indonesia. Dalam satu kesempatan Manuel L Coezon juga menyinggung tentang keberhasilan yang sudah diraih di Tiongkok sebagaimana Manuel L Coezon hadir dalam Kongres Rakyat yang diadakan di London 27 Juli 1911 (lihat Algemeen Handelsblad, 28-07-1911). Dalam kongres yang berpidato yang juga terdaftar seorang pakar Belanda yang paham Indonesia Prof. Nieuwenhuis, direktur Batak Instituut di Leiden (namun berhalangan hadir) dan Mr JH Abendanon, mantan Direktur Pendidikan dan Industri di Hindia Belanda, seorang Menteri Tiongkok, Menteri Prancis, anggota Parlemen Inggris John Robertson, Dr. Gilbert Reid dan lainnya. Sari berita yang dimaksud adalah sebagai berikut, Algemeen Handelsblad, 28-07-1911:

Presiden Kongres pagi ini membuka pertemuan dengan pidato singkat, dimana dia menunjukkan bahwa orang Tionkok muncul berabad-abad yang lalu dari campuran sejumlah orang yang tinggi dan beradab dan bahwa rasa kemajuan dan peradaban terus berlanjut selama berabad-abad. Cina telah ada. Dia menekankan bahwa ada kecemburuan rasial di dunia dan akan sangat bodoh untuk menyangkalnya. Jika masyarakat ingin semakin memahami bahwa mereka adalah bagian dari satu keluarga, maka kecemburuan dan prasangka satu terhadap yang lain harus hilang. Untuk tujuan ini, pemerintah, pendidik, dan guru di semua negara harus bekerja sama. Dan jika hasil Kongres ini akan dipahami di semua negara bahwa adalah tugas semua pemerintah, pendidik dan guru di semua yang disebut negara beradab untuk mempromosikan kemajuan yang disebut sebagai masyarakat terbelakang, maka Kongres telah membuahkan hasil… John Robertson menggarisbawahi bahwa anggota parlemen Barat bisa belajar dari Timur, begitu pula sebaliknya…. Dr. L de Lange, sekretaris jenderal Inter-Parliamentary Union, yang mewakili badan ini pada kongres bersama Lord Weardale menunjukkan bahwa sistem parlementer menjadi semakin diterima dan dipahami, bahwa tidak ada negara yang berhak untuk ditempatkan di bawah perwalian bangsa lain, kecuali perwalian itu harus menjadi kebutuhan untuk keselamatan bangsa lain…Salah satu pidato yang patut mendapat perhatian adalah dari Manuel E. Quezon dari Filipina, yang menyimpulkan dari sejarah Filipina beberapa tahun terakhir bahwa pernyataan Kipling bahwa Timur dan Barat akan saling bertemu adalah tidak benar. Dia percaya bahwa cara orang Filipina menerima sistem parlementer barat telah sepenuhnya menyangkal klaim ini dan bahwa, justru melalui sistem parlementer, pemisahan rasial paling baik dijembatani…Dalam Kongres ini juga dihadirkan pameran yang menampilkan ratusan gambar berwarna yang menggambarkan ras semua warna yang hidup di dunia termasuk orang-orang Timur (Asia) yang secara khusus tentang Indonesia merupakan koleksi potret dari pakar dan peneliti Indonesia Prof. Blok, Prof. Van Vollenhoven dan Prof. Hartman yang diantara gambar yang ditapilkan terdapat foto mahasiswa Indonesia (Hindia Belanda) yang belajar di Leiden.

Dalam hubungannya dengan Indonesia, seperti disebutkan di atas, bahwa setelah Kongres Rakyat di London pada tanggal 27 Julis 1911, beberapa bulan kemudian pada bulan Agustus 1911 di Belanda, tokoh Indonesia di Belanda Soetan Casajangan diundang untuik berpidato di hadapan para pakar dan peminat Indonesia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Presiden Soekarno, George Washington van Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar