Laman

Kamis, 05 Januari 2023

Sejarah Surakarta (17): Bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta; Batak Instituut hingga Java Instituut (kini era LIPI)


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini  

Seperti halnya bahasa Batak, bahasa Jawa menjadi sangat penting dalam berbagai penelitian pada era Hindia Belanda. Tatabahasa pertama bahasa-bahasa di Hindia Belanda adalah bahasa Batak terbit tahun 1857 yang ditulis oleh Dr NH van der Tuuk. Tidak cukup sampai disitu pada tahun 1906 didirikan Lembaga Batak dimana anggotanya antara lain Charles Adriaan van Ophuijsen yang telah menyusun kamus dan tata bahasa Melayu. Lalu bagaimana dengan bahasa Jawa? Sudah sejak lama didirikan Het Instituut voor de Javasche taal di Soerakarta. Bagaimana dengan Jawa Insituut sendiri.? Ini bermula tahun 1918 (lihat De locomotief, 02-01-1919). Disebutkan pada akhir tahun 1918 diadakan pertemuan di Jogja untuk mempersiapkan pendirian Java Instituut. 


Java Instituut: Lembaga Ilmiah Pertama Hindia Belanda. Kumparan.com. Keseriusan Mangkunegoro VII untuk melindungi dan melestarikan budaya Jawa, pada 1918 mengantar pada pembentukan Komite Pembangunan Kebudayaan Jawa yang mempersiapkan suatu konferensi tentang budaya Jawa. Konferensi isukses digelar, para utusan dari 50 organisasi, Jawa maupun Eropa, datang ke Solo. Seribu dua ratus orang menghadiri konferensi itu, dengan Mangkungegoro sebagai ketua kehormatan. Java Instituur, yang didirikan setahun kemudian, merupakan hasil langsung dari konferensi ini. Java Instituut merupakan lembaga ilmiah pertama yang berdiri di Hindia Belanda, didirikan pada 4 Agustus 1919 di Surakarta. Statuta lembaga ini disahkan Gubernur Jenderal tanggal 17 Desember 1919 No 75. Pendirinya antara lain PAAP Prangwadono (Mangkunegoro VII), Dr. Hoesein Djajadiningrat, R. Sastrowijono, dan Dr. EDK Bosch, sedangkan pengurus yayasan pertama kali diketuai oleh Dr. Hoesein Djajadjningrat, sedangkan Dr. FDK Bosch sebagai sekretaris. Tujuan utama perkumpulan ini ialah mendorong perkembangan budaya Jawa, Madura, Sunda, dan Bali dalam arti yang seluas-luasnya. Guna mencapai tujuan ini, lembaga tersebut akan mengumpulkan dan menyebarkan segala macam informasi mengenai seluruh aspek kebudayaan Jawa, Sunda, Madura dan Bali baik yang mutakhir maupun yang lama. Kegiatan-kegiatan Java-Instituut yang cukup menonjol dan dapat menyumbangkan banyak hal bagi pengembangan intelektualitas antara lain, diadakannya Kongres Kebudayaan dan Sejarah, menerbitkan empat majalah, yaitu Djawa, Poesaka Djawi, Poesaka Sunda, dan Poesaka Madhoera, dan didirikannya museum Sana Budaya pada 1935 (https://kumparan.com/potongan-nostalgia/java)

Lantas bagaimana sejarah bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta? Seperti disebut di atas bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Jawa adalah tiga diantara bahasa-bahasa nusantara yang dipejari pada era Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hubungan ini terkait dengan lembaga yang akan menaungi yakni pendirian kelembagaan. Dalam konteks inilah dipahami Batak Instituut hingga Java Instituut (kini era LIPI). Lalu bagaimana sejarah bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa Jawa dan Institut Bahasa Jawa di Soerakarta; Batak Instituut hingga Java Instituut (Kini era LIPI) 

Segera setelah usai Perang Jawa (1825-1830), sejumlah pemuda Eropa/Belanda dijadikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda di Jogjakarta dan Soerakarta direkrut untuk menjadi eleves (siswa) dalam mempelajari bahasa Jawa (kursus) dan juga berfungsi sebagai penerjemah (Belanda-Jawa atau sebaliknya). Salah satu lulusannya adalah CL van den Berg (lihat Javasche courant, 10-11-1832). Disebutkan diangkat sebagai Asisten Residen Karang-anjar, Residentie Bagelen, eleves untuk bahasa Jawa dan penjabat penerjemah di Djocjocarta, CL van den Berg untuk menggantikan Asisten Residen HJ Levijssohn yang diberhentikan dengan hormat.


Tentang bahasa Jawa sudah kerap terinformasikan sejak era VOC. Tetapi tidak terkait dengan orang Belanda. Saat itu orang Belanda tergantung kepada para penerjemah, terutama orang Moor dan orang Arab. Orang Jawa teriutama di pedalaman masih sangat jarang yang bisa berbahasa Belanda, tetapi sudah banyak yang mampu berbahasa Melayu terutama para pedagang bahkan orang kraton. Residen pertama Soerakarta, HJ Nahuijs sudah bisa berbahasa Melayu. Namun mulai menjadi persoalan Ketika cabang-cabang pemerintahan semakin meluas di pedalaman Jawa hingga ke pantai selatan. Pengetahun bahasa Melayu tidak lagi cukup, karena orang Jawa berbahasa Jawa. Hal itulah mengapa pengetahuan bahasa Jawa menjadi prioritas bagi pejabat-pejabat baru Belanda di wilayah pedalaman. Namun sebelum terbentuk pelembagaan bahasa Jawa, ketika HG Nahuijs menjadi Residen di Jogjakarta, terjadi pemberontakan (Perang Jawa 1825-1830).

Kursus bahasa Jawa di Jogjakarta pada tahun 1832 ditingkatkan menjadi suatu lembaga yang disebut Instituut voor de Javaansche taal yang berlokasi di Soerakarta. Yang menjadi direktur lembaga adalah JFC Gericke. Siswa-siswa pertama dalam pembentukan lembaga ini adalah K Vikcert, J Schbitz, H Homs Loonoic, S Senstius, G Bader, C Chauvigny de Blot, N Esche, L Külbhkamp Lemmers, J Lichte dan J Tab yang kemudian turut dua elèves dari pegawai resident di Soerakarta J Wilkens dan A Vincent. JFC Gericke sendiri sebenarnya adalah seorang misionaris yang ditempatkan Nederlandsch Bijbelgenootschap di Soerakarta. Di lembaga ini JFC Gericke dibantu oleh seorang mantan perawat.


Beberapa waktu yang lalu di Belanda, tepatnya di Haarlem seorang peminat bahasa Jawa (Javaansche taal) P van Vlissingen, menginisiasi pembuatan aksara Jawa (Javaansche alphabet) atas permintaan pemerintah ke dalam percetakan pada tahun 1824 dengan nama Javaansche Drukkerij. Hasil pertama percetakan itu adalah menerbitkan suatu puisi dengan menggunakan bahasa dan aksara (karakters) Jawa (lihat Bataviasche courant, 19-10-1825). Sejak inilah awal era baru dunia cetak mencetak bahasa Jawa dan aksara Jawa. Dalam hubungan ini van Vlissingen, ditempatkan di Soerakarta pada tahun 1820, untuk berkonsentrasi disana pada bahasa Jawa yang ditugaskan oleh Sekretaris Jenderal Pemerintah, Baud, untuk menyiapkan rancangan produksi dan pembentukan sebuah perusahaan percetakan Jawa.

Pendirian institut di Soerakarta ini penting dalam bahasa Jawa. JFC Gericke juga mendapat bantuan dari CF Winter (penerjemah bahaasa Jawa-Belanda) untuk mengajar dua jam setiap minggu. JFC Gericke menyebut orang Jawa, sekalipun terpelajar tidak mengetahui struktur gramatikal bahasanya sendiri dan karenanya tidak memiliki kemampuan untuk mengajar orang lain. Hal itulah JFC Gericke sendiri yang menyusun materi untuk para partisipannya yang orang Belanda di dalam institute. Tentu saja pada saat ini sudah ada orang Belanda lainnya yang bisa berbahasa Jawa seperti CF Winter.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Batak Instituut hingga Java Instituut: Bahasa Jawa dan Bahasa Batak (KITLV hingga Kini Era LIPI)

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar