Laman

Minggu, 06 Juni 2021

Sejarah Makassar (17): Zaman Kuno Bugis Makassar, Kerajaan Luwu dan Tana Toraja; Makale, Mamasa, Mamaju, Majene, Maros

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Sejarah zaman kuno tidak selalu menarik, tetapi sejarah zaman kuno memiliki tantangan tersednri. Perlunya mempelajari sejarah zaman kuno, karena dari situlah kita berasal. Satu hal yang menjadi hambatan mempelajari sejarah zaman kuno karena minimnya data yang tersedia. Namun sejarah zaman kuno tetaplah penting sebagai bagian dari pengetahuan yang tidak terpisahkan dengan sejarah selanjutnya hingga sejarah masa kini. Lalu apa yang harus dilakukan? Terus berupaya untuk menggali data dan meningkatkan tingkat analisis. Jika data  tidak tersedia bukan berarti mengikuti  pepatah ‘tidak ada rotan, akarpun jadi’. Melakukan analisis ibarat menyeberang sungai, jika tidak ada jembatan di sisi kita berdiri dapat dilakukan dengan berjalan dan berenang di air, jika terlalu jauh atau dalam, dapat dilakukan dengan melompat atau dengan menggunakan galah sehingga sampai ke tujuan di sisi lain.

Sejarah Sulawesi bagian selatan memiliki sejarah yang berbeda dengan Sulawesi bagian utara. Namun ada jembatannya. Pada era VOC bagian selatan memusat di Makassar dan bagian utara memusat di Manado. Tanda-tanda itu sedikit bergeser di era Portugis. Lalu bagaimana dengan era sebelumnya yang masuk zaman kuno? Tentu saja tidak terlihat dan gelap. Akan tetapi bintang-bintang di langit jika terus dilihat tanpa berkedip akan terlihat, seakan bintang-bintang itu memperlihatkan diri. Itulah prinsip dasar memahami sejarah zaman kuno, minim data, jauh di masa lampau, kurang penting tetapi masih diperlukan. Untuk menganalisisnya dapat digunakan dengan alat bantu seperti pepatah galah untuk meninggikan lompatan kita atau memperpanjang jangkaun tangan kita. Alat bantu apakah? Melihat dengan bantuan kaca (kaca cermin atau kaca pembesar) untuk bisa melihat lebih luas dan lebih tajam.

Lantas bagaimana sejarah zaman kuno Sulawesi Bagian Selatan? Sebelum terbentuk kota Makassar sebagai pusat perdagangan, sudah eksis penduduk sejak zaman kuno di bagian tengah pulau yang disebut Tana Toraja. Lalu terbentuklah kerajaan tertua di dekat Tana Tora yang disebut Kerajaan Luwu. Demikian disebut dalam sejarah awal di Sulawesi Bagian Selatan. Lalu bagaimana selanjutnya. Terdapat nama-nama kota pelabuhan yang berawalan Ma (seperti Makassar, Makale, Mamasa, Mamaju, Majene dan Maros). Apakah itu penting? Tidak terlalu penting tetapi dapat membantu bagaikan galah. Okelah, bagaimana darimana dimulai sejarah zaman kuno? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Tana Toraja dan Kerajaan Luwu

Dalam buku Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca (1365) disebutkan nama Makassar, Bantaeng, Luwuk, Buton, Banggai dan Selayar. Dalam tulisan-tulisan masa ini semua nama yang disebut dalam buku itu adalah wilayah taklukkan Kerajaan Majapahit. Entah dari mana sumbernya. Padahal pada Pupuh 15 hanya disebutkan ‘negara-negara yang Hayam Wuruk menjalin hubungan persahabatan’ (lihat Prof Kern, 1919). Apakah Kerajaan Majapahit yang agraris cukup kaya memiliki resouces untuk membiayai tentara dan logistik ekspedisi yang tidak sedikit? Kecuali maksudnya menjalin persahabatn dengan banyak pelabuhan dan kerajaan untuk tujuan pertukaran komoditi (ekonoi dan perdagangan). Okelah itu satu hal. Hal yang lebih penting adalah bahwa nama Makassar dan Luwuk sudah dikenal, paling tidak sebagai pusat (pelabuhan) perdagangan.

Dalam daftar ini hubungan persahabatan itu, tidak disebutkan nama kerajaan tetapi hanya nama-nama pelabuhan yang memang ada yang sama dengan nama kerajaan. Satu nama kerajaan besar tidak disebutkan yakni Kerajaan Aru di daerah aliran sungai Barumun (kini pusat percandian Padang Lawas, Sumatra Utara). Nama Rokan, Mandailing, Pane, Karo, Kampei dan Tamihang di pantai timur dan Barus di pantai barat Sumatra adalah pelabuhan-pelabuhan dari Kerajaan Aru yang berpusat di pedalaman (di Binanga). Di eks wilayah Kerajaan Sriwijaya hanya disebut pelabuhan Palembang dan Jambi. Apa yang tidak terdapat atau tidak dinyatakan dalam buku itu, sebagaimana juga saya telah baca, sudah ada yang menyuarakan seperti arkeolog Hasan Djafar yang mengatakan Majapahit tidak pernah menguasai seluruh wilayah yang menjadi Indonesia sekarang. Peta pelabuhan relasi perdagangan Majapahit (Kern, 1919).

Kerajaan Aru saat itu sebagai kerajaan besar, memiliki mitra sejati dengan pedagang-pedagang Moor. Kerajaan Aru sebagai kerajaan yang sudah lama, jauh sebelum muncul Kerajaan Majapahit, memiliki wilayah perdagangan yang cukup luas mulai dari Brunai, Makai, Luzon, dan pulau-pulau Filipina lainnya, Semenanjung Sulawesi dan (kepulauan) Maluku (lihat prasasti Laguna 900 M). Ditemukannya prasasti di Minahasa juga diduga terhubung dengan Kerajaan Aru (namun tidak diketahui tahun prasasti). Dalam fase ini wilayah Sulawesi bagian selatan yang berpusat di Makassar berada diantara dua kekuatan besar Kerajaan Majapahit di wilayah selatan dan Kerajaan Aru di wilayah utara.

Kerajaan Aru atau Kerajaan Panai pada era Kerajaan Majapahit (Hindoe)i sudah beragama Islam. Ini dapat dilihat pada prasasti Batugana yang terdapat pada candi Bahal di Padang Lawas (tidak diketahui tahun). Di dalam prasasti disebut Kerajaan Aru memiliki empat raja (suatu federasi) yang mana dua diantaranya bergelar Kadhi dan satu diantaranya pernah berhaji. Pada tahun 1398 raja Majapahit Hayam Wuruk meninggal, yang setelah ini kerajaan Majapahit mengalami kemunduran. Seperti telah sisebut di atas, Negarakertagama ditulis Mpu Prapanca pada tahun 1365. Sementara Kerajaan Aru masih eksis yang mana pada ekspedisi Tiongkok yang dipimpin Cheng Ho 1403-1433 juga singgah di pelabuhan Kerajaan Aru (di Panai). Laporan Tiongkok (Ma Huan) ini mengindikasikan ada hubungan yang erat antara Kerajaan Aru dengan Tiongkok.

Bagaimana hubungan antara Kerajaan Aru dengan kota-kota pelabuhan di Sumatra, Boeneo, Filipina, Sulawesi dan Maluku dapat dilihat dengan adanya pengaruh Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor di kawasan perdagangan tersebut. Dalam hal ini paling tidak ada tiga nama tempat yang perlu diperharikan yakni Makassar, Luwuk dan Maluku. Sejak era Majapahit sudah diidentifikasi nama Bantaeng, Selayar, Buton, Ceram dan Banggai, tetapi nama Manado belum ada. Ini mengindikasikan lalu lintas navigasi pelayaran perdagangan, sesuai catatan Prapanca, wilayah Filipina, semenanjung Celebes hinggga ke Maluku belum begitu ramai.

Dalam berbagai tulisan pada masa ini disebutkan bahwa Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua, terbesar, dan terluas yang ada di Sulawesi [Bagian] Selatan. Wilayah Kerajaan Luwu meliputi Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan juga Poso. Juga disebutkan bahwa sekitar abad ke-10 diperkirakan sebagai awal berdirinya Kerajaan Luwu yang didirikan oleh  Batara Guru (Tomanurung) sekaligus sebagai raja pertama yang menguasai Kerajaan Luwu. Dikatakan Kerajaan Luwu sebagai kerajaan tertua di di Sulawesi [Bagian] Selatan karena asal-usul setiap raja di Sulawesi Selatan berasal dari Luwu, seperti halnya Kerajaan Gowa yang menganggap raja pertama mereka mempunyai asal-usul dari kerajaan Luwu. Demikian juga dengan Kerajaan Bone. Pusat kerajaan Luwu (Ware’) yang pertama adalah di daerah Ussu (Manussu).  Kerajaan Luwu disebut baru menerima adanya agama Islam sekitar abad ke-15, tepatnya pada tahun 1593. Kerajaan Luwu adalah kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menganut agama Islam. Agama Islam sendiri dibawa ke Tana Luwu oleh Dato’ Sulaiman dan Dato’ ri Bandang yang berasal dari Aceh.

Lantas kapan Kerajaan Luwuk terbentuk? Jika sudah terbentuk pada abad ke-10. Itu berarti Kerajaan Singhasari di Jawa belum ada. Kerajaan Majapahit yang menjadi suksesi Kerajaan Singhasari baru terbentuk setelah meninggalnya raja Singhasari yang terakhir Raja Kertanegara (meninggal tahun 1292). Hingga invasi kerajaan Chola dari India selatan pada tahun 1022 (lihat prasasti Tanjore 1030) hanya empat kerajaan yang dilaporkan semuanya berada di selat Malaka yakni Lamuri, Kadaram, Panai (Kerajaan Aru) dan Sriwijaya.

Pada prasasti Laguna di Filipina bertahun 900 M disebutkan raja termasyhur dari Binwangan memberi pengampunan kepada raja Namayaan yang disaksikan oleh tiga radja di Tondo, Pila dan Pulilan. Empat kerajaan ini semuanya berada di teluk Manila pulau Luzon. Kerajaan besar apa yang beribukota di Binwangan itu? Kerajaan tersebut dapat jga diketahui dari prasasti Kedukan Bukit 682 M yang menyatakan Raja Dapunta Hiyang dari Minana telah tiba di Hulu Upang dengan kekuatan tentara 20,000 untuk mendukung Kerajaan Sriwijaya. Hulu Upang sebagai ibukota Sriwijaya pada saat itu masih di Hulu Upang (kini di pulau Bangka). Hanya satu-satunya nama kota yang sesuai dengan nama Binwangan dan Minana yakni Binanga di sungai Barumun (ibu kota Kerajaan Aru). Kini Binangan sebuah kecaamatan di muara sungai Panai di percandian Padang Lawas (Tapanuli). Kerajaan Aru memiliki dua pelabuhan ekspor yakni di pantai barat Sumatra di Barus dan di pantai timur Summatra Binanga sendiri. Binanga di uara sungai Panai dan Sriwijaya yang diserang invasi Chola pada tahun1022 adalah dua kerajaan dari empat kerajaan yang diserang. Dari keterangan prasasti ini diduga kuat, Kerajaan Aru atau Kerajaan Panai pada saat terbentuknya Kerajaan Luwu pada abad ke-10, sudah memiliki pengaruh yang kuat di Filipina. Filipina dan Luwi di selatan (pulau Sulawesi) tidak begitu jauh. Lantas apakah pengaruh Kerajaan Aru juga sampai ke Kerajaan Luwu? Pada prasastu Minahasa (parasasti Waru Rerumeran atau prasati Watu Pinawetengan) sudah ada indikasi adanya pengaruh Kerajaan Aru. Paling tidak dapat diperhatikan pada masa ini kosa kata elementer seperti ayah dan ibu di Kerajaan Aru (kini Tapanuli Selatan) mirip dengan bahasa Minahasa (dan juga bahasa etnik Aeta di teluk Manila pulau Luzon).

Di pulau Sulawesi, bahasa di wilayah utara seperti Minahasa dan bahasa di selatan seperti Luwu berbeda. Tidak ada persamaan dalam kosa kata elementer. Namun bahasa-bahasa di bagian selatan Sulawesi seperi di Luwuk memiliki sistem bilangan yang mirip dengan di Kerajaan Aru (Tapanuli Selatan). Tidak hanya itu saja.

Penyebutan bilangan belasan bahasa Bugis seperti sampulu seddi, sampulu duwa, sampulu tellu dst yang dapat dibandingkan dengan di Tapanuli selatan sampulu sada, sampulu dua, sampulu tolu dst. Hal serupa dengan bahasa Makassar sampulos se're, sampulong rua, sampulong tallu dst. Tentu saja tidak hanya itu, pada bahasa Bugis seperti    indo, gora dan jolo dsb dan bahasa Makassar ga'ga, riolo,  ce'la, balu dsb. Sistem bilangan serupa ini hanya ditemukan di Tapanuli Selatan dan Bugis-Makassar. Unik bukan? Lalu pada era VOC ditemukan gelar Aru di kota Makassar, apakah ada kaitannya dengan Kerajaan Aru di muara sungai Panai di sungai B-aru-mun. Aru sendiri pada era lingua franca Sanskerta diartikan sungai, Kerajaan Aru adalah Kerajaan Sungai karena di sekitar Binanga terdapat banyak sungai. Seperti kita lihat nanti mengapa ada nama pulau Aru di laut Arufuru, sebagaimana nama pulau Aru juga ada tepat berada di muara sungai Barumum di pantai timur Sumatra. Satui hal lagi mengapa aksara di Bugis Makasar, di Minahasa dan Filipina mirip dengan aksara di Kerajaan Aru, meski sama-sama merujuk pada aksara Pallawa (India) tetapi berbeda dengan aksara di Jawa. Apakah ada pengaru budaya Jawa di Sulawesi atau Filipina?

Seperti halnya dalam budaya, apakah ada persamaan sistem pemerintahan di Jawa dengan di Sulawesi? Tampaknya siste pemerintahan di Sulawesi, Filipina dan Maluku mirip dengan di Kerajaan Aru. Sistem pemerintahan di Kerajaan Aru, bukan monarki seperti di Jawa dan Sumatra Selatan, dan juga bukan Oligarki seperti di Atjeh, tetapi sistem federasi (permusyawaran para raja-raja yang membentuk federadi dimana salah satu diantara dipilih sebagai raja tetapi hanya sebagai primus interpares. Hal itu dapat ditemukan, seperti disebut di atas pada prasati Laguna di Luzon 900 M, demikian juga di Minahasa (prasasti Rerumeran). Seperti kita lihat nanti sistem ini juga ditemukan di kerajaan Maluku (kerajaan Ternate). Bagaimana pengaruh Kerajaan Aru begitu jauh hingga ke Meluku?

Seperti disebut di atas, agama Islam diadopsi Kerajaan Luwu pada tahun 1593. Apakah itu terlalu muda. Sebab Kerajaan Ternate yang dibentuk sejak 1257 dengan raja pertama Baab Mashur Malamo (1257-1272) yang kemudian disebut kerajaan Ternate mengadopsi agama Islam pada pertengahan abad ke-15. Seperti disebut di atas, Kerajaan Aru atau Kerajaan Panai pada era yang bersaaan dengan Kerajaan Majapahit (Hindoe)i sudah beragama Islam. Ini dapat dilihat pada prasasti Batugana yang terdapat pada candi Bahal di Padang Lawas. Pada saat itu Kerajaan Sriwijaya yang Boedha sudah mengalami kemunduran setelah diserang Majapahit yang Hindoe. Jadi kerajaan besar hanya dua yakni Kerajaan Aru yang Islam dan Kerajaan Majapahit yang Hindoe. Kerajaan Majapahit menurun setelah meninggaln ya Raja Hayamwuruk 1398 sementara Kerajaan Aru yang Islam masih eksis. Sejak kapan Kerajaan Aru mengadopsi Islam? Besar dugaan setelah kehadiran pedagang-pedagang Moor di selat Malaka dan pantai timur Sumatra. Seperti disebut di atas Kerajaan Aru sudah mengadopsi Islam sebagaimana disebut keterangan pada prasasti Batugana yang mana dua diantara raja Kerajaan Aru atau Kerajaan Panai bergelar Kadhi yang mana satu diantara bergelar haji. Hal itulah diduga mengapa Ibnu Batutah seorang Moor asal Tunisia berkunjung ke pantai timur Sumatra pada tahun 1345 dalam rangka kunjungannya ke Tiongkok. Setelah Majapahit mengalami kemunduran maka muncullah ekspedisi Tiongkok yang dipimpin laksamana Muslim Cheng Ho 1403-1433 yang mana juga singgah di pelabuhan Panai (Kerajaan Aru). Dengan demikian ada hubungan yang kuat antara kehadiran pedagang-pedagang Moor dengan diadopsinya Islam di Kerajaan Aru dan disusul kunjungan Ibnu Batutah dan ekspedisi Cheng Ho. Inilah yang disebut awal era Islam (menggantikan era Hindoe Boedha). Dengan mengikuti situasi seperti itu, pengaruh Kerajaan Aru yang sudah lama mencapai Maluku disebut Kerajaan Ternate baru mengadopsi Islam pada tahun 1450 dan Kerajaan Luwu tahun 1593.  Sekali lagi, apakah ini kemudaan alias telat? Hal yang sama juga di Kerajaan Gowa yang di dalam berbagai tulisan Islam baru diadopsi pada tahun 1605. Kerajaan pertama yang mengadopsi Islam di Jawa adalah Kerajaan Demak pada tahun 1475.  Hal ini telat karena pengaruh Majapahit masih ada di wilayah selatan (di Jawa). Di wilayah utara dua kerajaan yang sudah Islam yakni Kerajaan Aru dan Kerajaan Malaka yang sudah lama Islam dan memiliki navigasi pelaayaran perdagangan hingga Meluku yang sudah lama terbentuk, apakah Kerajaan Ternate baru Isla pada tahun1550 dan Kerajaan Luwu tahun 1593.

Kerajaan Aru melakukan navigasi pelayaran perdagangan ke Maluku via Borneo utara, Filipina dan Sulawesi dalam hal ini tidaklah sendiri. Kolaborasi Kerajaan Aru dengan pedagang-pedagang Moor faktor penentu. Orang-orang Moor adalah pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang beragama Islam yang andal berasal dari Afrika Utara. Orang-orang Moor terusir dari Eropa Selatan di Spanyol (Cordoba) pasca Perang Salib. Orang-rang Moor banyak yang menyebar hingga menemukan jalan ke Hindia Timur, mereka mudah beradaptasi seperti pepatah dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung. Hal itulah mengapa terbentuk kolaborasi yang kuat antara Kerajaan Aru dengan pedagang-pedagang Moor.

Hubungan yang saling menguntungkan antara Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor di pihak Kerajaan Aru memerlukan pedagang-pedagang Moor sebagai penghubung perdagangan ke pasar Eropa dan pihak pedagang-pedagang Moor memerlukan Kerajaan Aru karena memiliki kekuatan yang dapat menjaga keamanan perdagangan mereka di dalam navigasi pelayaran. Hal itulah mengapa pedagang-pedangang Moor memerlukan mitra Kerajaan Aru, karena Kerajaan Aru sendiri sudah sejak lama memiliki pengaruh hingga ke Maluku. Dalam konteks bermitra ini mengapa ada nama Aru di pulau Halmahera (kini kota Daruba) dan nama pulaui Aru di laut Arufuru. Sementara nama Moor muncul di pulau Halmahera yang dicatat pelaut-pelaut Portugis sebagai nama pulau yang beru sebagai Batachini del Moro, Nama Moor juga muncul sebagai nama pulau Morotai dan nama kawasan Morowali, Nama Moor juga muncul di dekat pulau Aru yakni Morouke dan kota-kota pelabuhan di selat Torres, pelabuhan Daruba di muara sungai Morehead dan di teluk Port Moresby. Teluk di Raja Ampat yang sekarang pada era VOC masih disebut teluk Mooresche. Last but not least. Orang-orang yang berasal dari Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor yang Islam terusir dari pulau Luzon, pulau Panai dan pulau Mindoro oleh Spanyol (Katolik) pada tahun 1570 dan kemudian memusat di Filipina selatan di pulau Mindanao dan pulau-pulau sekitar. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal Bangsa Moro yang sekarang. Hal itulah mengapa begitu banyak nama-nama geografis di Filipina khususnya di teluk Manila yang mirip dengan nama-nama tempat di eks Kerajaan Aru (Tapanuli Selatan).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Makassar: Kota Pelabuhan Penting

Seperti halnya nama Bantaeng, Buton, Banggai dan Selayar, nama Luwuk dan Makassar sudah terbilang tua, paling tidak sudah diidentifikasi pada Negarakrtagaa 1365, Berdasarkan identifikasi pada peta Kern (1919) yang disalin dari Kertagama, posisi Makassar berada pada sisi luar lalu lintas navogasi pelayaran dari selatan (Jawa) di (pulau) Sulawesi. Posisi Lwuk lebih ramau karena berada diantara Selayar dan Buton. Ini mengindikasikan bahwa pantai barat (pulau) Sulawesi hanya diwakili oleh posisi Makassar. Manado, di pantai utara Sulawesi belum ada.

Jika posisi Makassar dihubungkan dengan wilayah-wilayah di utara di pantai barat Sulawesi maka informasi zaman kuno yang ada hanyalah prasasti Laguna (Manila) tahun 900 M dan prasasti Minahasa (prasasti Watu Rerumeran). Dua prasasti tersebut diduga terkait di wilayah utara, sementara di wilayah selatan prasasti-prasasti di Jawa terhubung dengan prasasti di Flores. Dengan navigasi pelayaran perdagangan dari selatan (Majapahit) yang mencapai hingga Seram dan Maluku serta Buton dan Makassar, dan navigasi pelayaran perdagangan dari utara Borneo, Filipina dan Minahasa diduga telah bertemu di wilayah selatan Sulawasei (provinsi Sulawesi Selatan dan provinsi Sulawesi Barat yang sekarang). Lalu kemudian, seperti yang disebut di atas, mengapa aksara Bugis Makassar lebih mirip dari arah utara (Sumatra) daripada arah selatan (Jawa). Apakah sistem bilangan pada bahasa Bugis Makassar dipengaruhi dari utara, karena sistem bilangan tersebut hanya ditemukan di Sumatra (Kerajaan Aru). Sementara kosa kata elementer di wilayah Minahasa dan wilayah Filipina memiliki kesamaan dengan Sumatra (Kerajaan Aru).

Secara umum kelompok bahasa-bahasa di pulau Sulawesi dapat ditarik ke arah dua kutub yakni kelompok-kelompok bahasa di bagian utara dan bahasa di bagian selatan. Kelompok bahasa-bahasa di bagian selatan pulau Sulawesi tampak memiliki akar yang sama apakah bahasa Bugis maupun bahasa Makassar. Tampaknya bahasa-bahasa di bagian selatan Sulawesi berakar dari bahasa Toraja. Lalu apakah bahasa Makassar dan bahasa Bugis yang dipengaruhi secara kuat bahasa Melayu merupakan bahasa yang terbentuk baru setelah intensnya navigasi pelayaran pedagangan? Pengaruh bahasa Melayu ini semakin kuat di wilayah pulau-pulau Maluku termasuk Amboina dan Ternate.

Pada masa kini terdapat nama-nama geografi di bagian selatan Sulawesi dengan awalan Se atau Si seperti Sendana (Majene), Sengkang (Wajo) dan Seko (Luwu). Seppang (Bulukumba), Selayar, Sinjai, Sesean dan Seseng (Tana Toraja), Tentu saja dapat diartikan secara geogarafis ada penamaan tempat yang mirip satu sama lain seperti halnya nama-nama tempat yang berawalan Ma seperti Makassar, Maluku, Manado, Manila, Mangindanao. Demikian juga dengan nama tempat, meski tidak banyak yakni yang berawalan Moro seperti Morotai, Morowali, Maroson (Tana Toraja), Maroangin, dan tetntu saja Mariso, Mare dan Maros. Marawi, Marambi, Marang, Marumpa dan sebagainya. Dalam hal ini juga dapat ditambahkan nama-nama tempat berawalan To seperti Toraja. Tolitoli, Tondo dan Toboli. Meski banyak nama tempat yang berawalan La dan Wa, tetapi nama Luwuk adalah nama yang unik yang boleh jadi awalnya bernama Lawuk. Secara umum nama-nama geografi terbilang penting sebagai penanda awal navigasi palayaran perdagangan zaman kuno.

Di wilayah utara, bahasa Manado dan bahasa Minahasa dibedakan karena porsi pengaruh bahasa Melayu. Bahasa Manado lebih cenderung ke bahasa Melayu, sedangjkan bahasa Minahasa lebih ‘murni’ dalam arti minim pengaruh bahasa asing (bahasa Melayu) seperti halnya bahasa Toraja di bagian selatan pulau. Dalam hal ini bahasa Melayu diartikan sebagai lingua franca pada navigasi pelayaran perdagangan (suksesi lingua franca Sasnkerta). Tampaknya bahasa Bugis dan bahasa Makassar terbentuk pada era yang sama dengan terbentuknya bahasa Manado. Bahasa Manado yang sekarang berakar dari bahasa Minahasa.

Dengan mengacu pada Negarakertagama, Makassar dan Luwu adalah dua kerajaan yang telah terbentuk sejak lama, mana yang lebih tua sulit diidentifikasi, tetapi dalam berbagai tulisan masa kini, Kerajaan Luwu dianggap yang tertua, yang dikakatan dari Kerajaan Luwu kemudian bermunculan kerajaan-kerajaan baru seperti Kerajaang Bone dan Kerajaan Gowa (suksesi Kerajaan Makassar). Namun yang menjadi pertanyaan adalah kerajaan-kerajaan tersebut berada di wilayah pantai, lantas apakah kerajaan awal yang mendahuluinya di wilayah pedalaman? Besar dugaan Kerajaan Luwu, Kerajaan Bone, Kerajaan, Selayar, Kerajaan Bantaeng dan Kerajaan Makassar yang menjadi faktor penting terbentuknya bahasa Bugis dan bahasa Makassar.

Penduduk pedalaman di bagian utara Sulawesi adalah Minahasa-Bolaangmongondow sementara penduduk pedalaman di bagian selatan pulau adalah Toraja-Mamasa. Seperti halnya penduduk pedalaman dinamai oleh orang-orang yang bermukim di pantai. Dalam hal ini penduduk di pedalaman di wilayah utara disebut Minahasa (Manahassa) dan di wilayah selatan disebut Toraja (Mamassa). Dua penduduk ini oleh para peneliti Belanda tergolong Alifoeroen, suatu penduduk asli yang lebih awal berada di pulau Sulawesi jika dibandingkan dengan penduduk yang berada di kota-kota pantai (Manado, Makassar dan Bugis). Penduduk Minahasa berpusat di gunung Empung dan danau Tondona.

Penduduk pedalaman bagian selatan Sulawesi berada di sekitar gunung Latimojong, danau Sidenreng, danau  Tempe dan danau Limbong. Penduduk Minahasa lebih awal menerima peradaban baru jika dibandingkan penduduk Toraja. Akses yang lebih sulit, jika dibandingkan di Minahasa yang menyebabkan penduduk terkesan terisolasi namun berhasil mengembangkan peradaban sendiri. Tanda-tanda zaman kuno di Minahasa sudah ditemukan dalam bentuk prasasti Watu Rerumeran. Lalu bagaimana dengan di wilayah penduduk Toraja? Seperti halnya penduduk Minahasa yang awalnya juga terdapat di sekitar pantai, demikian juga dengan pendnduk Toraja yang kemudian terdesak oleh penduduk yang terbentuk baru di pantai dan kemudian memusat di pedalaman hingga peradaban yang lebih baru menemui mereka pada era Hindia Belanda. Kota-kota Luwuk dan Makassar zaman kuno wujud terbentuknya peradaban baru di pantai.

Lantas kapan terbentuknya Luwu dan Makassar? Sudah barang tentu terkait dengan sejarah navigasi pelayaran perdagangan pada zaman kuno (era Hindoe Boedha). Era Hindoe Boedha dalam hal ini era dimana sudah terbentuk kerajaan-kerajaan awal seperti Tarumanagara dan Kalingga di Jawa, Aru (Panai) dan Sriwijaya di Sumatra. Suksesi kerajaan di Jawa yang terkenal adalah Kerajaan Singhasari dan kemudian Kerajaan Majapahit. Kerajaan Sriwijaya menurun setelah diserang Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Aru (Panai) bahkan masih eksis hingga era Portugis, Riwayat Kerajaan Aru inilah yang diduga menemukan jalan dalam navigasi pelayaran perdagangan hingga Filipina, Sulawesi dan Maluku bahkan hingga selat Torres.

Diantara penutur bahasa-bahasa di wilayah utara (Minahasa) dan di wilayah selatan (Toraja) terdapat salah satu penutur bahasa yang berbeda dan khas yakni bahasa Seko. Wilayah Seko ini berada di pedalaman yang dapat dianggap jantung wilayah pulau Sulawesi bagian selatan. Penduduk Seko memiliki kebudayaan sendiri, suatu kebudayaan yang berasal dari era Hindoe Boedha. Seperti penduduk pedalaman di Minahasa memiliki situs kuno, di Seko juga terdapat sejumlah situs kuno yang digurat pada batu (seperti Hatu Rondo). Apakah penduduk Seko yang bertetangga dengan penduduk Tana Toraja ini terkait dengan para penduduk Kerajaan Aru (Tapanuli) pada zaan kuno yang merintis perdagangan pada era navigasi pelayaran perdagangan era Hindoe Boedha. Ada beberapa terminologi kuno di Seko yang mirip dengan di Kerajaan Aru seperti Tobara (ruling class), matua (orang tua), mudihata (semedi), dehata (dewa). Nama Seko juga mirip dengan nama pohon di Kerajaan Aru yakni pohon seko-seko (pohon kemenyan). Getah seko atau getah kemenyan adalah produk zaman kuno yang bernilai tinggi di ekspor ke Eropa melalui Barus (pelabuhan Kerajaan Aru). Di Tapanuli (eks wilayah Kerajaan Aru) terdapat nama lagu tradisi yang berjudul Seko-Seko yang nadanya bersifat religi zaman kuno. Kerajaan Aru adalah penghasil satu-satu kamper dan kemenyan pada era Hindoe Boedha. Situ-situs kuno di Seko ini tampaknya seumur dengan situs kuno di Seko. Seperti disebut di atas, terdapat prasasti di pulau Luzon Filipina (prasasti Laguna 900 M). yang mengindikasakan adanya pengaruh Kerajaan Aru yang beribukota di Binanga. Pulau Luzon tidak jauh dari Minahasa (Watu Rerumeran), dan Minahasa tidak jauh dari Seko (Watu Rondo). Kosa kata elementer Minahasa seperti ayah, ibu mirip dengan di Kerajaan Aru. Kosa kata di Seko seperti Tobara, Matua, Dehata juga mirip di Kerajaan Aru. Boleh jadi pengaruh Kerajaan Aru pada era Hindoe Boedha terdapat di Minahasa dan Toraja dan sekitar.

Pada situs batu di Seko (Toraja) terdapat sejumlah batu peninggalan kuno. Batu-batu tersebut sperti batu lesung tidak diketahui kapan dibuat. Pada tahun 2019, para peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Selatan melakukan ekskavasi di Situs I’song di Seko  yang menghasilkan temuan fragmen gerabah, sebaran batu bulat yang ditempatkan secara berpola, bongkahan batu yang disusun untuk menyangga dasar I’song, dan temuan arang yang terkonsentrasi pada beberapa titik di kotak ekskavasi. Menurut mereka arang itu salah satu temuan penting karena dapat dipergunakan untuk sampel analisis penanggalan (tarih). Hasil analisis dengan metode C14 atau metode carbon yang mengindikasikan sudah berusia 600 tahun. Jika peradaban Seko ini dihitung mundur itu berarti sekitar tahun 1400 atau sebelunya. Pada masa ini Kerajaan Aru sedang jaya-jayanya sementara Kerajaan Majapahit sudah mengalami kemunduran setelah Raja Hayam Wuruk meninggal tahun 1398.

Di Seko juga ditemukan situs struktur batu empat buah yang mengindikasikan wujud persatuan dari raja-raja (di sekitar bandara Seko). Situs ini menurut bahasa Seko disebut Laliang, suatu terminologi yang mirip di Kerajaan Aru yaitu Dalihan Na Tolu  yang diartikan sebagai tungku yang tiga dalam pengambilan keputusan dari tiga pihak. Laliang di Seko bertungku empat (semacam dalihan na opat). Dalihan bahasa Tapanuli Selatan dan Laliang bahasa Seko sama-sama diartikan tungku. Situs Laliang dan situs L’song berada pada posisi sejajar dengan jarak 900 meter. Tampaknya kedua situs telah dipisahkan yang awalnya boleh jadi dalam struktur tunggal Laliang sebagai tungku dan L’song sebagai wadah di tengah, suatu simbol kesatuan dan persatuan. Situs lain, selain situ Batu Eno juga ada situs pemakaman kuno di kampoung tua yang disebut Lipu Matua [seperti nama saya]. Situs lainnya adalah Hatu Hila (batu lidah) dan situs Tonnong Kaha semacam benteng tanah yang melindungi area sekitar 10 Ha. Situs lainnya adalah situs Bongko yang dianggap perkampungan yang lebih tua dari Lipu Matua. Lalu situs Hatu Rondo di dusun Poyahaang desa Tanamankaleang berupa batu seluas 12 v 8,5 meter yang di diatas dibuat ukiran seperti wujud rumah, parang, mata tombak, tanduk kerbau, tengkorak. Bentuk rumah itu mirip dengan bentuk rumah (adat) di Tapanuli Selatan. Situs lainnya situs Batu Sura beruba batu ukuran sekitar 4 x 4 meter yang mana juga terdapat ukiran. Ukiran-ukiran ini dapat dibandingkan dengan prasasti Minahasa. Satu lagi situs batu tegak seacam tugu yang meruncing ke atas yang berada di antara desa Lodang dan desa Padang Balua yang mana batu tegak ini disebut warga Bata[k]. Dari berbagai keterangan di atas, nama-nama geografi di Seko juga mirip di Tapanuli Selatan yakni desa Padang Balua (Padang Bolak) dan Batu L’song (Losung Batu), desa Lodang (Lidang), perkampungan tua Limbong (Limbong), Nama-nama lainnya Onondowa  Batunadua), (kecamatan) Rampi (Batu Rambi) dan Padang Toroha. Tentang nama yang berawalan To seperti To[bara], To[raja] dan To[roha] dalam bahasa Tapanuli Selatan bara=biara, raja=raja, roha=jiwa. Di wilayah Rampi ini terdapat beberapa arca batu bentuk wajah orang. Wilayah Seko ini terbilang kawasan yang memiliki banyak kerbau. Adanya penemuan tembikar mengindikasikan wilayah ini sudah dikenal zaman kuno. Banua Batang disebut rumah yang memiliki arsitektur sendiri

Kecamatan Seko dan kecamatan Rampi yang berada di jantung wilayah Sulawesi bagian Selatan ini berada di pedalaman yang jauh dari dinamika perubahan di kota-kota pantai dapat dianggap sebagai heritage paling langka di wilayah tersebut. Nama Seko dan nama Rampi jelas begitu penting pada masa kini seperti wilayah Minahasa ditemukan prasasti. Adanya memiliki kemiripan di Kerajaan Aru (Tapanuli Bagian Selatan) dengan pedalaman Sulawesi bagian selatn boleh jadi hanya serba kebetulan. Namun demikian, seperti halnya Tobara, Toroha dan Toraja juga memiliki kemiripan dengan nama-nama geografi di Kerajaan Aru yang berawalan To atau Ta, seperti (danau besar) Toba, (sungai besar) Toru, sungai Torop, , nama tempat Tolang, Tobang, Tobing, Tamiang, Tabuyung, Tamosu, Tahalak, Tabusira dan sebagainya. Tentu saja arti kata tanah (land) sebagai Tano atau Tana dan arti bukit atau gunung sebagai Tor. Lalu apakah Toraja berasal dari To-Raja atau Tor-Raja. Di wilayah Minahasa juga ada nama-nama Tomohon dan Tondano yang merujuk pada Tor-Mohon (bukit memohon) dan Tor-Dano (bukit danau). Semua itu tentu saja boleh jadi serba kebetulan

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar