Laman

Jumat, 20 Januari 2023

Sejarah Surakarta (48): Awal Pertanian dan Perkebunan di Soerakarta Sejak VOC; Peta Perkebunan era Pemerintah Hindia Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini

Kehadiran orang Belanda di Hindia Timur adalah tujuan perdagangan di pantai-pantai. Urusan perdagangan di pedalaman adalah penduduk asli. Pada tahun 1665 Pemerintah VOC mengubah kebiijakan dari perdagangan longgar di pantai-pantai menjadi kebijakan menjadikan penduduk sebagai subjek. Langkah pertama untuk mengimlementasikan kebijakan baru ini adalah membuat program pengembangan pertanian di wilayah pedalaman, termasuk di pedalaman Batavia dan di pedalaman Semarang (khususnya Soerakarta dan Jogjakarta).   


Perkembangan Perkebunan Tebu di Mangkunegaraan Tahun 1918-1937. Oleh: Salma Abidah, Prodi Ilmu Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri. Abstrak. Perkebunan telah ada sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara. Perkembangan perkebunan lahir setelah bangsa Belanda datang ke Nusantara dan menjajah. Perkebunan telah menyebar ke seluruh wilayah Hindia Belanda tak terkecuali di Praja Mangkunegaran. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perkembangan perkebunan tebu di Mangkunegaran pada tahun 1918 hingga tahun 1937. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis. Terdiri dari; heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkebunan tebu Mangkunegaran merupakan perkebunan penghasil bahan baku untuk PG Colomadu dan PG Tasikmadu. Pada tahun 1918 hingga tahun 1929 perkebunan tebu Mangkunegaran mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut ditunjukkan dengan perluasan perkebunan tebu dan penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak. Namun, pada tahun 1930 merupakan puncak krisis Melaise yang melanda seluruh wilayah Hindia Belanda termasuk wilayah Mangkunegaran. Pemerinah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan-kebijakan terhadap industry gula di Hindia Belanda. Menghadapi krisis Melaise dan untuk mencegah terjadinya kegurian, pihak Mangkunegaran mengurangi lahan perkebunan tebu, dan mengganti bibit tebu yang digunakan menggunakan varietas POJ 2878 yang lebih unggul dari pada varietas lainnya (https://journal.student.uny.ac.id/) 

Lantas bagaimana sejarah pertanian dan perkebunan di Soerakarta sejak VOC? Seperti disebut di atas, wilayah Soerakarta terbilang salah satu wilayah pedalaman pertanian dikembangkan sejak era VOC. Atas dasar ini menjadi penting Soerakarta dalam peta perkebunan pada era Pemerintah Hindia Belanda. Lalu bagaimana sejarah pertanian dan perkebunan di Soerakarta sejak VOC? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pertanian dan Perkebunan di Soerakarta Sejak VOC; Peta Perkebunan era Pemerintah Hindia Belanda

Pertanian dalam arti luas di wilayah pedalaman Jawa, khususnya di wilayah Vorstenlanden (Jogjakarta dan Soerakarta) tentulah sudah sejak zaman kuno. Hal itu dapat dipahami dalam tanda-tanda yang terdapat pada relief seperti candi Borobudur. Wilayah (residentie) Soerakarta memiliki jalur navigasi pelayaran perdagangan melalui sungai Bengawan Solo dari pantai timur Jawa (plus jalur navigasi pelayaran perdagangan di pantai selatan).


Pulau Jawa memiliki keunggulan komparatif dalam hal pertanian dibandingkan (pulau) Seumatra, sebaliknya Sumatra kaya dengan emas. Gunung-gunung aktif yang banyak di wilayah tengah dan selatan pulau Jawa menyebabkan wilayah pedalaman Jawa sangat subur untuk pertanian maupun hasil-hasil hutan. Sangat menyebarnya sumber-sumber air terutama di daratan lereng-lereng gunung menambah kemudahan dalam peningkatan lahan-lahan pertanian untuk tanaman pangan. Pulau Jawa sejak zaman kuno unggul dalam perdagangan beras yang menjadi komoditi unggulan dalam perdagangan regional. Sentra produksi pertanian di wilayah Soerakarta dimulai dari lereng gunung Merapi (dan Merbabu) sereta lereng gunung Lawu. Daerah aliran sungai Bengawan Solo, terutama di hilir Wonoguri/Klaten dan Boyolali belum sepenuhnya dapat dikelola karena masih kerap banjit. Seperti kita lihat nanti baru pada saat kehadiran Belanda, terutama pada era Pemerintah Hindia Belanda wilayah daerah aliran sungai Bengawan Solo dapat ditingkatkan secara optimal.

Pada era VOC jalur perdagangan dari dan ke pedalaman Jawa (Vorstenlanden) melalui darat dari wilayah (residentie) Jogjakarta ke Semarang melalui Magelang, Banaran dan Oengaran hingga ke Semarang; dan melalui sungai dari wilayah (residentie) Soerakarta ke Sidajoe, Arosbaja dan Tuban. Dari dua wilayah subur ini komoditi utama adalah beras dari pedalaman dan garam dari wilayah pantai. Sentra produksi garam pada era VOC berada di wilayah (residentie) Rembang. Dua komoditi inilah yang diduga yang menjadi sumber perselisihan sejak Belanda memindahkan ibu kota (pos perdagangan utama) dari Amboina ke Batavia (1619).


Pada awal kehadiran Belanda, pedagang-pedagang VOC melihat keutamaan (pulau) Jawa dari banyak segi, seperti posisi strategis dengan pusat perdagangan di Banten/Soenda Kalapa (utamanya lada) serta Japara/Demak dan Tuban/ Arosbaja (beras). Beras, garam dan lada alat tukar penting saat itu. Pedagang-pedagang VOC membawa beras dan garam ke berbawai wilayah untuk bertukar dengan komoditi lain seperti pala, cengkeh hasil-hasil hutan dan pertambangan. Kerajaan-kerajaan di Jawa yang mengandalkan keunggulan komparatif beras ini sudah memainkan peran besar perdagangan komoditi beras ini yang vis-à-vis memperkuat posisi perdagangan maritime dan memperkuat kekuatan kerajaan (kraton) sejak era Mataram Kuno, Singhasari, Majapahit hingga Mataram Baru. Bukti banyaknya devisa yang diterima kerajaan-kerajaan terwujud dari banyaknya candi-candi di Jawa, khususnya di wilayah seputar Jogjakarta dan Soerakarta. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang (pembangunan) pertanian awal di Soerakarta.

Kekuatan Mataram (dalam perdagangan regional) telah terusik dengan kehadiran pedagang-pedagang VOC/Belanda yang massif sejak ibu kota berada di Batavia. Mataram yang didukung Banten menyerang pusat kekuatan perdagangan VOC di Batavia era Soeltan Agoeng (1628). Memang Mataram tidak berhasil melumpuhkan Batavia, tetapi Batavia masih cukup kuat untuk bertahan (di Kasteel Batavia). Sejak Banten dan Arosbaja (1596) hingga Mataram (1628). VOC semakin menyadari, untuk mencapai misinya datang ke Hindia Timur, kekuatan local, terutama yang pertama di Jawa harus dilemahkan (tidak bisa sepenuhnya dilakukan karena harus terbagi perhatian dengan kekuatan lokal di Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan). Namun diantara itu semua, kekuatan Jawa dalam tangga pertama, khususnya Mataram (di pedalaman).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Peta Perkebunan era Pemerintah Hindia Belanda: Soerakarta vs Jogjakarta

Selain perkebunan di Batavia yang sudah sejak awal pada era VOC, perkebunan di wilayah Soerakarta sudah meluas hingga ke wilayah (residentie) Soerakarta, Semuanya karena dimulai dari kedekatan Soesoehonan dengan Pemerintah VOC dan factor kesuburan lahan yang cukup mendukung di Soerakarta. Jika di wilayah Batavia (hingga ke hulu sungai Tjiliwong) dan pantai utara Jawa sekitar Pekalongan serta pantai timur Jawa sekitar Pasoeroean dengan skema landerein (tanah-tanah partikelir), di wilayah Soerakarta dengan skema sewa (konsesi jangka waktu tertentu). Meski ada pasang surut soal perkebunan di wilayah Soerakarta, yang jelas hingga permulaan Pemerintah Hindia Belanda pembangunan/pengembangan perkebunan di Soerakarta terus berlanjut (bahkan terus meluas hingga wilayah Jogjakarta). Hal itulah mengapa era perkebunan di Soerakarta dapat dikatakan berlangsung sepanjang masa.


Ketika perkebunan di wilayah Jawa, terutama di Jawa bagian tengah yang terus meluas ke Jawa Timur, lahan-lahan ideal untuk perkebunan besar (membutuhkan lahan luas) semakin sulit di dapat, para investor lama maupun investor baru mulai melihat di pulau lain, terutama di Soematra khususnya di Lampoeng dan pantai timur Sumatra. Para investor/planter sedikit terhalang di Lampoeng karena pengaruh Banten masih kuat, akhirnya seorang planter yang mulai berkarir di Jawa Timur melirik pantai timur Soematra di Deli tahun 1865. Nienhuys meski sulit di awal tetapi cukup berhasil dengan perkebunan tembakaunya. Sukses Nienhuys yang didukung Jansen segera membuka peta baru perkebunan. Para investor di Jawa mulai membagi investasinya ke Deli plus antrian investor yang baru datang dari Eropa/Belanda. Bahkan para investor Inggris di Singapoera yang berkebun di Semenanjung sudah mulai ada yang melirik Deli. Sejak 1883 wilayah Deli dan sekitar sudah dapat dikatakan bersaing dengan di Jawa (dan telah melampaui wilayah Semenanjung). Lantas bagaimana dengan wilayah Soerakarta plus Jogjakarta? Yang jelas pada saat antrian yang tinggi di Deli dan sekitar (Residenti Oost Sumatra), Pemerintah Hindia Belanda mulai mengarahkan pembukaan perkebunan (onderneming) di wilayah pantai barat Sumatra di Tapanoeli (Padang Sidempoean dan sekitar).

Pada tahu 1900 perkebunan di Jawa (plus Madura) terdapat hampir di seluruh residentie, yakni: Tegal, Bandjoemas, Kedoe, Pekalongan, Pasoeroean, Semarang, Madoera, Soerakarta, Batavia, Bantam, Besoeki, Cheribon, Preanger, Madioen, Soerabaja, Kediri, Djogjakarta dan Rembang. Di Soematra, perkebunan semakin meluas setelah Oost Sumatra dan Tapanoeli ke Riaow (Siak), Palembang (Musi), Djambi (Batanghari) dan Lampoeng. Mengapa tidak ada perkebunan di Karawang dan Banjoewangi? Harus dicatat Malang masih bagian dari (residentie) Pasoeroean. Di wilayah Soerakarta perkebunan terdapat di sejumlah afdeeling/district.


Berdasarkan peta perkebunan tahun 1912, perkebunan (onderneming) di wilayah (residentie) Soerakarta terdapat di Ampel (afdeeling Bojolali, district Ampel), Batoeretno (Soerakarta, Batoeretno), Bedji (Klaten, Bedji), Bojolali (Bojolali, Bojolali), Brambanan (Klaten, Brambanan), Delangoe (Klaten, Delangoe), Djatipoero (Soerakrat. Djatipoero), Djatisrono (Soerakarta, Djatisrono), Djogomasan (Soerakarta, Djogomasan), Gawok (Soerakarta, Kartasoera), Gemolong (Sragen, Gemolong), Gesi (Sragen, Gesi), Grogol (Soerakarta, Grogol), Grompol (Sragen, Masaran), Javabank (Halte Soerakarta), Kali Osso (Soerakarta, Kali Osso), Karanganjar (Sragen, Karanganjar), Karanggedeh (Bjoloali, Karanggedeh), Karangpandan (Soerakarta, Karang Pandan), Kartasoera Kamp (Soerakarta, Kartasoera), Kebonromo (Sragen, Sragen), Kedongbanteng (Sragen, Gondang), Kemiri (Sragen, Djogomasan), Klaten (Klaten, Klaten), Kota Gede (Mataram, Kotagede), Kragan (Klaten, Klaten), Masaran (Sragen, Masaran), Modjosragen (Sragen, Sragen), Ngerden (Klaten, Delangoe), Paloor (Sragen, Djogomasan), Poerwosari (Soerakarta, Soerakarta), Ponggok (Klaten,Ponggok), Pranggoeh (Goenoeng Kidoel, Pranggoeh), Salem (Sragen, Gemolong), Simo (Bojolali, Simo), Soekohardjo (Soerakarta, Soekohardjo), Soemberlawang (Sragen, Gemolong), Soerakarta (Soerakarta, Soerakarta), Srowot (Klaten, Klaten), Tawang (Soerkarta, Tawangsari), Telawa (Bojolali, Djoewangi) dan Wonogiri (Soerakarta, Wonogiri). 

Komoditi yang diusahakan di perkebunan-perkebunan Soerakarta umumnya tanaman tebu dan juga ada yang mengusahakan kopi, tembakau dan indigo. Hal serupa yang juga yang terdapt di wilayah (residentie) Jogjakarta. Perkebunan-perkebunan besar ini semuanya mengusahakan komoditi ekspor.


Perkebunan-perkebunan di wilayah residentie Jogjakarta juga terdapat di sejumlah afdeeling/district yakni di Bantoel (afdeeling Mataram, district Tjepit), Djedjeran, Mataram, Djedjeran), Djoemeneng (Mataram, Djoemeneng), Djogjakarta (Mataram, Djogjakarta), Gamping (Mataram, Gamping), Godean (Mataram, Godean), Gondang (Sragen, Gondang), Imogiri (Mataram, Imogiri), Kalasan (Mataram, Berbah), Kalibawang (Koelon Progo, Kalibawang), Kalimenoer (Koeloen Progo, Sentolo), Kedjambon (Mataram, Kedjambon), Kedoendanmg (Kulonprogo, Adikarta), Klegoeng (Mataram, Klegoeng), Krapijak (Mataram, Krapijak), Kreteg (Mataram, Kreteg),  Magoewo (Mataram, Krapijak), Mlatti (Mataram, Mlattti) , Naggoelan (Koelonprogo, Nanggoelan), Ngidjon (Mataram, Ngidjon), Paal Bapang (Mataram, Tjepit), Pandoewan (Koelonprogo, Galoer), Panggang (Mataram, Panggang), Patoekan (Mataram, Gamping), Pengasih (Koelonprogo, Pengasih), Plajen (Goenoeng Kidoel, Plajen), Rewoeloe (Mataram, Godean), Sedajoe (Mataram, Gamping), Semanoe (Goenoeng Kidoel, Semanoe), Sentolo (Koelon Progo, Sentolo), Sleman (Mataram. Djoemeneng), Sogan (Koelon Progo, Sogan), Srandakan (Mataram, Srandakan), Tempel (Mataram, Klegoeng), Tjepit (Mataram, Tjepit). Tjepper, Klaten, Pongok), Wates (Koelon Progo, Sogan) dan Wonosari (Koelon Progo, Wonosari).

  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar