Laman

Senin, 16 Agustus 2021

Sejarah Makassar (27): Bahasa-Bahasa Asli Sulawesi; Mengapa Banyak Penutur Bahasa Bugis dan Adakah Bahasa Asli Punah?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini 

Sejarah bahasa sudah sejak lama dipelajari oleh para ahli lingustik. Meski demikian, penyelidikan sejarah bahasa masih terus berlangsung. Hal ini karena ada misteri tersendiri dalam sejarah bahasa-bahasa. Diantara para ahli lingusitik sendiri hingga kini masih kerap terjadi perdebatan. Ini mengindikasikan, sekali lagi, terbentuknya dan penyebaran bahasa dianggap masih misteri. Namun boleh jadi itu, karena semata-mata pendekatan dan metodologi yang digunakan berbeda. Sementara itu, dalam penyelidikan sejarah bahasa-bahasa pendekatan perbandingan bahasa lazim digunakan untuk menentukan kedekatan (kekerabatan) satu bahasa dengan bahasa lain. Dari analisis kekerabattan bahasa ini juga adakalanya dihitung dengan metode tertentu untuk menentukan sejak kapan dua bahasa yang diperbandingkan berpisah. Metode serupa ii tentu saja perlu, tetapi jelas tidak cukup.

Pada masa ini kita dapat membaca hasil analisis sejarah bahasa-bahasa di pulau Sulawesi. Bahasa Bugis disebutkan salah satu cabang (anak) bahasa yang tergolong muda. Namun dalam statistik bahasa pada hari ini penutur bahasa Bugis terbilang yang terbanyak di pulau Sulawesi. Mengapa bisa demikian. Dalam silsilah genealogis bahasa-bahasa di pulau Sulawesi disebutkan bahwa kombinasi bahasa Tau (di wilayah barat Sulawesi) dan bahasa Bere’e (di kawasan teluk Tomini) diduga menjadi awal mula terbentuknya bahasa Makassar. Lalu bahasa Makassar (yang terbentuk di wilayah selatan Sulawesi) kemudian menurunkan bahasa Walio (di wilayah timur Sulawesi di Buton). Yang terakhir, dari bahasa Walio ini kemudian terbentuk bahasa Bugis dan bahasa Mandar. Lantas bagaimana dengan bahasa-bahasa di wilayah utara pulau Selawesi seperti bahasa Minahasa (dan bahasa Manado)?

Lantas bagaimana sejarah bahasa-bahasa asli di pulau Sulawesi? Mengapa penutur bahasa Bugis begitu besar, padahal seperti disebut di atas bahasa Bugis tergolong bahasa yang relatif lebih muda? Lalu apakah ada bahasa-bahasa asli di Sulawesi yang punah atau terancam punah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

 

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa-Bahasa Asli di Sulawesi: Mengapa Penutur Bahasa Bugis Banyak?

Dimana pusat peradaban bermula, disitulah awal terbentuknya bahasa-bahasa. Hal itu karena pusat peradaban mengindikasikan terbentuknya populasi. Populasi yang terbentuk ini merupakan gabungan dari penduduk asli penutur bahasa seli dengan penduduk pendatang dengan membawa bahasa masing-masing. Pertukaran bahasa (kosa kata) akan membentuk variasi bahasa (dialek) yang berbahasa dengan dialek bahasa asal dari masing-masing populasi yang bercampur. Terbentuknya dialek (bahasa baru) di pantai akan lebih cepat dibandingkan di wilayah pedalaman.

Pusat peradaban, jika mengacu pada nama-nama tempat yang disebut di dalam Negarakertagama (1365), di (pulau) Sulawesi itu berarti di Makassar, Bontaeng, Selayar, Boeton, Luwuk dan Banggai. Tentu saja informasi ini tidak cukup. Sebab berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan di pulau Sulawesi, yang diduga berasal dari zaman pra Negarakertagama (Majapahit) ditemukan di jantung pulau Sulawesi seperti di Seko (Luwu-Toraja), daerah aliran sungai Poso (Watu Mpoga’a) dan lereng sebelah barat gunung Tolaka (Watu Marando) serta Minahasa di Tomohon dan Tondano (Watu Rerumeran).

Seperti telah disebut di atas, para ahli bahasa menyatakan bahwa bahasa-bahasa di pulau Sulawesi yang tergolong paling muda adalah bahasa Bugis dan bahasa Mandar.  Dua bahasa ini terbentuk dari bahasa Walio (di Buton). Sedangkan bahasa Walio diturunkan dari bahasa Makassar. Sampai sejauh terkesan ada kesesuaian pusat peradaban sebagaimana dicata dalam teks Negarakertagama (1365). Dua nama yang menjadi pusat peradaban pada teks ini adalah Luwuk dan Banggai. Bahasa Makassar sendiri menurut para ahli bahasa diturunkan dari bahasa Tau (Kaili) dan bahasa Bare’e (Poso). Lantas bagaimana dengan bahasa-bahasa di wilayah utara pulau Selawesi seperti bahasa Minahasa?

Berdasarkan para ahli bahasa seumur dengan bahasa Tau dan bahasa Bare’e yang satu rumpun adalah bahasa Manggarai (Nusa Tenggara) dan bahasa Buru (Maluku). Sedangkan bahasa-bahasa di Sulawesi bagian utara sebagai rumpun yang berbeda yang seumur denga bahasa Tau dan Bare’e adalah bahasa Bolaang dan bahasa Sangir (yang satu rumpun dengan bahasa-bahasa di Borneo Utara) tetapi berbeda dengan rumpun di sebelah utara (pulau-pulau Filipina). Dalam hal ini bahasa Minahasa harus dianggap bahasa yang sama dengan bahasa Minahasa (berbeda dialek saja).

Bahasa Minahasa/Bolaang juga terbilang bahasa tua seperti halnya bahasa Tau dan bahasa Bare’e. Sebagaimana disebut di atas, terbentuknya bahasa terkait denga keberadaan pusat peradaban. Dalam hal ini sebelum terbentuknya pusat-pusat peradaban di pantai sebagai pelabuhan perdagangan (Makassar, Buton dan Bugis serta Mandar) sudah terbentuk pusat peradaban di pedalaman yang dikaitkan dengan penemuan prasasti zaman kuno terutama di Seko (Toraja-Luwu) dan Poso. Prasasti Minahasa (Watu Rerumeran) diduga kuat pusat peradaban awal dimana terbentuknya bahasa Bolaang dan Minahasa. Bahasa Gorontalo haruslah dipandang sebagai bahasa yang seumur dengan terbentuknya bahasa Bugis.

Satu catatan penting terbentuknya bahasa-bahasa baru seperti Makassar, Wolio dan Bugis harus diasumsikan ada bahasa yang mendahului di tempat yang sama sebagai bahasa asli (tetapi telah melebur sehubungan dengan terbentuknya bahasa baru). Sebagai contoh bahasa Manado berakar dari bahasa Minahasa di wilayah pantai, bahasa Betawi yang menggeser bahasa Sunda di pantai serta bahasa Buton yang menggeser bahasa Muna. Lalu bagaimana dengan bahasa Makassar, Bugis dan Mandar? Untuk memahami ini kita harus merujuk pada bahasa Luwu untuk melihat terbentuknya bahasa Bugis dan bahasa Toraja untuk memahami terbentuknya bahasa Mandar. Bahasa Luwu sendiri berakar dari bahasa Bare’e dan bahasa Toraja berakar dari bahasa Tau (Kaili).

Sebelum kita mempelajari bahasa Bugis yang lebih muda dan bahasa Tau dan bahasa Bare’e yang lebih tua, dapat dipelajari bahasa Makassar dan bahasa Selayar (lihat Mededeelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap :[bijdragen tot de kennis der zending en der taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië], jrg 1, 1857). Seperti di dalam teks Negarakertagama nama Makassar dan nama Selayar sudah sama-sama eksis. Dalam kaitan ini dapat ditambahkan bahasa di Bontaeng, di Boeton, di Baggai dan di Luwuk.

Bahasa Makassar berbeda dengan bahasa Selayar. Bahasa Selayar lebih dekat dengan bahasa Manggarai. Kepulauaan Selayar awalnya sudah memiliki penduduk yang kemudian didatangi oleh orang-orang dari (kerajaan) Luwu. Pada awal abad ke-16 sejaman dengan jatuhnya Malaka oleh Portugis, Selayar diduduki oleh Makassar. Namun kemudian dalam perkembangannya diserang oleh Ternate dan juga termasuk Boeton. Namun pada akhirnya orang Selayar menyerahkannya kepada (kerajaan) Gowa). Kepulauan ini menjadi jembatan bagi orang Makassar untuk berdagang di Timor dan Solor. Pada tahun 1575 misionaris Portugis membuka stasion di pulau Solor dan telah menemukan para pedagang-pedagang Makassar yang berdagangan dengan penduduk asli untuk mengusahakan kayu cendana yang laris manis di pantai timur Tiongkok. Pada era VOC, setelah Admiral Speelman berhasil menaklukkan Kerajaan Gowa, Selayar diserahkan kepada VOC atas nama Radja Ternate. Namun dalam perkembangannya para pemimpin Selayar lebih memilih, dan kemudian menyerahkannya ke VOC (hingga era Hindia Belanda). Secara umum Orang Saleijerese tampaknya merupakan campuran Makassar, Bugineesch dan Loewoenesch. Diantara tiga bahasa ini, tingkat kekerabatan bahasa Selayar lebih dekat dengan bahasa Makassar.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Adakah Bahasa Asli di Sulawesi Punah atau Terancam Punah?

Sementara ada bahasa yang telah punah di Indonesia dan beberapa bahasa dalam posisi terancam punah, bahasa Bugis terbilang jumlah penuturnya yang sangat banyak. Bahasa Bugis tidak hanya berada di daerah etnik Bugis di Sulawesi Selatan, tetapi para penutur bahasa Bugis juga tersebar luas di seluruh Indonesia.

Sejauh ini belum ada bahasa yang punah di pulau Sulawesi. Bahasa punah yang ditemukan terdapat di Maluku dan Papua. Sebanyak dua bahasa di Papua yakni bahasa Tandia (Papua Barat) dan bahasa Mawes (Papua). Sementara di Maluku terdapat sebanyak sembilan bahasa yakni bahasa Kajeli/ Kayeli, bahasa Piru, bahasa Moksela, bahasa Palumata, bahasa Ternateno, bahasa Hukumina, bahasa Hoti, bahasa Serua, dan bahasa Nila.

Berdasarkan SP-2010 jumlah orang/etnik Bugis berbahasa Bugis sebanyak 3.362.072 jiwa. Jika ditambah etnik lain yang berbahasa Bugis sebanyak 124.576 jiwa maka jumlah penutur bahasa Bugis sekarang sebanyak 3.486.648 jiwa. Jumlah penutur bahasa Bugis di provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 2.381.755 orang Bugis dan 48.081 orang non-Bugis. Jumlah penutur bahasa Bugis terbanyak kedua terdapat di provinsi Sulawesi Tenggara, kemudian disusul di provinsi Kalimantan Timur/Kalimantan Utara dan provinsi Sulawesi Tengah. Selanjutnya di provinsi Riau dan provinsi Jambi.

Di Provinsi Sulawesi Barat jumlah penutur bahasa Bugis hampir berimbang dengan jumlah keseluruhan penutur bahasa-bahasa lainnya. Di provinsi Kalimantan Selatan terdapat sebanyak 30.482 orang Bugis penutur bahasa Bugis dan sebanyak 24.558 orang penutur bahasa Bugis non etnik Bugis. Jumlah penutur bahasa Bugis yang terbilang minim terdapat di provinsi-provinsi: Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara serta DI Yogyakarta. Meski cukup dekat secara geografi (di dalam satu pulau Sulawesi), jumlah penutur bahasa Bugis di provinsi Sulawesi Utara hanya sebanyak 1.033 jiwa orang Bugis dan di provinsi Gorontalo sebanyak 1.540 jowa orang Bugis.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar