Laman

Minggu, 05 Februari 2023

Sejarah Surakarta (80): Susuhunan XII a/n Pakubuwana XIII; Naik Tahta, Solo 11 Juni 1945, Meninggal di Surakarta 11 Juni 2004


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini

Raja Surakarta masa ini disebut Sri Susuhunan Pakubuwana XIII (Susuhunan XII), lahir 28 Juni 1948 yang bertakhta sejak 2004. Namun dalam hal ini yang dibicarakan adalah Susuhunan Pakubuwana XII. Nama Soesoehoenan dan Pakoeboewono adalah dua nama penting di wilayah Soerakarta dari masa ke masa, sejak era VOC (bahkan hingga masa ini).


Letnan Jenderal TNI (Tit.) Susuhunan Pakubuwana XII (14 April 1925-11 Juni 2004) adalah susuhunan Surakarta, masa pemerintahannya 59 tahun (1945-2004). Nama aslinya adalah Raden Mas Suryo Guritno, putra Pakubuwana XI. Suryo Guritno pernah bersekolah di ELS Pasar Legi, Surakarta. Suryo Guritno sering dipanggil dengan nama Bobby. Tahun 1938 Suryo Guritno berhenti sekolah sekitar lima bulan, karena harus mengikuti ayahandanya, Pakubuwana X, pergi ke Belanda bersama raja-raja di Hindia Belanda untuk menghadiri peringatan 40 tahun takhta Ratu Wilhelmina. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke HBS di Bandoeng. Belum tamat, pecah Perang Pasifik dan Hindia Belanda pun jatuh ke tangan Jepang. Raden Mas Suryo Guritno naik takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, pada 1 September 1945 Pakubuwana XII bersama Mangkunegara VIII, secara terpisah mengeluarkan dekret (maklumat) resmi kerajaan yang berisi pernyataan ucapan selamat dan dukungan terhadap Republik Indonesia, empat hari sebelum maklumat Hamengkubuwana IX dan Pakualam VIII. Lima hari kemudian, 6 September 1945, Kesunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mendapat Piagam Penetapan Daerah Istimewa dari Presiden Soekarno. Susuhunan Pakubuwana XII pernah menerima kunjungan Presiden Soekarno tahun 1946. Selama perang kemerdekaan Pakubuwana XII memperoleh pangkat militer kehormatan (tituler) Letnan Jenderal dari Presiden Soekarno. Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta. Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII dan Sutan Syahrir sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Susuhunan XII Pakubuwana XIII? Seperti disebut di atas, Pakuboeowono XIII adalag raja Soerakarta terlama, naik takhta 11 Juni 1945 dan meninggal di Kota Surakarta 11 Juni 2004. Susuhunan XII berkuasa di Soerakarta berbeda dengan para pendahulunya pada era Pemerintah Hindia Belanda. Apakah ada perbedaannya? Lalu bagaimana sejarah Susuhunan XII Pakubuwana XIII? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Susuhunan XII Pakubuwana XIII; Naik Takhta 11 Juni 1945, Meninggal di Kota Surakarta 11 Juni 2004

Susuhunan X Pakubuwana XI meninggal dunia di Soerakarta (lihat Het Parool, 07-06-1945). Disebutkan Soesoehoenan Solo meninggal. Radio Djakarta (yang dilansir ANP di Merbourne) mengumumkan pada hari Senin bahwa Soesoehoenan Solo meninggal pada hari Sabtu tanggal 1 Juni di istananya pada usia 61/71 tahun. Sebagai Paku Buwono XI ia menggantikan ayahnya Paku Buwono X sebagai Soesoehoenan van Solo pada tanggal 26 April 1939. Dia dikukuhkan dalam posisi ini, setelah Jepang tiba di Jawa, pada tanggal 30 Juli 1942. Menurut Domei, ia akan digantikan putra sulungnya yang akan menyandang gelar Paku Buwono XII.


Wikipedia: Berdasarkan tradisi maka KGPH Mangkubumi, putra sulung Pakubuwana XI, sesungguhnya yang paling berhak meneruskan takhta. Namun peluang itu tertutup setelah ibundanya, GKR. Kencana (istri pertama Pakubuwana XI), telah mendahului wafat pada tahun 1910 sehingga tidak berkesempatan diangkat sebagai permaisuri tatkala suaminya mewarisi takhta kerajaan. Maka terbukalah peluang untuk Suryo Guritno bisa menggantikan Pakubuwana XI sekalipun berumur paling muda. Sebelum naik takhta sebagai raja, Suryo Guritno diangkat sebagai putra mahkota dengan gelar KGPH Puruboyo. Versi lain menyebutkan, pengangkatan Suryo Guritno itu berkaitan erat dengan peran yang dimainkan Presiden Soekarno. Pakubuwana XII dipilih karena masih muda dan mampu mengikuti perkembangan serta tahan terhadap situasi. Rencana penobatan Suryo Guritno itu sempat mendapat tentangan keras dari Kooti Jimu Kyoku Tyokan, Pemerintah Gubernur Jepang. Raden Mas Suryo Guritno naik takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945. Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Karena masih berusia sangat muda, dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, ia sering kali didampingi ibunya, GKR Pakubuwana, yang dikenal dengan julukan Ibu Ageng. Pakubuwana XII dijuluki Sinuhun Hamardika karena merupakan Susuhunan Surakarta pertama yang memerintah pada era kemerdekaan.

Saat pergantian raja di Soerakarta ini, jaman telah berubah. Saat ini adalah masa pendudukan Jepang. Sementara itu nun disana di Eropa, dilaporkan dari Den Haag bahwa Ratu Belanda diperkirakan akan segera kembali ke istana di Den Haag (setelah lama di pengasingan di Inggris, dimana Jerman menduduki Belanda pada bulan Mei 1940). Sang Ratu diperkirakan akan kembali ke Den Haag ketika orang Jerman terakhir telah meninggalkan Belanda. Lalu apakah Belanda ingin menguasai Kembali Indonesia?


Ibarat roda pedate berputar ada waktunya di atas, ada pula saatnya berada di bawah. Raja Belanda (dalam hal ini Ratu) tengah berada di bawah, berada di pengasingan, melarikan diri saat invasi Jerman dimulai Mei 1940. Pada tahun dimana Ratu Belanda melarikan diri, Ir Soekarno masih di pengasingan di Bengkoeloe. Pendudukan Jepang di Indonesia bulan Maret 1942 menyebabkan Ir Soekarno terbebaskan dan kemudian diangkat Jepang untuk memimpin rakyat Indonesia. Pada saat Ratu Belanda kembali ke Belanda, di Indonesia pada masa pendudukan Jepang Raja Soerakarta meninggal dan yang menjadi pemimpin rakyat Indonesia adalah Ir Soekarno.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Naik Takhta 11 Juni 1945, Meninggal di Kota Surakarta 11 Juni 2004: Riwayat Susuhunan/Pakubuwana di Soerakarta Masa ke Masa

Saat mana Kaisar Jepang menyatakan takluk kepada Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat melalui radion tanggal 14 Agustus 1945, tiga hari kemudian bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Hany aitu yang dapat dilakukan, orang Jepang di Indonesia mati langkah, orang Eropa/Belanda masih di dalam kamp tahanan yang dijaga militer Jepang. Ratu Belanda yang belum lama pulang dari pengasingan, proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak digubris orang-orang Belanda. Nafsu berkuasa Belanda terus memuncak. Apakah dalam hal ini orang-orang Belanda dalam konteks orang-orang Indonesia, orang Eropa yang tidak tahu diri? Boleh jadi.


Ketika orang Eropa/Belanda dibebaskan Sekutu/Inggris dari kamp militer Jepang di Indonesia, mereka trauma, mereka dievakuasi, mereka banyak sakit dan banyak yang menderita sangat. Mereka ini tahu diri. Sebaliknya, orang-orang Belanda yang bebas, terutama yang dipengasingan seperti di Inggris dan Australia berbondong-bondong datang ke Indonesia di belakang Sekutu/Inggris ingin menguasai Indonesia. Nah, ini dia nih. Lalu para eks interniran di Indonesia mulai menyadari, mereka sudah lama di Indonesia, mereka tidak mengenal lagi Belanda, banyak diantaranya menikah dengan orang Indonesia, mereka nyaris tidak diakui di Belanda (karena ada rasis; orang Indo dianggap bukan orang Belanda-totok), lalu berbalik ikut ingin berkuasa kembali di Indonesia. Sedangkan orang-orang Belanda yang jatuh miskin selama pendudukan Jerman di Belanda banyak yang berharap ke Indonesia, karena sumber kemakmuran ada di Indonesia.

Saat Belanda/NICA mulai menguat dan sebagian orang Indonesia yang menderita selama pendudukan Jepang, kehadiran Belanda dianggap sebagai penolong lalu bekerjasama dengan orang-orang Belanda untuk memusihi orang Indonesia yang menentang kehadiran orang-orang Belanda. Banyak raja-raja di berbagai tempat telah didudukkan Kembali sebagai raja. Lalu bagaimana dengan raja-raja di Vorstenlanden seperti di Soerakarta dan Jogjakarta?


Pusat pemerintahan Republik Indonesia di Djakarta. Seiring dengan pembentukan komite nasional Indonesia, lalu, dengan semakin intensnya pertempuran di Djakarta dan sekitar, komite nasional Indonesia di Jogjakarta mengajukan permintaan agar pemerintahan RI dipindahkan ke Jogjakarta. Hal ini boleh jadi karena Jogjakarta saat itu dianggap laing sesuai karena di Jogjakarta sendiri sudah sejak beberapa waktu didirikan Akademi Militer Indonesia di bawah pimpinan Oerip Soemohardjo. Apakah permintaan dari Jogjakarta tersebut direspon Presiden Soekarno?

Seorang penulis Belanda bertanya di surat kabar dalam tulisannya: ‘Orang berkelahi di Jawa, tapi siapa sebenarnya yang berkelahi? Pemerintahan republik yang merdeka telah terbentuk di Jawa, namun apa kata para penguasa Jawa di Jawa Tengah tentang hal ini, Sultan Djokarta dan Susuhunan Surakarta. Kami tidak mendengar kabar dari mereka. Apakah mereka juga menjadi Republikan? (lihat De Graafschapper, 05-12-1945). Pertanyaan sangat jamak diantara orang Belanda. Diantara orang-orang Belanda, mereka sangat membutuhkan Soeltan Jogja dan Soesoehoenan Soerakarta. Mengapa? Sebaliknya diantara orang-orang Indonesia juga mungkin bertanya apakah para raja-raja condong ke Republik atau ke pangkuan Belanda?


Algemeen Handelsblad, 20-12-1945: ‘Sebuah pernyataan resmi telah dibuat atas nama Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, yang telah diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan Inggris sebelum dipublikasikan, mengungkapkan harapan yang sungguh-sungguh bahwa semua pihak di Hindia Belanda akan mengenali kebutuhan untuk melihat dimulainya kembali pembicaraan lebih awal dengan maksud untuk mencapai solusi damai atas konflik tersebut…Harapan diungkapkan bahwa pembicaraan akan mengarah pada pengakuan aspirasi alami rakyat Indonesia dan hak dan kepentingan Belanda yang sah… Tentang perjalanan Sjahrir, Sukarno, dan Hatta serta Amir Sjarifoeddin Harahap ke Jawa Tengah, kabarnya mereka juga disambut di Soerakarta oleh Soesoehunan, Ketua Panitia Nasionalis lokal dan Kepala Markas Barisan Banteng, organisasi kepemudaan Pemoeda. Soekarno mempersilakan para koresponden luar negeri untuk meyakinkan diri sendiri bahwa “kaum nasionalis cukup mampu, untuk menjalankan negara”. Tambah Soekarno lagi "Semuanya berjalan dengan baik". Perkelahian dan penembakan dilaporkan dari Buitenzorg, Batavia dan Semarang. Pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) berpartisipasi dalam pembersihan di pinggir Batavia’. De Volkskrant, 20-12-1945 menginformasikan selama di Soerakarta ‘Soetan Sjahrir, Soekarno dan Mohamad Hatta serta Amir Sjarifoeddin Harahap telah berpidato di majelis rakyat. Hatta mencontohkannya. bahwa setiap bagian dari negara adalah bagian dari "Indonesia Raya" dan bahwa "tidak ada yang berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi semua harus berjuang untuk seluruh bangsa". Soekarno meminta perhatian pada perlunya mengikuti perintah Pemerintah. Soekarno mengatakan: “Belanda berusaha mengatakan kepada dunia bahwa kita belum siap merdeka dan hanya bisa membunuh perempuan dan anak-anak. Tapi koresponden asing melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kita cukup mampu menjalankan negara ini. Semuanya berjalan baik di Indonesia. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 20-12-1945 mengutip pidato Soekarno di hadapan 20,000 orang di lapangan, setelah menggambarkan "eksploitasi" Belanda di Hindia, Soekarno mengatakan bahwa Indonesia telah berlayar sejauh ini, tetapi bahwa Indonesia, setelah merdeka, akan tetap demikian selamanya. Kunjungan para pemimpin republik ke Soerakarta bertepatan dengan ulang tahun keempat bulanan proklamasi kemerdekaan republik.

Kunjungan ke Jawa Tengah (Jogjakarta) merupakan kinjungan para pemimpin Indonesia pertama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejak proklamasi, empat tokoh penting Indonesia (4 the Founding Father) ini sangat disibukkan dalam berbagai hal di Djakarta. Diantara berempat yang sudah pernah ke Jogjakarta sebelumnya adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (yang bertindak sebagai Menteri Pertahanan) dalam hubungannya dengan pertahanan dan soal organisasi militer yang akan ditingkatkan dengan berbicara dengan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Mr Amir Sjarifoeddin Harahap juga sebelumnya Bersama Presiden Soekarno ke Soerabaja dalam hubungannnya dengan pertempuran Soerabaja pada bulan November.


Kunjungan pendahuluan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap ke Jogjakarta dan kemudian kunjungan para pemimpin Indonesia pada tanggal 17 Desember 1945 ke Jogjakarta dan Soerakarta menjadi sinyal Soeltan Jogja dan Soesoehoenan Soerakarta menerima lapang dada para pemimpin republic dan secara khusus Soeltan Jogja membuka pintu untuk menjadikan Jogjakarta sebagai ibu kota Republik yang baru. Pada tanggal 3 Januari Sorkarno, Mohamad Hatta dan Amir Sjarifoeddin Harahap pindah ke Jogjakarta (hanya menyisakan Soetan Sjahrir masih di Djakarta). Sebelumnya Soesoehoenan Soerakarta telah menanggalkan gelar radjanya (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 25-01-1946). Disebutkan di dalam surat kabar “Kedaulatan Rakyat” yang terbit di Solo kita baca: Soesoehoenan yang merupakan bagian dari perjalanan presiden menyatakan dalam rapat umum di Pati bahwa mulai sekarang ia lebih suka dipanggil “Boeng”. ingin dikenal sebagai Boeng Pakoe Boewono. Dalam sebuah resepsi di Tjepoe, Boeng Pakoe Boewono, setelah memperkenalkan dirinya kepada hadirin, memberikan salam merdeka dan kemudian memproklamirkan dengan kepalan tangan: “Berontak”.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar