Laman

Minggu, 15 Agustus 2021

Sejarah Makassar (26): Prasasti Watu Marando Suku Wana di Sulawesi Tengah; Suatu Bukti Peradaban Zaman Kuno?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini

Suku Wana disebutkan hingga ini hari masih banyak yang tertinggal. Suku Wana penutur bahasa Tau Ta’a meski sudah mulai membuka diri tetapi secara geografis masih terisolasi di pedalaman Sulawesi Tengah. Populasi suku (Tau Ta’a) Wana yang terbilang cukup banyak berada di kecamatan Bungku Utara, kabupaten Morowali Utara. Tidak jauh dari desa Opo dan desa Tanakuraya ditemukan suatu prasasti di tepi sungai Bongka yang disebut Watu Marando. Lantas apakah ada hubungan suku Wana berbahasa Tau Ta’a dengan prasasti Watu Marando?

Tidak seperti di Sumatra dan Jawa, di Kalimantan dan Sulawesi terbilang masih sangat minim bukti peradaban zaman kuno. Ini seakan makin ke wilayah timur di Hindia Timur (nusantara) penemuan prasasti semakin langka. Di Sumatra dan Jawa prasasti yang ditemukan berasal dari era Hindoe Boedha yang umumnya ditulis dalam aksara Pallawa dengan menggunakan bahasa Sanskerrta. Di pulau Kalimantan ditemukan satu situs prasasti di Muara Kaman yang diperkirakan berasal dari abad ke-5. Sementara di pulau Sulawesi ditemukan prasasti di situs Minahasa (prasasti Watu Rerumeran) dan di situs Seko (Toraja-Luwu). Dalam hal ini situs Watu Marando di Bungku Utara. Sedangkan prasasti di Nusa Tenggara ditemukan di situs Bima (prasasti Watu Tunti), di situs bagian timur Flores (Tanjung Bunga) dan di situs bagian barat Flores (Manggarai Barat). Sampai ssejauh ini belum ada dilaporkan penemuan situs tua di (kepulauan) Maluku dan Papua. Sebagai tambahan: prasasti juga ditemukan di situs Vietnam (prasasti Vo Cahn abad ke-3), Thailand (prasasti Ligor 775 M) dan Filipina (prasasti Laguna 900 M).

Lantas bagaimana sejarah suku Wana dan keberadaan prasasti Watu Marando? Pada artikel sebelumnya sudah ditulis sejarah suku Wana sebagai penutur bahasa Tau Ta’a. Namun dalam hal ini sejarah suku Wana dikaitkan dengan keberadaan prasasti Watu Marando. Seperti yang ditanyakan di atas lalu apakah prasasti Watu Marando terkait dengan suku Wana? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

 

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Watu Marando dan Suku (Tau Ta’a) Wana

Semua disebut watu (batu) seperti prasasti di Minahasa (Watu Rerumeran) di Bima (Watu Tunti), di Flores (watu) dan juga di Seko-Toraja (watu). Juga di Bongko Utara, Morowali Utara disebut Watu Marando. Hal itu karena prasasti-prasasti itu digoret di atas permukaan batu dengan simbol-seimbol tertentu. Kapan digoret? Tidak ada yang pasti, semua prasasti itu masih perkiraan-perkiraan. Lantas bagaimana dengan Watu Marando.

`Orang Wana menyebut sebagai watu marando. Karena itulah yang diwariskan namanya secara turun temurun yang mereka ketahui. Ketika ada penduduk Wana yang mendirikan lipu (kampung) di sekitar watu marando maka lipu itu mereka namai sebagai lipu (kampong) Marando. Terminologi marando bukanlah bahasa Melayu, tetapi bahasa mereka sendiri, tetapi generasi yang sekarang tidak mengetahui apa artinya, Hanya sekadar nama. Satu-satunya bahasa yang memiliki terminologi marando adalah bahasa (Batak) Angkola Mandailing yang diartikan sebagai menjanda karena kehilangan suami yang mana sang istri yang ditinggal tidak akan kawin lagi hingga tua. Itulah arti marando di Angkola Mandailing. Kebetulan makna marando di Angkola Mandailing ini sesuai dengan makna yang diartikan penduduk Wana tentang Watu Marando, seakan seseorang yang sedang meratapi bagai mati tetapi tetap hidup. Itulah makna Watu Marando bagi penduduk Wana.

Pada batu yang disebut penduduk Wana sebagai Watu Marando digoret pada permuakaan batu besar, posisi batu yang seakan menggambarkan seseorang sedang tidur. Tanda yang digoret pada permukaan batu adalah berupa lingkaran-lingkaran kecil yang jumlahnya cukup banyak yang membentuk lingkaran besar dan lingkaran-lingkaran yang lebih besar yang seakan menggambarkan gunung atau bentuk tudung (kerucut). Diantara dua gunung besar yang utama digambarkan boleh jadi mengasosiasikan lokasi dimana batu berada diantara dua gunung besar tersebut. Apakah itu gunung Tokala 2,584 M di timur dan gunung Pompangeo 2.590 M di barat (gunung lainnya antara lain adalah gunung Kandela dan gunung Lumut).

Pengambaran gunung tersebut boleh jadi menggambarkan lapisan bawah, lapisan tengah dan lapisan atas atau puncak gunung. Puncak gunung adalah tunggal yang digambarkan satu lingkaran yang menggambarkan debata (Pue), yang kemudian di bawahnya para pemuka agama/kepercayaan (datu) dan penduduk. Lingkaran pada orbit penduduk dan datu menggambarkan posisi tempat tinggal pernduduk dan datu yang berpindah-pindah (sesuai kesuburan lahan). Gambaran ini boleh jadi pertanda adanya pemujaan terhadap leluhur (ompung). Gunung bagi penduduk Wana adalah lambang kosmologi, Pola penggambaran ini juga ada kemiripannya pada goretan yang terdapat pada prasasti Minahasa, Seko dan Flores.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Suku Wana: Populasi Tau Ta’a yang Mengisolasi?

Orang (suku) Wana berbahasa Tau Ta’a (Bare’e) yang terdapat di wilayah Sulawesi Tengah (Pomana, Ta’a dam Wana). Semua penduduk yang berbahasa Bere’e adalah satu keturunan. Namun karena perbedaan geografis dan intensitas interakasi dengan orang luar (pendatang) menyebabkan penduduk berbahasa Bere’e (Ta’a) seakan terpisah yang sebagian penduduk yang berbahasa Ta’a seperti wilayah pantai di Ampana berbaur dengan penduduk pendatang, sedangkan penduduk yang berbahasa Ta’a di wilayah pedalaman tetap mengikuti peradaban yang terus diwariskan dari zaman kuno. Mereka yang di pedalaman mengisolasi diri yang kemudian dalam pembangunan menjadi terisolasi (tertinggal). Yang jelas bahwa penduduk Wana (berbahasa Ta’a) tetap dengan kepercayaan dan cara hidup yang terus diwariskan yang memuja leluhur melalui pentingnya arti gunung (tanah).

Wana adalah bahasa Sanskerta yang diartikan sebagai hutan. Penggunaan kosa kata wana ini umumnya ditemukan di Jawa. Wana di Jawa juga digunakan untuk nama tempat dan nama (gelar) orang. Kapan nama dilabelkan kepada penduduk yang berbahasa Ta’a yang berada diantara gunung Pompangeo dan gunung Takala tidak diketahui secara pasti. Orang (suku) yang berbahasa Ta’a terebut tidak mengenal terminologi wana. Penamaan nama Wana ini diduga orang yang berdiam di wilayah pesisir (pantai) yang menjadi mitra dagang mereka di masa lampau. Penamaan (pelabelan) serupa ini sangat jamak, seperti misalnya nama penduduk berbahasa Bugis-Makassar disebut orang (suku) Makassar berdasarkan nama tempat (Makassar). Jadi, orang luar (pedagang) yang memberi nama label (orang) Makassar yang berada di wilayah Gowa Tallo. Hal serupa dengan label nama Ternate, Manado dan sebagainya merujuk pada nama geografis. Dalam hal ini wana (hutan) juga merujuk pada nama geografis (wilayah hutan) dimana penduduk berbahasa Ta’a bermukim (memiliki hak ulayat: kerpecayaan dan tradisi).

Nama Wana (To Wana = Orang Hutan) paling tidak sudah dilaporkan oleh para misionaris (Kruyt) pada tahun 1911 (lihat Java-post; weekblad van Nederlandsch-Indië, 1911). Disebutkan orang To Wana turun gunung (pegunungan Peleroe, pegunungan Tamboesisi dan Tokala.untuk bertransaksi dagang di Wattang Bajoli. Penduduk gunung menukar kaca, pakaian beraneka ragam, rantai emas dan perak, kotak nikel, dan sejenisnya untuk barter yang diinginkan penduduk gunung dengan hasil hutan. Orang To Wana umumnya berada di pegunungan Tokala.

Watang Bajoli adalah tempat perdagangan (watang = pusat; bajoli = perdagangan). Dei wilayah Angkola Mandailing Batang diartikan sebagai tempat di muara sungai yang dijadikan sebagai pusat transaksi. Misalnya Batang Angkola sebagai awalnya tempat perdagangan di sungai Angkola. Lambat laun batang diartikan sebagai sungai.

Disebutkan orang To Wana memburu kepala manusia (dari musuhnya) yang kemudian dibawa ke 'Lembah Suci Wattang Bayou' dan lalu dibawa lebih jauh ke dalam kuil pengorbanan. Untuk ini dilakukan pelayaran sungai jeram (ke wilayah hulu). Setiap tahun setelah panen padi, pesta pengorbanan besar diadakan.

Dalam laporan tersebut duga disebutkan bahwa di pegunungan Papageo [Pompangeo] yang ditutupi oleh banyak tanaman sehingga terbentuk dataran luas yang berubah menjadi rawa. Dikatakan bahwa sekitar 100 To Pakambija berada di Tana Matoba, sebuah dataran tinggi 1400 M di atas permukaan laut, yang dari kejauhan tampak seperti salah satunya. puncak pegunungan Papageo, tepat di utara kampung Bave Perjalanan ke Tanah Matoba melewati jalur pegunungan dan untuk sementara menanjak di sepanjang sungai yang disebut Saeng Batoe, yang di pegunungan kapur memberikan kanopi air terjun yang paling indah.

Salah satu tempat penting di wilayah To Wana adalah Koro Poentaha dimana terdapat aliran sungai yang sangat jernih dan dangkal yang mana pemandangannya seperti dongeng. Disebutkan bahwa Anda dapat menikmati keindahan alam yang bernilai sepuluh tahun dari kehidupan manusia di sini. Ketika saya kaya, saya akan memiliki rumah yang dibangun di Koro Poentaha, karena itu adalah negara yang indah.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar