Laman

Selasa, 18 Oktober 2022

Sejarah Lampung (2): Nama Kuno Lampung dan Tulang Bawang; Nama Umpu Bejalan di Way dan Gelar Oempoe di Lampoeng-Batak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini 

Nama menunjukkan nama. Nama tempat, nama populasi dan nama-nama lainnya. Tentu saja nama Lampung menjadi penting karena kini menjadi nama wilayah (provinsi Lampung). Jika Palembang adalah nama tempat (kota Palembang), lantas apakah di masa lampau nama Lampung juga menunjukkan nama tempat di zaman kuno atau nama geografis lainnya? Dimanakah nama Lampung itu bermula? Apakah ada relasi nama Lampung dengan nama gelar Oempoe?


Asal-usul ulun Lampung (Orang Lampung atau Etnis Lampung) erat kaitannya dengan istilah Lampung sendiri. Kata Lampung sendiri berasal dari kata "anjak lambung" yang berarti berasal dari ketinggian ini karena para puyang Bangsa Lampung pertama kali bermukim menempati dataran tinggi Sekala Brak di lereng Gunung Pesagi. Sebagaimana I Tsing yang pernah mengunjungi Sekala Brak setelah kunjungannya dari Sriwijaya dan dia menyebut To-Langpohwang bagi penghuni Negeri ini. Dalam bahasa hokkian, dialek yang dipertuturkan oleh I Tsing To-Langpohwang berarti orang atas dan seperti diketahui Pesagi dan dataran tinggi Sekala brak adalah puncak tertinggi ditanah Lampung. Prof Hilman Hadikusuma didalam bukunya (Adat Istiadat Lampung:1983) menyatakan bahwa generasi awal Ulun Lampung berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi, Lampung Barat. Penduduknya dihuni oleh Buay Tumi yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Ratu Sekerummong. Negeri ini menganut kepercayaan dinamisme, yang dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa. Buay Tumi kemudian kemudian dapat dipengaruhi empat orang pembawa Islam yang berasal dari Pagaruyung, Sumatera Barat yang datang ke sana. Mereka adalah Umpu Bejalan diWay, Umpu Nyerupa, Umpu Pernong dan Umpu Belunguh. Keempat Umpu inilah yang merupakan cikal bakal Paksi Pak Sekala Brak sebagaimana diungkap naskah kuno Kuntara Raja Niti
(Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah nama Lampung, Dampin dan Tulang Bawang? Seperti disebut di atas, nama Lampung adalah nama tua. Sudah barang tentu lebih tua dari nama Damping dan nama Toelang Bawang. Dalam narasi sejarah Lampung ada tokoh masa lampau yang diidentifikasi dengan gelar Ompoe, yakni Umpu Bejalan Di Way Umpu Nyerupa Umpu Pernong Umpu Belungu. Lalu bagaimana sejarah nama Lampung, Dampin dan Tulang Bawang? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. Peta (era) Portugis

Nama Lampung, Dampin dan Tulang Bawang; Umpu Bejalan Di Way Umpu Nyerupa Umpu Pernong Umpu Belungu

Kapan nama Lampung dicatat, tidak diketahui secara pasti. Yang jelas nama Lampoeng sudah diidentifikasi dalam peta-peta Portugis. Selain nama Lampoeng juga diidentifikasi nama Dampin. Dalam peta Portugis tersebut, nama Lampoeng berada di pedalaman dan nama Dampin berada disekitar pesisir pantai selatan Lampung yang sekarang di Selat Soenda.


Dalam catatan orang Eropa, wilayah Lampoeng sudah dikunjungi oleh pedagang-pedagang Arab dan Persia pada abad ke-11. Informasi tersebut menambah pengetahuai di Eropa bahwa ada selat yang memisahkan pulau Sumatra dengan pulau Jawa. Oleh karena selat yang sempit ini kerap kapal-kapal asing dirampok oleh para bajak sehingga dalam sejarah navigasi pelayaran Eropa dianggap rute berbahaya dan kemudian kurang terinformasikan. Baru pada abad ke-16 selat ini, yang kemudian disebut Selat Soenda, pelaut-pelaut Portugis mengunjunginya. Berita ini tampaknya sampai kepada Radja Spanyol sehingga sang raja mengirim ucapan selamat kepada Radja Portugis atas keberhasilan ini. Sebagaimana diketahui pelaut-pelaut Spanyol sudah mencapai Hindia Timur, tidak lama setelah pelaut-pelaut Portugis menduduki Malaka, hingga di Filipina melalui selat sempit di selatan Amerika hingga berhasil mengarungi Lautan Fasifik sebelum mencapai pulau Zebu di Filipina.

Nama selat diberikan oleh para pelaut-pelaut Portugis dengan nama Selat Soenda. Nama Soenda yang dicatat pelaut-pelaut Portugis sebagai Zunda adalah nama sebuah pulau di selat, yakni nama pendahulu dari pulau Sangiang. Besar dugaan nama Zunda (Sonda atau Soenda) kelak menjadi nama yang didintifikikasi untuk populasi penduduk yang berada di wilayah Jawa bagian barat (kini Jawa Barat). Dalam hal ini, nama Zunda, Lampong dan Damping sudah dikenal di kawasan yang diduga sudah eksis sejak lama.


Dalam teks Negarakertgama (1365 M) di wilayah Sumatra bagian selatan, hanya nama Palembang dan Lampong yang diidentifikasi. Tidak ada nama tempat di wilayah selatan Sumatra yang diidentifikasi sebagai nama tempat yang merupakan pelabuhan perdagangan atau nama kerajaan selain kedua nama tersebut. Nama-nama yang banyak diidentifikasi berada di Sumatra bagian utara seperti Jambi, Tebo, Dharmasraya, Koritang, Kampar, Siak, Rokan, Panai, Lawas, Mandailing serta Minangcabao dan Baroes. Di kepulauan Bangka dan Belitung juga tidak ada nama yang diidentifikasi. Nama Lampong sebagai satu-satunya di wilayah selat antara Sumatra dan Jawa, besar dugaan nama Dampin belum ada, atau mungkin sudah ada namun nama Lampong lebih penting dari nama Dampin.

Pada saat kehadiran pelaut-pelaut Belanda di Hindia Timur, yang dipimpin Cornelis de Houtman, nama (kampong) Dampin adalah salah satu kampong yang disinggahi. Ini dijelaskan dalam peta legendaris Belanda dimana para pelaut Belanda tiba di desa tersebut pada tanggal 22 Juni 1596 (sebelum menuju ke pelabuhan Banten). Dalam peta legendaris tersebut ditulis sebagai berikut:


“Inilah gambaran salah satu penguasa Sumatera, Kampong Dampin, menjadi interaksi kami (memasuki) di Selat Sunda, tempat kami pada tanggal 12 Juni adalah negeri yang menyambut kami dengan baik, dengan memberikan buah-buahan. Di sini kami mendapatlan lada, dan pemimpinnya terlihat sangat sopan yang didampingi oleh para pengawalnya, dan juga wanita yang melayaninya. Mereka memberi tahu kami banyak tentang Banten, dan kami tidak menegeluarkan apapun darinya”.

Nama Dampin dalam hal ini menjadi penting bagi orang Belanda, karena pemukiman pertama yang mereka temukan. Memang Cornelis de Houtman menemukan/melihat pertama pulau Enggano (tanggal 6 Juni), tetapi tidak memasuki daratan (karena itu tidak diketahui pada saat itu apakah pulau berpenghuni). Namun di wilayah Lampong, paling tidak di kampong Dampin, terdapat populasi penduduk. Oleh karenanya nama Damping menjadi legenda dalam navigasi pelayaran Belanda ke Hindia Timur. Sementara itu, dengan mengacu pada peta-peta Portugis dan Belanda/VOC, nama Lampong adalah nama wilayah, dan Dampin sendiri, dalam hal ini, adalah sebuah nama kampong (di wilayah Lampong).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lampung dan Tulang Bawang: Lampong, Toelang Bawang Banten dan Wilayah Perdagangan Pemerintah VOC/Belanda.

Pada era VOC/Belanda, wilayah Lampong menjadi salah satu bagian penting dari perdagangan VOC. Di Lampong, untuk kali pertama ditempatkan seorang residen, Residen Lampong Toelang bernama JG Hadenpyl (lihat Middelburgsche courant, 12-01-1769). Ini mengindikasikan bahwa Lampong menjadi wilayah administrasi VOC setelah sebelum itu sudah ditempatkan sejumlah residen seperti di kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra seperti Padang, Tikoe dan Indrapoera serta di pantai timur Sumatra di Palembang. Wilayah Lampong sendiri sudah dikenal VOC sejak lama sebagaimana dicatat dalam catatan Kasteel Batavia (Daghregister).


Orang-orang Lampong sudah ada yang berdagang ke (Pelabuhan) Banten (lihat Daghregister 1661). Pieter Alvis tiba di Banten setelah pelayaran terakhirnya ke teluk Lampong untuk mendapatkan lada dan dari Sillebaer, Lampon dan Toelongbauwang sekitar 20 kapal penduduk sarat dengan lada tiba di Banten dan penuh dengan anyaman, padi, kayu, dll (lihat Daghregister 1670). Tiga gajah dari Moet Jappa, Lampon diterima seharga 1200 gulden (lihat Daghregister 1672). Di Palimbang, Jacob Pietersen dari Rotterdam bertemu dengan orang Jawa menjual orang di Lampon (lihat Daghregister 1673). Kiai Aria Monja dan Pangeran Loor oleh anak Sultan (Banten) dilarang ke Lampon (lihat Daghregister 1580). Orang Banten yang dibuang ke Lampong menjadi sangat miskin (lihat Daghregister 1580). Orang Lampon meminta bantuan terhadap perampokan orang Makasar di bawah Dain Mangika (lihat Daghregister 1580). Dain Mangika dari Lampon kembali ke Palimbang (lihat Daghregister 1580). Pangeran Loor dan Kiai Aria Monjaja di Lampon terbunuh di tangan anak laki-laki Sultan (lihat Daghregister 1580). Resolusi yang harus dilakukan dalam hal duane di Lampon (lihat Daghregister 1582). Berakhirnya berkibarnya bendera pangeran di negori utama Lampon (lihat Daghregister 1582). 

Sebelum kehadiran Pemeirntah VOC di Lampong, di wilayah Lampong sudah menjadi bagian dari perdagangan para pedagang-pedagang VOC, yang juga menjadi wilayah kekuasaran (kesultanan) Banten. Selain pedagang Eropa, seperti Belanda dan Portugis serta Inggris, orang pribumi pendatang yang diidentifikasi memiliki kaitan dengan Lampong adalah orang Jawa dan seorang Daeng dari Makassar. Satu yang penting, sejak 1682 Lampong telah jatuh ke tangan Pemerintah VOC (yang beribukota di Batavia).


Pada tahun 1680an awal terjadi perselisihan di kraton Banten. Sangan Sultan yang memiliki hubungan dekat dengan Inggris, mendapat perlawanan dari sang anak yang telah menjalin hubungan dengan para pejabat VOC di Batavia. Hal itulah diduga yang menyebabkan wilayah Lampong membuat resolusi antara pejabat VOC dengan anak sultan Banten dalam hal kepabeanan. Sultan Banten yang telah menyingkir ke Tanara, atas bantuan VOC di wilayah Tangerang, pangeran Banten (anak sultan) mendapat kemenangan. Sejak itu pul wilayah VOC yang awalnya sebatas sungai Tjisadane di barat diperluas kea rah barat hingga batas sungai Tjikande. Salah satu tokoh penting dalam kemenangan anak sultan ini di wilayah Banten adalah Major St Martin.

Wilayah ‘kekuasaan’ VOC/Belanda di ujung selatan pulau Sumatra tidak hanya district Lampong, juga district Toelang Bawang. Hal itulah mengapa jabatan residen VOC dengan nama Residen Lampng Toelang Bawang. Wilayah Lampong sudah menjadi pos perdagangan VOC sejak 1742 yang dalam perkembangannya ditingkatkan dengan pengangkatan status residen di Lampong (Residen Lampong Toelang Bawang).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Umpu Bejalan Di Way Umpu Nyerupa Umpu Pernong Umpu Belungu: Ompung, Mpu, Oempoe, Opu

Hubungan Batavia dengan Lampong, sejak era VOC hingga awal pembentukan Pemerintah Hindia Belanda masih intens melalui perdagangan, terutama dalam perdagangan komoditi lada. Pada tahun tanggal 11 Februari 1811 kapal pedagang Belanda baru tiba di Batavia dari Lampong (lihat Bataviasche koloniale courant,    15-02-1811). Boleh jadi ini adalah navigasi pelayaran orang Belanda ke Lampong. Hal ini karena tidak lama kemudian Inggris menduduki Batavia dan dengan cepat menduduki seluruh (pulau) Jawa.


Tamat reputasi orang-orang Belanda yang telah begitu digdaya sejak kehadiran pelaut-pelaut pertama Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Seperti disebut di atas, pelaut Belanda tiba pertama kali di Hindia Timur di Lampong pada tangga 12 Juni 1596 dimana pemimpin kampong Dampin menyambutnya dengan baik. Pada saat itu, tampaknya pengaruh Banten sudah ada di Lampong. Dengan demikian, orang-orang Belanda sudah terhubungan dengan Lampong selama 215 tahun, suatu periode masa yang sangat lama (lebih dari dua abad).

Orang Lampong sendiri adalah salah satu populasi penduduk yang telah mendiami pulau Sumatra sejak masa lampau. Seperti disebut di atas, nama Lampong sudah diidentifikasi pada era Portugis. Nama Lampong juga sudah diidentifikasi pada era Majapahit (teks Negarakertagama 1365). Kapan, nama Lampong dicatat tidak diketahui secara pasti, Yang jelas sudah diidentifikasi pada tahun 1365. Oleh karenanya orang Lampong harus diartikan sebagai penduduk asli pulau Sumatra. Namun pendudukan Inggris tidak berlangsung lama karena pada tahun 1816 dikembalikan kepada Kerajaan Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda terselenggara kembali. Lantas bagaimana pembentukan cabang Pemerintah Hindia Beland di Lampong?


Willem Marsden dalam bukunya The History of Sumatra yang terbit pertama tahun 1781 (setelah Inggris menduduki Bengkoelen 1779), buku yang kemudian diterbitkan ulang pada tahun 1811 (pada saat penddudukan Inggris). Dengan kembalinya Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Hindia, perhatian orang-orang Belanda di Belanda semakin intens. Namun masih ada yang tersisa pengaruh Inggris di Sumatra yakni di Bengkoelen. Persoalan itu kemudian diselesaikan dengan perjanjian dalam Traktat London pada tahun 1824 dimana dilakukan tukar guling antara Inggris dan Belanda mengenai Bengkoelen (Inggris) dan Malaka (Belanda). Sehubungan dengan itu buku Marsden mulai mendapat perhatian bagia orang Belanda dan dijadikan sebagai referensi tentang penduduk Sumatra sebagaimana diringkas Groninger courant, 17-12-1824). Dalam buku itu disebut penduduk Sumatra terbagi lima kelompok populasi besar: 1. Redjang (di wilayah Bengkoelen), 2. Lampong, 3. Melayu, 4. Batak (diantara wilayah Atjeh dan Minangcabao), dan 5. Atjeh. Disebutkan kelompok populasi Melayu termasuk Palembang dan Minangkabau. Sementara kelompok populasi Atjeh merupakan campuran orang Batak, Melayu dan Moor (kelompok populasi beragama Islam dari Afrika Utara/Laut Mediterania yang menyebar setelah perang Salib pada abad ke-11).

Pada tahun 1834 Pemerintah Hindia Belanda melakukan ekspedisi ke wilayah Lampong untuk menaklukkan Raden Imba Koesoema. Pada fase ini juga di pantai barat Sumatra tengah berlangsung Perang Padri (setelah Perang Jawa 1825-1830). Para pemimpin di wilayah Angkola Mandailing (Tanah Batak) ingin mengusir (pengaruh) Padri di wilayahnya.


Kekuatan militer Pemerintah Hindia Belanda semakin kuat, tidak hanya bertambah drastic selama Perang Jawa, juga pasca Perang Jawa dikerahkan ke Sumatra, khususnya ke pantai barat Sumatra. Salah satu komandan militer penting nanti di pantai barat Sumatra adalah Overste AV Michiel yang belum lama ini pada tahun 1833 melakukan ekspedisi militer ke Djambi. Pangkal perkaranya adalah pada tahun 1833 Sultan Jambi meminta bantuan Pemerintah Hindia Beland di Palembang karena di wilayah hilir sungai Batanghari para bajak laut membangun kekuatan. Bajak laut bisa diusir dan Pemerintah Hindia Belanda mendapat hak untuk wilayah hilir sungai dengan berencana menetapkan Moeara Kompeh sebagai pusat Pemerintah Hindia Belanda dengan menempatkan pejabat setingkat gezaghebber (setingkat Cobtroleur). Namun tidak lama kemudian Sultan Djambi menganeksasi wilayah Rawas. Untuk mengusir Djambi dari Rawa ekspedisi militer dikerahkan ke Rawas dibawah komando Overste AV Michiel. Sejak ini wilayah hilir Jambi menjadi masuk wilayah Residentie Palembang. Kesultanan Palembang sendiri telah dilikuidasi pada era Pendudukan Inggris dan juga melepaskan Bangka dan Belitung dari wilayah Palembang. Dalam hal ini ada kaitan satu sama lain perang di wilayah Sumatra (pasca berakhirnya perang di Jawa).

Mengapa Lampong memberontak yang dipimpin oleh Raden Imba Koesoema diduga terkait dengan penerapan bea dan cukai di di wilayah Lampong berdasarkan Resolusi Pemerintah Hindia Belanda No 12 tahun 1828. Seiring dengan ekskalasi politik dari para pemimpin local di Sumatra, para pemimpin Lampong juga bergerak. Satu yang pasti pasca ekspedisi ke Lampong (1834) dalam Almanak 1840 di wilayah Lampong struktu pemerintahan Pemerintah Hindia Belanda sudah lengkap dimana pejabat tertinggi berstatus Civeiel en Militair Gezaghebber di Tarabangie.


Dalam struktur pemerintah berdasarkan Almanak 1840, selain Gezaghebber, juga dibantu seorang asisten. Sementara untuk pemerintahan local diangkat Toemenggong Mohamad bi Ali sebagai bupati (regent) di Telok Betong dan seorang jabatan yang lebih rendah Mangkoeboemi Joesoef di Manggala dan jabatan yang lebih rendah lagi di beberapa tempat. Ini mengindikasikan bahwa pemerintahan di Lampong terbilang sudah lengkap. Besar dugaan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Lampong dimulai segera setelah ekspedisi 1834).  Dalam Almanak 1836 di Lampong sudah ditempatkan seorang Kapiten de Infantri dengan fungsi Civile en Militair Gezaghebber yang dibantu seorang kommies. Dalam Almanak 1838 jabatan para pemimpin local di Lampong belum ada. Pada tahun 1840 di district Angkola Mandailing telah dibentuk struktur pemerintah Pemerintah Hindia Belanda yang dijadikan sebagai satu afdeeling (dimasukkan ke Residentie Air Bangis). Sebagaimana diketahui sejak 1838 pengaruh Padri di Angkola telah diusir dalam Perang Portibi di Dalu-Dalu (sekitar Padang Lawa, pusat percandian di Sumatra).

Dalam perkembangannya, kembali muncul pemberontakan di Lampong yang dilancarkan oleh Raden Intan, yang notabene adalah anak dari Raden Imba Koesoema. Satu ekspedisi militer tahun 1856 dikerahkan Pemerintah Hindia Belanda dari Batavia ke Lampong. Pasca ekspedisi ini kemudian status wilayah Lampong ditingkatan menjadi satu afdeeling (Residentie Palembang) dimana seorang Asisten Residen ditempatkan di Telok Betong (Pruys van der Hoeven, mantan Asisten Residen di Afdeeling Angkola Mandailing, Residentie Tapanoeli).


Pada tahun 1873 seorang pejabat Pemerintah Hindia Belanda di Lampong menulis di dalam surat kabar Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 06-08-1873. Dalam surat itu antara lain si penulis mempertanyakan mengapa Lampong tidak lebih berhubungan langsung dengan Jawa, karena menurutnya wilayah Lampong dan orang Lampong sendiri mirip orang Jawa daripada orang Melayu dalam tata krama dan adat istiadat, Meski demikian ada perbedaan di wilayah Lampong dan di wilayah Toelang Bawang. Penduduk Lampong terbagi atas lapisan social (kebuayan) dan hidup menurut adat dan tata krama leluhur, namun telah banyak berubah menjadi lebih baik di bawah pengaruh pemerintah Eropa sejak 1860, beberapa adat, yang sepenuhnya bertentangan dengan kepentingan negara dan rakyat, telah dihapuskan dengan persetujuan para kepala dan populasi. Sepengetahuan penulis, bagaimanapun, belum mungkin menghapuskan adat joedjoer (membeli seorang wanita dari orang tua atau kerabatnya, kadang-kadang dengan harga yang sangat mahal). Akan tetapi, di bawah pemerintahan sekarang, tampaknya telah dibuat ketentuan-ketentuan mengenai hal ini, dengan tujuan untuk menurunkan harga djoedur, sehingga sekarang bahkan laki-laki yang lebih rendah dapat berpikir untuk mencari seorang istri. Harus diakui bahwa adat-djoedjoer, seperti dulu umumnya adalah salah satu praktik yang telah menjadi penyebab sangat sedikit pernikahan dan berdampak pada pertambahan populasi orang Lampong. Kebanggaan pemuda Lampong, bagaimanapun, juga terletak pada kenyataan bahwa, jika mungkin, dia menikahi seorang putri dengan harga tinggi, yaitu bahwa pemuda itu membayar djoedjoer yang tinggi untuknya. Tempat tinggal orang Lamponger, terutama di dataran tinggi, sangat bagus dan luas; terbuat dari papan ditutupi dengan sirap dan semuanya dibangun di atas susunan kayu pilihan. Desa (kampung) di Lampung biasanya terdiri dari l0 hingga 60 rumah, sedangkan di tengah setiap desa ada satu pemandangan, sebuah bangunan bernama Sesset, yang hanya memiliki lantai dan atap dan yang berfungsi sebagai ruang dewan dan juga untuk tempat tinggal orang asing. Setiap desa memiliki kepala sendiri, yang juga merupakan kepala sukunya sendiri. Di beberapa lanskap juga ditemukan kepala marga dan bandharry, yang memegang otoritas atas kepala-kepala kampung milik marga atau bandharij mereka. Di wilayah sungai Oempu ditemukan menganyam keranjang dan tikar, yang sangat halus dan banyak dicari. Emas, perak dan pandai besi ditemukan terutama di Tulang-Bawang. Para wanita dan gadis menenun pakaian mereka sendiri, yang disebut pita. Yang dimaksudkan untuk digunakan pada acara-acara perayaan disulam dengan sutra dan benang emas, dan memiliki nilai yang cukup besar, Hanya di kota utama dan di kota-kota pantai orang dapat melihat perempuan dan anak perempuan mengenakan kain Palembang dan kain Bugis.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar